99 Catatan Amal Perbuatan dari Allah

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala memilih seseorang dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lantas Allah Subhanahu wa Taala menggelar untuknya sembilan puluh sembilan catatan amal perbuatan.

Setiap catatan sepanjang mata memandang, lantas Allah Subhanahu wa Taala bertanya kepadanya, Apakah ada sebagian di antaranya yang engkau ingkari? Dia menjawab, Tidak ada wahai Rabbku. Allah Subhanahu wa Taala bertanya lagi, Apakah juru penulisku, para malaikat hafizhun berbuat zhalim kepadamu?

Dia menjawab, Tidak ada wahai Rabbku. Allah Subhanahu wa Taala bertanya, Apakah kamu mempunyai alasan atau mempunyai suatu kebaikan? Dia menjawab, Tidak ada wahai Rabbku. Lantas Allah Azz wa Jalla berfirman,

“Benar, sesungguhnya kamu mempunyai kebaikan di sisi-Ku dan sesungguhnya pada hari ini tidak ada kezhaliman atas dirimu, lalu dikeluarkan untuknya sebuah kartu di dalamnya tertulis, Asyhadu an la ilaha illallah wa anna muhammadar rasulullah, kemudian Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Hadirkan timbangan amalmu.

Lalu dia barkata, Wahai Rabbku! Apa artinya kartu ini di samping catatan-catatan amal ini? Lalu Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Sungguh, kamu tidak akan dizhalimi, maka catatan amal akan diletakkan di dalam satu piringan timbangan, sedangkan tiket ini diletakkan di piringan timbangan lainnya. Lantas catatan amal perbuatan menjadi ringan dan tiket menjadi berat. Dan tidak ada sesuatu pun yang lebih berat bersama nama Allah Subhanahu wa Taala.”

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadis ini hasan gharib. Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dan al-Hakim. Dia berkata, “Hadis ini shahih sesuai kriteria Imam Muslim.”

Laki-laki tersebut benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat tulus dari dalam hatinya. Dengan sebab itu Allah maafkan semua dosa-dosanya dan meraih tiket ke surga.

Betapa agungnya kalimat hari ini tidak ada kezhaliman atas dirimu, lalu dikeluarkan untuknya sebuah kartu di dalamnya tertulis, Asyhadu an la ilaha illallah wa anna muhammadar rasulullah.

[Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah/kisahmuslim]

INILAH MOZAIK

Keberkahan untuk Diri Sendiri dan Orang Lain

BERKAH secara bahasa dari kata al-buruk yang artinya menetap. Sumur bahasa arabnya birkah, karena ada air menetap di dalamnya. Kemudian kata ini digunakan untuk menyebut sesuatu yang memiliki banyak kebaikan. Allah menyebut al-Quran sebagai kitab yang diberkahi,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad: 29).

Karena dalam al-Quran menetap banyak kebaikan dari Allah. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, al-Ashfahani, hlm. 44). Menjadi manusia berkah berarti manusia yang memiliki banyak kebaikan. Kebaikan dalam bentuk, banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Dan itulah prestasi manusia yang sejatinya. Menjadi hamba Allah yang banyak memberikan manfaat bagi yang lain.

Dalam al-Quran, Allah menyebut Nabi Isa sebagai manusia yang diberkahi. Allah berfirman menceritakan perkataan Nabi Isa sewaktu masih bayi, “Dan Allah menjadikanku banyak keberkahan di manapun aku berada.” (QS. Maryam: 31).

Beliau disebut orang yang berkah, karena beliau membawa wahyu yang merupakan kebaikan untuk semua hamba. Menjadi manusia berkah juga merupakan cita-cita orang tua kita semua. Hampir setiap bayi yang diaqiqahi, orang tua selalu menggantungkan harapan, “Semoga menjadi anak yang bermanfaat, bagi orang tua, masyarakat, nusa bangsa, dan agama.”

