SEJUMLAH Provinsi dan Kabuten/Kota di Tanah Air tengah memasuki kenormalan baru. Sebagai orang beriman, kita isi kehidupan normal yang baru dengan nilai-nilai spiritual dan sosial sehingga setiap langkah kehidupan bernilai pahala serta bermanfaat bagi orang lain. Hal prinsip yang harus kita terapkan di era kenormalan baru itu adalah meyakini seyakin-yakinnya bahwa musibah ini adalah ujian dari Allah SWT. Yakin kepada Allah membuat kita menyadari bahwa tidak ada satu kejadian kecuali atas izin Allah SWT.
Dengan keyakinan seperti ini, kita semakin bergantung kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Dikisahkan oleh Alwi Alatas dalam bukunya Whatever Your Problem, Smile, ada seorang mualaf yang saat hendak masuk Islam ingin melihat sesuatu yang ajaib atau hal yang luar biasa dari Allah. Ia ingin mendapat motivasi spiritual sebagai penguat alasan mengapa ia memeluk Islam.
Dalam doanya ia berkata, “Ya Allah, inilah saatnya, inilah waktunya saya akan masuk Islam. Berilah aku satu saja tanda kebesaranMu. Mugkin berupa kilatan halilintar atau apa saja yang menunjukkan kebesaranMu.”
Setelah berdoa, ia menunggu adanya hal yang menakjubkan sebagai bukti bahwa Allah itu ada, bahwa Allah itu Maha Besar. Sekian lama menunggu tak kunjung muncul tanda yang ia harapkan. Ia menunggu lagi. Cukup lama ia menanti tanda itu. Ia merasa gelisah dan terbesit perasaan kecewa. Pikirnya, mengapa Tuhan tidak menunjukkan kebesaranNya kepadanya. Padahal ia ingin masuk Islam dan butuh bukti.
Di depan Si Mualaf ada al-Quran. Dia buka lembaran mushaf. Ayat pertama yang ia buka dan baca adalah ayat tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang bertebaran di alam. Tepatnya pada ayat 37 dan 39 Surat Fushshilat. “Bukankah Kami sudah memperlihatkan tanda-tanda, lihatlah keadaan di sekelilingmu, lihatlah bintang-bintang, dan perhatikan matahari. Semua ini adalah tanda-tanda bagi orang yang berakal,” demikian kurang lebih artinya.
Pelajaran moral dari kisah di atas adalah;
Pertama, kekuasaan Allah, bisa kita lihat dari keadaan di sekitar kehidupan kita sehari-hari.
Kita perhatikan bagaimana makhluk Allah yang super kecil bernama corona menggulung segala tempat kemaksiatan yang selama ini berdiri tegak di tengah-tengah kita. Kantong-kantong kemaksiatan itu ‘dibubaran’ bukan oleh negara, aparat keamanan, atau Satpol PP, tapi oleh mahkluk yang tidak terlihat.
Bukankah ini tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan, yang seharusnya semakin mempertebal keyakinan kita kepada Allah. Oleh karena itu, setiap kali kita melihat benda-benda di sekeliling kita, sadarilah di balik itu semua ada peran dan kekuasaan dari Yang Maha Menentukan.
Kedua, di era New Normal yang harus kita laksanakan adalah bekerja sama. Dengan kerja sama yang sinergis antar semua elemen akan membuahkan persatuan dan semangat kekuatan dalam mengatasi beragam persoalan. Jauh lebih mudah mengatasi problematika keummatan jika kita bersatu melangkah dan berjalan dengan tujuan yang sama.
Al-Quran menyinggung perintah untuk saling bahu membahu dalam membantu sesama.
وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Imam Qurtubi, seorang ahli hukum dan pakar tafsir, menyebutkan sejumlah makna dari kata kebajikan (al-Birr) dan takwa (at-Taqwa). Kebajikan adalah segala pelaksanaan hal yang bersifat wajib dan sunnah . Sementara takwa adalah sebuah sikap dalam menjaga kebajikan.
Dalam pandangan Imam Mawardi, Allah menganjurkan bekerja sama dalam kebajikan lalu mengaitkannya dengan takwa, sebab ridhaNya tersimpan dalam ketakwaan kepadaNya. Sementara keridhaan manusia terkandung dalam perbuatan bijak. “Siapa yang menggabungkan antara kerelaan Allah dan manusia, sempurnalah kebahagiaannya dan kenikmatannya.”
Ibnu Khuwaiz menyebut bahwa sikap saling menolong memiliki beberapa sudut pandang. “Jika ia orang berilmu maka wajib baginya untuk menolong umat manusia lewat ilmu yang ia miliki dengan mengajarkannya. Orang yang kaya membantu dengan hartanya, orang yang pemberani menolong agama dengan keberaniannya di jalan Allah, dan sesama umat Islam saling mendukung dalam satu derap langkah untuk melakukan kebaikan.”
Sinergi antara elemen umat Islam tampak kentara di musim wabah. Beberapa waktu lalu sejumlah relawan terlibat dalam gerakan penyemprotan Pasar Besar Malang. Relawan itu datang dari PMI, Ansor NU Klojen Malang, FPI. Ini merupakan sikap kerja sama yang patut kita jadikan contoh sinergi antar elemen masyarakat.
