Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (3)

Bila Kegoncangan Menghadang

BIASANYA diakibatkan oleh pelbagai macam ujian dan cobaan yang datang melanda bertubi-tubi, ditambah beban yang terus meningkat, padahal terasa kemampuan tidak mendukung wajar saja kalau kegoncangan itu terjadi.

Persoalan yang dihadapi para pejuang kebenaran sangat kompleks. Seringkali mereka dihadapkan situasi yang serba dilematis, paradoxal antagonistis. Ibarat telor di ujung tanduk. Mundur dari arena perjuangan tidak mungkin, sementara maju terus kemampuan sangat tidak mendukung. Segalanya sudah sangat mendesak, tidak ada yang bisa ditunda. Kiri kanan tidak ada yang bisa menolong, malahan semua menunggu kejatuhannya karena cemburu, iri dan dengki.

Dalam kondisi seperti itu bencanapun datang, ancaman kebencian terus membayang, kekhawatiran kelanjutan misi selalu menggoda, mencemaskan kalau-kalau yang tidak diinginkan itu terjadi. Peningkatan potensi terasa begitu lambat, berlawanan dengan beban yang terus membanjir. Selain itu umur juga mengejar, padahal pekerjaan banyak yang masih terbengkalai. Sungguh sangat suram, terkadang terasa dunia begitu sempit.

Kekhawatiran di sini bukan kekhawatiran karena kekerdilan jiwa, akan tetapi justru karena besarnya tanggung jawab. Keinginan yang keras untuk dapat merampungkan semua kerja, supaya dapat memenuhi panggilan Allah dengan perasaa lega, tidak meninggalkan kebengkalaian. Khawatir tidak ada yang selesai dengan baik.

Kalau sudah begini tidak ada lagi alternatif lain, dan tidak ada daya sama sekali, selain lari segera kepada Allah menyerahkan diri dengan pasrah. Memohon sangat ampunan-Nya, mengharapkan tetesan ma’unah-Nya, supaya terhindar dari amarah Allah SWT. Itulah pelarian terakhir, mau ke mana lagi, tinggal terserah kepada Tuhan saja, bagaimana kebijaksanaan-Nya.

Kondisi mental seperti ini akan dialami oleh siapapun yang berusaha menjaga mutu kualitas syahadatnya. Di kala perang Badar sedang berkecamuk, Rasulullah nyaris keseleo ngomong, mengkhawatirkan kalau pasukannya yang begitu sedikit kalah perang dan mati syahid.

Beliau bermunajat kepada Tuhan: “Lalu siapa lagi yang menyembah-Mu Ya Allah”. Lambang harapan yang sudah sangat luar biasa. Ratapan ini kalau difikir ulang tidak beralasan, namun itulah yang terjadi sebagai wujud ketidakmampuan fikiran membahasakan perasaan. Tergambar bayangan perasaan yang melahirkan ratapan tersebut, betapa nian keadaannya.

Peristiwa yang sama juga terjadi di saat perjanjian Hudaibiyah. Reaksi para sahabat mogok melaksanakan perintah gunting rambut, karena Nabi mengalah pada sisi perjanjian dengan orang kafir, menyebabkan Nabi mengeluhkan nasib kehancuran ummatnya yang mulai tidak taat. Untung isterinya menjamin kalau ummatnya tidak sejelek itu. Isterinya menasihati agar Nabi keluar rumah memberi contoh dulu dengan memotong rambutnya. Dengan contoh itu mereka menirunya.

Kejadian seperti itu tidak sekali dua kali dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya di Makkah, ketika awal-awal langkah perjuangannya, tapi juga di Madinah, di saat penyusunan barisan, kristalisasi kekuatan, konsolidasi dan internalisasi sudah jalan.

Itulah liku-liku perjalanan Syahadat dalam menemukan jati dirinya. Mutu kualitas dasar syahadat baru bisa dijamin sesudah dibanting-banting dengan berbagai ujian dan cobaan. Mulai dari hidup sengsara dalam jangka waktu yang tidak singkat sampai ke tingkat ujian yang sangat menggoncangkan.

Hal itu terjadi karena ada kegiatan, ada aksi dan reaksi, ada terobosan-terobosan. Manakala kita tampil memikul tanggung jawab yang besar, maju mengujicoba kemampuan potensi syahadat yang kita miliki, mengangkat kerja yang orang lain anggap berat dan sulit, mencoba melayani setiap tantangan yang mencemaskan, maka di sanalah akan kita temukan reaksi yang keras dan benturan yang dahsyat. Bisa jadi berupa malapetaka, bisa berbentuk hidup sengsara, atau goncangan yang luar biasa.

Hanya dengan demikian baru dimungkinkan pertumbuhan dan pematangan mutu kualitas syahadat. Syahadat dapat tumbuh berkualitas manakala sudah kita lalui proses yang sangat menegangkan itu. Inilah yang Allah lukiskan sebagai puncak kegoncangan yang luar biasa, dengan firman-Nya :

إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيداً

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu, dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka kepada Allah dengan bermacam-macam purba sangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan diguncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat (diguncangkan dengan seguncang-guncangnya).” (Q.S. Al-Ahzab : 10-11).