Mereka berharap, agar kita menjadi manusia penebar manfaat. Manfaat tidak hanya untuk orang tua, tapi untuk lingkungannya. Ada seorang penulis yang mendoakan para pembaca karyanya agar menjadi manusia yang berkah di mana-mana. Beliau adalah Syaikh Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi. Dalam kitabnya, qawaidul arba beliau mengatakan,

“Aku memohon kepada Allah yang mulia, Rab pemilik Arsy yang agung, agar Dia membimbing anda di dunia dan akhirat. Dan agar Dia menjadikan anda orang yang penuh berkah dimanapun anda berada.” (al-Qawaid al-Arba).

INILAH MOZAIK

Ilmu itu Didatangi, Bukan Mendatangi

ABU Abdillah Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Ilmu agama adalah bagaikan simpanan harta yang Allah bagikan kepada siapa saja yang Allah cintai. Seandainya ada segolongan manusia yang berhak untuk diistimewakan untuk menjadi ulama tentu keluarga Nabi-lah yang paling berhak mendapatkan pengistimewaan. Atha bin Abi Rabah adalah orang Etiopia. Yazid bin Abu Habib itu orang Nobi yang berkulit hitam. Al Hasan Al Bashri adalah bekas budak milik kalangan Anshar. Sebagaimana Muhammad bin Sirin adalah mantan budak dari kalangan Anshar.” (Shifat Ash Shafwah, jilid 2, hal. 211).

Di antara ulama besar Islam di zaman tabiin yang berdomisili di Mekah adalah Abu Muhammad Atha bin Aslam Abu Rabah yang terkenal dengan sebutan Atha bin Abi Rabah. Di antara bukti ketinggian ilmu Atha adalah pujian Ibnu Umar untuk beliau. Dari Amr bin Said dari ibunya, sang ibu bertutur bahwa ketika Ibnu Umar tiba di Mekah para penduduk Mekah tanya-tanya soal agama kepada beliau. Mendapati fenomena tersebut Ibnu Umar mengatakan, “Wahai penduduk Mekah mengapa kalian berkumpul menanyaiku padahal di tengah-tengah kalian terdapat Atha bin Abi Rabah.” (Shifat ash Shafwah, jilid 2, hal. 211).

Diantara sisi menarik dari hidup beliau adalah kisah berikut ini,

Dari Ibrahim bin Ishaq Al Harbi, beliau bercerita bahwa Atha adalah budak berkulit hitam yang dimiliki oleh seorang perempuan dari penduduk Mekah. Di samping berkulit hitam, Atha adalah seorang yang sangat pesek sehingga digambarkan bahwa hidung Atha itu hanya seakan-akan biji kacang yang ada di wajahnya. Suatu hari Khalifah ketika itu yang bernama Sulaiman bin Abdul Malik datang menemui Atha bersama kedua anaknya. Mereka bertiga duduk di dekat Atha yang saat itu sedang mengerjakan salat sunah di masjid. Setelah beliau menyelesaikan salatnya beliau memalingkan muka dari mereka bertiga. Mereka bertiga tidak henti-henti bertanya tentang berbagai hukum mengenai ibadah haji dan Atha menjawab pertanyaan mereka sambil membelakangi mereka. Setelah selesai bertanya di jalan pulang Khalifah Sulaiman berkata kepada kedua anaknya, “Wahai kedua anakku, janganlah kalian kendor dalam belajar agama karena aku tidak akan melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (Shifat Ash Shafwah, jilid 2, hal. 211).

Ada beberapa petikan pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas:

1). Ilmu itu didatangi bukan mendatangi. Lihatlah bagaimana seorang khalifah mendatangi seorang ulama untuk bertanya tentang masalah agama.

Dari Abul Qasim At Tafakur, aku mendengar Abu Ali al Hasan bin Ali bin Bundar Al Zanjani bercerita bahwa Khalifah Harun Ar Rasyid mengutus seseorang kepada Imam Malik bin Anas agar beliau berkenan datang ke istana supaya dua anak Harun Ar Rasyid yaitu Amin dan Makmun bisa belajar agama langsung kepada Imam Malik. Imam Malik menolak permintaan Khalifah Harun Ar Rasyid dan mengatakan, Ilmu agama itu didatangi bukan mendatangi.