Ketiga, memiliki kepedulian. Islam tidak melulu membahas tentang ritual perseorangan. Islam juga memberikan perhatian tentang sikap empati kepada sesama, tanpa memandang latar belakang agama. Tidak heran jika sejak pertengahan Maret hingga saat ini kepedulian itu masih dan semoga tetap terpelihara.
Peduli kepada sesama merupakan amanat ajaran Islam. Kepada tetangga, kita dianjurkan untuk berbuat baik, tidak menyakiti bahkan kita ulurkan bantun jika mereka membutuhkannya. Kepada orang-orang yang kurang beruntung, terdapat ajaran tentang zakat, sedekah dan kebaikan sosial lainnya kepada mereka.
Anjuran berbuat baik sebagai bentuk kepedulian banyak disebutkan oleh Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dalam bukunya an-Nashaih ad-Diniyyah terlampir sejumlah hadits yang berisi tentang menunaikan hak seorang muslim. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Siapa yang tidak memikirkan urusan umat Islam berarti ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Baihaqi)
Dalam kesempatan lain, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengurus kepentingan saudaranya, niscaya Allah akan mengurus kepentingannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Nabi ﷺ juga bersabda di waktu lain: “Siapa yang membebaskan seorang mukmin dari kesusahan di dunia, pasti Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari Kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR: Muslim).
Sejumlah Ormas Islam di Tanah Air ikut ambil bagian meringankan beban penderitaan warga yang terdampak wabah Covid-19. Pada 6 Juni 2020 silam Satgas Covid-19 Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Jumputrejo melakukan aksi kemanusiaan. Sasarannya adalah para warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Mereka membagikan puluhan paket pangan kepada warga yang membutuhkan.
Muhammadiyah tidak mau ketinggalan. Lazismu bersama Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC) menyalurkan bantuan bantuan tahap kedua secara serentak. Nilai bantuannya mencapai Rp 18.053 miliar dari hasil penghimpunan Rp 21.179 miliar (19/5/20)
Keempat, rendah hati. Sikap yang satu menggambarkan perilaku bahwa diri kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Kita hanya sekumpulan makhluk yang lemah, tidak ada daya dan upaya jika bukan karena anugerah dan nikmat dari Allah. Sikap rendah hati menjadi sebab kita diberi derajat yang mulia. Sebaliknya sikap angkuh, jumawah, dan sombong menyebabkan kita berada pada kedudukan yang rendah dan hina.
Kaum shalihin adalah orang-orang yang kehidupannya ramai dengan hiasan tawadhu (rendah hati). Seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah kedatangan tamu di waktu malam. Ketika selesai shalat isyak, beliau menulis sesuatu di sisi sang tamu yang datang berkunjung. Saat tengah menulis lampu minyaknya nyaris padam. Bergegaslah sang tamu berdiri untuk menyalakan kembali. Ia hendak memperbaiki lampu tersebut.
“Wahai Amirul Mukminin, biarkan aku memperbaiki lampu minyak itu.” Umar menolak. Beliau berkata “Tidak termasuk dari kehormatan seseorang ketika ia memanfaatkan tamunya.” “Apa perlu aku panggilkan pelayanmu,” kata si tamu.
Jangan. Ia sudah terlelap tidur.” Kemudian Umar mengambil minyak dalam sebuah botol, ia tuangkan ke dalam lampu minyak. “Wahai Amirul Mukmin, apakah pantas engkau melakukannya sendiri seperti ini?” tanya kembali Si Tamu.
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku tetap seorang Umar saat aku keluar dan kembali pulang. Maka sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah manusia yang bersikap rendah hati.”
Kelima, dispilin. Jika kita kembali mengambil pelajaran dari salat akan kita temukan keteraturan dalam membagi waktu di dalam kehidupan. Ada lima waktu pelaksanaan shalat yang mengajarkan sikap disiplin dalam kehidupan kaum beriman.
Seperti itulah sikap disiplin dalam berbagai situasi dan kondisi yang tengah kita hadapi. Era New Normal jangan kita maknai sebagai sikap bebas melakukan aktifitas dengan mengindahkan protokol kesehatan. Sikap acuh dan tidak disiplin ini bisa menjadi tabungan bencana dan musibah untuk kedua kalinya.
Oleh karena itu, kita harus tetap disiplin dalam menanamkan keyakinan kepada Allah, disiplin dalam bekerja sama, berempati, bersikap rendah hati, dan menjaga kebersihan. Tanpa adanya kedisiplinan niscaya era New Normal bisa berubah menjadi new musibah yang tentu tidak pernah kita harapkan, bukan?
Lima sikap pada kenormalan baru bukan sikap yang baru dalam kehidupan beragama. Sebab kapan saja kita harus memegang teguh keimanan hingga ajal datang menjemput. Bekerja sama dalam melakukan kebaikan, memiliki sikap filantropis, bersikap rendah hati dan displin dalam mewujudkannya, bukanlah barang baru. Namun ajaran-ajaran itu perlu sekali untuk kembali kita angkat agar menjadi pengamalan di sepanjang zaman.*
Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Pengasuh Majlis Taklim Ar-Rahmah, Sawojajar, Malang
HIDATATULLAH