Guru, Ustadz dan Kiayi : Sebuah Perenungan di Hari Guru Nasional

Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional untuk menghormati peran dan kontribusi para pendidik dalam membentuk generasi penerus. Dalam konteks ini, perlu ditekankan bahwa seorang guru, baik itu kiai, ustad, atau tenaga pendidik lainnya, memiliki kemuliaan dan tanggung jawab yang besar.

Seorang kiai, sebagai bentuk guru dalam tradisi Islam, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan tetapi juga menjalankan peran spiritual yang menginspirasi. Ikhlas dalam mengajar dan berdoa bagi kesuksesan santri merupakan inti dari peran seorang kiai. Dalam ajaran Islam, seorang guru yang ikhlas dalam memberikan ilmu pengetahuan dianggap sebagai sosok yang mulia.

Hadist yang diriwayatkan menurut Imam Ahmad dan Abu Daud, “Barang siapa memuliakan orang alim (guru) maka ia memuliakan aku. Dan barang siapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga” menjadi perekat makna kemuliaan seorang guru dalam ajaran Islam. Penghormatan pada guru dianggap sebagai penghormatan kepada Rasulullah, yang pada gilirannya, merupakan penghormatan kepada Allah.

Peran seorang guru tidak hanya terbatas pada ruang kelas atau pesantren, tetapi juga membawa dampak jangka panjang. Seorang kiai yang ikhlas dalam mendidik menciptakan fondasi moral dan spiritual yang kokoh pada santrinya. Berkah yang diharapkan bukan hanya dalam kesuksesan dunia, tetapi juga dalam keberkahan dan keberlanjutan amal perbuatan di akhirat.

Ikhlas dalam mendidik juga mencakup aspek pembentukan karakter dan etika. Seorang kiai yang mendoakan santrinya tidak hanya berharap mereka pandai dalam akademis, tetapi juga menjadi individu yang baik, bermanfaat bagi masyarakat, dan berada di jalur kebenaran.

Peran seorang kiai tidak berhenti ketika santri menamatkan pendidikannya. Doa dan dukungan terus mengalir bahkan setelah santri meninggalkan lingkungan pendidikan. Kiai terlibat dalam perjalanan hidup santri, memberikan semangat dan doa untuk kesuksesan di masa depan. Pendidikan, dalam pandangan seorang kiai, bukan hanya tentang peningkatan kapasitas akademis, tetapi juga penyelarasan diri dengan nilai-nilai spiritual dan moral.

Dalam merayakan Hari Guru Nasional, mari kita tingkatkan kesadaran akan nilai-nilai mulia yang dimiliki oleh seorang guru. Penghormatan pada guru, terutama pada seorang kiai, merupakan bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai keislaman. Dengan menginternalisasi makna hadist yang menyatakan bahwa memuliakan guru adalah memuliakan Rasulullah, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih berbobot spiritual.

Sejalan dengan tema Hari Guru Nasional, mari kita hargai dan hormati peran kiai, ustad, dan semua guru di berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pilar moral dan spiritual yang membimbing generasi mendatang. Dengan bersama-sama menghormati guru, kita ikut berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang lebih bermartabat dan berakhlak mulia.

ISLAMKAFFAH

Jiwa Guru

Tidak mengajarkan ilmu yang sudah diberikan oleh guru, dianggap laksana mati; tiada arti hidup tanpa mengajar; tanpa mengamalkan ilmu yang sudah diraihnya.

suatu saat di sebuah rumah makan di Kota Surabaya, seorang tokoh pendidikan, berkisah tentang ‘guru’.  “Dulu, di awal tahun 1960-an, lulus SMP saya mendaftar Sekolah Guru Atas (SGA).  Rapor saya dilihat, dan saya ditolak. Lalu, saya mendaftar ke SMA terbaik di Surabaya. Rapor saya dilihat, dan saya diterima,” kata pria 70 tahun yang kemudian menjadi dosen di ITS.

