Jelang Idul Adha, Umat di Zona Merah Diimbau Waspada

 Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengatakan, masyarakat dan umat Islam perlu tetap waspada terhadap penyebaran virus Covid-19 di masjid pada Idul Adha nanti. Terutama dari masjid-masjid yang berada di kawasan atau zona merah.
Untuk itu pihaknya mengimbau kepada umat yang berada di zona masjid yang merah untuk tetap mematuhi protokol Covid-19.

Menurutnya, peran Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) yang berada di zona merah dibutuhkan lebih ekstra agar dapat menjabarkan dengan detail dan menerapkan protokol masjid yang ada.

“Imbauan kepada umat yang di masjid zona merah yakni harus tetap patuhi protokol Covid-19 masjid,” kata Imam saat dihubungi Republika, Jumat (10/7).

Pihaknya juga mengatakan bahwa masjid di zona merah memiliki tingkat kerawanan tinggi penyebaran apabila menggelar shalat Idul Adha tanpa memperhatikan protokol Covid-19. Apalagi, kata dia, masjid yang melakukan peribadatan di wilayah terbuka seperti jalan raya.

Menggelar peribadatan di tempat-tempat terbuka, kata dia, terdapat ancaman dari sanitasinya. Untuk meminimalisir hal tersebut, para jamaah pun diperintahkan membawa sajadah masing-masing serta medium serupa sajadah lainnya yang dapat memproteksi penyebaran itu.

Kewaspadaan terhadap penyebaran virus Covid-19 di dalam pelaksanaan shalat Idul Adha juga menurutnya harus dibarengi dengan sikap yang cerdas dan kehati-hatian. Salah satunya adalah dengan tidak menelan informasi yang tidak akurat dan hoaks yang banyak disebarkan melalui media sosial.

“Dibutuhkan peran serta semua elemen agar penyebaran Covid-19 di Idul Adha tidak terjadi. Kita berupaya dan berdoa, semoga tidak ada penyebaran, amin,” pungkasnya.


IHRAM

Inilah Lima Sikap Muslim di Era New Normal

SEJUMLAH Provinsi dan Kabuten/Kota di Tanah Air tengah memasuki kenormalan baru. Sebagai orang beriman, kita isi kehidupan normal yang baru dengan nilai-nilai spiritual dan sosial sehingga setiap langkah kehidupan bernilai pahala serta bermanfaat bagi orang lain. Hal prinsip yang harus kita terapkan di era kenormalan baru itu adalah meyakini seyakin-yakinnya bahwa musibah ini adalah ujian dari Allah SWT. Yakin kepada Allah membuat kita menyadari bahwa tidak ada satu kejadian kecuali atas izin Allah SWT.

Dengan keyakinan seperti ini, kita semakin bergantung kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Dikisahkan oleh Alwi Alatas dalam bukunya Whatever Your Problem, Smile, ada seorang mualaf yang saat hendak masuk Islam ingin melihat sesuatu yang ajaib atau hal yang luar biasa dari Allah. Ia ingin mendapat motivasi spiritual sebagai penguat alasan mengapa ia memeluk Islam.

Dalam doanya ia berkata, “Ya Allah, inilah saatnya, inilah waktunya saya akan masuk Islam. Berilah aku satu saja tanda kebesaranMu. Mugkin berupa kilatan halilintar atau apa saja yang menunjukkan kebesaranMu.”

Setelah berdoa, ia menunggu adanya hal yang menakjubkan sebagai bukti bahwa Allah itu ada, bahwa Allah itu Maha Besar. Sekian lama menunggu tak kunjung muncul tanda yang ia harapkan. Ia menunggu lagi. Cukup lama ia menanti tanda itu. Ia merasa gelisah dan terbesit perasaan kecewa. Pikirnya, mengapa Tuhan tidak menunjukkan kebesaranNya kepadanya. Padahal ia ingin masuk Islam dan butuh bukti.

Di depan Si Mualaf ada al-Quran. Dia buka lembaran mushaf. Ayat pertama yang ia buka dan baca adalah ayat tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang bertebaran di alam. Tepatnya pada ayat 37 dan 39 Surat Fushshilat. “Bukankah Kami sudah memperlihatkan tanda-tanda, lihatlah keadaan di sekelilingmu, lihatlah bintang-bintang, dan perhatikan matahari. Semua ini adalah tanda-tanda bagi orang yang berakal,” demikian kurang lebih artinya.

