7 Amalan Hebat

PERTAMA: Tahajjud, karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya. Pastinya doa mudah termakbul dan menjadikan kita semakin dekat dengan Allah Swt.

Kedua: Membaca Al-Qur’an sebelum terbit matahari. Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur’an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman. Paling tidak jika sesibuk apapun kita, bacalah walau beberapa ayat.

Ketiga: Jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke mesjid, karena masjid merupakan pusat keberkahan, bukan karena panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan masjid Allah.

Keempat: Jaga sholat dhuha, karena kunci rezeki terletak pada sholat dhuha. Yakinlah, manfaat sholat dhuha sangat dasyat dalam mendatangkan rezeki.

Makanan dan Minuman, Mengapa Harus Halal dan Thayyib?

MAKANAN dan minuman merupakan hal pokok yang dibutuhkan setiap hari. Tidak hanya manusia saja, bahkan semua makhluk hidup pun membutuhkannya.

Makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak boleh sembarangan. Islam telah mengatur tentang makanan dan minuman yang boleh dan tidaknya untuk dikonsumsi bagi seorang muslim.

Makanan dan minuman ini harus dilihat dari aspek halal dan thayyibnya. Halal bagaimana memperolehnya, zatnya, dan pengolahannya.

Halal memperolehnya berarti cara memperoleh makanan dan minumannya dengan cara yang baik, bukan hasil mencuri, menipu, merampok, atau korupsi.

Halal zatnya berarti makanan dan minuman yang tidak mengandung zat-zat yang jelas diharamkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Seperti darah, daging babi, daging anjing, bangkai, khamr, dan sebagainya.

Halal pengolahannya ialah diolah berdasarkan aturan syariat Islam. Bisa saja jenis makanannya halal, tapi karena cara pengolahannya menjadikan tidak halal untuk dikonsumsi.

Sedangkan Thayyib terkait dengan pemenuhan kebutuhan tubuh dan kesehatan. Seperti pemenuhan dari aspek gizi, higienis, dan kebutuhan lain yang sifatnya psikis.

Misalnya daging hewan ternak halal untuk dikonsumsi, jika penyembelihannya sesuai dengan syariat Islam, dan tentu saja thayyib. Sebab sudah memenuhi sisi kebersihan dan kandungan gizinya.

Bila daging tersebut dipotong tidak sesuai syariat Islam, maka selain aspek hukum Islamnya yang tidak terpenuhi, aspek kebutuhan gizi dan kebersihannya juga tidak terpenuhi. Karena ada darah yang menggumpal.

Begitupula untuk mengonsumsi minuman beralkohol, selain jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, kalau dilihat dari aspek kesehatan itu bisa merusak anggota tubuh. Sehingga jangan dipisahkan. Ketika bicara halal, maka juga bicara thayyib.

Maka penting sekali memperhatikan halal dan thayyib di setiap makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari. Jangan sampai makanan dan minuman haram yang masuk dan mengalir dalam darah di tubuh kita. [ ]

ISLAMPOS



Keutamaan Shaum Sunnah 9 dan 10 Muharram

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان

“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)

Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».

Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:Loading…

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari).

Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:

كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه

Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari).

Sumber: Konsultasi syariah

ISLAMPOS

Salat Qabliyah Digabung Tahiyatul Masjid Why Not?

JIKA bisa digabungkan maka tidak perlu dipertentangkan. Kita bisa salat dua rakaat dengan niat salat sunah qabliyah sekaligus tahiyatul masjid, karena para ulama menggolongkan salat tahiyatul masjid sebagai salat sunah mutlak, sehingga untuk mengerjakannya, seseorang tidak harus berniat salat khusus. (Maqasid Al-Mukallafin, hlm. 212, karya Umar Al-Asyqar).

Hal ini berdasarkan hadis tentang salat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seseorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan salat dua rakaat.” (HR. Muslim)

Di hadis ini tidak disebutkan jenis salat tertentu. Yang penting, ketika seseorang masuk masjid, hendaknya dia tidak duduk terlebih dahulu sampai dia salat dua rakaat, apapun bentuk salatnya, baik salat qabliyah atau bahkan salat wajib sekali pun.

