Hukum Pernikahan Janda Tanpa Kehadiran Wali

Hukum Pernikahan Janda Tanpa Kehadiran Wali, Bolehkah?

Bagaimana hukum pernikahan janda tanpa kehadiran wali, bolehkah? Di era modern ini, tak jarang persoalan wali kadang menjadi hambatan bagi seorang perempuan yang hendak menikah dengan calon pendamping pilihannya, hanya karena faktor tidak disetujui oleh orang tuanya.

Keadaan ini kadang menjadi persoalan serius, dan jalan penyelesaian yang sering ditempuh adalah ayah (apabila masih ada) kemudian dianggap telah menjadi wali adhol, tentu saja setelah melalui putusan pengadilan. Inilah yang menjadi perbincangan saya kemarin sore di WhatsApp dengan seseorang yang menanyakannya.

Siang kemarin waktu perjalanan pulang dari kampus, mendapat pertanyaan via WhatsApp dari seseorang yang tinggal di Kudus. Inti pertanyaannya adalah bolehkan janda menikah tanpa wali? Menurut cerita Si Penanya, kasusnya ada seorang janda mempunyai 5 anak hendak dipoligami oleh seorang lelaki. Persoalannya, si walinya adalah wali adhol, dan lelakinya tidak mau menikah di KUA, tapi maunya menikah sama kyai saja.

Kemarin saya jawab via voice note lumayan panjang, mula-mula dari sisi fiqihnya lalu hukum positif Indonesia. Tapi di sini kujelaskan dulu sisi hukum positifnya, bahwa menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia, antaranya dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 dan Peraturan Menteri Agama No 19 tahun 2018, bahwa syarat rukun nikah ada 4, antaranya harus ada wali nikah. Sehingga bagi WNI Muslim, menurut hukum positif Indonesia, menikah tanpa wali baik gadis atau janda hukumnya tidak sah.

Sebagaimana kita ketahui, produk hukum keluarga di Indonesia adalah lebih banyak berdasar kepada mazhab Syafi’i. Dan pendapat demikian adalah pendapat mainstream, bukan minoritas. Saya jelaskan juga bagaimana pendapat fuqaha terkait permasalahan wali, yang terdiri dari lima mazhab besar, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Syiah Imamiyah.
Hukum Pernikahan Janda Tanpa Kehadiran Wali

Hukum wali nikah sebenarnya debatable dan dapat digolongkan dalam dua kelompok: Pertama, Menurut pendapat mayoritas Fuqaha, bahwa wujudnya wali dalam sebuah pernikahan adalah wajib. Baik bagi yang belum balighah (belum cukup umur), sudah balighah – ‘aqilah (dewasa-berakal sehat), atau yang janda.

Menurut ulama jumhur, kehadiran wali bahkan dipandang paling penting dan menentukan keabsahan sebuah pernikahan, karena wali termasuk dalam syarat rukun pernikahan. Maka pernikahan tanpa wali hukumnya batal. Ini adalah pendapat mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali.

Kelompok ini berdasar kepada nas al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221, 228, 232 adan Surat al-Nûr ayat 22. Selain itu mereka juga berdasarkan hadist,  لا نكاح إلا بولي (Pernikahan tidak dipandang sah kecuali ada wali) dan mazhab Hanabilah berdasar pada hadist إن النكاح من غير ولي باطل (Sesungguhnya nikah tanpa wali adalah batal).

Kedua, Pendapat Hanafi, bahwa wali tidak menjadi syarat sah sebuah pernikahan, baik bagi perempuan yang sudah bâlighah dan berakal, termasuk janda. Wali juga tidak dapat memaksa putrinya yang gadis dan telah dewasa dan berakal untuk menikah tanpa persetujuannya. Dengan catatan pasangannya sepadan (sekufu).

Bagaimana jika tidak sekufu? Wali sering dipandang mempunyai hak ijbar terhadap putrinya untuk menggagalkan pernikahannya. Dalam persoalan ini, menurut buya Husein, wali mujbir bukanlah wali yang memaksa, meskipun maknanya ‘memaksa’. Arti mujbir bukanlah mukrih, memaksa.

Jika boleh saya sederhanakan, wali mujbir adalah orang yang dipandang lebih faham kondisi putrinya dan mencarikan keadaan yang terbaik buat putrinya, bukan dalam rangkah memaksa. Wali mujbir ialah orang tua perempuan, yang dalam mazhab Syafii adalah ayah, atau kakek jika ayah tidak ada.

Dengan demikian hak ijbar adalah hak ayah/kakek untuk menikahkan anak perempuanya baik yang masih belum cukup umur atau dewasa dengan tanpa harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari anak perempuan tersebut, dan ini tidak berlaku bagi perempuan janda.

Meskipun demikian, hak ijbar ayah tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendaknya saja. Dalam pandangan ulama  Syafiiyah, dikatakan bahwa untuk dapat menikahkan anak-anak di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan untuk kebaikan di masa depan anaknya. Inilah yang harus dikedepankan.