Ayah saya seorang guru Sekolah Dasar, di sebuah desa Kabupaten Bojonegoro.  Disamping tugas rutin mengajar, ia berlangganan majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Saat duduk di bangku SD dan SMP (1971-1981), saya berkesempatan membaca berbagai berita dan tulisan-tulisan menarik di majalah yang dilanggan ayah saya itu.

Paman saya, seorang pedagang pasar, pun secara rutin membaca setiap edisi Panji Masyarakat yang datang. Dari paman saya itu, setiap habis maghrib, saya mengaji sejumlah kitab kuning, seperti Sullamut Tawfiq, Bidayatul Hidayah, al-Arba’in an-Nawawiyah, dan lain-lain.  Kadang di surau, kadang di rumahnya.

Setiap hari, usai shalat Subuh,  ia berangkat ke pasar, menjajakan kain dagangannya. Sore, setiba di rumah, ia menelaah kitab, persiapan untuk mengajar.  Berapa pun murid yang datang, ia mengajar dengan semangat. Sampai wafatnya, 1984 – saat saya kuliah tahun pertama di IPB —  itulah kegiatan rutin sang pedagang, yang juga kyai kampung itu.

Suatu ketika, seperti diceritakan dalam biografinya, KH Imam Zarkasyi bertanya kepada seorang santrinya yang sudah lulus, “Kamu sudah ngajar?”  Si santri menjawab, “Belum, Pak Kyai!”  Dan inilah komentar Kyai Imam Zarkasyi pada si santri, “Mati kamu!”

Tidak mengajarkan ilmu yang sudah diberikan oleh guru, dianggap laksana mati; tiada arti hidup tanpa mengajar; tanpa mengamalkan ilmu yang sudah diraihnya. Kata Imam al-Ghazali, dalam Kitab Ayyuhal Walad, “al-‘Ilmu bilā ‘amalin junūnun wal-‘amalu bilā ‘ilmin lam yakun.” (Ilmu tanpa amal itu gila. Dan amal tanpa ilmu, itu tidak bernilai).

***

Bertahun-tahun sebelum kemerdekaan RI, 1945,  tokoh pendidikan Indonesia Mohammad Natsir sudah mengingatkan umat Islam akan ‘nasehat’ Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam: ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.”  (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Pendidikan! Itu kata kuncinya.  Jatuh bangun dan masa depan umat Islam serta bangsa Indonesia ditentukan oleh kualitas pendidikan. Kondisi umat saat ini adalah buah dari proses pendidikan.  Kondisi sosial kita, tak ayal lagi, merupakan  refleksi dari lembaga pendidikan.

Jika umat Islam kalah di berbagai bidang dan lini kehidupan, lihatlah kondisi pendidikannya. Lihatlah keluarganya. Lihatlah masjidnya. Lihatlah sekolahnya. Lihatlah kondisi kampusnya.

Apakah konsep ilmu dan pendidikan Islam benar-benar diterapkan? Apakah pendidikan dipandang sebagai sebuah perjuangan atau peluang bisnis? Apakah murid dipandang sebagai penuntut ilmu atau sebagai pelanggan? Apakah guru diletakkan sebagai ‘pendidik’ (muaddib) atau ‘tukang ngajar’ bayaran?

Para santri biasanya hafal mahfudzat ini: “at-thariqatu ahammu minal māddah, wal-ustādzu ahammu minal tharīqah, wa-ruhul ustadz ahammu minal ustādz.” (Metode lebih penting daripada materi ajar; guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting daripada guru).

Jadi, “jiwa guru” itulah kunci kemajuan pendidikan, dan sekaligus kemajuan bangsa.  Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, munafik, riya’, cinta dunia, gila jabatan, sombong, dengki, lemah semangat, penakut, dan sebagainya.

Berapa pun anggaran pendidikan dikucurkan, jika jiwa guru tidak dibangun, maka jangan pernah mimpi kita akan menjadi bangsa hebat dan beradab! Wallahu A’lam.*

Artikel ditulis di kolom di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2017

HIDAYATULLAH

Peran Ganda Perempuan yang Berprofesi sebagai Guru

Belum lama, 25 November 2020 telah diperingati Hari Guru Nasional. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Tak dipungkiri bahwa dewasa ini tak sedikit para perempuan yang memilih berperan di dunia pendidikan dan mengambil “guru” sebagai profesinya.

