“Pak, teman-teman pada bertanya dan kecewa. Kok Bapak nampaknya sekarang kurang memperlihatkan toleransi?”.
Itulah penggalan pesan singkat seorang teman, teman yang saya anggap dekat, bahkan selama ini mempromosikan dan bangga dengan kerja-kerja saya dalam membangun hubungan ‘antaragama’. Intinya, beliau dan teman-teman dekatnya, kecewa berat dengan beberapa pernyataan saya, baik di media maupun di tulisan-tulisan yang pernah dimuat oleh media sosial.
Mendengar kekecewaan itu, saya kemudian bertanya pada diri sendiri. Benarkah saya tidak toleran? Benarkah toleran itu artinya sejalan dengan kepentingan orang lain? Benarkah bahwa toleransi itu tidak berhak menyuarakan apa yang dianggap benar jika berseberangan dengan pihak lain?
Saya kemudian teringatkan oleh ayat-ayat Alquran, sejarah perjalanan umat ini, hingga kepada realita abad modern. Sesungguhnya siapa yang paling toleran di antara manusia?
Kekhawatiran saya adalah terjadi dogmatisasi bahwa toleran itu adalah mendukung kepentingan kelompok tertentu. Bukan kelompok yang berseberangan, walau kebenaran berpihak kepada kelompok seberang itu.
Atau dogmatisasi yang seolah mengatakan membela kelompok sendiri, walau benar, adalah bentuk intoleran.
Ayat-ayat toleransi Alquran seolah kembali ditampilkan depan mata saya. Ayat per ayat kembali mengingatkan bahwa bersikap toleran itu bukan sekadar isu sosial, bahkan bukan sekadar isu legal dan moral. Tapi merupakan bagian dari keimanan itu sendiri.
Pertama, kalaupun umat ini diperintah mendakwahkan agama ini, tapi kewajiban itu sebatas pada kewajiban ‘tabligh’ (penyampaian). Ini karena memang hidayah ada sepenuhnya di tangan Allah. “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”.
Kedua, umat ini meyakini bahwa keyakinan itu adalah kata hati yang paling dalam. Oleh karenanya, ‘iman’ harus tumbuh secara alami dalam hati. Pemaksaan itu adalah antitesis dari iman. Maka Alquran menegaskan: “tiada paksaan dalam agama”.
Ketiga, umat ini meyakini bahwa kebebasan itu adalah “Godly guaranteed” (pemberian dan jaminan Tuhan). Oleh karenanya, kebebasan, termasuk kebebasan dalam memilih keyakinan adalah hak dasar. Di sinilah Islam menghormati pilian setiap orang: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Keempat, umat ini meyakini bahwa keragaman itu adalah ‘sunnatullah‘ (hukum Allah) yang baku. Hingga kapan pun keragaman akan selalu ada, dan dalam segala aspeknya, termasuk keyakinan. Oleh karenanya, hadirnya agama lain tidak perlu dilihat sebagai ancaman: “Kalau Allah berkehendak, niscaya Allah menjadikan kamu satu umat (kelompok manusia”.
Praktik Rasul SAW
Segera setelah pindah dan menetap di Madinah, Rasulullah SAW melakukan berbagai kebijakan, baik secara internal (umat) maupun secara umum (penduduk Madinah).
Salah satu di antaranya adalah dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin Madinah (sebagai negara baru) adalah pembentukan konstitusi negara yang dikenal dalam sejarah sebagai ‘Piagam Madinah’. Piagam Madinah sekaligus dikenal dalam sejarah sebagai konstitusi sipil pertama dalam sejarah manusia.
Terlepas dari konten konstitusi itu, barangkali yang paling menarik sekaligus diterima sebagai kenyataan yang membanggakan adalah bahwa proses pembentukannya ternyata bukan ketetapan rasul seorang. Bahkan bukan komunitas Muslim sebagai komunitas mayoritas saat itu. Tapi, melibatkan seluruh komponen masyarakat Madinah sebagai share holders, termasuk Yahudi, Kristen, bahkan Arab musyrik sekalipun.
Sehingga, tidak mengherankan bahwa salah satu pasal terpanjang dalam konstitusi itu adalah jaminan hak-hak minoritas yang tinggal di tengah-tengah mayoritas Muslim.
Sebagai jaminan pribadi sekaligus jaminan iman, Rasulullah SAW kemudian bersabda: “barangsiapa yang menyakiti kelompok non-Muslim minoritas, maka saya akan menjadi musuhnya di hari kiamat”.
Tentu kekaguman kita tidak saja pada proses dan konten dari Piagam Madinah itu. Tapi, juga pada konteks waktu dan tempat di mana Piagam itu dibentuk. Awal abad ketujuh dan padang pasir Arabia. Mungkinkah sebuah konstitusi yang highly civilized dibuat?