Pelajaran moral dari kisah di atas adalah;

Pertama, kekuasaan Allah, bisa kita lihat dari keadaan di sekitar kehidupan kita sehari-hari.

Kita perhatikan bagaimana makhluk Allah yang super kecil bernama corona menggulung segala tempat kemaksiatan yang selama ini berdiri tegak di tengah-tengah kita. Kantong-kantong kemaksiatan itu ‘dibubaran’ bukan oleh negara, aparat keamanan, atau Satpol PP, tapi oleh mahkluk yang tidak terlihat.

Bukankah ini tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan, yang seharusnya semakin mempertebal keyakinan kita kepada Allah. Oleh karena itu, setiap kali kita melihat benda-benda di sekeliling kita, sadarilah di balik itu semua ada peran dan kekuasaan dari Yang Maha Menentukan.

Kedua, di era New Normal yang harus kita laksanakan adalah bekerja sama. Dengan kerja sama yang sinergis antar semua elemen akan membuahkan persatuan dan semangat kekuatan dalam mengatasi beragam persoalan. Jauh lebih mudah mengatasi problematika keummatan jika kita bersatu melangkah dan berjalan dengan tujuan yang sama.

Al-Quran menyinggung perintah untuk saling bahu membahu dalam membantu sesama.

وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Imam Qurtubi, seorang ahli hukum dan pakar tafsir, menyebutkan sejumlah makna dari kata kebajikan (al-Birr) dan takwa (at-Taqwa). Kebajikan adalah segala pelaksanaan hal yang bersifat wajib dan sunnah . Sementara takwa adalah sebuah sikap dalam menjaga kebajikan.

Dalam pandangan Imam Mawardi, Allah menganjurkan bekerja sama dalam kebajikan lalu mengaitkannya dengan takwa, sebab ridhaNya tersimpan dalam ketakwaan kepadaNya. Sementara keridhaan manusia terkandung dalam perbuatan bijak. “Siapa yang menggabungkan antara kerelaan Allah dan manusia, sempurnalah kebahagiaannya dan kenikmatannya.”

Ibnu Khuwaiz menyebut bahwa sikap saling menolong memiliki beberapa sudut pandang. “Jika ia orang berilmu maka wajib baginya untuk menolong umat manusia lewat ilmu yang ia miliki dengan mengajarkannya. Orang yang kaya membantu dengan hartanya, orang yang pemberani menolong agama dengan keberaniannya di jalan Allah, dan sesama umat Islam saling mendukung dalam satu derap langkah untuk melakukan kebaikan.”

Sinergi antara elemen umat Islam tampak kentara di musim wabah. Beberapa waktu lalu sejumlah relawan terlibat dalam gerakan penyemprotan Pasar Besar Malang. Relawan itu datang dari PMI, Ansor NU Klojen Malang, FPI. Ini merupakan sikap kerja sama yang patut kita jadikan contoh sinergi antar elemen masyarakat.

Ketiga, memiliki kepedulian. Islam tidak melulu membahas tentang ritual perseorangan. Islam juga memberikan perhatian tentang sikap empati kepada sesama, tanpa memandang latar belakang agama. Tidak heran jika sejak pertengahan Maret hingga saat ini kepedulian itu masih dan semoga tetap terpelihara.

Peduli kepada sesama merupakan amanat ajaran Islam. Kepada tetangga, kita dianjurkan untuk berbuat baik, tidak menyakiti bahkan kita ulurkan bantun jika mereka membutuhkannya. Kepada orang-orang yang kurang beruntung, terdapat ajaran tentang zakat, sedekah dan kebaikan sosial lainnya kepada mereka.