Untuk kedua kalinya Khalifah Harun Ar Rasyid mengutus utusan yang membawa pesan sang khalifah, Kukirimkan kedua anakku agar bisa belajar agama bersama muridmuridmu. Respon balik Imam Malik, Silahkan dengan syarat keduanya tidak boleh melangkahi pundak supaya bisa duduk di depan dan keduanya duduk di mana ada tempat yang longgar saat pengajian. Akhirnya kedua putra khalifah tersebut hadir dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malik. (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, hal. 3769, Syamilah).

2). Seorang yang rendah di mata manusia dapat menjadi mulia karena ilmu. Lihatlah seorang kepala negara dengan kekuasaan nan luas nampak hina di hadapan seorang mantan budak yang berkulit hitam legam. Seorang budak yang tentu tidak punya kelas istimewa di mata manusia dan seorang yang buruk rupa nampak mulia di depan seorang kepala negara. Realita ini adalah di antara bukti benarnya sabda Nabi,

Umar mengatakan “Sesungguhnya Nabi kalian pernah mengatakan, Sesungguhnya Allah itu memuliakan dengan sebab Alquran (baca:ilmu agama) sebagian orang dan menghinakan sebagian orang dengan sebab Alquran (baca: berpaling dari ilmu agama).” (HR. Muslim, no. 1934).

3). Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik adalah seorang penguasa yang memiliki kualitas agama yang cukup baik. Ini dibuktikan dengan tidak canggung untuk bertanya kepada ulama sambil merendah-rendah di hadapan ulama dan kepergian beliau ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. al Munafiqun:10).

Yang dimaksud dengan aku termasuk orang-orang yang saleh’ adalah aku akan berhaji. Ibnu Abbas mengatakan, “Tidaklah ada orang yang berkewajiban untuk membayar zakat dan berhaji namun tidak melakukannya melainkan saat kematian pastilah dia akan memohon kepada Allah agar bisa kembali ke dunia” (Tafsir al Jalalain, hal. 566, terbitan Darus Salam Riyadh cet. kedua 1422 H).

4). Orang yang hendak mempraktikkan perilaku salaf dalam menyikapi orang lain-bukan dalam masalah praktik salaf dalam menjelaskan ibadah mahdhah-hendaknya menimbang perubahan dan perbedaan kondisi masyarakat, mulia dan tidaknya ilmu agama dan ulama ahli sunah di masyarakat saat ini dan baik buruknya dampak perilaku tersebut terhadap citra Islam dan kaum muslimin secara umum dan citra dai, penuntut ilmu, ahli sunah dan orang-orang saleh secara khusus. Kita tentu sepakat bahwa jika perbuatan Atha di atas (menjawab pertanyaan dengan membelakangi penanya) ditiru mentah-mentah oleh seorang ulama atau dai saat ini terhadap para penguasa saat ini, tentu yang terjadi adalah salah faham, buruk sangka dan citra buruk untuk Islam, dakwah Islam, ulama, dai bahkan umumnya kaum muslimin.

Sungguh tidak tepat praktik dakwah sebagian orang yang bersemangat meniru ulama salaf dalam rangka menyikapi orang lain tanpa menimbang adanya berbagai faktor yang melingkupi praktik ulama salaf sehingga praktik mereka di zaman mereka adalah praktik yang tepat, bijak dan tepat sasaran saat itu. [Ustaz Aris Munandar, M.A.]

INILAH MOZAIK

Yuk Doakan Kebaikan untuk Penguasa

DI antara konsekuensi tuntutan baiat, yaitu memberi nasihat kepada penguasa. Dan termasuk bentuk nasihat itu, ialah mendoakan kebaikan untuk penguasa agar diberikan taufik, hidayah dan niat yang baik, amal, dan agar diberikan pembantu-pembantu yang baik. Ini termasuk menjadi sebab seorang penguasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Taala.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah, salah seorang ulama besar dari kalangan tabi’ut tabi’in berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.” Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya karya Abu Nuaim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya At Turots Al Iroqiy)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan, “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)

Dari Auf bin Malik radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan salat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)

Salah satu contoh doa dari Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin pada salah satu khotbah Jumat beliau:

“Ya Allah, berilah kami keamanan di negeri kami, jadikanlah pemimpin kami dan penguasa kami orang yang baik. Jadikanlah loyalitas kami untuk orang yang takut kepada-Mu, bertakwa kepada-Mu, dan mengikuti rida-Mu, yaa Rabbal alamin. Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemimpin kami untuk menempuh jalan petunjuk-Mu, jadikanlah sikap dan perbuatan mereka sesuai rida-Mu, dan berikanlah teman dekat yang baik untuk mereka, yaa Rabbal alamin.” [*]

INILAH MOZAIK

Jangan Kotori Hati dengan Kebencian dan Dendam

DALAM kehidupan ini selalu saja ada jenis manusia yang pekerjaannya menebar fitnah, provokasi dan kebohongan. Biasanya mereka banyak berulah yang kadang menimbulkan masalah terhadap kita disebabkan fitnah dan provokasi yang mereka lancarkan.

Kadang sahabat dan teman kita menjauhi kita dan menjaga jarak dengan kita disebabkan oleh ulah mereka. Perlu Anda ketahui bahwa banyak di antara mereka yang terlibat atau terpengaruh fitnah, provokasi dan kebencian tersebut tidak memahami permasalahan yang sebenarnya.

Apa yang harus kita lakukan jika terjadi hal seperti itu kepada kita?

1. Jangan pernah mundur dan menyerah. Anda harus yakin bahwa semua itu pasti berlalu dan dengan pertolongan Allah Anda mampu menghadapi semua itu. Yakinlah, bahwa “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, demikian firman Allah dalam surat “Alam Nasyrah” ayat 5-6.

2. Tetaplah berbuat kebaikan dan buktikan dengan perbuatan nyata bahwa semua fitnah tersebut adalah palsu sehingga terbongkarlah kebohongan si penebar fitnah tersebut.

3. Jangan mengotori hati Anda dengan kebencian dan dendam kepada mereka karena hal itu tidak berfaedah dan hanya menimbulkan kerugian Anda.

4. Perbanyak istighfar dan bertobat kepada Allah serta mengoreksi diri (muhasabah) atas apa yang kita lakukan selama ini.

5. Jika dada Anda terasa sempit oleh ulah mereka lakukanlah dua hal ini;

a). Bertasbih dengan memuji Allah (memperbanyak berdzikir kepada Allah).

b). Bersujud (salat).

Allah Taala berfirman:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan,

“maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),” [QS 15 Al Hijr, Ayat 97-98]

6. Jika Anda sabar, tegar dan kokoh pasti Allah berikan kemenangan kepada Anda karena kesabaran adalah bala tentara terkuat yang tidak terkalahkan dengan izin Allah.

7. Anda harus menyadari bahwa semua ini adalah ujian yang akan menjadikan Anda semakin mulia dan sukses jika Anda berhasil menghadapinya.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sukses dunia akhirat. [Abdullah Hadrami]

INILAH MOZAIK

Berilmu Tapi Tidak Perhatian Terhadap Amal

Fenomena yang tampak, seringkali ada orang yang rajin menuntut ilmu, tapi enggan untuk mengamalkannya. Sejatinya yang demikian bukanlah dianggap berilmu, karena seharusnya buah akhir dari benarnya ilmu seseorang adalah dengan mengamalkannya. Menuntut ilmu merupakan amalan yang agung dan mulia, karena ilmu merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan agung penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepad Allah semata.

Tujuan Mempelajari Ilmu

Mempelajari ilmu sejatinya bukanlah hanya untuk menguasai ilmu itu sendiri, namun ilmu dipelajari untuk diaplikasikan dalam pengamalan. Seluruh ilmu syar’i yang ada, syariat memerintahkan untuk mempelajarinya sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk tujuan yang lainnya. Hal ini bisa ditunjukkan dari beberapa sisi berikut :

Tujuan Adanya Syariat

Tujuan adanya syariat adalah agar manusia beribadah kepada Allah, dan tidak mungkin seseorang bisa mengamalkan syariat tanpa mengilmuinya. Inilah tujuan pengutusan seluruh para nabi. Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ

“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu. “ (Al Baqarah : 21)

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ اللّهَ إِنَّنِي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ

“ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya. “ (Huud:1-2)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“ Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan yang benar melainkan Aku, maka sembahlah Aku. “ (Al Anbiya’: 25)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“ Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab Al Qur’an dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. .Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. (Az Zumar : 2-3)

Beberapa ayat di atas dan banyak ayat lainnya menunjukkan bahwa maksud dari ilmu adalah agar digunakan untuk beribadah kepada Allah saja dan tidak menyembah selain-Nya serta agar melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya.