Benar kata sebagian ahli tafsir bahwa Muhammad (SAW) membawa pemikiran dan perubahan yang jauh melampaui zamannya. Di mana diakui pula bahwa penerus-penerus beliau memang belum siap untuk meneruskan peradaban itu.
Sejarah umat
Sepeninggal rasul alam semesta, Muhammad SAW, para sahabat lalu thobiin dan penerus mereka mengambil amanah kepemimpinan itu. Toleransi rasul bahkan ketika kembali masuk Makkah dengan kekuatan tentaranya tetap dilanjutkan.
Kita kenal bahwa di saat rasul masuk kembali ke tanah kelahirannya setelah terusir selama kurang dari 13 tahun, Beliau memberikan public amnesty kepada kaum yang pernah mengusirnya. Tidak satu kata pun yang terlontar dari mulut beliau memerintahkan penduduk Makkah untuk menerima Islam sebagai agama mereka.
Dari zaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali (radhiyallahu anhum), bahkan penerus mereka dari kalangan thabi’in dan murid-murid mereka (thabi’i at-thaabi’in), senantiasa menjaga toleransi ini sebagai amanah “iman”.
Dan sejujurnya, inilah pula fakta-fakta besar yang hingga kini masih kita dapatkan di dunia modern. Bandingkan sebagai misal saja, di negara-negara yang dulu dikuasai oleh Kristen, lalu kini dikuasai oleh dunia Islam. Insya Allah karena amanah iman itulah Anda niscaya masih menemukan gereja-gereja yang tetap utuh terjaga. Anda bisa dapati itu misalnya di negara-negar yand saat dikenal dengan nama Syaam (Suriah, Jordan, Palestina dan Lebanon).
Sebaliknya, jika Anda melakukan kunjungan ke negara-negara yang dulu dikuasai oleh Islam, lalu saat ini dikuasai oleh Kristen, masihkah ada masjid-masjid megah yang pernah dibangun di masa keemasan Islam itu? Anda akan temukan kalau tidak dijadikan gereja sudah pasti menjadi museum atau bahkan tempat-tempat kemaksiatan seperti night club.
Intinya adalah bagi saya toleransi itu adalah amanah iman dan sejarah. Oleh karenanya, komitmen saya kepada tolerasi tidak bisa dipertanyakan. Mempertanyakan toleransi saya kepada agama lain sama dengan mempertanyakan iman itu sendiri.
Kejujuran dalam toleransi
Saya kembali berpikir tentang toleransi itu sendiri. Kok rasanya ada yang salah dalam menempatkan toleransi. Atau mungkin ada pemaksaan defenisi tentang toleransi itu sendiri. Atau ada dogmatisasi tentang makna toleransi.
Seolah jika saya membela apa yang saya anggap benar, dan kebetulan kebenaran itu barada di pihak umat Islam, itu bukan toleransi. Tapi intoleransi yang seolah mengoyak hak orang lain.
Saya sangat yakin bahwa semua nilai yang kita bangun dan junjung itu harus terbangun di atas nilai-nilai ‘kebenaran dan keadilan’ (shidqan wa adlan). Toleransi yang dibangun di atas ketidakjujuran, tapi kepalsuan lewat pemaksaan persepsi dengan kekuatan media dan sebagainya, pada akhirnya melahirkan kepura-puraan.
Akibat dari toleransi kepura-puraan ini adalah mudahnya hilang nilai-nilai tolerasi pada sikap manusianya di saat teruji. Pada tingkatan tertentu sebagian masyarakat Amerika saat ini sedang teruji. Bahwa, selama ini, Amerika tidak saja menjamin kebebasan beragama. Tapi juga mempromosikannya ke berbagai penjuru dunia.
Yang parah pula adalah ketika toleransi dipahami secara tidak adil. Toleransi kita hormati di saat berpihak pada kita. Ketika toleransi itu memang harus berpihak kepada orang lain, maka dengan mudah dialihkan menjadi intoteransi. Di sini pun terjadi ‘kemunafikan’ besar dalam toleransi.
Maka toleransi, sebagaimana konsep-konsep lainnya, mutlak bebas batas. Artinya, tidak dimaksudkan hanya untuk sebagian. Tapi untuk keseluruhan.
Ketika orang lain berdemo atas ketidaksetujuan mereka atas sesuatu, itu adalah ekspresi kebebasan dalam ruang lingkup demokrasi. Tapi, di saat umat Islam melakukan demo karena menuntut hak, mereka melakukan intoleransi. Bahkan, dianggap berbahaya dan makar.
Yang lebih runyam, dengan kehebatan propaganda yang didukung oleh media dan corporates, mereka mampu membalik konsep-konsep itu. Toleransi menjadi intoleransi. Dan intoleransi boleh berbalik menjadi “kebebasan ekspresi”.
Itu dunia yang penuh sandiwara dan kemunafikan!
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America
================