Hijrah Belum Tuntas

Bagaimana hijrah yang belum tuntas?

Yaitu ketika hijrahnya masih separuh-separuh, lalu belum ada panduan, sehingga ilmu yang didapatkan saat berhijrah belum utuh.

 

Mari pelajari sebab-sebab hijrah belum tuntas sehingga bisa kita hindari.

 

Pertama: Niat Belajar Agama Belum Ikhlas

 

Dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Ibnul ‘Aththor rahimahullah dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah menjelaskan maksud penyebutan wanita tersebut setelah kalimat hijrah karena dunia ada dua makna:

  1. Dilihat dari sebab disebutkannya hadits ini, yaitu ada seseorang yang berhijrah karena seorang wanita yang ingin dia nikahi. Wanita tersebut bernama Ummu Qois. Maka laki-laki yang berhijrah di sini disebut Muhajir Ummu Qois, yaitu orang yang berhijrah karena Ummu Qois.
  2. Penyebutan wanita adalah sesuatu yang khusus dari dunia yang umum yang disebut lebih dulu. Ini menunjukkan peringatan keras bagi yang niatannya keliru hanya untuk kejar wanita saat berhijrah.

 

Apa manfaat jika kita belajar agama ikhlas karena Allah?

Para ulama menyebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Dzi’bi yang semasa dan senegeri dengan Imam Malik pernah menulis kitab yang lebih besar dari Muwatho’. Karena demikian, Imam Malik pernah ditanya,  “Apa faedahnya engkau menulis kitab yang sama seperti itu?” Jawaban beliau,

مَا كَانَ للهِ بَقِيَ

Sesuatu yang ikhlas karena Allah, pasti akan lebih langgeng.” (Ar-Risalah Al-Mustathrofah, hlm. 9. Dinukil dari Muwatho’ Imam Malik, 3:521).

 

Kedua: Belajar Agama Tidak dengan Guru

 

Ada faedah belajar dari guru secara langsung:

  1. Lebih ringkas dalam meraih ilmu. Beda halnya jika ilmu diperoleh dari buku, yang butuh penelaan yang lama. Seorang guru bisa meringkas perselisihan ulama yang ada dan bisa mengambil pendapat yang lebih kuat.
  2. Lebih cepat memahami ilmu. Memang nyata, belajar dari guru lebih cepat memahami dibanding dengan otodidak. Karena dalam membaca bisa jadi ada hal-hal atau istilah yang sulit dipahami. Namun akan sangat terbantu ketika belajar kepada seorang guru.
  3. Ada hubungan antara murid dan guru, yaitu antara yang junior dalam mencari ilmu dan yang telah banyak makan garam (alias: berpengalaman).

 

Ketiga: Tidak Mengambil Ilmu Agama dari Guru yang Benar

 

Coba perhatikan bagaimanakah pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ’Umar radliyallahu ’anhuma,

يَا بْنَ عُمَرَ دِيْنُكَ دِيْنُكَ اِنَّمَا هُوَ لَحْمُكَ وَدَمُّكَ فَانْظُرْ عَمَّنْ تَأْخُذُ خُذْ عَنِ الَّذِيْنَ اسْتَقَامُوْا وَلاَ تَأْخُذْ عَنِ الَّذِيْنَ مَالُوْا

“Wahai Ibnu ’Umar, ingatlah agamamu, agamamu. Agamamu itu adalah darah dan dagingmu. Karenanya perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan mengambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah).” (Al-Kifaayah fii ’Ilmi Ar-Riwayaholeh Al-Khathib hlm. 81, Bab Maa Jaa-a fi Al-Akhdzi ’an Ahli Al-Bida’ wa Al-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab)

Ada juga pesan dari ulama-ulama lainnya, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata,

اُنْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ هَذَا العِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ الدِّيْنُ

Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah diin (agama).” (Idem)

Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata,

إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih-nya)

 

Keempat: Tidak Mendalami Akidah Terlebih Dahulu

 

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Sesungguhnya yang pertama kali turun darinya ialah satu surat dari Al-Mufashshal (surat-surat pendek) yang berisi penjelasan tentang surga dan neraka; sehingga apabila manusia telah mantap dalam Islam, maka turunlah (ayat-ayat tentang) halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun (kepada mereka) adalah “jangan minum khamr (minuman keras),” tentu mereka akan menjawab “kami tidak akan meninggalkan khamr selama-lamanya”. Seandainya yang pertama turun adalah “jangan berzina,” tentu mereka akan menjawab  “kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya”. Sesungguhnya telah turun firman Allah “sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka, dan Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit”–QS. Al-Qamar ayat 46–di Mekkah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pada waktu itu aku masih kecil yang senang bermain-main. Surat Al-Baqarah dan An-Nisa` barulah turun setelah aku menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, no. 4993).

 

Kelima: Cuma Tahu Cari Ilmu, Namun Tidak Mengamalkan

 

Allah telah mencela orang-orang semacam ini dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 3).

Jika seseorang mengamalkan ilmu, maka Allah akan semakin memudahkan ia mendapatkan taufik untuk meraih ilmu lainnya. Dalam ayat lain disebutkan,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya. ” (QS. Muhammad: 17).

Ibnu Mas’ud berkata, “Dahulu orang-orang di antara kami (yaitu para sahabat Nabi) mempelajari sepuluh ayat Qur’an, lalu mereka tidak melampauinya hingga mengetahui makna-maknanya, serta mengamalkannya.” (Muqoddimah Tafsir Ibnu Katsir)

 

Keenam: Bergaul dengan Teman yang Salah

 

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)

 

Ketujuh: Kurang Belajar Adab

 

Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تَعَلَّمِ الأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ العِلْمَ

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Yusuf bin Al-Husain berkata,

بِالْأَدَبِ تَفْهَمُ العِلْمَ

“Dengan menjaga adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi hafizhahullah berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Karenanya sampai-sampai Ibnul Mubarak berkata,

تَعَلَّمْنَا الأَدَبَ ثَلاَثِيْنَ عَامًا، وَتَعَلَّمْنَا العِلْمَ عِشْرِيْنَ

“Kami mempelajari masalah adab itu selama tiga puluh tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama dua puluh tahun.”

 

Kedelapan: Kurang Berdoa kepada Allah agar Diberi Istiqamah

 

Doa yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“YA MUQOLLIBAL QULUB TSABBIT QOLBI ‘ALAA DIINIK (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa doa tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab, “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi, no. 3522. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad, 3:257. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat sesuai syarat Muslim)

Al-Hasan Al-Bashri ketika membaca ayat,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka istiqamah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’” (QS. Fushilat: 30); ia pun berdoa, “ALLAHUMMA ANTA ROBBUNA, FARZUQNAL ISTIQOMAH (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqamahan pada kami).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hlm. 245)

Semoga Allah terus memberikan kita istiqamah dan husnul khatimah.

Sumber rujukan bahasan ini: Mahasantri karya Muhammad Abduh Tuasikal, Terbitan Rumaysho, Pesan di Toko Ruwaifi.Com pada WA 085200171222

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/18900-hijrah-belum-tuntas.html