Ringkasnya, kita bisa melaksanakan salat dua rakaat, dengan niat salat sunah qabliyah sekaligus sebagai salat sunnah tahiyatul masjid. Allahu alam. [KonsultasiSyariah]

INILAH MOZAIK


Sejarah Wakaf dalam Islam

Disyariatkan Setelah Nabi SAW di Madinah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek Wakaf Menjadi Lebih Luas pada Masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah

Semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Perkembangan Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada Orde Al-Dzahir Bibers Perwakafan dapat Dibagi Menjadi Tiga Katagori

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Undang Undang Pembukuan Wakaf

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

UMMA

——————————-

Tertarik untuk Wakaf Jam Masjid? Silakan kunjungi Toko Albani!

Milenial, Inilah 5 Hal Penting yang Harus Kamu Lakukan Sebelum Ajal Menjemput

Milenial, menjalani hidup di dunia tidak akan ada habisnya. Bukan hanya masalah dan kedukaan yang akan kita hadapi, tapi juga berbagai macam kebahagiaan akan kita temui. Di balik lelahnya bekerja, ada kebahagiaan mendapatkan penghasilan, mendapatkan jabatan, atau bahkan penghargaan maupun prestasi. Di balik masalah rumah tangga, selalu ada kebahagiaan dari kasih sayang orang tua, suami atau istri, bahkan juga anak-anak. Semua silih berganti, antara suka dan duka. Begitulah di semua aspek kehidupan akan kita rasakan.

Sayangnya, hidup di dunia tidaklah lama. Rata-rata manusia zaman sekarang ini hidup sampai dengan usia rata-rata 70 tahun. Setelah usia tersebut, tentu kehidupan kita di dunia selesai dan akan memasuki fase baru kehidupan selanjutnya di akhirat. Bagi umat Islam, tentu hal ini tidak bisa dipungkiri karena kelak akan datang masanya, dan mau tidak mau, kita harus siap.

Karena kehidupan dunia ini hanyalah sebentar dan sementara, ada beberapa hal yang harus kita persiapkan, mengingat waktu berakhirnya usia hidup manusia tidak ada yang tahu dan tidak harus menunggu tua untuk kembali kepada-Nya. Sebelum usiamu berakhir, berikut adalah hal-hal penting yang harus dilakukan.

1.Milenial, Yuk kerja keras mengejar tujuan

Setiap dari kita, tentunya memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Tujuan hidup seperti kompas yang mengarahkan perjalanan kita di dunia. Karena kita tidak pernah tahu kapan usia kita akan berakhir, maka kejar dan kerja keras lah dalam mencapai tujuan tersebut. Kadang penyesalan selalu datang di akhir, untuk itu lakukanlah sebaik mungkin dari sekarang sebelum menyesal saat kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun tujuan tersebut belum tercapai saat kita sudah tutup usia, setidaknya kita sudah berusaha keras untuk mencapainya.

Mulai dari, sekarang tentukan tujuan hidup kita dan pastikan bahwa tujuan tersebut adalah hal yang realistis bisa kita capai. Kerahkan seluruh energi dan segenap pikiran kita untuk bisa mencapai tujuan hidup tersebut.

Milenial, jangan terlena apa yang kita dapatkan dan nikmati hari ini. Kadang hal inilah yang membuat kita lupa kalau kita harus mempersiapkan hal yang lebih besar dimasa depan dan akhirat nanti.

2.Apa manfaat yang akan kita tinggalkan di dunia?

Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah menyampaikan bahwa manusia bertugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah yang memiliki arti sebagai pemimpin, juga memiliki arti untuk memberikan manfaat, mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia di lingkup sosial, dan tentunya tidak berbuat kerusakan.

Seandainya kita sudah tidak ada lagi di dunia, sebenarnya kita sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk memberikan manfaat lagi. Untuk itu, kita bisa melakukannya sejak saat kita masih hidup di dunia. Perbanyaklah berbuat kebaikan, tinggalkanlah banyak manfaat dari pekerjaan yang kita jalani atau, berkaryalah dengan potensi yang kita miliki. Kelak jika usia kita berakhir, manfaat dan karya kita masih tinggal di dunia. Orang-orang akan masih terus merasakan manfaat dari apa yang kita hasilkan.

Contoh saja para pahlawan di Indonesia, para penulis buku, penemu ilmu pengetahuan, pencipta teknologi, dsb. Kita tinggal memilih, apa manfaat dan karya yang ingin kita tinggalkan dari potensi yang kita miliki.

