Noda Di Hati, Yang Membandel

Banyak orang yang sangat memperhatikan penampilan lahiriah. Ketika baju terkena sedikit noda, akan segera dicuci dan tidak rela membiarkan noda tadi membandel. Sejatinya perilaku seperti ini tidaklah mengapa. Sebab Islam memang menyukai penampilan yang indah dan mencintai kebersihan. Dalam sebuah hadits sahih disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Sesungguhnya Allah Maha indah dan mencintai keindahan” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ûd radhiyallahu’anhu).

Namun, amat disayangkan, kerap perhatian kita terhadap kebersihan luar tidak sebanding dengan perhatian kita terhadap kebersihan dalam. Alias kita lebih memperhatikan penampilan lahiriah dibanding penampilan batin. Padahal dampak buruk kotornya hati, jauh lebih berbahaya dibanding dampak kotornya baju. Sebab akan terasa hingga di akhirat.

Perlu diketahui, bahwa sebagaimana noda di atas baju jika dibiarkan akan membandel. Begitu pula halnya saat noda dalam hati tidak segera dibersihkan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa; niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka” (QS. Al-Muthaffifin: 4). (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi).

Bukanlah aib manakala seorang hamba terjerumus kepada perbuatan dosa, sebab tidak mungkin manusia biasa suci dari dosa. Namun aib itu bilamana setelah terjerumus kepada perbuatan dosa, seorang insan tidak segera memperbaikinya, malah justru ia semakin tenggelam dalam kubangan dosa. Nabiyullah shallallahu’alaihi wasallam menasehatkan,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُ كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Bertakwalah kepada Allah kapanpun dan di manapun engkau berada. Serta iringilah perbuatan buruk dengan kebajikan supaya ia bisa menghapuskannya” (HR. Tirmidzy dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh Al-Hakim).

Mari kita berusaha untuk terus menerus menjaga kebersihan hati kita. Tidak hanya sekedar memperhatikan kebersihan pakaian luar kita!

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

Ya Allah karuniakan ketakwaan pada jiwaku. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya”. (HR. Muslim dari Zaid bin Arqam radhiyallahu’anhu).

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19817-noda-di-hati-yang-membandel.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 1)

Tingginya Kedudukan Suami di Sisi Sang Istri

Kalau kita merenungkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati bagaimanakah tingginya kedudukan suami di sisi sang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Dalam riwayat Al-baihaqi terdapat tambahan,

لِمَا عَظَّمَ اللهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا

“Karena Allah telah mengagungkan hak suami yang wajib ditunaikan istri.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7: 475, dengan sanad yang shahih)

Perlu diketahui, ada dua macam sujud, yaitu (1) sujud ibadah dan (2) sujud tahiyyah (sujud karena penghormatan). Sujud ibadah ini hanya boleh ditujukan untuk Allah Ta’ala, sehingga haram ditujukan kepada selain Allah Ta’ala dalam semua syariat para Nabi dan Rasul. Adapun contoh sujud tahiyyah adalah sujud malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihi salaam, dan juga sujud anak-anak Nabi Ya’qub kepada ayah dan ibunya, sebagaimana yang terdapat di surat Yusuf. Sujud tahiyyah tersebut diperbolehkan di sebagian syariat terdahulu, namun diharamkan di syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa seandainya sujud tahiyyah itu diperbolehkan dalam syariat Muhammad, niscaya dia akan perintahkan istri untuk sujud kepada sang suami.  

Tingginya kedudukan suami, juga digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau meengatakan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى بِابْنَةٍ لَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ ابْنَتِي هَذِهِ أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، قَالَ: فَقَالَ لَهَا: أَطِيعِي أَبَاكِ قَالَ: فَقَالَتْ: لَا، حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَرَدَّدَتْ عَلَيْهِ مَقَالَتَهَا قَالَ: فَقَالَ: حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا، أَوِ ابْتَدَرَ مَنْخِرَاهُ صَدِيدًا أَوْ دَمًا، ثُمَّ لَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ قَالَ: فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا قَالَ: فَقَالَ: لَا تُنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بِإِذْنِهِنَّ

“Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai anak perempuannya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, dia enggan untuk menikah.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada perempuan tersebut, “Patuhilah bapakmu.”

Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak mau menikah sampai Engkau mengabarkan kepadaku apa hak suami yang wajib ditunaikan istri.” Dia terus mengulang-ulang permintaan tersebut.