Anjuran berbuat baik sebagai bentuk kepedulian banyak disebutkan oleh Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad. Dalam bukunya an-Nashaih ad-Diniyyah terlampir sejumlah hadits yang berisi tentang menunaikan hak seorang muslim. Nabi Muhammad ﷺ  bersabda: “Siapa yang tidak memikirkan urusan umat Islam berarti ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Baihaqi)

Dalam kesempatan lain, Nabi ﷺ bersabda: “Siapa yang mengurus kepentingan saudaranya, niscaya Allah akan mengurus kepentingannya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Nabi ﷺ  juga bersabda di waktu lain: “Siapa yang membebaskan seorang mukmin dari kesusahan di dunia, pasti Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari Kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR: Muslim).

Sejumlah Ormas Islam di Tanah Air ikut ambil bagian meringankan beban penderitaan warga yang terdampak wabah Covid-19. Pada 6 Juni 2020 silam Satgas Covid-19 Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Jumputrejo melakukan aksi kemanusiaan. Sasarannya adalah para warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Mereka membagikan puluhan paket pangan kepada warga yang membutuhkan.

Muhammadiyah tidak mau ketinggalan. Lazismu bersama Muhammadiyah Covid-19 Command Centre (MCCC) menyalurkan bantuan bantuan tahap kedua secara serentak. Nilai bantuannya mencapai Rp 18.053 miliar dari hasil penghimpunan Rp 21.179 miliar (19/5/20)

Keempat, rendah hati. Sikap yang satu menggambarkan perilaku bahwa diri kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Kita hanya sekumpulan makhluk yang lemah, tidak ada daya dan upaya jika bukan karena anugerah dan nikmat dari Allah. Sikap rendah hati menjadi sebab kita diberi derajat yang mulia. Sebaliknya sikap angkuh, jumawah, dan sombong menyebabkan kita berada pada kedudukan yang rendah dan hina.

Kaum shalihin adalah orang-orang yang kehidupannya ramai dengan hiasan tawadhu (rendah hati). Seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah kedatangan tamu di waktu malam. Ketika selesai shalat isyak, beliau menulis sesuatu di sisi sang tamu yang datang berkunjung. Saat tengah menulis lampu minyaknya nyaris padam. Bergegaslah sang tamu berdiri untuk menyalakan kembali. Ia hendak memperbaiki lampu tersebut.

Wahai Amirul Mukminin, biarkan aku memperbaiki lampu minyak itu.” Umar menolak. Beliau berkata “Tidak termasuk dari kehormatan seseorang ketika ia memanfaatkan tamunya.” “Apa perlu aku panggilkan pelayanmu,” kata si tamu.

Jangan. Ia sudah terlelap tidur.” Kemudian Umar mengambil minyak dalam sebuah botol, ia tuangkan ke dalam lampu minyak. “Wahai Amirul Mukmin, apakah pantas engkau melakukannya sendiri seperti ini?” tanya kembali Si Tamu.

Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku tetap seorang Umar saat aku keluar dan kembali pulang. Maka sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah manusia yang bersikap rendah hati.”

Kelima, dispilin. Jika kita kembali mengambil pelajaran dari salat akan kita temukan keteraturan dalam membagi waktu di dalam kehidupan.  Ada lima waktu pelaksanaan shalat yang mengajarkan sikap disiplin dalam kehidupan kaum beriman.

Seperti itulah sikap disiplin dalam berbagai situasi dan kondisi yang tengah kita hadapi. Era New Normal jangan kita maknai sebagai sikap bebas melakukan aktifitas dengan mengindahkan protokol kesehatan. Sikap acuh dan tidak disiplin ini bisa menjadi tabungan bencana dan musibah untuk kedua kalinya.

Oleh karena itu, kita harus tetap disiplin dalam menanamkan keyakinan kepada Allah, disiplin dalam bekerja sama, berempati, bersikap rendah hati, dan menjaga kebersihan. Tanpa adanya kedisiplinan niscaya era New Normal bisa berubah menjadi new musibah yang tentu tidak pernah kita harapkan, bukan?

