Bolehkah Istri Melarang Suaminya Melakukan Puasa Sunnah?

Dalam sebuah kesempatan, pernah ada seorang perempuan yang bertanya mengenai hukum dan kebolehan seorang istri melarang suaminya melakukan puasa sunnah.

Pasalnya, suaminya sering melakukan puasa Senin dan Kamis, dan tak jarang hal itu membuat suaminya menjadi lemah bekerja dan beberapa tugas menjadi terbengkalai. Dalam keadaan demikian, apakah boleh bagi dia melarang suaminya melakukan puasa sunnah agar bisa fokus pada pekerjaannya?

Menurut para ulama, boleh bagi seorang istri melarang suaminya melakukan perkara-perkara sunnah jika hal itu menyebabkan suaminya lalai dan lemah melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami. Jika perbuatan sunnah itu membuat suaminya melalaikan tugas sebagai suami, maka tidak masalah bagi seorang istri melarang suaminya melakukan perbuatan sunnah tersebut.

Misalnya, istri melarang suaminya melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis karena hal itu membuat suaminya lemah bekerja dan menyebabkan pekerjaan terbengkalai. Dalam keadaan demikian, boleh bagi seorang istri melarang suaminya berpuasa dan menyuruh fokus pada pekerjaan dan tugasnya.

Ini karena mendahulukan kewajiban dan hak-hak istri lebih diutamakan dibanding sibuk melakukan puasa sunnah yang membuat kewajiban dan hak-hak istri terbengkalai. (Baca: Bolehkah Suami Istri Tinggal Satu Rumah Setelah Cerai?)

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

ومن ذلك إذا تأذت الزوجة وتضررت من أفعال زوجها أو من كثرة صيامه للنوافل، فعليها أن تخبره بذلك، ويستحب للزوج أن يعفّ زوجته عن الحرام، وأن يقضي لها حاجتها متى طلبت، فزَارَ الصحابي سَلْمَانُ الفارسي رضي الله عنه أَبَا الدَّرْدَاءِ رضي الله تعالى عنه، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ مُتَبَذِّلَةً؟ قَالَتْ: إِنَّ أَخَاكَ أَبَا الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ قَرَّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لِيَقُومَ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ لَهُ: نَمْ، فَنَامَ، فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ الصُّبْحِ، قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمِ الآنَ، فَقَامَا فَصَلَّيَا، فَقَالَ: إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَأَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ: صَدَقَ سَلْمَانُ

Termasuk kebolehan istri melarang suami melakukan sunnah adalah jika istri tersakiti dan mengalami bahaya dari perbuatan suami atau dari banyaknya suaminya melakukan puasa sunnah.

Maka wajib bagi istri menyampaikan keberatannya pada suaminya, dan wajib bagi suaminya menjaga istrinya dari perbuatan haram, dan memenuhi kebutuhannya jika kapanpun dia minta. Suatu saat Salman mengunjungi Abu Darda’ dan Salman melihat istri Abu Darda’, yakni Ummu Darda’, dalam kondisi kurang baik.

Salman pun bertanya kepada Ummu Darda’; Kenapa keadaanmu seperti ini? Ia menjawab; Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tidak lagi mempedulikan dunia. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’.

Salman berkata; Makanlah. Abu Darda’ menjawab; Maaf, saya sedang puasa. Salman pun berkata; Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan. Lantas Abu Darda’ memakan makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Melihat itu, Salman mengatakan; Tidurlah. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi; Tidurlah. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata; Mari kita berdua shalat.

Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’; Sesungguhnya kamu memiliki kewajiban kepada Tuhan-mu. Kamu juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan kamu pun punya kewajiban pada keluargamu (melayani istri).

Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional. Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Nabi Saw dan beliau berkata; Salman benar. Demikian penjelasan hukum istri melarang suami puasa sunnah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Suami Sering Makan Enak di Luar Rumah, Istri Makan Seadanya?

Salah satu kebiasaan suami yang harus segera diubah adalah sering makan di luar dengan makanan dan minuman yang enak, sedangkan istri dan anak-anaknya makan di rumah dengan makanan biasa dan seadanya. Misalnya, suami terlalu sering keluar rumah bersama teman-temannya, lalu makan di restoran atau kafe ditambah kopi yang mahal, sedangkan anak istri di rumah makan ala kadarnya. Atau contoh lainnya, suami terlalu sering keluar bersama teman-temannya dalam berbagai acara tanpa mengajak anak istrinya, tentunya dalam berbagai acara itu ada makan-makan enak.