Ruh Dari Ilmu Adalah Amal

Adanya banyak dalil yang menunjukkan bahwa ruh dari ilmu adalah amal. Tanpa amal, ilmu tidak akan bermanfaat. Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. “ (Fathir : 28)

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.“ (Az-Zumar :9)

Dalil di atas menunjukkan bahwa ilmu adalah wasilah, bukan merupakan tujuan itu sendiri. Ilmu adalah wasilah untuk beramal. Setiap hal yang menujukkan keutamaan ilmu maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk beramal. Dan sudah dimaklumi, bahwasanya ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah. Oleh karena itu belum akan merasakan keutamaan pemilik ilmu tersebut sampai dia membenarkan konsekuensi dari ilmu tersebut yaitu beriman kepada Allah.

Ancaman Bagi yang Tidak Mengamalkan Ilmu

Terdapat dalil yang menunjukkan ancaman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Orang yang berilmu akan ditanya tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan dari ilmunya tersebut. Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ilmunya sia-sia dan akan menjadi penyesalan baginya. Allah berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“ Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? “ (Al Baqarah : 44)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“ Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (Ash Shaf 2-3)

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“ Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.“ (Huud : 88)

Semoga bermanfaat. Menjadi renungan bersama bagi kita, bahwa tujuan kita mempelajari ilmu tidak lain adalah untuk diamalkan. Kita berharap terhindar dari sifat orang yang berilmu tapi tidak perhatian terhadap amal. Semoga Allah menambah kepada kita ilmu yang bermanfaat dan mengkaruniakan kepada kita istiqomah dalam mengamalkannya.

Sumber bacaan : Asbaabu Ziyaadatil Iimaan wa Nuqshaanihi karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahullah

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51406-berilmu-tapi-tidak-perhatian-terhadap-amal.html

Hukum Jimat dengan menggunakan Al-Qur’an

Jimat adalah kesyirikan, tidak diperbolehkan seorang muslim menggunakannya atau meyakini jimat bisa membawa keberuntungan dan menjauhkan dari bahaya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.’”(HR. Bukhari)

dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.” (HR. Abu Dawud, shahih)

Bagaimana apabila jimatnya menggunakan Al-Qur’an? Ada dua pendapat ulama:

Pertama: membolehkan jimat menggunakan Al-Quran

Kedua: melarang jimat dengan Al-Qur’an dan inilah pendapat yang TERKUAT

Berikut penjelasannya:

1. Pendapat yang membolehkan

Alasan ulama yang membolehkan karena ini dalam rangka tabarruk yang syar’i dengan kalamullah dan asma’ (nama) Allah yang ada di dalamnya.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,

هذا كله في تعليق التمائم وغيرها مما ليس فيه قرآن ونحوه، فأما ما فيه ذكر الله فلا نـهي فيه؛ فإنه إنـما يجعل للتبرك به والتعوذ بأسـمائه وذكره

“Semua (hadist) yang melarang mengenai menggantung jimat yang dan yang lainnya adalah karena tidak ada al-Quran di dalamnya (tidak dikecualikan). Adapun apabila ada ‘penyebutan nama Allah’ maka tidak ada larangannya. Hal tersebut dijadikan sebagai tabarruk dan ta’awwudz dengan nama Allah.” (Fathul Bari 6/142)

Demikian juga Al-Qurthubi menukilkan perkataan imam Malik, beliau berkata:

وقال الإمام مالك: لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك

“Tidak mengapa menggantungkan (sebagai jimat) lembaran yang ada ‘nama Allah’ pada leher orang sakit untuk tabarruk.” (Tafsir Al-Qurthubi 10/319)

2. Melarang jimat dengan Al-Qur’an

Inilah pendapat yang TERKUAT dengan berbagai pertimbangan ulama dan lebih menenangkan hati. Dijelaskan dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah” tentang 3 alasan tidak bolehnya jimat menggunakan Al-Quran:

واحتج هؤلاء لما ذهبوا إليه بما يأتي

 عموم النهي في الأحاديث ولا مخصص للعموم

سد الذريعة، فإنه يفضي إلى تعليق ما اتفق على تحريمه

أنه إذا علق فلا بد أن يمتهنه المعلق بحمله معه في حال قضاء الحاجة

“Para ulama berhujjah atas pendapat mereka dengan alasan sebagai berikut:

1.Keumuman larangan dalam hadits (larangan jimat) dan tidak ada yang mengkhususkan

2.Dalam rangka menutup jalan menuju ke arah kesyirikan karena hal ini bisa mengantarkan kepada apa yang telah disepakati keharamannya

3.Apabila digantungkan/dipakai, pasti yang memakai akan membawanya akan ikut masuk ketika buang hajat (ke kamar mandi tidak boleh membawa AL-Quran dan lafadz nama Allah). (AL-Muasu’ah Al-Kuwaitiyyah 14/31)

Demikian juga syaikh Abdul Aziz Bin Baz menjelaskan bahwa telah ma’ruf bahwa sahabat dan salaf dahulunya tidak membolehkan hal ini. Beliau berkata,

أنها لا تجوز وهذا هو المعروف عن عبدالله بن مسعود وحذيفة رضي الله عنهما وجماعة من السلف والخلف قالوا: لا يجوز تعليقها ولو كانت من القرآن سدًا للذريعة وحسمًا لمادة الشرك

“Tidak boleh (menggunakan jimat dengan Al-Quran) karena telah ma’ruf bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah serta para ulama dahulu dan sekarang mereka mengatakan: ‘Tidak boleh menggantungkan jimat walaupun dari Al-Quran untuk menutup jalan menuju kesyirikan dan untuk memangkas sumber kesyirikan.’” (Majmu’ Fatawa 1/51)

Kesimpulan: tidak boleh mengunakan jimat secara mutlah meskipun dari Al-Quran

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42823-hukum-jimat-dengan-menggunakan-al-quran.html

Tahap-Tahap dalam Mempelajari Ilmu Tauhid (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Tahap-Tahap dalam Mempelajari Ilmu Tauhid (Bag. 1)

Tahap-Tahap dalam Mempelajari Tauhid Uluhiyyah 

Dalam mempelajari tauhid uluhiyyah, maka di antara kitab yang dapat kita pelajari dimulai dari yang paling dasar dan mudah adalah sebagai berikut.

Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala  Kulli Muslim wa Muslimah

Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala  Kulli Muslim wa Muslimah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi. Dengan syarah (penjelasannya) yaitu kitab At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Utsman Al-Qar’awi*. [1]

Kitab ini sangat ringkas, namun kandungannya sangatlah penting. Dalam kitab ini terdapat penjelasan mengenai tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Selain itu, melalui kitab ini kita juga dapat mengetahui tauhid dan macam-macam tauhid, syarat-syarat kalimat tauhid, dan pembatal-pembatal Islam. Terdapat pula perincian singkat tentang kesyirikan, kufur, nifaq, dan sebagainya.

Kitab Al-Qowa’idul Arba

Kitab Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarahnya antara lain Syarh Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan*, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh, dan juga syaikh yang lainnya.

Kitab ini merupakan sebuah kitab ringkas yang berisi tentang penjelasan hakikat kesyirikan yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kitab ini, kita dapat mengenal bagaimana kondisi kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa saja sesembahan mereka, mengapa mereka disebut sebagai orang musyrik, dan mengapa mereka diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kitab Tsalaatsatul Ushuul

Kitab Tsalaatsatul Ushuul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini telah banyak sekali ditulis oleh para ulama. Antara lain Syarh Tsalaatsatul Ushul karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Ada pula kitab Taisiirul Wushuul ila Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul karya Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al-Wathr. Atau kitab Hushuulul Ma’muul karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan*Karena banyaknya syarah yang ada, kita dapat memilih satu sampai dua kitab saja untuk membantu kita mempelajari kitab ini.