Rasulullah bersabda, “Hak suami yang wajib ditunaikan istri itu bagaikan jika suami memiliki luka, lalu sang istri menjilati luka tersebut, atau jika dari kedua lubang hidung suami keluar nanah atau darah, kemudian sang istri menjilatinya, belumlah dinilai memenuhi hak suami.” 

Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak akan menikah selamanya.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sang ayah, “Janganlah Engkau menikahkannya, kecuali dengan seijinnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4: 303; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7: 291; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 3: 383)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan tingginya kedudukan suami. Sampai-sampai jika suami terluka dan berdarah, lalu sang istri menjilati darah tersebut, hal itu dinilai belum menunaikan hak suami. Karena itulah, anak perempuan tersebut tidak mau menikah, dan hal ini disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat diambil faidah dari hadits ini bahwa seorang perempuan boleh untuk memilih tidak menikah. Dan juga dalil tidak bolehnya nikah paksa dalam ajaran Islam. 

Kedudukan Mulia Seorang Istri yang Taat Suami

Para istri yang taat kepada suami inilah yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita terbaik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا، وَلَا فِي مَالِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah wanita yang paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Yaitu para wanita yang membuat senang ketika dipandang, taat jika diperintah sang suami, tidak menyelisihi suami dalam perkara-perkara yang dibenci suami, baik berkaitan dengan dirinya (istri) atau hartanya (suami).” (HR. Ahmad 2: 251, dengan sanad yang shahih)

Berkaitan dengan diri istri”, misalnya suami mengatakan, “Aku tidak suka parfummu yang ini, karena aku tidak suka baunya.” Maka istri yang baik, dia akan taat dan tidak memakai parfum yang tidak disukai istri. 

“Berkaitan dengan harta suami”, misalnya suami mengatakan, “Jika Engkau ingin sedekah (dengan harta suami) lebih dari sekian, ngomong dulu sama saya.” Maka istri yang baik, dia akan menaati perintah suaminya.

Seorang istri, bisa jadi sangat ringan untuk shalat, puasa, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya. Akan tetapi, dia sangat berat untuk taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Dan inilah salah satu ujian untuk para istri di kehidupan rumah tangannya bersama sang suami. 

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52561-pemimpin-rumah-tangga-2.html

Dua Sholat Sunah yang tak Ditinggalkan Rasulullah

IBNUL QAYYIM berkata, Rasulullah saw di dalam safar senantiasa mengerjakan salat sunah rawatib sebelum subuh dan salat sunah witir dikarenakan dua salat sunah ini yang paling utama di antara salat sunah, dan tidak ada riwayat bahwasanya Rasulullah saw mengerjakan sunah selain keduanya.

Salat sunah fajar dan witir, usahakanlah jangan sampai keduanya ditinggalkan. Kalimat Ibnul Qayyim di atas menyebutkan bahwa kedua salat ini merupakan salat sunah yang paling utama, dimana kedua salat ini tidak pernah ditinggalan oleh Rasulullah saw, baik saat di rumah maupun saat bepergian.

Bahkan saat kedua salat sunah ini ditinggalkan, maka kita dianjurkan untuk mengqadhanya.

Siapa yang tidur tanpa salat witir, atau lupa, hendaknya ia mengerjakannya pada pagi hari atau ketika ingat. ( HR.Abu Daud dengan sanad yang shahih.)

Siapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum salat subuh, maka salatlah setelah matahari terbit. (HR.Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani).

Sementara, salat tahajud disebutkan, salat sunah ini tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, meski beliau dalam keadaan sakit. Aisyah menuturkan, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan qiyamullail, dan jika beliau sakit, maka beliau salat sambil duduk. (HR.Abu Daud dan al-Hakim)

Disebutkan juga dalam sebuah hadis bahwa salat tahajud merupakan kebiasaan orang-orang saleh semenjak dahulu. Rasulullah saw bersabda, Hendaklah kalian mengerjakan qiyamullail, karena qiyamullail itu kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. (HR.Ahmad, Tirmidzi, al-Hakim, Baihaqi, Ibnu Asakir, Thabrani dan Ibnu Suni).