Memang benar, suami tugasnya mencari nafkah di luar rumah. Akan tetapi, hendaknya suami tetap memperhatikan anak dan istri di rumah. Islam memerintahkan agar suami memberikan makan kepada keluarganya apa yang ia makan, sehingga makanannya sama bagusnya dengan apa yang ia makan. Apabila suami makan enak dan bergizi, tentu ia harus memberi makan pada anak-istri dengan makanan yang sama. Apabila makan di luar rumah dengan menu istimewa, bisa dibungkus dan dibawa pulang untuk keluarga di rumah, jika memang memungkinkan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Hendaknya dia memberi  makanan bagi istrinya sebagaimana yang dia makan, memberi pakaian baginya sebagaimana (pakaian) yang dipakai, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya, kecuali di dalam rumah (saja)” [HR. Abu Dawud, sahih].

Imam Malik rahimahullah menjelaskan tentang suami yang buruk, makan enak di luar dan meninggalkan (menelantarkan) keluarganya. Beliau rahimahullah berkata,

قبيحٌ بالرجل أن يذهب يأكل الطيبات، ويترك أهل

“Betapa buruk laki-laki yang pergi makan makanan enak dan menelantarkan keluarganya (di rumah)” [‘Umdatul-Qaariy, 11: 198].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadis tersebut bahwa hendaknya suami jangan makan dengan makanan yang khusus bagi dia (biasanya yang enak-enak saja). Beliau rahimahullah berkata,

“يعني : لا تخص نفسك بالكسوة دونها ، ولا بالطعام دونها ، بل هي شريكة لك ، يجب عليك أن تنفق عليها كما تنفق على نفسك ، حتى إن كثيرا من العلماء يقول : إذا لم ينفق الرجل على زوجته وطالبت بالفسخ عند القاضي ، فللقاضي أن يفسخ النكاح ؛ لأنه قصَّر بحقها الواجب لها” انتهى.

“Janganlah Engkau khususkan pakaian dan makananmu daripada istrimu, bahkan harus sama (kualitasnya). Engkau wajib memberi nafkah sebagaimana Engkau menafkahi dirimu. Sampai-sampai para ulama mengatakan: apabila seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, lalu istrinya meminta cerai kepada qadhi, maka qadhi boleh menceraikan, karena suami telah melalaikan hak istri yang wajib” [Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 131].

Suami wajib memberikan nafkah dengan cara yang baik

Hendaknya suami sadar betul akan tanggung jawab ini, yaitu memberikan nafkah dan memberi makan keluarga dengan cara yang patut dan selayaknya. Artinya, ia berusaha memberi makan dan pakaian sebagaimana yang ia makan dan kenakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“ … Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah: 233].

Seorang suami juga hendaknya sadar bahwa apa yang ia berikan pada anak dan istrinya merupakan infak  yang besar pahalanya, lebih besar pahalanya daripada infak yang hukumnya sunnah secara umum.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبيْلِ اللهِ، وَدِيْناَرٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

“Uang yang Engkau infakkan di jalan Allah, uang yang Engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang Engkau infakkan untuk orang miskin, dan uang yang Engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang Engkau infakkan kepada keluargamu” [HR. Muslim].

Dalam redaksi lainnya, dikhususkan memberi nafkah kepada istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

” … Dan sesungguhnya, tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau diberi pahala dengannya, sampai apa yang Engkau berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran” [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengapa demikian? Karena memberi infak kepada istri hukumnya wajib, sedangkan infak sedekah itu hukumnya sunnah. Amalan wajib lebih Allah Ta’ala cintai dan lebih besar pahalanya daripada amalan sunnah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hamba-Ku yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku WAJIBKAN kepadanya …’” [HR. Bukhari no. 6502].

Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah menjelaskan hadis ini,

فكانت الفرائض أكمل فلهذا كانت أحب إلى الله تعالى وأشد تقريبا

“Amalan-amalan yang wajib itu lebih sempurna. Oleh karena itu, (amalan wajib) lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dan lebih mendekatkan diri (taqarrub)” [Fahtul Baariy, 11: 343].

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/66562-suami-sering-makan-enak-di-luar-rumah-istri-makan-seadanya.html

Wahai Suami, Segeralah Pulang ke Rumah

Apabila seseorang pergi safar ke luar, hendaknya dia segera pulang ke rumah apabila segala urusannya telah selesai. Agar istri dan keluarga di rumah tidak lama menunggu. Istri juga butuh dengan suami dan anak-anak juga butuh dengan bapaknya. Hendaknya hal ini menjadi perhatian para suami dan ayah, karena terkadang ada oknum yang sering safar dan keluar rumah mencari kebahagiaan sendiri tanpa memperhatikan anak dan istrinya.