Dalam pandangan mazhab Hanafi, hak ijbar hanya berlalu pada perempuan yang belum cukup umur atau tidak ‘âqilah dan tidak terjadi pada perempuan bâlighah-‘âqilah. Selain itu, dalam pandangan Imam Hanafi, bahwa perempuan adalah manusia yang juga memiliki ahliyyah (kecakapan) yang sempurna, sama seperti laki-laki. Kriterianya adalah bâlighah, rasyidah, berakal, sehingga ia berhak melakukan akad apapun secara mandiri.

Pendapat demikian tidak berdasarkan logika semata, tetapi telah didasarkan pada dalil-dalil yang otoritatif, yakni al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230 dan 232. Menurut ulama Hanafiyah: penghalangan dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali, dan bisa jadi ditujukan kepada suami dan istri atau kepada orang lain yang muslim.

Sedang pada hadits ‘Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis dimintai persetujuannya dan persetujuannya adalah diamnya’ Kata Buya Husein, dalam hadits lain redaksi hadits di atas menggunakan kata الأيم, artinya perempuan jomblo, tidak memiliki pasangan, baik masih gadis atau janda, boleh menikah tanpa wali.

Perlu menjadi perhatian bahwa jumhur fuqaha tidak menerima perwalian perempuan sama sekali, meskipun seorang anak sejak kecil hanya hidup dan lebih mengenal ibunya, sebab ayahnya sudah meninggal, misalnya, tetapi ibunya tetap tidak mendapatkan hak untuk menjadi walinya. Pertanyaannya, mengapa perempuan boleh dan tidak boleh menikahkan dirinya atau orang lain?

Persoalan ini diulas oleh Buya Husein, hal itu karena perempuan dulu dipandang belum cukup mempunyai kecakapan bertindak (أهلية الأداء) dan para laki-laki sudah memilikinya. Sementara itu dalam pandangan ulama Hanafiyah termasuk juga dalam pandangan Syiah Imamiyah, perempuan telah dipandang sama dengan lelaki, yaitu sama-sama sebagai manusia yang juga memiliki ahliyyah (kecakapan) yang sempurna.

Di sini argumentasi ulama Hanafiyah dan Syiah Imamiyah telah berperspektif gender, dan menunjukkan era tersebut perempuan di sekitar Basrah-Kufah sudah mulai ada yang maju, pintar, dan berkontribusi di masyarakat.

Meskipun ada pilihan pandangan yang membolehkan janda menikah tanpa wali, tetapi jika walinya adhal, yang dalam pandangan mayoritas ulama, maka walinya jatuh ke wali hakim, artinya tetap ada wali, karena berdasarkan pd Hadits,  فالسلطان ولي لمن لا ولي له  (Pemimpin adalah wali bagi orang yang tidak punya wali). Sultan di sini bisa dimaknai orang yang dipilih pemerintah untuk bertugas mengurusi hal-hal pernikahan, seperti hakim atau pegawai KUA.

Dengan demikian, pelaksanaan menikah hanya dengan kyai setempat dan tidak ke KUA sama halnya dengan nikah sirri. Dan nikah sirri di Indonesia dipandang tidak sah, karena tidak dicatatkan.

Dan sebaiknya tidak melakukan pernikahan sirri. Kenapa? Karena rawan terjadi kesewenang-wenangan. Bisa jadi si suami kemudian berlaku kasar kepadanya atau malah tidak dinafkahi. Dalam posisi demikian, perempuan rentan mendapat kezaliman dan tidak kuat posisinya karena tidak bisa diajukan ke jalur hukum. Itulah sebabnya di Indonesia pernikahan di bawah tangan sejenis nikah sirri ini dianggap tidak sah.

Menurut saya, hikmah kehadiran wali dan keridaannya ini penting dalam sebuah pernikahan anaknya, ada ibrah dan nilai filosofisnya. Di mana ayah adalah orang tua yang melindungi, menjaga, menafkahi, dan mendidik anak perempuannya dari sejak dalam kandungan. Tidak etis apabila seorang anak perempuan ketika dewasa menikah tanpa sepengetahuan dan izin dari orang tuanya.

Kehadiran ayah atau wali dalam pernikahan adalah ibarat melepaskan dan memasrahkan tanggung jawab yang selama ini diembannya kepada seseorang yang menikahi anaknya, supaya ia menjadi lebih bertanggungjawab dan benar-benar siap melindungi perempuan tersebut.

Demikian juga setiap orang yang disebut ayah, harus mempunyai tanggungjawab sepenuhnya terhadap nafkah, riayah, hadanah, dan tarbiyah setiap anak-anaknya. Tanggungjawab ayah terhadap anak perempuan dalam Islam, sejak ia menjadi janin dalam rahim hingga anak perempuan ini menikah.

Demikian hukum pernikahan janda tanpa kehadiran wali. Wallâhu a’lamu bi al-shawâb. 

Tulisan ini telah terbit di Mubadalah.id