Lima sikap pada kenormalan baru bukan sikap yang baru dalam kehidupan beragama. Sebab kapan saja kita harus memegang teguh keimanan hingga ajal datang menjemput. Bekerja sama dalam melakukan kebaikan, memiliki sikap filantropis, bersikap rendah hati dan displin dalam mewujudkannya, bukanlah barang baru. Namun ajaran-ajaran itu perlu sekali untuk kembali kita angkat agar menjadi pengamalan di sepanjang zaman.*

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Pengasuh Majlis Taklim Ar-Rahmah, Sawojajar, Malang

HIDATATULLAH

Tetap Melakukan Shalat Malam Setelah Bulan Ramadhan

Selama bulan Ramadhan kita melakukan shalat malam. Shalat tarawih merupakan shalat malam di bulan Ramadhan. Ketika waktu sahur juga masih merupakan waktu shalat malam, sehingga kaum muslimim setelah atau sebelum makan sahur bisa melaksanakan shalat malam. Sangat disayangkan jika kebiasaan baik ini tiba-tiba tidak pernah dilakukan sama sekali setelah bulan Ramadhan berakhir. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk tetap terus beribadah dengan ibadah sebagaimana di bulan Ramadhan.

Ada sebagian orang yang rajin beribadah dan shalat malam hanya di bulan Ramadhan saja. Bahkan ada di antara mereka yang mencukupkan diri mengerjakan amalan wajib di bulan Ramadhan, sedangkan di luar bulan Ramadhan mereka tidak melakukannya lagi dan tidak mengenal Allah. Lantas dikatakan kepada mereka:

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها

“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang shalih adalah orang yang rajin beribadah dan bersungguh-sungguh di sepanjang tahun.”

Amal yang baik dan dicintai oleh Allah adalah amalan yang tetap dilakukan secara konsisten walaupun sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

ﺃَﺣَﺐُّ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺃَﺩْﻭَﻣُﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﻗَﻞَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan yang kontinyu/istiqamah walaupun itu sedikit.”[1]

Semoga kita bisa konsisten melaksanakan shalat malam, karena shalat malam memiliki banyak keutamaan. Shalat malam merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ

“Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Iapun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa.”[2]

Kita mengaku hamba Allah “ibadurrahman”? Allah telah menyebutkan cirinya yaitu melakukan shalat malam.

Allah berfirman,

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺒِﻴﺘُﻮﻥَ ﻟِﺮَﺑِّﻬِﻢْ ﺳُﺠَّﺪًﺍ ﻭَﻗِﻴَﺎﻣًﺎ

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqaan/25: 64)

Di waktu malam, terutama di sepertiga malam yang terakhir mereka mengerjakan shalat malam dan banyak meminta ampun kepada Rabbnya.

Allah berfirman,

ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻣَﺎ ﻳَﻬْﺠَﻌُﻮﻥَ ﻭَﺑِﺎﻟْﺄَﺳْﺤَﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻭﻥَ

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat/51: 17-18)

Jika terasa berat maka hendaknya kita melatih diri untuk mengerjakan shalat malam secara bertahap, misalnya:

-Bangun 10 atau 15 menit sebelum subuh lalu mengerjakan shalat malam

-Pilih waktu yang keesokan harinya merupakan hari libur untuk bisa mengerjakan shalat malam

-Jika sangat sulit, bisa shalat witir sebelum tidur dan hal itu termasuk shalat malam

-Jika masih sangat sulit, perbanyak istigfar dan berdoa agar dipermudah

Semoga kita tetap diberi keistiqamahan setelah bulam Ramadhan dan semoga kita disampaikan di bulan Ramadhan berikutnya.

Demikian semoga bermanfaat

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31453-tetap-melakukan-shalat-malam-setelah-bulan-ramadhan.html

Mall dan Pasar Dibuka, Mengapa Masjid Ditutup?

Akhir-akhir ini, kita dapat ungkapan kekecewaan sebagian kaum muslimin yang merasa “terkhianati” ketika mereka sudah patuh dengan himbauan pemerintah untuk tidak shalat di masjid dan shalat di rumah. Karena di sisi lain, menurut mereka, ketegasan itu hanya berlaku untuk masjid, dan tidak untuk tempat yang lainnya, misalnya pasar, mall, atau tempat-tempat umum lainnya. Sebagian mereka bahkan menuduh bahwa himbauan menutup masjid itu hanyalah “akal-akalan” untuk menghambat aktivitas ibadah umat Islam. Dan sebagian pun kemudian berusaha membuka masjid kembali untuk beraktivitas, yang nampaknya mereka menganggap ini sebagai “pembalasan” atas ketidak-tegasan aturan tersebut.