3. Jangan meninggalkan beban untuk orang terdekat

Milenial, sekiranya tidak bisa meninggalkan manfaat dan karya saat meninggalkan dunia ini, janganlah kita meninggalkan beban berat pada orang lain. Misalnya, meninggalkan hutang yang besar dan tidak ada kemampuan untuk membayarkannya. Untuk itu, hal-hal seperti ini perlu dipikirkan agar kita tidak membuat beban berat orang lain yang ditinggalkan.

4.Pastikan jaminan hidup bagi anak atau keluarga yang ditinggalkan

Dalam Surat Annisa, ayat 9, disampaikan oleh Allah bahwa, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Artinya, janganlah kita meninggalkan keluarga khususnya anak-anak dalam keadaan yang lemah dan tanpa persiapan apapun. Bagi yang sudah berkeluarga, memiliki anak atau tanggungan hidup lainnya, pastikan kita meninggal dalam keadaan meninggalkan jaminan untuk mereka. Mulai dari sekarang, kita bisa mulai menabung, atau mengikuti berbagai program untuk mempersiapkan kebutuhan untuk masa depannya.

5.Milenial, Yuk siapkan bekal akhirat

Sebaik-baik persiapan kita meninggalkan dunia adalah mempersiapkan pahala untuk bekal akhirat. Pahala amal kebajikan adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kita dari masa depan akhirat yang kelam dan penuh siksaan. Karena penilaian Allah pada manusia adalah pada amal dan ketaqwaanya, tidak ada yang lain. Itulah yang memustuskan akan berakhir kemana kehidupan manusia, di Surga atau Neraka.

Untuk itu, mulai dari sekarang, sebelum usia kita berakhir, laksanakanlah seluruh perintah Allah, laksanakanlah kehidupan kita sesuai dengan nilai dasar Islam, dan berbuatlah kebajikan sesuai dengan kemampuan maksimal kita. Beribadahlah seolah besok usia kita akan berakhir dan tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki diri.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan bekal akhirat adalah mempersiapkan pahala jariah. Walaupun kita sudah tidak ada di dunia, tapi manfaatnya masih terus berjalan, dan pahala masih akan terus mengalir kepada kita. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan dalam hadist, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak shalih yang selalu didoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

Para ulama, menjelaskan sedekah jariah sama istilahnya dengan berwakaf. Berwakaf adalah menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf adalah Solusi

Milenial, dengan wakaf ada banyak hal yang bisa dibangun atau dibentuk dan memberikan produktifitas tersendiri. Misalnya saja, wakaf untuk pendirian rumah sakit, sekolah, masjid, bahkan kebun. Selama nilai pokok wakaf tersebut tidak berubah dan aset tersebut terus digunakan untuk kemaslahatan ummat, maka pahala tersebut juga akan terus mengalir pada kita, walaupun sudah tidak ada lagi di dunia.

Misalnya saja wakaf yang pernah dilakukan oleh Abdurrahman Bin Auf di masa Rasulullah dulu. Ia memberikan kekayaannya untuk dijadikan summur yang digunakan oleh banyak sekali masyarakat dan tanah di sekitarnya juga dijadikan sebagai lahan produktif seperti kurma dan aset lainnya. Bisa kita bayangkan, bagaimana aliran kebaikan dan pahala yang terus mengalir padanya hingga sekarang, walaupun sudah berumur ribuan tahun.

Adakah kita juga terpanggil untuk melaksanakan ibadah wakaf? Dengan nominal 10.000 rupiah, kita sudah bisa mulai berwakaf dan sedikit demi sedikit mencicil bekal untuk akhirat, sebelum usia kita berakhir. Selamat bersiap diri!

ZAKATorid

————————————-

Tertarik mewakafkan Jam Masjid, silakan order di sini!


Inilah Empat Keutamaan Menunggu Waktu Shalat

Shalat tepat waktu adalah keutamaan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tanda bahwa seseorang telah menjadikan shalat sebagai kebutuhan adalah keistikamahannya dalam memburu shalat secara tepat waktu.

Keutamaannya akan berlipat apabila dilakukan di masjid dan berjamaah. Keutamaan ini akan berlipat lagi tatkala kita mempersiapkan diri sebelum melaksanakannya dengan menunggu sebelum azan berkumandang.

Mengapa menunggu shalat menjadi sebuah keutamaan? Berikut empat alasan mengapa menunggu shalat diutamakan. 