Proses seperti itu dimaksudkan untuk dapat lebih merasakan betapa arti dan nilai serta nikmatnya bantuan Allah SWT pada saat tidak bisa lagi berbuat apa-apa, di kala sudah kehilangan akal, di kala semua cara sudah ditempuh, di kala tidak tahu lagi mau berbuat apa. Alangkah nikmatnya kalau pada saat seperti itu tiba-tiba bantuan Allah datang menjungkirbalikkan keadaan.

Semua berubah secara drastis dan dramatis. Asalnya terhina berganti menjadi terhormat, mulanya melarat berubah menjadi konglomerat, dulunya dilecehkan kemudian diperhitungkan, dari bawah tapi berproses ke atas.

Hari itulah yang oleh Allah disebut sebagai hari pergiliran, regenerasi atau reformasi, restrukturisasi atau rekonstruksi.

“Dan masa itu Kami pergilirkan di antara manusia. Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’.” (Q.S. Ali ‘Imran : 140).

Luar biasa terasanya goresan dan sentuhan kasih sayang itu, begitu terkesan sehingga dipastikan langsung menambah mutu syahadat. Betapa sungguh Maha Kuasa dan Maha Pemurah Allah SWT kepada kita khususnya.

Akan tetapi selama yang kita kerjakan itu adalah hal-hal yang biasa-biasa saja, mana mungkin akan dapat dirasakan bantuan Allah tersebut. Bukan berarti kemudian kita terlalu idealis tanpa perhitungan data dan fakta.

Bukan berarti kita harus membuat program-program yang khayalis tanpa dukungan kenyataan yang menunjukkan kewarasan dan kewajaran. Kaki kita tetap membumi tapi keinginan kita terus melangit. Bukan mengawang, tapi ada tempat berpijak agar dapat melompat setinggi mungkin.

Karena sudah terjebak oleh kesyikan kerja rutin, sudah puas dengan hasil yang begini-begini saja, sudah bangga kalau bisa membangun gedung sekolah bertingkat lima, puas bila sudah mampu dua tahun sekali mengadakan konggres dan muktamar, maka tak akan tumbuh lagi kualitas syahadat. Kepuasan dan kebanggaan akan mengebiri instrumen kekhalifahan yang sangat potensial.

Nampaknya inilah penyakit ummat yang paling parah saat ini, membiarkan syahadatnya mandeg, tidak berproses, menelantarkan syahadatnya dalam kadar kualitas yang sangat rendah. Sementara belum ada yang mencoba menyodorkan metode pembinaan untuk terwujudnya syahadat yang berkualitas menurut tuntutan yang ideal.

Membina Ummat Tahan Banting

Pola pembinaan ummat yang selama ini kita terapkan sudah saatnya mengalami beberapa koreksi. Ada baiknya manakala kita beranikan diri untuk mengubahnya, agar kita dapat memetik buah nyatanya.

Dalam melakukan pembinaan, selama ini kita kurang berani melibatkan ummat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang merupakan tindak lanjut eksisnya syahadat. Kita enggan mengajak mereka berperan aktif dalam mempertahankan dan mengembangkan syahadat. Akibatnya mereka kekurangan pengalaman, kekurangan data yang dapat menunjang upaya pencapaian kualitas standar syahadat.

Mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri khalawatul-iman, kenikmatan beriman. Bagaimana mungkin ummat bisa menikmati kalau belum pernah mengalami. Akan sangat berbeda bobot keyakinan yang diperoleh lewat berita dibandingkan dengan yang dirasakan secara langsung.

Selama hal tersebut hanya berupa teori yang tak beda dengan berita, selama bentuknya hanya sekedar informasi dan indoktrinasi semata, tidak dengan menerjunkan langsung di lapangan agar mereka dapat mengalami sendiri pahit getirnya mempertahankan syahadat, suka dukanya mengembangkan syahadat sampai kepada titik klimaksnya sebagai fase-fase penentu ujicobanya, terlalu sulit kita harapkan kualitas yang baik itu.

Sebab bagaimanapun juga kata putus penilaian adalah di tangan Allah SWT, sehingga tidak mungkin dapat dimanipulasi. Harus dibuktikan bagaimana persisinya mewujudkan dan menyatakan kebenaran pernyataan syahadatnya. Bentuk konkrit eksisnya syahadat adalah kerja nyata, berjuang dan berkorban. Mereka selalu aktif di lapangan, di front dan diproyek.

Oleh karena pencapaian dan peningkatan kadar kualitas syahadat tidak mengenal titik akhir, maka tiada hari tanpa karya, tiada waktu tanpa perjuangan, tiada detik tanpa pengorbanan. Keberadaan syahadat pada hakikatnya adalah potensi yang bergerak terus. Tidak mungkin diam pasif dan beku.

Dia merupakan perlatan yang semakin banyak digunakan justru makin meningkat potensinya, sekaligus mendatangkan hasil dan produksi strategis yang terus menanjak jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin ia mau berdian diri tanpa gerak dan karya, apalagi sampai menyerah tunduk kepada keadaan. Sebab struktur keberadaannya memang sudah didesain sedemikian rupa untuk terus bergerak maju jauh ke depan.