Dan, salat dhuha. Salat sunah ini memiliki keutamaan yang besar, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

Di setiap persendian seorang dari kalian terdapat sedekah. Setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah setiap tahlil (ucapan laa ilaaha illallaah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan mencukupi dari semua itu dua rakaat Dhuha yang ia kerjakan. (HR.Muslim)

Siapa yang keluar untuk melaksanakan salat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan umrah. (HR.Abu Daud)

Dengan mengamalkan salat-salat sunah di setiap hari yang kita jalankan, ditambah dengan amalan sunah seperti puasa sunah lainnya, maka tentu hari itu akan menjadi hari yang spesial, hari yang terbaik, di mana kita akan mendapatkan pahala dan rapot yang terbaik dari sisi Allah swt. Amin. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK

Adab kepada Nabi SAW

Adab kita kepada Nabi SAW, harus dibuktikan dengan meyakini kenabiannya,

Manakala bulan Rabiul Awal tiba, kerinduan kepada Nabi Muhammad SAW pun semakin membara. Kelahiran manusia pilihan itu pada 12 Rabiul Awal, selalu disambut dan diramaikan dengan peringatan Maulid Nabi di berbagai penjuru negeri. Tiada lain, kecuali menampakkan kegembiraan dan syukur, sekaligus mengenang perjuangannya menebarkan Islam di muka bumi.

Momentum yang membuat penulis teringat akan masa kecil dahulu di kampung halaman, Labusel Sumatra Utara. Sebelum tausiah Tuan Guru, selalu dibacakan Kitab Maulid al-Barzanji karya Sayyid Ja’far al-Barzanji. Untaian syair nan indah disenandungkan dengan merdu dan mendayu, membuat jamaah larut dalam haru. Bahkan, tidak sedikit yang berlinang air mata karena kagum kepada junjungan alam dan teladan umat manusia sepanjang zaman. (QS 33:21).

Apalagi, ketika sampai pada bait, “hadhoro ummahu lailata maulidihii asiatu wa maryamu fii niswatin minal hadziiratil qudsiyyah. Wa akhaza haal makhadu fa waladathu shallallahu ‘alaihi wasallama nuuran yatala`lu sanaah”. (Maka, pada malam kelahirannya, datanglah Siti Asiyah dan Siti Maryam bersama para bidadari suci dari surga menemui ibunya. Kemudian, tibalah saat kelahirannya, Siti Aminah melahirkan Nabi SAW yang bergelimang cahaya). Lalu, semua hadirin pun berdiri sambil melantunkan shalawat dengan penuh kesyahduan.

Dalam sebuah perkuliahan di Kampus IUQI Bogor beberapa hari lalu, seorang mahasiswa sempat bertanya. “Untuk apa bershalawat kepada Nabi SAW, jika Beliau telah dilimpahi rahmat dan ampunan?” Sejatinya, selain menaati perintah Allah SWT, juga menunjukkan adab dan penghormatan. Tentunya, shalawat kita tidak akan menambah kemuliaannya, justru akan mengalirkan kebaikan kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti (syafa’at).

Sebab, Allah SWT telah berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS 33:56). Prof Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, makna shalawat sebagai rasa hormat kepada Nabi SAW. Bukan hanya di kala hidup, melainkan juga setelah wafatnya. Ketika Allah bershalawat, itu berarti pujian, berkah, dan rahmat. Malaikat bershalawat bermakna mohon ampunan Allah SWT.

Abu Hurairah RA meriwayatkan dari Nabi SAW, “Barang siapa yang bershalawat untukku sekali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR Muslim). Karena itu, ketika nama beliau disebutkan, sepatutnya kita sahut dengan shalawat dan salam serta keberkahan. “Sesungguhnya manusia yang paling bakhil ialah ketika disebut namaku di sisinya, tapi dia tidak mengucapkan shalawat untukku.” (HR Ismail al- Qadhi).

Adab kita kepada Nabi SAW, harus dibuktikan dengan meyakini kenabiannya, mengikrarkan, menyebut namanya, menjalankan sunah, mengajarkan, dan menceritakan tentang dirinya. Indikator adab yang paling terukur adalah pengamalan tujuh sunnah harian, yakni menjaga wudhu, shalat tahajud, shalat berjamaah, tadabur Alquran, shalat dhuha, puasa senin-kamis, dan sedekah.

Dengan kerendahan hati kita lantunkan shalawat kepadanya. “Yaa Nabi salam ‘alaika, Yaa Rasul salam ‘alaika, Yaa Habib salam ‘alaika, shalawatullah ‘alaika. Allahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaih”. Insya Allah, kerinduan hati akan terobati ketika duduk bersimpuh di makamnya, di Tanah Suci Madinah al- Munawwaroh, aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab. 

