Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim

Kita telah ketahui bersama bahwa berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, semua ini bagian dari perkara muamalah yang hukum asalnya mubah (boleh). Lalu, bagaimana jika kegiatan ini semua dilakukan dengan non muslim?

Hukum asal muamalah adalah mubah

Terdapat kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama yang berbunyi,

الأصل في المعاملات الإباحة

“Hukum asal muamalah adalah mubah.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala tidak melarang perbuatan baik dan menyambung silaturahmi (kepada non muslim). Demikian juga, Allah tidak melarang membalas kebaikan dengan cara yang ma’ruf (baik), serta tidak melarang berbuat adil kepada kaum musyrikin, baik mereka adalah karib-kerabat ataupun bukan. Selama bukan dalam keadaan yang membuat non muslim tersebut wajib diperangi dan non muslim tersebut bukanlah orang-orang yang mengusir mereka dari negerinya. Maka, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk menyambung tali silaturahmi dengan kerabat yang non muslim. Karena menyambung tali silaturahmi adalah perbuatan yang tidak ada keharaman di sana dan tidak ada mafsadah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang tua yang musyrik jika anaknya seorang muslim,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفً

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik!” (QS. Luqman: 15) (Taisir Karimirrahman, hal. 856).

Maka, berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, atau menggunakan produk non muslim, semua ini jika dilakukan terhadap non muslim, juga hukum asalnya mubah (boleh).

Rasulullah pun dahulu berjual beli dan berbisnis dengan non muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bermuamalah dengan orang musyrikin. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ

“Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan. Padahal ketika itu, ia masih beragama dengan agama orang kafir Quraisy. Lalu, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari.  Lalu, orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi.” (HR. Bukhari no. 2264)

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan muamalah-muamalah di atas dengan non muslim. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068)

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun berjual-beli dengan non muslim bahkan menggunakan produk non muslim. Tentu saja selama produk tersebut halal dan baik.

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan non muslim. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2285, Muslim no. 1551).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لا مانع من معاملته في البيع والشراء والتأجير ونحو ذلك، فقد صح عن رسول الله عليه الصلاة والسلام أنه اشترى من الكفار عباد الأوثان، واشترى من اليهود وهذه معاملة، وقد توفي عليه الصلاة والسلام، ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام اشتراه لأهله

“Tidak ada larangan untuk bermuamalah jual-beli, sewa-menyewa, atau muamalah lainnya (dengan non muslim). Terdapat dalam hadis sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli barang dari orang-orang kafir penyembah berhala, juga membeli barang dari orang Yahudi, dan ini semua perkara muamalah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan kepada orang Yahudi, ketika membeli makanan sebagai nafkah untuk keluarga beliau.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 6 hal. 285).

Ringkas kata, berbisnis dengan non muslim hukum asalnya boleh. Tentunya selama bisnis yang dilakukan itu halal, tidak terdapat riba, gharar, maisir, dan perkara-perkara yang diharamkan syariat.

Bolehkah melayani non muslim?

Namun, memang terdapat khilaf di antara ulama tentang muamalah berupa khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada non muslim. Jumhur (mayoritas) ulama melarangnya. Mereka berdalil dengan ayat,

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sama sekali Allah tidak pernah memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

Dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Para fuqaha sepakat bolehnya seorang kafir memberikan  khidmah (pelayanan) kepada seorang muslim. Demikian juga, para fuqaha sepakat bolehnya seorang muslim disewa untuk orang kafir dalam suatu pekerjaan yang mu’ayyan fi dzimmah (spesifik dan ada batas temponya). Seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, menanami lahan, dan semisalnya. Namun, para ulama khilaf tentang hukum khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada orang kafir. Baik dengan akad ijarah (sewa), akad i’arah (pinjam-meminjam), atau akad lainnya.

Mazhab Hanafiyyah berpendapat hal tersebut hukumnya dibolehkan. Karena akad-akad tersebut termasuk akad mu’awadhah (saling menguntungkan), sehingga dibolehkan sebagaimana jual-beli. Namun, dimakruhkan jika mengandung unsur khidmah (pelayanan) kepada orang kafir. Karena khidmah itu bentuk perendahan diri.

Adapun mazhab Malikiyah, disebutkan oleh Ibnu Rusyd bahwa seorang muslim disewa untuk melayani orang Nasrani atau Yahudi, ini ada empat macam. Ada yang boleh, ada yang makruh, ada yang mahzhur, dan ada yang haram.

Pertama, yang boleh adalah jika seorang muslim melakukan pekerjaan untuk orang kafir di rumah si muslim tersebut. Seperti seorang yang memproduksi suatu barang yang dikonsumsi masyarakat secara umum.

Kedua, yang makruh adalah jika orang kafir mendominasi seorang muslim dalam suatu pekerjaan atau muamalah, namun orang kafir tersebut tidak punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim yang berhutang kepada orang kafir, atau orang seorang muslim bekerjasama musaqah (merawat lahan) milik orang kafir.

Ketiga, yang mahzhur (terlarang) adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan untuk orang kafir yang orang kafir ini punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim menjadi pembantu di rumah orang kafir.

Keempat, yang haram adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan, seperti mengolah khamr, menggembala babi, dan semisalnya. Untuk jenis ini, akadnya batal sebelum ia bekerja. Jika sudah terlanjur mendapat gaji, maka wajib disedekahkan untuk orang miskin.

Mazhab Syafi’iyyah berpendapat haramnya seorang muslim memberikan pelayanan kepada orang kafir jika secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, seperti mengucurkan air cuci tangan untuk orang kafir, membawakan sandal untuk dipakai orang kafir, membersihkan kotoran pada badan dan pakaiannya, atau semisal itu. Secara tidak langsung, contohnya seperti seorang muslim diutus untuk mengurus suatu kebutuhan orang kafir (yang mubah). Dihukumi haram dalam rangka menjaga kaum muslimin dari perendahan dan penghinaan. Namun, makruh hukumnya meminjamkan dirinya atau menyewakan dirinya untuk melayani orang kafir, selama orang kafir tersebut tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Mazhab Hambali dalam riwayat yang sahih menyatakan haramnya seorang muslim disewa untuk melayani orang kafir atau meminjamkan dirinya untuk melayani orang kafir. Karena dalam kondisi ini, terdapat unsur pengekangan seorang muslim di bawah kendali orang kafir dan juga unsur perendahan diri di depan orang kafir.” (diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 19 hal. 46).

Ringkasnya, wallahu a’lam, jika muamalah seorang muslim terhadap non muslim berupa pelayanan kepada mereka, perlu kita bagi menjadi tiga macam:

Pertama, jika itu berupa pelayanan yang spesifik, ada batas temponya, tidak ada unsur perendahan diri, serta tidak dikuasai penuh oleh orang kafir, maka ulama sepakat bolehnya.

Kedua, jika bukan termasuk pada poin 1, namun bukan dalam perkara haram, maka hukumnya makruh. Lebih utama bagi seorang muslim untuk tidak melakukannya. Namun, andaikan ia melakukannya, tidak ada dosa baginya.

Ketiga, jika pelayanan yang dilakukan dalam perkara haram, maka ulama sepakat akan haramnya.

Demikian penjelasan ringkas mengenai berjual-beli dan menggunakan produk non muslim, semoga bermanfaat. Wabillahi at-taufik was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69088-hukum-berjual-beli-dan-menggunakan-produk-non-muslim.html