Terdapat hadits yang menjelaskan hal ini, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أهْلِهِ

“Jika salah seorang dari kalian telah selesai dari tujuan/kebutuhan berpergiannya (safar), maka hendaknya dia kembali kepada keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini bahwa (segera) kembali ke rumah dan keluarganya itu agar dia tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat ketika safar di luar. Beliau rahimahullah berkata,

المقصود فى هذا الحديث استحباب تعجيل الرجوع إلى الأهل بعد قضاء شغله ولا يتأخر بما ليس له بمهم

“Maksud dari hadits ini adalah sunahnya menyegerakan kembali pulang ke keluarganya setelah menunaikan semua tugas (hajat). Hendaknya jangan menunda dengan melakukan hal yang bukan menjadi tugas (tujuan safar)” (Syarh Muslim, 13: 70).

Sebenarnya kebahagiaan sejati itu di rumah bersama keluarga, istri, dan anak-anaknya. Seseorang yang tidak bahagia di rumahnya, maka dia akan sulit bahagia di luar rumah. Sekiranya dia merasa bahagia, itu adalah kebahagiaan semu dan sebentar saja. Seorang muslim harus bahagia di rumahnya. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu hajar Al-Atsqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. Beliau rahimahullah berkata,

قال ابن حجر: وفي الحديث كراهة التغرب عن الأهل لغير حاجة، واستحباب استعجال الرجوع ولا سيما من يُخشى عليهم الضَّيعة بالغيبة، ولما في الإقامة في الأهل من الرَّاحة المعينة على صلاح الدِّين والدنيا

“Hadits ini menjelaskan makruhnya menjauh dari keluarga tanpa hajat. Sunnahnya adalah segera kembali, terlebih jika dikhawatirkan akan menyia-nyiakan keluarga selama dia pergi.  Segera pulang dan tinggal bersama keluarga akan memberikan rasa tenang/lapang yang dapat menjaga kemaslahatan agama dan dunia” (Fathul Bari, 6: 10).

Syaikh Musa Syahin Lasyin menjelaskan juga bahwa dengan segera kembali ke keluarga dan rumah, dia akan terlepas dari kesusahan selama safar. Meskipun di zaman ini safar cukup mudah dengan berbagai kemudahan sarana dan prasarana transportasi. Akan tetapi tetap saja bahwa yang namanya safar itu sulit dan kurang nyaman. Syaikh Musa Syahin Lasyin berkata,

وإذا قضى أحكم حاجته التي سافر من أجلها فليعجل العودة إلى أهله، ليتخلص من عذاب السفر، وليريح أهله

“Apabila salah seorang dari kalian telah menunaikan hajatnya ketika safar, hendaknya segera kembali ke keluarganya agar segera terlepas dari kesusahan safar dan menyenangkan keluarganya” (Fathul Mun’im, 7: 200).

Safar adalah bagian dari azab sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ

Safar itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga secara umum dan menimbang adab dan tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Ketika suami keluar rumah (tidak harus safar), hendaknya segera pulang ke rumah apabila hajatnya telah selesai. Misalnya, apabila sudah selesai pergi kajian dan tidak ada urusan penting, hendaknya segera pulang. Jangan sampai setelah kajian, malah dilanjutkan dengan majelis kopi (ngobrol) bersama teman-temannya, sedangkan istrinya menunggu di rumah. Bagaimanapun juga, istri dan anak kita adalah yang paling berhak mendapatkan kebaikan kita. Sebelum orang lain merasakan manfaat dari kita berupa akhlak dan bantuan, hendaknya kita pastikan bahwa anak dan istri kita adalah orang yang paling pertama merasakan manfaat tersebut. Oleh karena itu, orang yang terbaik adalah orang yang paling baik terhadap istri dan anak-anaknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR At-Tirmidzi. Lihat As-Shahihah no 284).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku” (HR At-Tirmidzi. Lihat As-Shahihah no 285).

Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata menjelaskan hadits tersebut,

في ذلك تنبيه على أعلى الناس رتبة في الخير وأحقهم بالاتصاف به هو من كان خير الناس لأهله، فإن الأهل هم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب النفع ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فهو خير الناس وإن كان على العكس من ذلك فهو في الجانب الآخر من الشر، وكثيرا ما يقع الناس في هذه الورطة، فترى الرجل إذا لقي أهله كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعهم نفسا وأقلهم خيرا، وإذا لقي غير الأهل من الأجانب لانت عريكته وانبسطت أخلاقه وجادت نفسه وكثر خيره، ولا شك أن من كان كذلك فهو محروم التوفيق زائغ عن سواء الطريق، نسأل الله السلامة

“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang paling tinggi kebaikannya dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat, dan penolakan mudharat (bahaya). Jika seorang lelaki bersikap demikian, maka dia adalah orang yang terbaik. Namun jika keadaannya adalah sebaliknya, maka dia telah berada di sisi yang lain, yaitu sisi keburukan.

Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini. Engkau melihat jika seorang pria bertemu dengan istrinya, maka dia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan paling sedikit kebaikannya. Namun jika dia bertemu dengan orang lainmaka dia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang sikap pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang demikian kondisinya, maka dia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah” (Nailul Authar 6: 245-256).

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Istri Pencemburu dan Suka Intip Isi HP Suami

SEORANG ibu rumah tangga bertanya di sebuah pengajian, bagaimana hukumnya seorang istri yang cemburuan, dan karena itu sering mengintip-intip dan membukai ponsel suaminya. Apalagi bila kesenangan mengintip isi ponsel suaminya itu kini telah menjadi semacam hobi.

Sebenarnya, tidak ada salahnya kalau seorang istri berkeinginan untuk mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh suaminya. Tetapi tentu saja harus dilakukan dengan cara yang baik, bijaksana dan syar’i. Tidak dengan cara-cara yang akan berpotensi akan menimbulkan kemunkaran

Cara yang syar’i tersebut ialah dengan cara membangun komunikasi yang baik dengan suami. Dalam arti, apa pun yang akan dilakukan oleh suami dan istri sebaiknya dikomunikasikan dan dimusyawarahkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, kalau seorang istri ingin membaca sms yang ada hp suaminya, semestinya meminta izin dulu kepada suaminya. Bukan dengan jalan mencuri-curi kesempatan saat suami lengah. Wallahu a’lam bishshawaab []

INILAH MOZAIK

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 5)

Jadilah Suami yang Paling Baik Sikapnya pada Istri

Ketika seorang istri diperintahkan untuk taat kepada suaminya, maka sudah selayaknya seorang suami itu bersikap yang lemah lembut dan sayang kepada istrinya. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta (yang tulus) dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raf [7]: 189)

Kedudukan Istri Shalihah di Dunia

Seorang wanita (istri) yang shalihah, dia adalah sebaik-baik harta simpanan yang dimiliki oleh seorang suami. Inilah harta paling berharga yang dia miliki di dunia ini. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia ini adalah perhiasan. Dan perhiasan dunia yang paling baik adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Sehingga sudah selayaknya seorang suami itu bersikap kepada istrinya dengan sikap-sikap yang terbaik. Ketika sang istri sudah berusaha taat dan berusaha melayani kebutuhan-kebutuhan suami, sang istri sudah berusaha menjadi wanita shalihah, maka sang suami juga selayaknya bersikap yang demikian kepada sang istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sedangkan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bersikap baik terhadap istrinya.” (HR. Ahmad 16: 114)

Suami yang Lembut di Luar tapi Keras di dalam Rumah

Seorang laki-laki bisa jadi dia menunjukkan sikap yang baik ketika di kantor, bertemu dengan rekan kerja, dan seterusnya. Karena memang sikap semacam itu bisa jadi adalah tuntutan pekerjaan dan sejenis dengan itu. Karena di kantor, dia berhadapan dengan atasan, pimpinan, dan koleganya. Sehingga mau tidak mau, dia akan berusaha “tampil” sebaik mungkin. 

Akan tetapi ketika di rumah, bisa jadi seorang laki-laki bersikap sebaliknya. Dia berubah menjadi manusia yang bermuka masam, pemarah, tidak mau membantu sama sekali pekerjaan-pekerjaan di rumah, karena dia berhadapan dengan sang istri, yaitu pihak yang dia nilai lemah dan berada di bawah “kekuasaan” suami. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan perempuan (istri) itu sebagai tawanan suami. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

“Sesungguhnya mereka itu (wanita) hanyalah tawanan di sisi kalian (suami).” (HR. Tirmidzi no. 1163, hadits hasan)

Maka bisa jadi, tampaklah wujud asli akhlak dan karakter laki-laki tersebut ketika bersama istrinya di rumah. Jadi tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa laki-laki yang paling baik adalah yang paling baik sikap dan tingkah lakunya di depan istrinya. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Pergaulilah wanita dengan baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok yang terdapat tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya (yaitu, menceraikannya). Namun jika kamu membiarkannya, maka dia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu, pergaulilah wanita dengan penuh kebijakan.” (HR. Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)

Allah Ta’ala memerintahkan suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik dalam sejumlah ayat. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf (baik).” (QS. An-Nisa’ [4]: 19) 

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan ayat di atas,

أَيْ بِالْإِجْمَالِ فِي الْقَوْل وَالنَّفَقَة وَالْمَبِيت

“Yaitu dengan ucapan yang bagus (kepada istri), juga yang berkaitan dengan nafkah dan jatah bermalam (yaitu jika suami melakukan poligami, pent.).”