Tulisan singkat ini kami tujukan bagaimanakah kita menyikapi hal tersebut dengan bijaksana, sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah syariat. 

Pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin

Satu hal yang patut menjadi renungan kita semua adalah sunnatullah yang berlaku bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyat yang dipimpin. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amal rakyatnya. Bahkan, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka penguasa mereka juga akan lurus. Jika rakyat adil, maka penguasa mereka juga akan adil. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan ikut berbuat zhalim.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1: 253).

Oleh karena itu, jika kita menginginkan seorang pemimpin yang amanah, jadilah rakyat yang amanah. Jika kita menginginkan sosok pemimpin yang adil, jadilah rakyat yang adil dan tidak zhalim. 

Kalau pun kita melihat pemimpin kita memiliki kesalahan, misalnya tidak tegas dalam mengambil kebijakan, kita pun memiliki ruang untuk memberikan nasihat. Kita pun bersyukur kepada Allah Ta’ala bahwa di negeri ini, masih banyak para ulama yang memberikan nasihat di masa wabah ini ketika mungkin pemerintah sedang berpikir atau menimbang-nimbang untuk mengambil keputusan tertentu. 

Hal ini sebagai realisasi dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

Pemimpin dan rakyat, masing-masing memiliki kewajiban sendiri-sendiri

Seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mengambil suatu kebijakan yang paling mendatangkan kebaikan (maslahat) untuk rakyatnya. Seorang pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan atas dasar suka-suka, tanpa ada pertimbangan yang jelas dan matang, atau semaunya sendiri, atau bahkan demi menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan rakyat banyak. 

Hal ini sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqh yang masyhur,

التصرف في أمور الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan (pemimpin) yang berkaitan dengan urusan rakyat, harus dikaitkan dengan maslahat”.

Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati dalam keadaan tidak menginginkan kebaikan untuk rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142).

Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam hafidzahullah berkata,

“Kebijakan seorang pemimpin dan siapa saja yang diberi kewenangan untuk mengatur urusan kaum muslimin, maka (setiap kebijakan atau keputusan yang diambil) wajib dibangun dan ditujukan untuk mewujudkan maslahat (kebaikan) bagi masyarakat secara umum. Jika tidak, maka tidak sah secara syariat.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61)

Beliau hafidzahullah juga berkata,

“Wajib atas pemimpin untuk memperhatikan kebijaksanaan yang terbaik untuk mewujudkan maslahat masyarakat secara umum.” (Taudhiihul Ahkaam, 1: 61-62)

Inilah kewajiban seorang pemimpin yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Adapun rakyat, mereka memiliki kewajiban untuk taat kepada pemimpinnya, selama tidak memerintahkan maksiat. Allah Ta’ala befirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Jika ada kebijakan pemimpin yang tidak disukai oleh rakyat, maka syariat memerintahkan kita untuk bersabar. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)

Jika pemimpun berbuat salah dan zhalim, bukan berarti hal itu adalah pembenaran bagi rakyat untuk membalas berbuat salah dan zhalim. Karena masing-masing pihak akan mempertanggungjawabkan apakah dia sudah menunaikan kewajibannya masing-masing ataukah belum. Sehingga kewajiban kita adalah tetap patuh dengan aturan pemerintah tersebut, meskipun mungkin di sisi lain ada warga negara lainnya yang tidak patuh, atau mungkin pemerintah sendiri yang kurang tegas menegakkan aturan. Karena sekali lagi, masing-masing kita akan diminta pertanggungjawaban atas kewajiban kita masing-masing dan kita tidak akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat oleh pihak lain, termasuk pemerintah. 

Salamah bin Yazid Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟

“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu. 

Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR. Muslim no. 1846)

Hadits di atas jelas memberikan tuntunan jika pemerintah berbuat kesalahan, itu bukan pembenaran bagi rakyat untuk ikut-ikutan berbuat salah dan zhalim.

Para ahli kesehatan dan juga dikuatkan dengan himbauan pemerintah sudah menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 ini bisa segera diakhiri dengan kedisiplinan kita mematuhi aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), physical distancing, menghindari kerumunan massa termasuk dengan menutup masjid, rajin mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan tindakan-tindakan pencegahan lainnya. 