Dengan pengalaman tersebut, lewat perjalanan panjang yang sangat bervariasi makin hari semakin ketemu jati diriya. Semakin yakin kalau bayangan sebagai pancingan motivasi selama ini, ternyata memang bisa terwujud menjadi kenyataan. Sampai-sampai ramalan yang tadinya paling mustahil sekalipun bisa disaksikan menjadi kenyataan di lapangan. Hal inilah yang dapat menciptakan voltase dan dinamika serta badai semangat kerja semakin membara dan terus bertambah.

Peningkatan potensialitas dan kualitas syahadat bukan untuk kemudian tinggal dinikmati, akan tetapi justru untuk siap menghadapi kerja dan tantangan yang lebih berat. Bila sudah demikian berarti sudah ketemu jati diri syahadat. Sudah mencapai standar kualitas dasar syahadatnya yang sedang menuju ke tingkatan berikutnya guna mengangkat proyek baru yang lebih menantang, lebih berat dan lebih besar lagi.

Di sinilah letak nikmat asyiknya syahadat. Ibarat kendaraan, setiap ban berputar ke depan, berarti terhasilkan langkah maju menuju tempat tujuan. Semakin banyak putaran bannya, semakin dekat sasarannya. Lelah dan capek nyaris tidak begitu terasa lagi, akibat hasil yang diperoleh menjadi begitu mengasyikkan, kerja keras dan tantangan justru mengasyikkan. Karenanya, kerja keras dan tantangan justru jadi hiburan.

Kenyataan yang paling mendukung sebagai rahasia dari mekanisme yang seperti ini, ialah ter-afdruk-nya bantuan Allah menjadi begitu jelas. Kalau selama ini hanya menjadi bahan ceramah, atau kita temukan dalam kisah-kisah para Rasul dan sahabatnya, maka sekarang juga sudah dapat kita rasakan.

Dengan keterlibatan langsung menerjemahkan syahadat ini di lapangan, bantuan Allah yang tadinya seperti klise saja menjadi begitu nyata dan terang benderang. Sehingga bukan lagi berita akan tetapi menjadi pengalaman sendiri yang dapat dirasakan secara langsung.

Kisah-kisah dalam sejarah yang mengundang kekaguman karena rasa-rasanya berbau hal-hal yang sulit dipercaya -terkesan terlalu dibikin-bikin- ternyata setelah terlibat langsung, kekaguman itu menurun. Dapat dikatakan, yang lebih serem lagi dari itu semua bisa dirasakan dan disaksikan sendiri langsung di sekitarnya, bahkan mungkin pada dirinya.

Akhirnya bukan lagi bertambah kagum jadinya, cuma tambah yakin dan percaya kalau itu semua memang terjadi, dan bisa terjadi lagi sekarang dan yang akan datang. Tinggal terserah siapa yang mau mengulangnya. Kesempatan dan peluang selalu terbuka selebar-lebarnya.

Masalahnya Allah tetap kuasa sebagaimana dulu, dan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk untuk itu masih utuh, belum dan tidak akan berubah. Itu kuncinya. Itu rahasianya. Tinggal terserah kepada kita. Yang jelas dengan syahadat yang betul-betul eksis semua pengalaman para sahabat Nabi terlalu mungkin dapat dinikmati bahkan bisa saja melebihi.

Bila modal kualitas dasar syahadat itu digunakan dan digerakkan sebagaimana mestinya, pasti akan mendapatkan hasilnya secara langsung, asalkan syahadatnya tidak dikebiri. Yang perlu, terus bergerak mengangkat kerja dan tantangan baru, pasti akan segera dapat dilihat dan dirasakan sendiri sebagai bukti bahwa janji Allah bukan basa-basi.

Akan tetapi manakala yang dikerjakan adalah kerja rutin yang nyaris tidak mempunyai tantangan, tentu saja sulit untuk bisa menyaksikan sendiri apa dan bagaimana serta seperti apa bantuan Allah SWT itu.

Bagi yang mau merasakan arti dan gunanya syahadat tidak ada alternatif lain, kecuali terjun langsung dalam dan tampil memikul tanggung jawab sebayak mungkin. Hanya dengan cara itu ada kemungkinan bisa memahami nilai persisi syahadat yang dimilikinya serta bantuan Allah yang dirindukannya.

Kalau dalam al-Qur’an Allah sering menginformasikan kepada kita tentang apa dan bagaimana Dia mengantar Rasulullah merasakan langsung bantuan tersebut, maka itu adalah contoh-contoh kasus. Contoh-contoh itu diharapkan dapat menjadikan kita lebih yakin, agar supaya segera mencobanya di lapangan sebagai uji kualitas syahadat kita masing-masing.

Satu lagi yang perlu kita ingat, firman Allah : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad diantara kamu.” (Q.S. At-Taubah : 16)

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّهُ الَّذِينَ جَاهَدُواْ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (Q.S. Ali ‘Imran : 142). Wallahu a’lamu bishshawab.* (habis)

(alm) KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah

HIDAYATULLAH