Oleh: Hasan Basri Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Lebah dan Lalat

Karakter Lebah dan Lalat

Lebah dan lalat sama-sama spesies serangga. Namun ternyata lebah memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki lalat. Apakah berbagai keistimewaan itu? Bagaimana lebah bisa memilikinya? Sebaliknya mengapa lalat tidak memilikinya?

Lebah mempunyai karakter pribadi yang baik. Selain itu kehidupan sosialnya juga baik.

Sebaliknya, karakter pribadi lalat buruk. Kehidupan sosialnya juga buruk.

Walaupun sama-sama serangga, namun mengapa pribadi dan sosial keduanya berbeda?

Sebab lebah mendapat wahyu dari Allah dan mengamalkannya. Sedangkan lalat tidak demikian.

Allah ta’ala berfirman,

“وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ . ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ”

Artinya: “Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan. Lalu tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang berwarna-warni. Di dalamnya ada obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh pada hal itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir”. QS. An-Nahl (16): 68-69.

Dibalik Pribadi Lebah dan Lalat

Secara pribadi, lebah memiliki karakter baik. Sebab dia hanya makan yang baik-baik dan menghasilkan yang baik-baik pula. Secara sosial pun, lebah hidup bermasyarakat dengan sangat baik. Memiliki pemimpin yang dipatuhi. Saling bekerjasama antara lebah pekerja dengan lebah penjaga. Semua bekerja dalam sistem yang sangat rapi. 

Bandingkan dengan kepribadian lalat. Dia gemar mengganggu dan mencuri makanan. Allah ta’ala menceritakan,

“وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ”

Artinya: “Jika lalat merampas sesuatu dari mereka (manusia), mereka tidak akan dapat merebutnya kembali”. QS. Al-Hajj (23): 73.

Ditambah lagi yang dipindahkan oleh lalat pun adalah virus penyakit yang merugikan. Inilah karakter pribadi lalat.

Secara sosial, lalat tidak hidup bermasyarakat. Justru hidup sendiri-sendiri dan tidak teratur.

Hikmah dari Karakter Lebah dan Lalat

Nah, silahkan memilih, akan mengikuti wahyu Allah atau mengabaikannya? Siapapun yang mengikuti wahyu-Nya, maka pribadi dan sosialnya akan baik. Contohnya lebah. Sebaliknya, siapapun yang meninggalkan wahyu Allah, maka pribadi dan sosialnya akan buruk. Seperti lalat.

Jangan heran, bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 “وَالَّذِي نَفْسُ ‏ ‏مُحَمَّدٍ ‏ ‏بِيَدِهِ، إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ، أَكَلَتْ طَيِّبًا، وَوَضَعَتْ طَيِّبًا، وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد”

“Demi Allah, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu seperti lebah. Yang dia makan adalah yang baik-baik. Yang dia keluarkan juga yang baik-baik. Bila hinggap di sesuatu, maka ia tidak mematahkan atau merusaknya”. HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh al-Hakim.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52598-antara-lebah-dan-lalat.html

Ini Empat Keutamaan Shalat Shubuh Berjamaah

Shalat wajib sangat dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjemaah. Dalam sebuah hadis disebutkah bahwa melaksanakan shalat wajib secara berjemaah akan mendapatkan pahala dua puluh tujuh lebih banyak dibanding shalat sendirian. Di antara shalat wajib yang sangat dianjurkan sekali untuk dilaksanakan secara berjemaah adalah Shubuh. Setidaknya, terdapat Empat keutamaan melaksanakan shalat Shubuh berjemaah.

Pertama, masuk surga tanpa diperiksa atau tanpa hisab. Ini berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Lubabul Hadis, bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ فِى الْجَمَاعَةِ دَخَلَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Barangsiapa yang shalat Shubuh dan Ashar dengan berjamaah maka ia masuk surga dengan tanpa hisab.

Kedua, akan selamat dari siksa neraka. Ini berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Lubabul Hadis, bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ صَلَّى صَلاَةَ الصُّبْحِ فِى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ كَانَ لَهُ سِتْرٌ مِنَ النَّارِ وَبَرِىءَ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang shalat Shubuh berjamaah lalu ia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, maka baginya tertutup dan terbebas dari api neraka.

Ketiga, mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Sayidina Utsman bin Affan, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

مَن صلى العشاء في جماعة، فكأنما قام نصف الليل، ومن صلى الصبح في جماعة، فكأنما صلَّى الليلَ كلَّه

Barangsiapa yang melakukan shalat Isyak berjamaah, maka dia sama seperti manusia yang melakukan shalat setengah malam. Barangsiapa yang melakukan shalat Shubuh berjamaah, maka dia sama seperti melakukan shalat malam sepanjang waktu malam itu.