Allah Ta’ala berfirman,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229) 

Suami, Jangan Dzalimi Istrimu

Jika seorang istri sudah taat kepada suami, maka tidak boleh bagi suami untuk mencari-cari kesalahan istri dan bersikap dzalim kepada istrinya. Allah Ta’ala mengatakan,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kemudian jika mereka (istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)

Dalam ayat di atas, jika seorang istri telah taat kepada suaminya dalam perkara-perkara yang diinginkan suami, maka setelah itu tidak boleh bagi suami untuk mencari-cari jalan dan celah untuk menyusahkan dan mendzalimi sang istri. Dia tidak boleh memukul istrinya, juga tidak boleh mendiamkannya. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menutup dengan menyebutkan dua nama-Nya yang mulia, yaitu “Maha Tinggi” dan “Maha Besar”. Hal ini mengandung faidah adanya ancaman bagi laki-laki yang berbuat dzalim dan melampaui batas kepada istrinya tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syariat. Maka Allah Ta’ala itu Maha Tinggi dan Maha Besar yang akan menghukum siapa saja yang berbuat dzalim kepada istri dan berbuat yang melampaui batas kepada istrinya.

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan,

{إنَّ اللَّه كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا} فَاحْذَرُوهُ أَنْ يُعَاقِبكُمْ إنْ ظَلَمْتُمُوهُنَّ

“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”, (maksudnya adalah) waspadalah bahwa Allah Ta’ala akan menghukum kalian jika kalian berbuat dzalim kepada istri-istri kalian.”

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 9 Rabi’ul awwal 1441/6 November 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52820-pemimpin-rumah-tangga-6.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 4)

Baca Pembahasan sebelumnya Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 3)

Konsekuensi Kepemimpinan Laki-Laki dalam Rumah Tangga

Ketika seorang laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga, tidak lantas dia hanya memikirkan hak-haknya saja sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga. Akan tetapi, dia juga harus memperhatikan tanggung jawab yang harus dia tunaikan.

Mendidik Keluarga dengan Ajaran Islam

Tanggung jawab laki-laki yang terbesar adalah membimbing dan mendidik keluarganya agar terhindar dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)

Berkaitan dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka”, sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

أدبوهم وعلموهم

“Didiklah dan ajarkanlah mereka (perkara agama).”

Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

اعْمَلُوا بطاعة الله واتقوا معاصي الله، وأمروا أهليكم بالذكر ينجكم اللَّهُ مِنَ النَّارِ

“Berbuatlah ketaatan kepada Allah dan takutlah dari bermaksiat kepada Allah. Perintahkanlah keluargamu (anak dan istrimu) untuk berdzikir, semoga Allah menyelamatkan kalian dari neraka.”

Mujahid rahimahullah berkata,

اتَّقُوا اللَّهَ وَأَوْصُوا أَهْلِيكُمْ بتقوى الله

“Bertakwalah kepada Allah dan berwasiatlah kepada keluarga kalian agar mereka bertakwa kepada Allah.”

Demikian pula yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak dan Muqatil,

حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُعَلِّمَ أَهْلَهُ مِنْ قَرَابَتِهِ وَإِمَائِهِ وَعَبِيدِهِ مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَمَا نَهَاهُمُ اللَّهُ عَنْهُ

“Menjadi kewajiban seorang muslim (laki-laki) untuk mengajarkan kewajiban yang Allah tetapkan dan larangan-larangan Allah kepada kerabat, budak perempuan, dan budak laki-lakinya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 188-189)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Perintahkan Anak untuk Mendirikan Shalat

Dan di antara contoh tanggung jawab seorang kepala rumah tangga adalah memerintahkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun. Dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun, maka pukullah apabila dia tidak melaksanakannya.” (HR. Abu Dawud no. 494)

Mendidik Anak Tanggung Jawab Suami dan Istri

Di antara kesalahan suami adalah dia menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada istri. Dia menganggap bahwa urusan dia adalah mencari nafkah (saja). Sedangkan urusan mendidik anak, itu adalah urusan sang istri. Ini adalah sebuah kekeliruan yang besar. Jika ada istilah “istri adalah madrasah pertama bagi anak-anak”, maka ingatlah bahwa madrasah itu memiliki kepala sekolah. Dan siapa lagi kepala sekolah madrasah anak-anaknya selain sang suami (sang bapak) itu sendiri.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52693-pemimpin-rumah-tangga-4.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 1)

Tingginya Kedudukan Suami di Sisi Sang Istri

Kalau kita merenungkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati bagaimanakah tingginya kedudukan suami di sisi sang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Dalam riwayat Al-baihaqi terdapat tambahan,

لِمَا عَظَّمَ اللهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا

“Karena Allah telah mengagungkan hak suami yang wajib ditunaikan istri.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7: 475, dengan sanad yang shahih)