Bukti Kecintaan Hamba

Pertama, menunggu shalat adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebagai analogi, seseorang yang sedang dimabuk cinta akan senantiasa merindukan perjumpaan dengan yang dicintainya. Tatkala ada janji bertemu, ia akan berusaha untuk tidak terlambat. Begitu pula saat kita merindukan Allah, kita akan selalu menunggu berjumpa dengan-Nya dan akan selalu menunggu perjumpaan itu.

Mengundang Kebaikan Lain

Kedua, menunggu waktu shalat akan membuka kesempatan bagi kita untuk melakukan banyak kebaikan lainnya, seperti membaca Alquran, i’tikaf, berdzikir, membereskan tempat shalat, dan lainnya. Satu kebaikan biasanya akan mengundang kebaikan lainnya. 

Kecilnya Peluang Bermaksiat

Ketiga, saat menunggu shalat kemungkinan bermaksiat menjadi sangat kecil. 

Menjaga Kebersihan Diri dan Hati

Keempat, saat menunggu shalat kita akan berusaha menjaga kebersihan diri dan hati. Bukankah salah satu syarat sahnya shalat adalah bersih badan dan tempat shalat dari najis? Karena itu, Rasulullah SAW menjanjikan bahwa seseorang dikategorikan sedang shalat, tatkala ia meniatkan diri menunggu datangnya waktu shalat. Bahkan, saat itu para malaikat terus melantunkan doa agar kita dirahmati Allah SWT. 


Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian (terhitung) di dalam shalat selama tertahan oleh shalat sedang para malaikat mendoakan mereka: ‘Ya Allah, ampunilah dia; ya Allah rahmati dia, selama dia tidak berdiri dari tempat shalatnya atau ber-hadats (batal wudhunya).” (HR Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA

Anda membutuhkan Jam Waktu Sholat untuk diwakafkan ke masjid atau Musholah terdekat, silakan order di sini!


Begini Syarat Penting Perpanjangan Iqomah di Arab Saudi

Direktorat Jenderal Urusan Paspor arab saudi mengungkapkan syarat penting perpanjangan izin tinggal (iqama) warga di atas usia 25 tahun.

Aturan di Saudi tersebut menyatakan, jika kepala keluarga ingin memperbaharui iqamya dan semua tanggungan dalam keluarganya, tetapi salah satu tanggungan telah melebihi usia 25 tahun, maka dalam hal itu tanggungan yang telah melebihi 25 tahun tersebut harus mengalihkan pensponsorannya.

Selanjutnya seperti dilanisr Suadigazette menyatakan sesuai arahan yang berlaku permohonan itu harus dirujuk ke Kementerian Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Sosial.

Direktorat Paspor menyatakan memang telah banyak menjawab pertanyaan penduduk, melalui akun Twitter resmi departemennya, mengenai metode pembaruan tempat tinggal salah satu tanggungannya, yang telah melampaui usia 25 tahun.

Dia bertanya, “Apakah mungkin memperbarui izin tinggal salah satu tanggungan, yang telah melebihi usia 25 tahun, mengingat Kantor Tenaga Kerja menolak untuk mentransfer sponsor sebelum perpanjangan?”

Dan setelah paspor tersebut dikonfirmasi di Twitter: “Petunjuk tersebut menetapkan pengalihan layanan bagi mereka yang telah mencapai usia 25 tahun. Untuk dapat menyelesaikan pembaruan identitas penduduk, silakan merujuk ke Kementerian Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Sosial sebagai selama Anda telah melampaui usia legal.”

IHRAM


Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 4)

KAIDAH KEEMPAT: Bantahan kita terhadap Mu’aththilah (para penolak Sifat).