Kedisiplinan kita, bukan hanya untuk menyelamatkan diri kita sendiri, namun juga orang lain. Kita pun tidak ingin apabila masjid dan Islam secara umum terkena fitnah dan cacian dengan adanya berita viral atau temuan “cluster COVID-19 dari Masjid X” atau “cluster COVID-19 dari Masjid Y”, seolah-olah agama Islam yang mulia dan sempurna ini tidak memiliki panduan dan tuntunan bagi umatnya tentang bagaimanakah mencegah dan menghindar dari wabah.

Kita sebagai kaum muslimin haruslah bisa memberi teladan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang mungkin tidak taat dan patuh terhadap aturan PSBB. Sedikit usaha kita tersebut semoga memberikan keteladanan tersebut, yang bisa jadi dengan sebab itulah Allah Ta’ala segera mengangkat wabah ini di tengah-tengah negeri kaum muslimin dan negeri-negeri lainnya secara umum. Sebagaimana dulu ada wabah SARS-CoV tahun 2002-2003 yang bisa diatasi -alhamdulillah- dengan kedisiplinan penduduk negeri-negeri yang terdampak untuk menerapkan isolasi, karantina, PSBB, lockdwon, atau usaha-usaha pencegahan lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56745-mall-dan-pasar-dibuka-mengapa-masjid-ditutup.html

Aturan Shalat di Rumah Saat Pandemi Corona

Ada beberapa aturan shalat di rumah pada masa pandemi corona saat ini.

Beberapa aturan shalat di rumah saat corona

Pertama: Boleh mengkhususkan tempat shalat tertentu di dalam rumah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Dulu kebiasaan para salaf, mereka mengambil tempat khusus di rumah untuk shalat.” (Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 3:169)

Kedua: Masjid tetap mengumandangkan azan. Sedangkan pelaksanaan shalat di rumah cukup dengan iqamah, lalu shalat.

Beberapa catatan tentang azan dan iqamah:

  1. Hukum azan dan iqamah adalah fardhu kifayah, walau ada beda pendapat terkait hukum ini. Yang menyatakan hukumnya itu fardhu kifayah adalah pendapat ulama Hambali, juga perkataan Muhammad bin Al-Hanafiyyah, satu pendapat dari Malikiyyah, pendapat sebagian ulama Syafiiyyah, pendapat Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Taimiyyah, dan Daud Azh-Zhahiri. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  2. Hukum shalat tanpa azan dan iqamah tetap sah berdasarkan kesepakatan empat madzhab. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  3. Wanita tidak mengumandangkan azan dan iqamah. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1:306) menyatakan, “Aku tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”
  4. Bagi yang mengumandangkan azan hendaklah mengucapkan “SHOLLUU FII BUYUUTIKUM”, “ALAA SHOLLU FI RIHAALIKUM, “ALAA SHOLLU FIR RIHAAL”, ia bisa mengucapkan sekali atau dua kali, diucapkan di tengah atau bakda lafaz azan yang biasa diucapkan. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebut “Alaa shollu fii rihalikum” di tengah azan. Dalam hadits Ibnu Umar, disebut lafaz ini di akhir azan (bakda azan biasanya). Dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafii rahimahullah dalam kitab Al-Umm pada Bab Azan. Begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafiiyyah. Lafaz ini boleh diucapkan setelah azan maupun di tengah-tengah azan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah azan lebih baik, agar lafaz azan yang biasa diucapkan tetap ada.”
  5. Ucapan tambahan “SHOLLUU FII BUYUTIKUM” atau semisalnya tidak perlu dijawab dikarenakan ucapan tersebut hanyalah tambahan dengan maksud tanbih (mengingatkan) bahwa ada keringanan dan kemudahan dalam shalat. Sebagian ulama menyatakan bahwa kalau ucapan tersebut menggantikan hayya ‘alash shalaah, hayya ‘alal falaah, tetap dijawab dengan “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH”.

Ketiga: Tidak perlu seorang muslim mendirikan shalat Jumat di rumah.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jumat di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.” Lihat Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 18.

