guru

Jiwa Guru

Tidak mengajarkan ilmu yang sudah diberikan oleh guru, dianggap laksana mati; tiada arti hidup tanpa mengajar; tanpa mengamalkan ilmu yang sudah diraihnya.

suatu saat di sebuah rumah makan di Kota Surabaya, seorang tokoh pendidikan, berkisah tentang ‘guru’.  “Dulu, di awal tahun 1960-an, lulus SMP saya mendaftar Sekolah Guru Atas (SGA).  Rapor saya dilihat, dan saya ditolak. Lalu, saya mendaftar ke SMA terbaik di Surabaya. Rapor saya dilihat, dan saya diterima,” kata pria 70 tahun yang kemudian menjadi dosen di ITS.

Ayah saya seorang guru Sekolah Dasar, di sebuah desa Kabupaten Bojonegoro.  Disamping tugas rutin mengajar, ia berlangganan majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Saat duduk di bangku SD dan SMP (1971-1981), saya berkesempatan membaca berbagai berita dan tulisan-tulisan menarik di majalah yang dilanggan ayah saya itu.

Paman saya, seorang pedagang pasar, pun secara rutin membaca setiap edisi Panji Masyarakat yang datang. Dari paman saya itu, setiap habis maghrib, saya mengaji sejumlah kitab kuning, seperti Sullamut Tawfiq, Bidayatul Hidayah, al-Arba’in an-Nawawiyah, dan lain-lain.  Kadang di surau, kadang di rumahnya.

Setiap hari, usai shalat Subuh,  ia berangkat ke pasar, menjajakan kain dagangannya. Sore, setiba di rumah, ia menelaah kitab, persiapan untuk mengajar.  Berapa pun murid yang datang, ia mengajar dengan semangat. Sampai wafatnya, 1984 – saat saya kuliah tahun pertama di IPB —  itulah kegiatan rutin sang pedagang, yang juga kyai kampung itu.

Suatu ketika, seperti diceritakan dalam biografinya, KH Imam Zarkasyi bertanya kepada seorang santrinya yang sudah lulus, “Kamu sudah ngajar?”  Si santri menjawab, “Belum, Pak Kyai!”  Dan inilah komentar Kyai Imam Zarkasyi pada si santri, “Mati kamu!”

Tidak mengajarkan ilmu yang sudah diberikan oleh guru, dianggap laksana mati; tiada arti hidup tanpa mengajar; tanpa mengamalkan ilmu yang sudah diraihnya. Kata Imam al-Ghazali, dalam Kitab Ayyuhal Walad, “al-‘Ilmu bilā ‘amalin junūnun wal-‘amalu bilā ‘ilmin lam yakun.” (Ilmu tanpa amal itu gila. Dan amal tanpa ilmu, itu tidak bernilai).

***

Bertahun-tahun sebelum kemerdekaan RI, 1945,  tokoh pendidikan Indonesia Mohammad Natsir sudah mengingatkan umat Islam akan ‘nasehat’ Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam: ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.”  (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Pendidikan! Itu kata kuncinya.  Jatuh bangun dan masa depan umat Islam serta bangsa Indonesia ditentukan oleh kualitas pendidikan. Kondisi umat saat ini adalah buah dari proses pendidikan.  Kondisi sosial kita, tak ayal lagi, merupakan  refleksi dari lembaga pendidikan.

Jika umat Islam kalah di berbagai bidang dan lini kehidupan, lihatlah kondisi pendidikannya. Lihatlah keluarganya. Lihatlah masjidnya. Lihatlah sekolahnya. Lihatlah kondisi kampusnya.

Apakah konsep ilmu dan pendidikan Islam benar-benar diterapkan? Apakah pendidikan dipandang sebagai sebuah perjuangan atau peluang bisnis? Apakah murid dipandang sebagai penuntut ilmu atau sebagai pelanggan? Apakah guru diletakkan sebagai ‘pendidik’ (muaddib) atau ‘tukang ngajar’ bayaran?

Para santri biasanya hafal mahfudzat ini: “at-thariqatu ahammu minal māddah, wal-ustādzu ahammu minal tharīqah, wa-ruhul ustadz ahammu minal ustādz.” (Metode lebih penting daripada materi ajar; guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting daripada guru).

Jadi, “jiwa guru” itulah kunci kemajuan pendidikan, dan sekaligus kemajuan bangsa.  Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, munafik, riya’, cinta dunia, gila jabatan, sombong, dengki, lemah semangat, penakut, dan sebagainya.

Berapa pun anggaran pendidikan dikucurkan, jika jiwa guru tidak dibangun, maka jangan pernah mimpi kita akan menjadi bangsa hebat dan beradab! Wallahu A’lam.*

Artikel ditulis di kolom di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2017

HIDAYATULLAH