Kaum Mu’aththilah itu terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada pihak yang mengingkari Nama dan Sifat Allah secara mutlak semacam kelompok Jahmiyah. Ada pula pihak yang mengingkari Sifat saja semacam kelompok Mu’tazilah. Ada pula yang mengingkari sebagian Sifat dengan tetap menetapkan Nama-Nama Allah semacam kelompok Asyaa’irah (yang mengaku-aku pengikut Imam Abul Hasan Al Asy ‘ari-pent). Diantara mereka ada yang terjerumus dalam sikap tafwidh (menyerahkan lafazh, makna dan kaifiyah Sifat hanya kepada Allah-pent). Ada yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang seperti, “Allah itu tidak hidup juga tidak mati, tidak mendengar juga tidak melihat (mungkin maksud beliau tidak tuli, wallahu a’lam-pent), tidak bisu tapi juga tidak berbicara, dst.” Itu semua mereka lakukan dengan alasan untuk menghindar dari penyerupaan/tamtsil. Pendapat terakhir ini adalah madzhab orang-orang mulhid/atheis di kalangan sekte Bathiniyah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- menerangkan bagaimana cara membantah orang-orang semacam ini. Beliau mengatakan: “Pendapat-pendapat yang mereka lontarkan bertentangan dengan makna zhahir dari nash-nash yang ada, juga menyimpang dari manhaj/metode para Salaf, dan tidak ada dalil shahih yang mendukung pendapat mereka. Bahkan untuk membantah (kesalahan) mereka dalam beberapa Sifat tertentu bisa ditambahkan bantahan keempat bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu.” Yang dimaksud oleh beliau (Syaikh ‘Utsaimin) ialah penambahan terhadap tiga bantahan yang telah diajukan tadi sangat mungkin untuk disampaikan sehingga jumlahnya menjadi empat bantahan dan bahkan bisa lebih banyak daripada itu tergantung Sifat mana yang sedang dibicarakan.

Faidah:

Apakah perbedaan tahrif dengan ta’thil?

Tahrif terjadi pada dalil (merubah lafazh maupun maknanya, lihat Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Al Wasithiyah hlm 6 oleh Syaikh Al Utsaimin-pent) sedangkan ta’thil terjadi pada madlul/makna yang ditunjukkan dalil. “Syaikh Utsaimin juga mendefinisikan ta’thil sebagai pengingkaran Nama atau Sifat yang seharusnya ditetapkan dimiliki Allah, dengan bentuk ta’thil kulli/total seperti yang dilakukan oleh Jahmiyah atau ta’thil juz’i/sebagian’ seperti yang dilakukan oleh Asy’ariyah” [yang ada dalam tanda petik adalah tambahan dari penterjemah]. (Sehingga setiap orang yang melakukan tahrif pasti melakukan ta’thil akan tetapi tidak setiap orang yang melakukan ta’thil itu mesti melakukan tahrif, lihatlah Syarah ‘Aqidah Wasithiyah Syaikh Shalih Al Fauzan hlm 15 -pent).

Misalnya, ada seseorang yang mengomentari firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang” dengan menyatakan “(dua Tangan) itu artinya dua Kekuatan-Nya.” Maka orang ini telah terjerumus dalam tindakan tahrif terhadap dalil dan sekaligus melakukan ta’thil terhadap madlul/makna yang ditunjukkan oleh dalil; yaitu Tangan yang hakiki. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kelompok Mufawwidhah/pelaku tafwidh (diantara mereka Syaikh Hasan Al Banna pendiri Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, semoga Allah mengampuninya dan memberi hidayah taufiq kepada para pemujanya-pent) termasuk dalam jajaran penolak Sifat (Mu’aththilah).

Demikianlah kemudahan yang dianugerahkan Allah kepada saya guna menjelaskan kaidah-kaidah ini, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Segala Puji dari awal sampai akhir bagi Allah Rabb penguasa alam semesta. Semoga shalawat dan barakah tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

(Diterjemahkan oleh Abu Muslih dengan sedikit perubahan tanpa menyertakan catatan kaki dari Penulis)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 3)

Simak pembahasan sebelumnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 2)

KAIDAH KETIGA: Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat indah!!

Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan. Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala-berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan) do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka serukan.

Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:

  1. Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
  3. Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.

Faidah:

Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh makhluk?

Jawabnya:

Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.

2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:

  1. Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’ (para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:

  1. Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
  2. Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu tidak berbuat zhalim.” Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.
  3. Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.

Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta’ala.

Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.

3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.

Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:

A. Sifat Dzatiyah

Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:

A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah

Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.

A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah

Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.

B. Sifat Fi’liyah

Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:

  1. Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
  2. Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.

Faidah:

Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.

4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.

  1. Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
  2. Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
  3. Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?

Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:

  1. Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
  2. Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
  3. Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?

Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik

Faidah Pertama:

Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut dengan tamtsilTamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku.”

Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapun takkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat Allah termasuk tindakan takyif.

Faidah Kedua:

Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:

  1. Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau menjawab: “Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid’ah.”
  2. Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat Allah?” atau “Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.
  3. Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”

Faidah Ketiga:

Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentang kaifiyah‘. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!

Faidah Keempat:

Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan ‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:

  1. Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
  2. Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
  3. Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.

Simak pembahasan selanjutnya: Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (Bag. 4)

***

Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id