Istri Melakukan Puasa Sunnah Syaban

Hikmah Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban, bulan mulia namun sering dilalaikan manusia

Keutamaan bulan Sya’ban tidak lepas dari sejarah penamaannya dahulu kala. Bulan ini dinamakan Sya’ban karena dulu orang jahiliyyah memanfaatkannya untuk berbagai macam aktivitas, misalnya berperang. Hal ini disebakan karena pada bulan Rajab bangsa Arab dilarang melakukan peperangan.

Alasan lainnya mengapa dinamakan bulan Sya’ban adalah karena selama bulan ini banyak orang Arab yang berpencar dan bepergian untuk mencari air. Orang yang mencari air tersebut disebut “Sya’baniyyat” atau “Sya’ban”.

Letak bulan Sya’ban yang terjepit antara bulan Rajab dan Ramadan akhirnya membuat kebanyakan manusia lalai darinya. Kenapa? Karena bulan Rajab dan Ramadan termasuk bulan yang dihormati di dalam Islam. Pada bulan Rajab seorang muslim dilarang melakukan pertumpahan darah atau berperang dan disunahkan untuk memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Lathaif Al Ma’arif, 207).

Sedangkan di bulan Ramadan, mereka dituntut untuk memperbanyak amalan dan menjauhi kemaksiatan, serta perbuatan maksiat di kedua bulan tersebut lebih berat dosanya daripada bulan-bulan lain.

Sehingga ketika datang bulan Sya’ban (yang mana terletak diantara keduanya) mereka mengambil kesempatan untuk melakukan peperangan ataupun menyelesaikan urusan. Akhirnya, kebanyakan mereka lalai dari melakukan ketaatan di bulan ini karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadan.

Anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban

Terdapat banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang anjuran berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun memperbanyak puasa di bulan Sya’ban daripada bulan-bulan lainnya (selain puasa wajib di bulan Ramadan). Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dia berkata,

يا رسول الله لَمْ أرك تصوم شهرًا من الشهور ما تصوم من شعبان؟ قال: “ذلك شهر يغفل الناس عنه، بين رجب ورمضان، وهو شهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم “

“’Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan selain di bulan Sya’ban’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yakni di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan’” (HR. An Nasa’i no. 2357. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga menceritakan tentang bagaimana sifat puasa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam di bulan Sya’ban,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

Dalam lafaz Muslim, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali hanya beberapa hari saja (yang beliau tidak berpuasa di dalamnya)” (HR. Muslim no. 1156).

Besarnya pahala beramal di waktu lalai

Jawaban nabi untuk sahabat Usamah bin Zaid di atas seakan-akan beliau mengatakan kepada kita, “Seorang muslim tidak pantas bagimu untuk lalai dari Allah Ta’ala di saat semua manusia lalai pada-Nya. Seharusnya kamu lebih bersemangat dan menyadari keberadaan Tuhanmu, agar kamu termasuk hamba yang memilih menghadap Allah Ta’ala di saat yang lain lalai dari-Nya. Rajinlah bersedekah di saat semua manusia pelit mengeluarkan hartanya. Bangun malamlah di saat yang lain terlelap dalam tidur. Jagalah salat di saat hamba-hamba yang lain menyia-nyiakannya.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam juga ingin menjelaskan pentingnya memanfaatkan dan menghidupkan waktu dengan memperbanyak ketaatan di saat kebanyakan manusia lainnya lalai. Hal ini merupakan sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang saleh terdahulu. Mereka senang mengisi waktu antara salat Magrib dan Isya dengan memperbanyak salat karena tahu bahwa waktu ini termasuk yang banyak dilalaikan manusia.

Di kesempatan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menjelaskan besarnya keutamaan yang didapat untuk mereka yang mengingat Allah di waktu manusia-manusia lainnya itu lalai. Kita ambil contoh misalnya saat kita sedang di pasar atau pusat perbelanjaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فقال: لا إله إلاَّ الله وَحْدَه لا شَريكَ له، له المُلْكُ وله الحمْد، يُحْيِي ويُمِيت وهو حَيٌّ لا يَمُوتُ، بِيَدِه الخَيْرُ وهو على كلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ – كَتبَ الله له ألفَ ألْف حسنَةٍ، ومَحَا عنْه ألْفَ ألْف سيِّئةٍ، ورَفَعَ له ألْفَ ألْف درَجَة

“Barang siapa yang masuk pasar dan mengucapkan, ‘Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (artinya: tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan. Dia-lah yang hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah yang Mahakuasa atas segala sesuatu);’ maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” (HR. Tirmidzi no. 3428 dengan sanad dhaif).

Di samping itu, beribadah di waktu manusia lalai juga memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:

Pertama, akan menjadi amalan rahasia dan tersembunyi. Pada dasarnya, menyembunyikan dan merahasiakan ibadah sunah itu lebih utama. Apalagi amalan tersebut adalah puasa, dimana puasa merupakan rahasia seorang hamba dengan Rabbnya.

Kedua, lebih berat di hati untuk dikerjakan karena sedikitnya orang yang mengamalkan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,

إنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِكُمْ

“’Sesungguhnya di belakang kalian (nanti) ada hari-hari, di mana bersabar pada waktu tersebut seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal di waktu tersebut seperti (mendapat) pahala 50 orang.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, seperti pahala 50 orang dari kalangan mereka sendiri atau seperti 50 orang dari kami?’ Nabi menjawab, ’50 orang dari kalian’” (HR. Al-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid no. 285).

Ketiga, berbuat ketaatan sendirian di saat yang lain bermaksiat dan lalai bisa jadi akan menangkal marabahaya dari manusia seluruhnya. Sehingga ia seakan-akan melindungi dan menjaga mereka (Lathaif Al-Ma’aarif, hal. 191-193).

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwasannya salah satu hikmah berpuasa di bulan Sya’ban adalah mendapatkan keutamaan beramal di waktu manusia yang lain lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

Beberapa hikmah lainnya dari memperbanyak puasa di bulan Sy’aban

Pertama, Ibnu Rajab Rahimahullah dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’aarif mengatakan, “Berpuasa pada bulan Sya’ban merupakan bentuk latihan untuk puasa Ramadan. Dengan demikian, ia tidak akan merasa berat dan terbebani ketika mulai puasa Ramadan.”

Kedua, Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa, “Para ahli ilmu mengatakan bahwa puasa pada bulan Sya’ban layaknya salat sunah dan salat rawatib bagi salat wajib 5 waktu (yaitu sebagai pelengkap), dan ia seakan-akan menjadi awal untuk menjalani puasa Ramadan.”

Ketiga, amalan setahun kita diangkat kepada Allah pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam walaupun dosa-dosanya telah diampuni, beliau tetap menginginkan agar ketika amalannya diangkat, sedang dalam kondisi berpuasa.

Keempat, sebagian ulama mengatakan bahwa bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyiram, dan bulan Ramadan adalah bulan memanen. Oleh sebab itu, siapa yang tidak menanam di bulan Rajab, lalu tidak menyiram di bulan Sya’ban, maka apa yang akan ia panen pada bulan Ramadan?

Wallahu a’lam bisshowaab.

***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73611-hikmah-memperbanyak-puasa-di-bulan-syaban.html