Keempat, berpotensi mendapatkan pahala haji dan umrah jika setelah shalat Shubuh berjemaah melakukan zikir hingga terbit matahari, kemudian melaksanakan shalat Isyraq. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Saw bersabda;

مَن صلى الغداة في جماعة، ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين، كانت له كأجر حجة وعمرة تامة، تامة، تامة

Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian dia duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lantas shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna, sempurna, sempurna.

BINCANG SYARIAH

Maulid Nabi Momentum Tingkatkan Toleransi

Mubaligh-mubalighah di acara maulid Nabi diimbau memotivasi umat agar sukai sains.

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW jangan hanya dijadikan sebagai seremonial. Umat Islam diingatkan untuk menjadikan peringatan maulid Nabi setiap 12 Rabiul Awal sebagai momen meneladani Rasulullah.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masduki mengatakan, inspirasi terbesar dari Rasulullah yang konteksnya pas untuk Indonesia adalah tasamuh atau toleransi. Karena Indonesia sangat majemuk, kata dia, maka sangat tepat untuk mengembangkan tasamuh yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah.

“Islam adalah agama yang tasamuh, Rasulullah juga menyampaikan agama (Islam) adalah agama yang toleransi,” kata KH Masduki kepada Republika, Kamis (7/10).

Ia mengatakan, tasamuh artinya toleran terhadap hal-hal yang tidak mengganggu prinsip dasar ajaran agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk bisa bertasamuh dengan siapa pun. KH Masduki menambahkan, Nabi Muhammad SAW bisa bertasamuh dengan orang lain yang tidak sama keyakinannya.

“Ketika Rasulullah mendirikan Negara Madinah, misalnya, salah satu prinsip dasar Negara Madinah yang dibuat Rasulullah adalah tasamuh, jadi ada persamaan hak antara orang Islam dan orang beragama lain yang ada di Madinah,” ujarnya.

Ia menerangkan, semua warga Madinah mendapatkan hak yang sama. Umat Islam tidak mempersoalkan mayoritas dan minoritas. Karena itu, para sejarawan menyebut konsep Negara Madinah adalah konsep negara paling modern hingga saat ini. Dahulu, kata dia, orang-orang belum memikirkan persamaan hak, tapi Rasulullah sudah mempraktikkannya.

PBNU juga mengimbau kepada para mubaligh dan mubalighah yang diundang ke acara maulid Nabi supaya memotivasi umat Islam agar menyukai sains. Menurut dia, hal ini penting agar umat Islam memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap sains. “Karena kita umat Islam (Indonesia) tertinggal dalam bidang ilmu sains dari bangsa-bangsa lain,” ujar KH Masduki.

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, ada perbedaan pendapat tentang maulid Nabi di kalangan umat Islam. Namun, perbedaan pendapat itu tetap harus saling dihormati. Ia mengatakan, ada hikmah di balik peringatan maulid Nabi, yaitu menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah.

“(Nabi Muhammad SAW) adalah sosok yang akan kita tiru dan kita teladani, baik dalam hal yang berhubungan dengan akidahnya, ibadahnya, akhlaknya dan muamalahnya,” kata Anwar kepada Republika, Kamis (7/11).

Ia menerangkan, salah satu hikmah Maulid Nabi adalah umat Islam bisa meneladan cara berpikir, berbicara dan perilaku Nabi. Anwar menjelaskan, hidup pada zaman Nabi memang berbeda dengan saat ini. Namun, tapi hal-hal yang sudah ada ketetapannya yang jelas dalam Alquran dan sunah tidak boleh diubah.

Ia mencontohkan, pada zaman Nabi belum ada bank, pasar modal, dan asuransi. Namun, Rasulullah telah mengajarkan nilai-nilainya sejak dulu, seperti melarang manusia terlibat dalam praktik riba. Umat Islam juga dilarang terlibat dalam praktik tipu-tipu, perjudian, serta berbohong. “Nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah itu harus dibawa ke dalam kehidupan dan transaksi bisnis,” kata Anwar.

Karena bisnis bank dan sejenisnya belum ada pada zaman Nabi, kata dia, maka para ulama melakukan ijtihad. Di Indonesia, ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. “Sehingga ada ada fatwa yang berhubungan dengan produk-produk bank syariah, ada fatwa yang berhubungan dengan produk asuransi syariah, ada fatwa yang berhubungan dengan pasar modal dan rumah sakit syariah,” ujarnya.

Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zen Umar bin Sumaith juga mengajak umat Islam meneladan akhlak mulia Rasulullah. Ia berpesan agar peringatan maulid Nabi tak sebatas seremonial.

“Bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah perlu diteguhkan, perlu diekspresikan dalam bentuk kecintaan yang tidak hanya dalam bentuk seremonial, tetapi meneladan akhlaknya,” kata Habi Zen saat berbincang dengan Republika, Kamis (7/11).

Habib Zen mengatakan, seseorang yang mengaku mencintai Rasulullah, harus mencontoh akhlak mulia Rasulullah. Ia menambahkan, perayaan maulid harus dapat mengubah perilaku umat yang memperingatinya. Misalnya, kata dia, dari yang tadinya berperilaku tidak baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi makin baik.

Menurut dia, sah-sah saja peringatan maulid Nabi dilaksanakan sebagai ekspresi kecintaan dan kegembiraan. Namun, hal itu dianggap tidak cukup. Umat Islam juga harus bisa berdakwah sesuai ajaran Rasulullah.

“Kalau misalnya dakwah Rasulullah itu bisa melunakkan semua hati-hati yang keras, kita pun harus bisa seperti itu. Itu di antaranya pesan yang harus dijalankan oleh setiap Muslim,” katanya.

Habib Zen menambahkan, umat Islam juga harus meneladan bagaimana Rasulullah menjalin hubungan dengan sesama Muslim dan non-Muslim. Karena, kata Habib Zen, pada zaman Rasulullah, agama yang dianut di antaranya ada Yahudi, Nasrani, dan agama selain Islam.

Ia mengatakan, Nabi Muhammad pada saat itu memperlakukan non-Muslim dengan baik. “Oleh karena itu, semua orang yang berada di Madinah saat itu sangat nyaman dan terlindungi baik, di kalangan Muslim dan non-Muslim,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA


Mencintai Rasul dengan Hati, Akal dan Perbuatan

MENURUT sebabnya, para ulama membagi cinta menjadi tiga macam; hubbu ladzatin; mencintai hal-hal yang kita rasakan enaknya, hubbun aqliyun; mencintai hal-hal yang baik menurut akal kita, dan hubbu ihsanin; mencintai orang yang berbuat baik kepada kita. Mencintai Rasulullah SAW didasarkan kepada ketiganya. Mencintai beliau dengan: hati, akal, dan perbuatan kita.

Para sahabat mencontohkan kita bagaimana mencintai Rasulullah SAW. Abu Bakar ra. rela dipukuli, agar Rasulullah SAW tidak dipukuli. Beliau pingsan, ketika sadar yang ditanyakan adalah Rasulullah SAW. Perempuan Anshar kehilangan anak, suami, ayah, dan saudaranya dalam sebuah peperangan. Tapi ketika pasukan pulang, yang ditanyakan adalah Rasulullah SAW.

Bilal, kalau adzan setelah Rasulullah saw. meninggal, selalu menangis saat sampai “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”. Pergi keluar Madinah, ketika datang dan adzan, beliau dan para sahabat menangis. Banyak juga sahabat yang menangis karena merasa tidak bertemu dengan beliau setelah berada di surga nanti.

Allah swt. berfirman

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [At-Taubah: 128].

Rasulullah saw. berasal dari kalangan bangsa Arab, tempat awal dimulainya dakwah Islam. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” [Ali Imran: 164].

Ini merupakan sebuah keuntungan bagi mereka. Akan mudah memahami karena satu bahasa dan mudah meneladaninya. Mereka juga sudah tahu bagaimana asal-usul Rasulullah SAW; keluarganya, masa pertumbuhannya hingga dewasa, sifat-sifatnya, dan sebagainya. Bahkan bahwa beliau adalah anak yang terlahir dari pernikahan yang sah, bukan dari perzinaan. Ini semua akan membuat orang-orang Arab itu tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap Rasulullah SAW bahwa beliau adalah orang yang benar-benar baik, dan menginginkan kebaikan bagi mereka.

Kalimat () menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat bersedih ketika melihat umatnya dalam keadaan yang susah. Sedih ketika melihat ada umatnya merubah agama yang mudah ini menjadi sulit. Allah swt. berfirman:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [Al-Hajj: 78].

Sedangkan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya agama ini adalah mudah.” [HR.Bukhari]. Oleh karena itu, agama Islam ini harus dipahami secara benar. Tidak dipersulit.

