IMAN dan takwa adalah hal pokok dalam kehidupan seorang Muslim. Segala perbuatan bisa terhitung baik jika mengalir dari telaga iman tersebut. Sedang takwa biasanya berfungsi mengawal hal itu menjadi kebaikan yang sempurna.
Tak heran, dalam setiap nasihat khutbah, juru khatib selalu berpesan untuk merawat serta meninggikan kadar iman dan takwa dalam diri setiap orang beriman.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS: Ali Imran [3] : 102)
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu (Ra) berkata, jika kalian mendapati ayat yang dimulai dengan kalimat “Ya ayyuha al-ladzina amanu” hendaklah kalian sungguh-sungguh memperhatikan ayat tersebut. Sebab sesudah (lafazh) itu, datang perintah yang wajib dikerjakan atau larangan yang mesti dijauhi.
Membersihkan Hati dengan Terus Memperbarui Iman
Ibnu Mas’ud menambahkan, maksud sebenar-benar takwa di adalah menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufr) di dalamnya (Tafsir Ibnu Katsir: Dar at-Thayyibah, 1999).
Senada, Imam az-Zuhri Rahimahullahu menegaskan, jika kalian mendapati firman Allah “Ya ayyuha al-ladzina amanu” maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) sebagai teladan umat Islam juga telah mengerjakan hal tersebut.
Ayat di atas menggunakan maf’ul muthlaq (penyebutan obyek yang berasal dari kata kerja), yaitu “ittaqullaha haqqa tuqatihi”.
Disebutkan, semacam itu mengandung penegasan sebuah makna. Allah menyuruh bertakwa dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, bukan setengah atau separuh, apalagi jika agama ini dijadikan permainan.
Selain itu terdapat nafyu (penegasian) dan itsbat (penetapan) dalam lafazh “wa la tamutunna illa wa antum muslimuna“.
Sebuah gaya bahasa penegasan dari Allah tentang larangan mati selain di atas agama Islam. Bahwa hendaknya seorang Muslim tak henti berproses menjaga iman dan takwanya hingga akhir hayat nanti
Takwa Menurut Ulama
Pengarang kitab Jami al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab menyebutkan, takwa adalah perilaku seorang hamba yang menjadikan sesuatu yang menghalanginya dari apa yang ia takutkan dan terjadi padanya.
Ketika hamba itu bertakwa kepada Allah berarti ia melakukan segala upaya yang menghindarkan dirinya dari ancaman dan murka Allah Ta’ala. Yaitu memenuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Al-Qusyairi berpendapat, takwa adalah kumpulan segala kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Bermula dari menjauhi perbuatan syirik lalu meninggalkan maksiat dan keburukan. Setelah itu berusaha menjauhi perkara syubhat hingga akhirnya tak berlebihan dalam hal-hal yang mubah.
Jelasnya, takwa ialah manifestasi dari rangkaian amalan kebaikan yang berpangkal dari kokohnya iman yang menancap pada diri seorang beriman.
dua sisi mata uang, iman dan takwa adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Keduanya saling menguatkan. Iman bisa bertambah seiring nilai ketakwaan yang meningkat. Sedang takwa itu lahir dari adanya iman pada diri orang tersebut.
Sebagai modal utama dalam mengarungi kehidupan, persediaan bekal iman dan takwa sedikitpun tak boleh menipis apalagi habis. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seorang musafir yang kehabisan bekal di tengah bentangan padang pasir misalnya.
Seperti itulah harga ketakwaan bagi orang beriman. Takwa menjadi harga mati dalam kamus orang beriman. Olehnya Allah senantiasa mengulang-ulang pesan takwa tersebut.
Syarat Utama Takwa
Meski menjadi bekal utama, ternyata takwa tak semudah membalik tangan. Takwa tersebut hanya bisa diraih melalui mujahadah (upaya sungguh-sungguh) dalam beribadah mendekat kepada Allah.
Disebutkan, selain iman maka perkara ilmu menjadi syarat utama meraih takwa. Sebab orang yang buta ilmu agama tak mungkin menjadi pribadi yang bertakwa. Sebaliknya sosok orang bertakwa niscaya punya ilmu tentang agamanya.
Imam Ibnu Rajab menjelaskan, prinsip dasar takwa adalah mengetahui urusan ketakwaan tersebut lalu ia bertakwa di dalamnya.
Seorang alim Bakr bin Khunais juga berkata, bagaimana mungkin seseorang bisa bertakwa sedang ia tak mengetahui mana (perintah) yang ia harus kerjakan dan mana (larangan) yang ia harus tinggalkan.
Penutup
Dengan segala dinamika persoalan yang dihadapi sekarang ini, ada baiknya para pemimpin bangsa dan seluruh elemen masyarakat mentadabburi ayat berikut ini. Allah berfirman:
(وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“… Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah jadikan baginya jalan keluar (atas segala permasalahan.” (QS: At-Talaq [65]: 2).*/Masykur Abu Jaulah