Kitab Tsalaatsatul Ushuul merupakan kitab yang ma’ruf  (terkenal) di kalangan penuntut ilmu sebagai kitab dasar dalam memahami Tauhid Uluhiyyah. Di dalamnya terdapat penjelasan tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu mengenal Allah, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga hal inilah yang akan ditanyakan di alam kubur nanti. Di dalam kitab ini juga terdapat penjelasan tentang perincian macam-macam ibadah. Selain itu terdapat juga pembahasan tentang rukun iman dan rukun Islam meskipun secara global. [2]

Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid

Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini juga banyak sekali. Antara lain kitab Fathul Majiid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh*; kitab Taisir Al-‘Aziz Al-Hamiid karya Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alu Syaikh; Al-Qoulus Sadiid karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di; Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*; I’anatul Mustafiid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan; atau At-Tamhiid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh dan masih ada lagi beberapa kitab lainnya. Kita dapat memilih Al-Qoulul Mufiid dan I’anatul Mustafiid karena bahasanya yang mudah dipahami dan pembahasannya yang cukup lengkap. [3]

Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap tentang perincian tauhid dan syirik. Belum ada satu pun kitab yang membahas tauhid dan syirik secara lengkap dan terperinci seperti kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini dengan baik, maka kita akan dengan mudah membedakan tauhid dan syirik semudah kita membedakan antara siang dan malam.

Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat 

Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat  karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah. 

Syarah dari kitab ini antara lain Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Atau kitab At-Taudhihaat Al Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al Hubdaan. Syarah yang dapat kita pilih adalah At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat dan Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh.

Setelah mempelajari perincian tauhid dan syirik pada Kitab Tauhid, pasti kita akan menghadapi berbagai macam syubhat (pemikiran-pemikiran yang menyimpang) dalam rangka membela kesyirikan. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari bagaimana cara menghadapi dan menjawab syubhat-syubhat tersebut, yaitu dengan mempelajari kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini, kita seolah-olah memiliki senjata yang dapat kita gunakan untuk menghadapi para penentang tauhid.

Sebelum mempelajari kitab ini, kita harus memiliki pemahaman yang baik terhadap ketiga kitab sebelumnya (yaitu kitab Qowa’idul Arba’, Tsalatsatul Ushul, dan Kitabut Tauhid). Pemahaman terhadap ketiga kitab di atas akan sangat membantu dalam memahami kitab Kasyfusy Syubuhaat ini. Karena untuk membantah syubhat-syubhat yang ada, sangat diperlukan pemahaman kaidah dasar yang terkandung dalam ketiga kitab tersebut.

Dengan mempelajari kelima kitab ini, sebetulnya kita telah memiliki bekal yang cukup dalam masalah tauhid uluhiyyah. Yang kita perlukan selanjutnya adalah senantiasa mengulang-ulang pelajaran tersebut agar pemahaman kita semakin kokoh. Namun bagi yang masih diberi waktu dan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk terus belajar, dapat melanjutkannya dengan mempelajari kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dengan syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah. 

Nasihat Dalam Belajar Tauhid

Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa belajar ilmu tauhid itu harus senantiasa diulang-ulang, tidak sebagaimana kita belajar ilmu fiqh misalnya. Seseorang mungkin saja bisa mempelajari tata cara shalat, wudhu, atau tayammum dalam sekali atau dua kali belajar, setelah itu dia bisa mengamalkannya sepanjang hidupnya. Akan tetapi, ilmu tauhid tidaklah demikian. Karena ilmu tauhid lebih banyak berkaitan dengan amalan hati. Bisa jadi hari ini kita belajar tauhid, akan tetapi tanpa kita sadari suatu saat hati kita condong dan berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Bisa jadi suatu saat hati kita lebih ber-tawakkal kepada selain Allah atau tidak merasa ridha dengan taqdir yang Allah Ta’ala tetapkan atas kita. Oleh karena itulah, kita perlu mempelajari tauhid berulang-ulang sehingga kita akan selalu siap waspada, kemanakah hati kita ini condong, kepada Allah atau selain Allah? [4]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51254-tahapan-mempelajari-ilmu-tauhid-2.html

Banyak Dosa Masa Lalu: Janganlah Sedih & Terpuruk

COBALAH simak kisah yang sangat luar biasa di bawah ini tentang agungnya ampunan Allah Subhanahu wa Taala,

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menukil sebuah kisah yang menarik untuk kita jadikan renungan; dari imam besar ahlus sunnah dari kalangan Atbaaut taabiiin [Lihat kitab “Jaamiul uluumi wal hikam” (hal. 464) dan “Latha-iful maaarif” (hal. 108)]

Fudhail bin Iyaadh rahimahullah ketika beliau menasihati seseorang lelaki, beliau berkata kepada lelaki itu: “Berapa tahun usiamu (sekarang)?”

Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun

Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”

Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu?Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia) & barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya”

Maka lelaki itu bertanya: “(Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)?”

Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah”

Lelaki itu bertanya lagi: “Apa itu?”

Fudhail berkata: “Engkau berbuat kebaikan (amal saleh) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (dosa-dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (dosa-dosamu) di masa lalu dan (dosa-dosamu) pada sisa umurmu”

Allah Taala juga berfirman, “Sesungguhnya Rabb-mu maha luas pengampunan-Nya” (QS an-Najm: 32).

Subhanallah. Lagi dan lagi Allah Taala telah menunjukkan kepada kita betapa pemurah dan sayang kepada setiap hambanya. Setiap hamba yang ingin menghambakan, memperbaiki diri dan istiqomah di jalan yang telah Allah Taala tunjukkan.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa” (HR.Ibnu Majah no. 4250)

Janganlah bersedih dan terpuruk atas banyaknya dosa-dosa kita di masa lalu, ketika kita tidak bisa mengubah masa lalu yang kelam tapi kita masih bisa untuk mengupayakan dan merubah masa depan menjadi lebih baik dan penuh rahmat.

Wallahu alam. [telegrammutiaraislam]

INILAH MOZAK

Kenalilah Allah di Waktu Senang

BILA hati dan akal tak mampu jadi kendali, bersabarlah dalam meniti jalan kebaikan. Berdoalah kala ditimpa musibah. Berzikirlah meski hidup tak pernah susah.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku mengajarkan kalimat kepadamu. Peliharalah Allah niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Allah kan mengenalmu di waktu kesempitan.”

Hati kita tak mudah terasa sakit lantaran kita masih punya tahmid. Hati kita tak mudah terasa perih lantaran kita masih punya tasbih. Hati kita tak kan merasa terkucil lantaran kita masih punya tahlil. Dan saat hati terasa getir masih ada takbir.

Bila ada basmalah semua masalah akan terasa mudah. Bila ada Al Fatihah mengapa hati harus resah. Dan dengan Alquran adalah jalan keluar semua urusan. Bila hati tak bisa lagi untuk berkaca. Bila akal tak kuasa untuk mencerna. Bila kesadaran tak lagi menjelma. Hilanglah semua kebaikan. Musnahlah segala kebenaran. Suburlah segala kenistaan. Tegaklah semua kebatilan. Menanglah tipu daya setan.

Perlu disadari bahwa tak ada manusia yang sempurna. Manusia tempat salah dan dosa. Sudah sewajarnya jika manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Hanya saja keharusan bagi kita orang-orang yang mengimani Allah mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan koreksi, evaluasi diri tiada henti.

Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Asah kepekaan hati agar mendapat rida Ilahi. Sirami jiwa agar senantiasa terjaga. Jangan biarkan hati ini gersang dan tandus. Bila sudah gersang dan tandus tak kan mungkin bisa menanam kebaikan hingga bersemailah keberkahan.

Bila kita mau sesungguhnya banyak hal yang bisa kita gunakan sebagai gurinda untuk menajamkannya. Berziarahlah ke kubur bila tak ingin hidup kita semakin ngawur. Kunjungilah para ulama yang bertakwa bila tak ingin hidup kita membawa petaka.

Selamilah hidup kaum salaf bila kita tak mau terjebak dalam khilaf. Dan berkumpullah dengan orang-orang yang sabar bila tak mau kesalahan kita semakin mengakar. Bergeraklah menebar kebaikan agar kelak sampai tujuan. Lakukan yang terbaik hanya untuk Allah. Dan akhir segalanya adalah kebersamaan kita dengan Allah Rabb orang-orang beriman.

[Ustazah Rochma Yulika]

INILAH MOZAIK