Beliau juga sedih jika ada umatnya yang disiksa di neraka. Perlu dipahami, bahwa kata “umat Rasulullah saw.” tidak hanya meliputi orang yang beriman saja. Tapi meliputi semua orang yang hidup setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul. Sehingga orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lain adalah umat Rasulullah saw. juga. Beliau merasa sedih jika orang-orang itu tidak masuk Islam.

Beliau sakit karena sedih memikirkan umatnya yang tidak masuk Islam. Allah swt. berfirman:

“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” [Asy-Syuara: 3].

Kesedihan Rasulullah saw. ketika melihat ada umatnya masuk neraka, digambarkan dalam sebuah hadits:

“Perumpaanku adalah seperti seseorang yang menyalakan api unggun. Setelah api menyala, banyak binatang (laron) yang berhamburan menghinggapinya. Orang itu menghalau binatang-binatang itu agar tidak masuk ke dalam api. Tapi binatang-binatang itu mau dihalau, dan tetap ingin masuk api. Maka akhirnya mereka masuk api. Demikianlah, aku menghalau kalian dari masuk api neraka.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Beliau sama sekali tidak pernah marah dan menghardik. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Sungguh Rasulullah saw. tidak pernah memukul sesuatupun dengan tangannya. Tidak isterinya, pembantunya, kecuali jika sedang berjihad di jalan Allah swt. Ketika beliau disakiti, beliau tidak pernah membalas dendam kepada orang yang melakukannya. Kecuali jika yang dilanggar adalah kemuliaan Allah swt., maka beliau akan membalasnya karena Allah swt.”

Kalimat () menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat menghendaki umatnya beriman. Keinginan inilah yang membuat beliau berjuang sedemikian rupa demi umatnya mendapatkan hidayah dari Allah swt. Beliau rela dihina, dikucilkan, disiksa, dan sebagainya demi umatnya mendapatkan kebaikan. Bisa dibayangkan beliau berbuat baik kepada mereka, tapi sebaliknya mereka berbuat keburukan kepada Rasulullah saw. Walaupun begitu, beliau tetap berdakwah dengan penuh rasa saying. Tidak berubah sama sekali. Sebuah kesabaran yang sangat besar.

Semua hal yang baik pasti telah beliau perintahkan; dan semua keburukan pasti telah beliau larang. Semua itu adalah demi kebaikan umatnya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Aku telah perintahkan kalian semua yang Allah swt. perintahkan; dan aku juga telah melarang kalian semua yang telah Allah swt. larang.”

Sehingga orang yang tidak masuk surga hanyalah orang-orang yang enggan. Bukan berarti orang yang bernasib buruk. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap umatku pasti masuk surga, kecuali orang yang enggan masuk surga.” Para sahabat bertanya, “Siapa orang yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang menaati akan masuk surga, sedangkan orang yang tidak menaati adalah orang yang enggan masuk surga.” [HR. Bukhari].

Kalimat () menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat sayang kepada umatnya; banyak memberikan kebaikan, dan khawatir umatnya mendapatkan keburukan. Beliau berdoa kepada Allah swt. agar umatnya tidak dibinasakan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Rasulullah saw. berdoa agar umat Islam tidak dikuasai oleh musuh mereka, agar mereka tidak dibinasakan dengan paceklik. Dua doa itu dikabulkan. Kemudian beliau berdoa agar umat Islam tidak terpecah-belah, tapi doa ini tidak dikabulkan.”

Beliau tidak mau umatnya dibinasakan karena menolak dakwah Rasulullah SAW Padahal umat-umat terdahulu semuanya binasa ketika mereka menolak dakwah para nabi. Misalnya kaum nabi Nuh as. dibinasakan dengan banjir, kaum nabi Luth as. dengan hujan batu, dan sebagainya. Sedangkan hal seperti itu tidak berlaku untuk umat Islam.

Bagaimanapun penderitaan yang beliau rasakan dari umatnya, beliau tetap bersikap baik kepada mereka. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Beliau dipukuli kaumnya hingga berdarah. Namun sambil menghapus darah dari wajahnya, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” [HR. Bukhari]. [Ustaz Sofwan As-Sinai/dakwatuna]

INILAH MOZAIK

Poligami, Bukti Keadilan Hukum Allah

Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maaidah:3).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat/anugerah Allah Ta’ala yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan padanya, Allah Ta’ala berfirman,

{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115). Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.

Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”. Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)”[1].

Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah

Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}

Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”

Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[2].

Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari agama Islam[3]na’uudzu billahi min dzaalik. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:

Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.

Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsunya[4].

Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap Allah Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2] (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia)”[5].

Hukum Poligami dalam Islam

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].

Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7], atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.

Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,

{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}

Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya[11]”…[12].

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3) menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam[13].

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami

Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:

Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.

Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,

{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}

Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).

Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].

Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.

Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].

Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.

Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.

Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.

Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.

Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.

Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.

Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].

Arti Sikap “Adil” dalam Poligami

Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18]. Allah Ta’ala berfirman,

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).

Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].

Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala[22],

{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).

Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam[23].

Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)…[25].

Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki[26]. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”[28].

Kecemburuan dan Cara Mengatasinya

Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan[31].[32]

Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:

– Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

– Godaan setan

– Hati yang berpenyakit

– Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.

– Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.

– Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].

Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:

– Bertakwa kepada Allah Ta’ala.

– Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.

– Menjauhi pergaulan yang buruk.

– Bersangka baik.

– Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).

– Selalu mengingat kematian dan hari akhirat

– Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].

Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]

1. Nasehat untuk suami yang berpoligami

– Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.

– Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.

– Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.

– Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.

– Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.

– Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.

2. Nasehat untuk istri pertama

– Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.

– Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.

– Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.

– Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.

– Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.

– Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam hatimu.

3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi

– Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas semua itu.

– Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah dan merawat diri.

– Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.

– Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.

– Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.

– Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.

Penutup

Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/1916-poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html

Kekuatan Lafaz Bismillah

Utsman bin Affan suatu kali pernah bertanya kepada Nabi ihwal bismillah

Ayat yang pertama kali diturunkan berbunyi, ”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan,” (QS Al-‘Alaq [96: 1). Perintah membaca yang disebutkan dalam ayat ini, mengharuskan dimulainya setiap pekerjaan dengan nama Allah.

Menurut Ibnu Abbas, hakikat dari perintah iqra’ pada ayat pertama itu adalah perintah untuk membaca basmalah. Dan basmalah merupakan satu-satunya ayat yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi Sulaiman AS, seperti disebutkan dalam surah An-Naml [27] ayat 30.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Buraidah, Rasulullah bersabda, ”Telah diturunkan kepadaku satu ayat yang tidak pernah diturunkan kepada seorang nabi pun selain Nabi Sulaiman dan aku, yaitu Bismillahir rahmanir rahiim.”

Utsman bin Affan pernah bertanya tentang basmalah, maka Beliau SAW menjawab, ”Sesungguhnya ia adalah salah satu dari nama-nama Allah yang agung, begitu dekatnya basmalah dengan nama Allah seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan biji mata yang putih.”

Menurut penjelasan para ahli tafsir, setidaknya ada empat makna yang terkandung dalam basmalah.

Pertama, kata bi kalau dikaitkan dengan ”kekuasaan dan pertolongan”, maka si pengucap menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kekuasaan Allah. Ia memohon bantuan-Nya agar pekerjaannya dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna.

Kedua, rahasia penting mengapa basmalah didahulukan bagi semua pekerjaan, erat kaitannya dengan prinsip ”la ilaha illa Allah”. Yakni, dengan menjadikan Allah sebagai sebab utama dalam semua tindakan.

Ketiga, Allah adalah Zat yang wajib ada, satu-satunya yang mempunyai hak segenap pujian, dan nama termulia yang pernah ada. Tatkala seorang Muslim menyebut nama Allah dalam basmalah, berarti dia telah mendeklarasikan nama teragung di semesta.

Keempat, ada dua sifat kesempurnaan yang ditekankan dalam basmalah, ar-Rahman dan ar-Rahim. Ar-Rahman adalah curahan rahmat-Nya secara aktual yang diberikan di dunia ini kepada semua makhluk-Nya. Sedangkan ar-Rahim adalah curahan rahmat-Nya di akhirat kelak kepada mereka yang beriman.

Secara akidah, mengucapkan basmalah merupakan bentuk permohonan dan penghambaan. Maka, akan tertanam dalam diri kita rasa lemah di hadapan Allah SWT. Namun, pada saat yang sama, tertanam pula kekuatan, rasa percaya diri, dan optimisme karena merasa memperoleh bantuan dan kekuatan dari Allah.

Apabila suatu pekerjaan dilakukan atas bantuan Allah, pasti ia sempurna, indah, baik, dan benar karena sifat-sifat Allah ”berbekas” pada pekerjaan tersebut.

Oleh: Wiyanto Suud

KHAZANAH REPUBLIKA