MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.
Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.
Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.
Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.
Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.
Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.
Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.
TASAWUF SASTRA FIQIHMOZAIKKamis 18 Juni 2020
Doa dan Tingkatan Iman
KAOleh KH Abdullah GymnastiarKamis 18 Juni 2020
MENURUT Imam al-Ghazali, tingkatan iman itu ada enam. Pertama, keyakinan yang cuma berdasar pada kecenderungan hati. Ibaratnya seseorang yang mendengar sebuah ceramah tentang Allah yang menyukai orang meminta kepada-Nya. Orang itu percaya karena kecenderungan hatinya yang memang sedang menginginkan sesuatu, dan berharap pertolongan.
Iman pada tingkatan ini, dapat terasa dari doa yang ia panjatkan. Yang biasanya cuma meminta duniawi saja. Seperti, “Ya Allah saya ingin motor, yang baru, dan kalau bisa yang 1000 cc.” Dan terkadang cenderung mengatur Allah dalam doanya. Namun tidak masalah, asalkan orang tersebut sadar bahwa semua diinginkan adalah milik Allah. Itu sudah lumayan bagus.
Kedua, iman berdasarkan sebuah dalih yang lemah, tapi bukan dalil. Misalkan orang tadi meminta bukti jika Allah akan mengabulkan doanya, maka ia akan percaya saat ada yang bercerita padanya tentang tukang bubur yang rajin salat, lalu dikabulkan doanya sehingga bisa membeli motor keluaran terbaru dan tercanggih.
Pada tingkat ini, ia biasanya masih memohon yang duniawi, namun sudah mulai tidak mengatur Allah dalam doanya. “Ya Allah, terserah Engkau ingin memberi motor yang mana, saya terima asalkan dapat saya beli dengan uang halal, bisa membuat saya makin dekat kepada-Mu, dan tidak membuat saya sombong.” Ia sudah mulai ingin diatur Allah.
Ketiga, iman yang berdasar pada prasangka baik dan kepercayaan terhadap sang pembawa kabar. Misalkan orang tadi mendengar langsung dari sesosok ulama yang menyampaikan tentang kehidupan dunia. Keyakinannya atas apa yang disampaikan berdasar pada sosok yang menurutnya bukanlah seorang pembohong, sombong maupun pendengki.
Pada tingkat ini, doanya sudah berbeda. “Ya Allah, saya serahkan sepenuhnya kepada-Mu, Engkau ingin memberi saya motor atau tidak, yang saya mohonkan adalah agar ketika saya hendak bepergian, saya selamat sampai di tujuan.” Sudah tidak mengatur Allah sesuai keinginan, pakai motor sendiri misalnya. Tetapi terpenting adalah yang menyelamatkan dan terbaik menurut-Nya.
Keempat, iman berdasar dalil yang dipakai orang banyak, meski dalil tersebut masih bisa menimbulkan keraguan. Misal, kalau Allah SWT menciptakan manusia satu macam saja, yang sama-sama punya motor dan semua motornya mirip, maka hidup ini pasti membosankan, tak bisa saling mengenal. Namun dengan dalil itu masih bisa membuatnya agak diragukan dengan pernyataan, misalnya, “Harusnya Allah memberi sama agar tidak ada pencuri motor.” Pada tingkat ini, pikiran, amal dan doa yang dipanjatkan sudah berfokus pada pahala semata. Ketika misalnya, ia bisa menabung, maka tujuan menabungnya sudah bukan untuk membeli motor baru, tapi untuk berangkat ke Mekah. Karena salat di sana pahalanya sangat dahsyat.Baca jugaAntara Doa dan Pemberian Allah
Menyehatkan Kembali Pola Hidup yang Lama Sakit
Antara Doa dan Pemberian Allah
Kelima, iman dengan dalil-dalil yang kuat dan sudah terbukti secara ilmiah. Ia akan merasa aneh jika masih terselip ragu, karena banyak dalil-dalil kuat yang sudah diakui. Nah, pada tingkatan ini, amal, doa dan dalam hati seseorang sudah tidak menghitung-hitung pahala, melainkan hanya surga semata. Dan tingkatan ini termasuk yang tertinggi.
Ketika kehilangan kesempatan bersedekah untuk pembangunan masjid, ia akan sangat sedih. Kesedihannya bukan karena kehilangan kesempatan memperoleh pahala. Namun kesedihan akibat kehilangan sepotong langkah menuju surga. Ia berdoa untuk kebahagiaan, dan kebahagiaan baginya adalah surga.
Keenam, iman sepenuh hati berdasar seluruh dalil yang teruji, baik kata demi katanya maupun kalimat demi kalimatnya, dan sudah tidak mungkin lagi digoyahkan oleh apapun. Tingkatan ini adalah puncaknya.
Sepenuh hati, segenap amal perbuatan, dan sedalam kemampuannya berdoa, maka permintaan dan upaya yang ditujunya sudah melampaui surga. Yang diinginkannya adalah dicintai dan diridhai Allah, dan bisa bertemu dengan-Nya. Harap, takut, sabar, syukur, ikhlas, dan seluruhnya hanyalah supaya bisa berjumpa dengan Allah. Di sinilah puncak kebahagiaan yang sesungguhnya.
Memang menurut Imam al-Ghazali, dalam suatu zaman, amat jarang orang yang sanggup mencapai tingkatan keenam yang puncak itu. Tetapi, pastinya yang paling baik bagi kita adalah terus-menerus meningkatkan keimanan kita.
Nah, saudaraku, dari enam tingkatan tersebut, masing-masing kita dapat mengevaluasi sudah sampai tingkatan manakah iman kita. Bertanya pada diri sendiri, dan bukan menilai orang lain. Dan dari sini, kita mulai melatih diri sendiri, terus dan tanpa putus supaya naik tingkat. Karena tidak mungkin, misalnya, cuma dengan sekali membaca tulisan ini, iman saudara langsung naik ke tingkatan tertinggi. [*]