Yang tepat, jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Keempat: Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi berkata, “Termasuk bentuk tidak patuh pada pemerintah adalah sebagian orang di kampung berkumpul di suatu rumah tertentu untuk mendirikan shalat. Perbuatan ini juga menyelisihi fatwa para ulama. Tujuan menutup masjid pada saat pandemi ini adalah untuk menghindari perkumpulan. Perkumpulan ini yang menjadi sebab semakin tersebarnya wabah dan berpindah kepada yang lainnya.”

Beberapa poin tentang aturan shalat di rumah saat corona ini dikembangkan dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi dalam risalah singkat (bentuk PDF) dengan judul “Min Ahkam Ash-Shalaah fi Al-Buyuut wa Masail Tata’alluq bi Kuruunaa”.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24221-aturan-shalat-di-rumah-saat-pandemi-corona.html

Puasa Tetap Wajib Saat Pandemi

Ada yang beragumen untuk meniadakan puasa Ramadhan agar sistem imunitas tubuh kita tetap terjaga.

Padahal, puasa justru akan meningkatkan kondisi tubuh seseorang semakin sehat. Sudah banyak penelitian yang memaparkan manfaat puasa bagi kesehatan tubuh. Secara keseluruhan, orang dapat dikatakan sehat ketika memiliki saluran pencernaan yang bersih. Berpuasa, jadi salah satu jalan mewujudkan kondisi tubuh yang fit. Dengan berpuasa, jalur pencernaan diberi kesempatan untuk beristirahat dan membersihkan diri selama tidak mengolah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita.

Akan tetapi, orang bisa menuai manfaat puasa jika pola makannya pun baik. Artinya, mengonsumsi makanan yang sehat saat sahur maupun berbuka, serta memenuhi zat gizi yang diperlukan tubuh. Biasanya, sebagian orang justru mengabaikan sahur dan memilih mengonsumsi makanan seadanya. Nah, saat berbuka seluruh jenis makanan ia konsumsi sebagai ajang balas dendam karena seharian ia menahan haus dan lapar. Pola makan yang buruk seperti ini yang justru menyebabkan puasa seseorang tidak membawa manfaat bagi kesehatannya.

Agar sistem imun kita tetap kuat selama Ramadhan, perlu sekali kita perhatikan asupan gizi bagi tubuh, kita juga harus menjaga pola istirahat dan kebutuhan cairan selama berpuasa. Silakan taati anjuran ahli gizi yang informasinya bisa mudah ditemukan di internet. Hal yang paling penting dilakukan adalah meminta pertolongan kepada Allah agar menjaga diri kita, keluarga, dan lingkungan kita bebas dari penyakit.

Syarat wajib puasa

Yang jelas, puasa masih tetap wajib bagi:

  1. Seorang muslim.
  2. Baligh [1]
  3. Berakal [2]
  4. Suci dari haidh dan nifas.
  5. Mampu berpuasa.

Mengenai perihal mampu dalam berpuasa

Ada beberapa keadaan dalam hal ini:

Pertama: Jika ada yang tidak mampu berpuasa, ia tidak wajib berpuasa. Contohnya adalah orang tua renta yang tidak mampu dan ada kesulitan ketika berpuasa, termasuk juga orang yang sakit dan tak kunjung sembuh. Karena puasa itu wajib bagi yang mampu. Pengganti puasa untuk orang seperti ini adalah menunaikan fidyah.

Dalam ayat disebutkan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

Kedua: Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang ia khawatirkan akan bertambah parah, namun penyakit ini masih bisa diharapkan sembuhnya, dalam kondisi ia tidak berpuasa dan ia harus mengqadha puasa yang tidak dilakukan ketika ia sudah sembuh. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Cukup yang sakit merasa sulit berpuasa, ia boleh tidak berpuasa.

Ketiga: Jika pada pagi hari dalam keadaan berpuasa dan dalam keadaan sehat, kemudian ia sakit, ia boleh membatalkan puasa karena ia dibolehkan membatalkan dengan alasan darurat. Darurat pada saat ini ada, maka boleh membatalkan puasa.

Keempat: Ada juga keadaan orang yang jika berpuasa saat sakit, malah mendatangkan kematian, ia wajib tidak berpuasa dan kewajibannya adalah qadha’.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Catatan: Orang yang sakit ringan, tidak ada kesulitan untuk berpuasa, tidak boleh baginya membatalkan puasa.