Perlu diketahui, ada dua macam sujud, yaitu (1) sujud ibadah dan (2) sujud tahiyyah (sujud karena penghormatan). Sujud ibadah ini hanya boleh ditujukan untuk Allah Ta’ala, sehingga haram ditujukan kepada selain Allah Ta’ala dalam semua syariat para Nabi dan Rasul. Adapun contoh sujud tahiyyah adalah sujud malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihi salaam, dan juga sujud anak-anak Nabi Ya’qub kepada ayah dan ibunya, sebagaimana yang terdapat di surat Yusuf. Sujud tahiyyah tersebut diperbolehkan di sebagian syariat terdahulu, namun diharamkan di syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa seandainya sujud tahiyyah itu diperbolehkan dalam syariat Muhammad, niscaya dia akan perintahkan istri untuk sujud kepada sang suami.  

Tingginya kedudukan suami, juga digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau meengatakan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى بِابْنَةٍ لَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ ابْنَتِي هَذِهِ أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، قَالَ: فَقَالَ لَهَا: أَطِيعِي أَبَاكِ قَالَ: فَقَالَتْ: لَا، حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَرَدَّدَتْ عَلَيْهِ مَقَالَتَهَا قَالَ: فَقَالَ: حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا، أَوِ ابْتَدَرَ مَنْخِرَاهُ صَدِيدًا أَوْ دَمًا، ثُمَّ لَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ قَالَ: فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا قَالَ: فَقَالَ: لَا تُنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بِإِذْنِهِنَّ

“Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai anak perempuannya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, dia enggan untuk menikah.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada perempuan tersebut, “Patuhilah bapakmu.”

Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak mau menikah sampai Engkau mengabarkan kepadaku apa hak suami yang wajib ditunaikan istri.” Dia terus mengulang-ulang permintaan tersebut.

Rasulullah bersabda, “Hak suami yang wajib ditunaikan istri itu bagaikan jika suami memiliki luka, lalu sang istri menjilati luka tersebut, atau jika dari kedua lubang hidung suami keluar nanah atau darah, kemudian sang istri menjilatinya, belumlah dinilai memenuhi hak suami.” 

Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak akan menikah selamanya.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sang ayah, “Janganlah Engkau menikahkannya, kecuali dengan seijinnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4: 303; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7: 291; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 3: 383)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan tingginya kedudukan suami. Sampai-sampai jika suami terluka dan berdarah, lalu sang istri menjilati darah tersebut, hal itu dinilai belum menunaikan hak suami. Karena itulah, anak perempuan tersebut tidak mau menikah, dan hal ini disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat diambil faidah dari hadits ini bahwa seorang perempuan boleh untuk memilih tidak menikah. Dan juga dalil tidak bolehnya nikah paksa dalam ajaran Islam. 

Kedudukan Mulia Seorang Istri yang Taat Suami

Para istri yang taat kepada suami inilah yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita terbaik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا، وَلَا فِي مَالِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah wanita yang paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Yaitu para wanita yang membuat senang ketika dipandang, taat jika diperintah sang suami, tidak menyelisihi suami dalam perkara-perkara yang dibenci suami, baik berkaitan dengan dirinya (istri) atau hartanya (suami).” (HR. Ahmad 2: 251, dengan sanad yang shahih)

Berkaitan dengan diri istri”, misalnya suami mengatakan, “Aku tidak suka parfummu yang ini, karena aku tidak suka baunya.” Maka istri yang baik, dia akan taat dan tidak memakai parfum yang tidak disukai istri. 

“Berkaitan dengan harta suami”, misalnya suami mengatakan, “Jika Engkau ingin sedekah (dengan harta suami) lebih dari sekian, ngomong dulu sama saya.” Maka istri yang baik, dia akan menaati perintah suaminya.

Seorang istri, bisa jadi sangat ringan untuk shalat, puasa, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya. Akan tetapi, dia sangat berat untuk taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Dan inilah salah satu ujian untuk para istri di kehidupan rumah tangannya bersama sang suami. 

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52561-pemimpin-rumah-tangga-2.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 1)

Peran Suami dalam Rumah Tangga

Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur dan mengelola urusan rumah tangga, demikian juga menjaga dan memperhatikan kondisi anggota keluarga. Pemimpin ini haruslah didengar, dipatuhi, dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Ta’ala. 

Pemimpin dalam rumah tangga ini adalah laki-laki (suami). Dan yang mengangkat laki-laki sebagi pemimpin adalah Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34) 

Mengapa Suami Dijadikan Pemimpin?

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala sebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan Allah Ta’ala sebutkan sebabnya. 

Keutamaan Laki-Laki Lebih dari Wanita

Sebab pertama yang Allah Ta’a sebutkan adalah karena Allah telah memberikan keutamaan pada laki-laki lebih dari wanita. Misalnya, dari sisi penciptaan, laki-laki secara umum memiliki kekuatan fisik melebihi wanita. Laki-laki mampu melakukan berbagai pekerjaan berat yang tidak mampu dikerjakan oleh wanita. 