Profesi guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai fleksibilitas waktu, tuntutan yang tidak terlalu tinggi dan kesejahteraan yang memadai. Sehingga alasan itulah yang mendasari para perempuan berprofesi sebagai guru. Terlebih saat perannya sudah ganda menjadi seorang istri.

Boulding dalam Kusnadi (2001:3-4), bahwa ada 3 peran utama yang harus dimiliki perempuan yairu breeder, feeder, dan producer. Peran pertama yakni berkaitan dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak. Perang kedua yakni tanggung jawab seorang perempuan menyediakan makan kepada anggota keluarga. Bisa dibilang bahwa kedua peran ini adalah peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Peran ketiga berkaitan dengan peran publik yakni seorang perempuan ikut andil dalam perekonomian keluarga.

Konsep tersebut memberikan gambaran bahwa peran perempuan telah melebar. Tak hanya sebagai ibu rumah tangga, perannya sekaligus sebagai perempuan karir. Guru adalah suatu profesi sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Guru juga bertugas sebagai penjaga moral bagi anak didiknya. Bahkan tak jarang julukan “orang tua kedua” tersemat pada seorang guru.

Sedangkan arti “guru” dalam rumah tangga yakni seorang perempuan yang berperan sebagai istri yang baik bagi suami dan madrasah pertama bagi anaknya. Sehingga, ini merupakan peran ganda bagi guru perempuan yang sudah menikah. Tak jarang, mereka pun harus berperan “multifungsi”.

Tugas guru di sekolah yang menumpuk terkadang menjadi sebuah tekanan. Tak jarang ada beberapa tugas yang belum selesai dan dibawa ke rumah. Sehingga membuat waktu untuk keluarga tersita. Oleh karena itu, penting bagi para guru perempuan yang telah berkeluarga untuk membagi waktu antara pekerjaan sebagai guru dan ibu rumah tangga.

Pekerjaan perempuan sebagai guru memang sangat mulia. Terlepas dari alasan untuk membantu perekonomian keluarga. Para perempuan pejuang pendidikan ini pun juga berusaha dalam segenap perannya yang ganda agar dapat berjalan dengan baik. Hal yang penting adalah meskipun perempuan diperbolehkan untuk bekerja di sektor publik, perempuan tidak boleh menelantarkan sektor domestik dan pengasuhannya terhadap anak-anak.

BINCANG MUSLIMAH

Kyai Kholil Bangkalan Sang Maha Guru

25 November diperingati sebagai hari guru. Sebuah momen untuk kembali merefleksikan nilai-nilai perjuangan guru dan jasa-jasanya. Begitu juga guru-guru di pesantren yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan, mengenal kearifan, dan jalan menuju Tuhan. Geneologi guru-guru di pesantren kebanyakan bersambung kepada satu guru yang masyhur, Kyai Kholil Bangkalan yang menjadi sang maha guru.

Dalam khazanah kepesantrenan, kisah tentang Kyai Kholil Bangkalan tentu takkan absen dari pengisi kelas-kelas sebelum belajar. Mengenal kisahnya bertujuan untuk mengenalkan karomah guru dan tentu, tirakatnya. Kyai Kholil merupakan guru dari beberapa kyai pesantren di Indonesia. Termasuk para pendiri Organisasi Masyarakat (ormas) salah satunya adalah Kyai Hasyim Asy’ari.

Beliau bernama lengkap KH. Muhammad Kholil, lahir di desa Kemayoran, Bangkalan, Madura, Jawa Timur pada bulan Desember tahun 1820. Beliau hidup dengan laku harian yang penuh tirakat dan kesederhaan. Hingga pantaslah pada hari kemudian beliau menjadi sosok ulama karismatik yang ilmunya ditimba oleh ulama-ulama nusantara.