Penjelasan di atas disarikan dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:167-171.

Keadaan orang sakit saat pandemi corona sama dengan perincian di atas, yakni:

  1. Jika sudah terkena virus corona dan dilarang puasa, bahkan jika puasa menyebabkan kematian, berarti tidak boleh puasa. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  2. Jika paginya sehat, siangnya sakit, berarti boleh tidak berpuasa karena darurat. Pengganti puasanya adalah qadha’ di hari lain.
  3. Jika khawatir penyakitnya tambah parah, boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah qadha’ bakda Ramadhan.
  4. Jika tidak mampu berpuasa sama sekali karena sudah tua renta atau penyakitnya tak kunjung sembuh, penggantinya adalah bayar fidyah.

Kesimpulannya, kita yang hanya diam di rumah saja dalam keadaan sehat dan kuat, tak ada yang menghalangi untuk berpuasa, maka tetap wajib puasa.

[1] Anak kecil tetap diajak berpuasa setelah berumur tujuh tahun jika ia mampu berpuasa untuk membiasakan dirinya. Kalau ia meninggalkan puasa pada usia sepuluh tahun, boleh dipukul. Hal ini dianalogikan dengan perkara shalat. Jika anak ini baligh dan ketika kecil pernah tidak puasa, tidak ada kewajiban qadha’. Karena masa kecil bukanlah masa seseorang dibebani syariat. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily, 1:167-168.

[2] Yang keluar dari kewajiban puasa adalah orang gila, juga anak kecil yang belum tamyiz.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24125-puasa-tetap-wajib-saat-pandemi-corona.html

Zakat Fitrah Dikeluarkan Sejak Awal Ramadhan Karena Pandemi

Bolehkah zakat fitrah dimajukan sejak awal Ramadhan karena pandemi, di mana banyak kaum muslimin yang susah dan butuh bantuan dari zakat fitrah saat ini?

Dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (2:101), Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengatakan:

  • Waktu wajibnya zakat fitrah adalah ketika matahari tenggelam pada akhir Ramadhan.
  • Pengeluaran zakat fitrah harus sebelum shalat Id.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membayar zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menuju shalat Id.” (HR. Bukhari, no. 1509 dan Muslim, no. 986)

  • Boleh mengeluarkan zakat fitrah pada hari Id seluruhnya, diharamkan mengakhirkan dari hari Id. Jika ia akhirkan dari hari Id, ia berdosa, namun tetap masih ada qadha.
  • Boleh mendahulukan zakat fitrah dari awal Ramadhan dan sepanjang bulan Ramadhan karena zakat fitrah itu wajib dengan dua sebab: (1) puasa pada bulan Ramadhan, (2) berbuka dari bulan Ramadhan. Jika salah satu dari dua sebab ini didapati, boleh memajukan zakat fitrah. Sebagaimana boleh mendahulukan zakat maal sebelum haul asalkan sudah mencapai nishab. Yang tidak dibolehkan adalah mendahulukan zakat fitrah sebelum Ramadhan karena dua sebab yang disebutkan tadi belum ada. Status yang terakhir sama seperti menunaikan zakat maal sebelum nishab dan haul.

Dalil yang menunjukkan zakat fitrah boleh didahulukan dari awal bulan adalah hadits dari Nafi’, ia berkata,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya Idulfitri.” (HR. Bukhari, no. 1511).

Dalil ini lagi menunjukkan zakat fitrah ditunaikan tiga hari sebelum Idulfitri, dari Nafi’, ia berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“‘Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idulfitri.” (HR. Malik dalam Muwatho’nya, no. 629, 1:285).

Dua dalil di atas menunjukkan kalau dua atau tiga hari sebelum shalat Id dibolehkan untuk mendahulukan bayar zakat fitrah. Dari sini, para ulama Syafiiyah menganggap berarti boleh juga dibayarkan zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Wallahu a’lam.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Malam Kamis, 7 Ramadhan 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24194-zakat-fitrah-dikeluarkan-sejak-awal-ramadhan-karena-pandemi.html