Laki-laki diberi kelebihan akal oleh Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan “kelebihan dari sisi akal” di sini adalah laki-laki mampu berpikir jernih tentang tindakan yang terbaik, mampu berpikir panjang dan jauh ke depan, sehingga lebih hati-hati dan lebih tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula kesabaran yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. 

Sehingga kenabian itu hanya Allah Ta’ala khususkan bagi kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Dalam masalah kepemimpinan, syariat menetapkan kepemimpinan itu pada laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)

Dalam masalah fiqh persaksian, Allah Ta’ala jadikan persaksian seorang laki-laki setara dengan persaksian dua orang perempuan. Dalam masalah fiqh waris, Allah Ta’ala jadikan bagian untuk wanita itu separuh bagian kaum laki-laki. 

Dalam masalah pernikahan, seorang laki-laki boleh menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Namun, seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami saja di satu waktu, tidak boleh lebih. Dalam masalah perceraian (thalaq), Allah Ta’ala jadikan hak thalaq dan ruju’ itu bagi kaum laki-laki (suami), tidak bagi kaum wanita (istri). Dalam masalah nasab, seorang anak itu dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapaknya, kecuali dalam sedikit kasus saja yang dinasabkan kepada sang ibu. 

Dalam syariat jihad, Allah Ta’ala jadikan kewajiban berjihad itu bagi kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikian pula, mayoritas masalah berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar itu berkaitan dengan laki-laki, dan bukan wanita. Meskipun boleh dalam sebagian kasus, seorang wanita melakukan nahi mungkar selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. 

Maka hal ini menunjukkan bahwa “jenis” laki-laki Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dari jenis wanita. Hal ini sebagaimana dikuatkan pula oleh firman Allah Ta’ala,

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228) 

Penanggung Jawab Nafkah Istri dan Keluarga

Sebab ke dua Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena kaum laki-laki (suami) adalah penanggung jawab terhadap nafkah istri dan keluarga. Sejak akad nikah, suami wajib memberikan nafkah untuk sang istri, di samping mahar yang telah diberikan. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Oleh karena itu, dalam sebagian harta yang dimiliki suami terdapat hak bagi sang istri. Namun tidak sebaliknya, harta istri adalah milik istri, kecuali istri memberikan kerelaan berupa sedekah kepada sang suami.

Karena sebab kepemimpinan laki-laki adalah nafkah kepada sang istri, maka jika suami membebankan nafkah rumah tangga kepada istri, maka kepemimpinannya telah jatuh. Demikian pula, jika istri ikut bertanggung jawab terhadap sebagian nafkah keluarga, maka pada asalnya istri telah mengambil sebagian kepemimpinan laki-laki. 

Oleh karena itu kami nasihatkan, jika suami mengijinkan istri untuk bekerja (sehingga konsekuensinya memiliki penghasilan sendiri), maka jadikanlah penghasilan istri itu untuk dirinya (istri) sendiri. Adapun kebutuhan nafkah untuk keluarga, maka 100% tetap di tangan suami. Hal ini mengingat sebab kepemimpinan laki-laki adalah karena laki-laki yang memegang urusan nafkah kepada istri dan keluarganya. Juga agar laki-laki bisa menegakkan kepalanya di depan sang istri dan tetap menjaga kewibawaannya di hadapan sang istri. Selain itu, jika istri memegang dan bertanggung jawab terhadap sebagian urusan nafkah, hal ini akan menjadi salah satu sebab seorang istri kemudian durhaka kepada suami karena merasa telah banyak berjasa kepada sang suami.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52497-laki-laki-adalah-pemimpin-rumah-tangga-bag-1.html

Kala Istri Kita Takjub dengan Kekayaan Orang Lain

AYAH, coba lihat, rumah Rafi Ahmad besar sekali, kapan ya ayah kita punya rumah seperti itu? Pertanyaan yang mungkin juga pernah sahabatku dapatkan dari istri (atau anggota keluarga lainnya) yang merasa takjub atas sebuah kemegahan yang diperlihatkan di layar kaca. Memang sudah menjadi tabiat dasar manusia yang sangat merindukan kesenangan dan kebahagiaan, di mana kebahagiaan dan kesenangan tersebut senantiasa diindikasikan dengan kepemilikan harta benda yang melimpah ruah.

