Ada limpahan pelajaran dari peristiwa Isra dan Mi’raj. Sudahkah kita menggalinya? Tersimpan banyak emas di sana.
Atau kita menganggap peristiwa Isra’ dan Mi’raj sebagai peristiwa biasa, tak beda dengan peristiwa lain? Atau kita sudah begitu sibuk hingga tak ada lagi waktu untuk menggali pelajaran dari peristiwa Isra’ dan MI’raj?
Mari kita menggali dan renungi pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Salah satu pelajaran dari Isra dan Mi’raj adalah membuktikan lemahnya akal manusia.
Akal manusia begitu lemah maka tidak bisa menjadi ukuran, apalagi untuk menilai wahyu.
Akal manusia bergantung pada input yang masuk dari panca indera dan olahan pikiran.
Seberapa yang kita tahu, seberapa, itulah batas akal kita. Kita harus mengakui bahwa akal kita terbatas. Sedangkan wahyu Allah adalah dari Allah yang ilmuNya luas tanpa batas. Bagaimana akal yang terbatas, bisa menjadi ukuran bagi ilmu Allah yang luas tanpa batas?
Mengapa akal yang tanpa batas dipaksakan untuk menghakimi ilmu Allah yang Maha Luas?
Kaum Quraisy menolak percaya Isra’ dan Mi’raj karena tidak masuk di akal mereka.
Akal mereka menolak ketika ada orang bisa pergi dari Makkah ke Baitul Maqdis dalam waktu semalam.
Mereka juga menolak bahwa ada orang pergi ke langit ketujuh dalam waktu semalam.
Mereka menolak karena hal itu tak masuk akal. Seperti orang hari ini menolak ayat atau hadits karena tak masuk akal.
Tapi bukankah hari ini manusia bisa menempuh jarak yang jauh dalam waktu yang singkat? Bukankah hari ini pesawat terbang bisa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat?
Nah akal manusia lebih bisa menerima adanya perjalanan jauh dalam waktu singkat.
Allah Maha Kuasa, lebih berkuasa untuk menjalankan Nabi Muhammad saw ke jarak yang jauh dalam waktu singkat. Artinya akal kaum Quraisy dibantah oleh akal manusia hari ini. Akal masa lalu membantah akal hari ini.
Ini membuktikan lemahnya akal, karena bisa bertentangan dan berubah keputusannya.
Mengapa akal yang bisa bertentangan menjadi hakim bagi wahyu Allah yang IlmuNya Maha Luas?
Mana yang lebih layak diikuti, wahyu Allah yang tak akan bertentangan, atau akal manusia yang bisa bertentangan?
Apakah akal manusia yang lemah lebih layak diikuti daripada wahyu Allah? Maka jangan kita syaratkan iman kita dengan akal. Kita baru percaya ketika wahyu sesuai akal.
Ketika akal kita jadikan syarat bagi iman kita pada Allah, kita hakekatnya beriman pada akal, bukan pada wahyu.
Ketika ada ayat atau hadits yang tak masuk akal kita, jangan kita dahulukan akal kita di atas wahyu. Ketika ada ayat atau hadits yang tak masuk akal kita, itu tandanya akal kita belum bisa mencerna. Sebagaimana tubuh kita bersujud kepada Allah, akal kita pun harus bersujud menerima wahyu Allah.
Bukankah akal kita bisa salah, dan Allah SWT. tak mungkin salah? Wallahua’lam.