Ketika kita mengetahui sifat dasar manusia ini, sebaiknya kita dapat mengarahkan kepada jawaban yang lebih bijak lagi bernilai ketuhanan. Jawab saja, “Kita akan memiliki rumah yang jauh lebih megah dari itu, dan kita akan memiliki harta yang jauh lebih banyak dari yang dimiliki oleh siapa pun kelak di SURGA”. Seyogyanya jawaban dilontarkan sebijak mungkin, dengan sebuah jawaban yang bernilai ketuhanan, ketika istri merasa takjub dengan keindahan dan kemegahan dunia. Karena perlu dipahami, Allah Ta’ala pernah mengingatkan kita bahwa bermegah-megahan di dunia telah melalaikan manusia (di dalam QS. At Takatsur).

Oleh karenanya, ketika ia mulai terpukau dengan kemegahan dunia yang melalaikan, ingatkanlah ia dengan kemegahan surga yang abadi lagi penuh kesenangan di dalamnya, melebihi berbagai kesenangan yang ada di dunia. Bacakan kepada istri kita dalil naqli berikut ini:

“Aku telah persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.”Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau mahu, silakan kamu membaca: “Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka. (QS As Sajdah ayat 17)” (HR. Bukhari)

“..Dan bersegeralah kamu kepada keampunan dari tuhanmu dan surga yang luasnya antara langit dan bumi, telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS Ali Imran ayat 133)

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS At-Taubah ayat 72)

Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berfirman Allah Ta’ala: Aku sediakan kepada hamba-hambaku yang saleh; apa yang tidak pernah dilihat oleh mata,tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam fikiran serta hati manusia” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat ayat 31)

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az Zukhruf ayat 71)

Kiranya beberapa dalil naqli di atas akan mampu mengarahkan motivasi keduniaan dengan motivasi ketuhanan, di mana kepada Allah Ta’ala tempat kembali yang baik. Setelah kita membacakan dalil mengenai kenikmatan surga, bacakan pula kepada istri kita mengenai cara menuju surga yang telah Allah Ta’ala sampaikan di dalam Firman Nya (QS. Al Mukminun ayat 1-11) yang berbunyi:

1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman
2. (yaitu) orang yang khusyu’ dalam salatnya,
3. dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
4. dan orang yang menunaikan zakat.
5. dan orang yang memelihara kemaluannya.
6. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak terceIa.
7. Tetapi barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas
8. dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya,
9. serta orang yang memelihara salatnya.
10. Mereka itulah orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya

Wahai sahabat ku yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, jadilah imam yang baik dengan menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka, jadilah imam yang baik yang membawa keluarga menuju surga, jadilah imam yang baik dengan menghiasi diri dan keluarga dengan nilai-nilai ketuhanan, jadilah imam yang baik dengan membawa visi akhirat dalam kehidupan berkeluarga. Semoga kelak kita dipertemukan di surga wahai sahabat ku, tentunya dengan harapan diiringi oleh keluarga kita. Insya Allah.

[Oleh Maulana Ishak, S.Pi alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Management Rumah Zakat, Ex Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]

INILAH MOZAIK

 

Wahai Para Suami, Tundukan Pandanganmu!

SEORANG suami mengadukan apa yang ia rasakan kepada seorang syekh.

Dia berkata: “Ketika aku mengagumi calon istriku seolah-olah dalam pandanganku Allah tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik daripadanya di dunia ini.

“Ketika aku sudah meminangnya, aku melihat banyak perempuan seperti dia. Ketika aku sudah menikahinya, aku lihat banyak perempuan yang jauh lebih cantik daripada dirinya.

“Ketika sudah berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis daripada istriku.”

Syekh berkata: “Apakah kamu mau aku beritahu yang lebih dahsyat daripada itu dan lebih pahit?”

Laki-laki penanya: “Iya, mau.”

Syekh: “Sekalipun kamu menikahi seluruh perempuan yang ada di dunia ini pasti anjing yang berkeliaran di jalanan itu lebih cantik dalam pandanganmu daripada mereka semua.”

Laki-laki penanya itu tersenyum masam, lalu ia berujar: “Kenapa tuan Syekh berkata demikian?”

Syekh: “Karena masalahnya terletak bukan pada istrimu. Tapi masalahnya adalah bila manusia diberi hati yang tamak, pandangan yang menyeleweng, dan kosong dari rasa malu kepada Allah, tidak akan ada yang bisa memenuhi pandangan matanya kecuali tanah kuburan.

Rasulullah bersabda: Andaikan anak Adam itu memiliki lembah penuh berisi emas pasti ia akan menginkan lembah kedua, dan tidak akan ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah. Dan Allah akan menerima tobat siapa yang mau bertobat.

“Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah.

“Sekarang, apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan mengembalikan kecantikan istrimu seperti pertama kali kamu mengenalnya? Ketika ia menjadi wanita tercantik di dunia ini?”

Laki-laki penanya: “Iya, mau sekali.”

Syekh: “Tundukan pandanganmu.” []