Dalam catatan biografi “KH. M. Kholil Bangkalan; Biografi Singkat 1835-1925” yang ditulis oleh Muhamamd Rifa’i dan diresensikan oleh Moh. Riwwan Rifa’i, diceritakan di dalamnya tentang perjalanan singkat hidupnya termasuk pengembaraan keilmuannya dan murid-murid yang mengais ilmu darinya.

Beberapa di antara muridnya adalah KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi pendiri Nahdhatul Ulama. Organisasi dengan anggota terbanyak di Indonesia. Selain Kyai Hasyim, ada juga Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri yang sama-sama berperan dalam pendirian NU. Juga ada Kyai Abdul Manaf dari Lirboyo, Kyai Bisri Musthofa dari Rembang, Kyai Ahmad Shiddiq dari Jember, dan beberapa tokoh ulama lainnya.

Dalam proses pengajarannya, Kyai Kholil menekankan sikap zuhud dan ikhlas. Banyak cerita mengenai karomah beliau semasa penulis mesantren di Jawa Timur. Salah satunya adalah adalah perintah Kyai Kholil kepada Kyai Hasyim yang masih nyantri dengan beliau untuk mencarikan cincin istrinya yang masuk ke septitank. Tanpa berlama-lama, Kyai Hasyim langsung terjun ke dalam septitank dan menemukan cicin istri dari Kyai Kholil. Tindakan tersebut menunjukkan khidmat dan kepatuhan. Lantas Kyai Kholil mendoakan Kyai Hasyim agar kelak menjadi tokoh panutan dan dicintai banyak orang.

Ajaran-ajarannya kepada murid-muridnya yang kemudian hari menjadi orang bermanfaat adalah ajaran yang tidak hanya ilmu pengetahuan, tapi juga penempaan karakter. Terbukti dari apa yang diceritakan tentang Kyai Hasyim Asy’ari. Dan juga kyai-kyai lain yang pernah menimba ilmu darinya.

Tidak hanya menjadi guru bagi para santrinya, beliau juga memiliki peran besar di lingkungan sosialnya. Diceritakan dalam biografi singkat tersebut, Kyai Kholil merupakan pemimpin bagi masyarakat desa sekitar yang sangat rendah hati dan merakyat. Beliau terjun langsung untuk bisa memahami kondisi masyarakat. Kewibawaannya lahir dari ilmu dan karakter, sehingga tak heran beliau melahirkan banyak murid yang pada kemudian hari menjadi tokoh besar yang juga menyebarkan ilmu melalui lembaga-lembaga pesantren dan masyarakat.

Pengembaraan keilmuannya dimulai dari rumahnya, beliau kali pertama berguru kepada ayahandanya. Lalu beliau melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Kemudian ke Pesantren Bangil, lalu Keboncandi dan Sidogiri. Setelah pengembaraan ilmu di Indonesia selama bertahun-tahun, beliau berangkat ke Mekkah untuk menimba ilmu di sana membawa serta istrinya.

Sepulang dari Mekkah, beliau kembali ke Madura, tanah kelahirannya untuk mengabdi dan mengamalkan ilmunya. Setelah pengabdiannya yang panjang, beliau wafat di usianya yang ke-104 tahun pada tahun 1925 di Madura. Makamnya kini banyak dikunjungi oleh para peziarah baik santri maupun non santri. Sebab karomah dan cerita-ceritanya membawa para peziarah menuju ke sana untuk turut mendoakannya.

Beliaulah Kyai Muhammad Kholil Bangkalan, sang maha guru yang patut diteladani. Selamat hari guru!

BINCANG MUSLIMAH

Adab Murid terhadap Guru: Mendengarkan Penjelasan Beliau dengan Antusias

Wajib bagi seorang murid, ketika gurunya sedang menyampaikan sebuah ilmu, menjelaskan sebuah pelajaran, atau membahas sebuah materi, untuk mendengarkan secara antusias kalam gurunya tersebut, sembari menunjukkan perhatian yang besar atas apa yang diterangkan oleh gurunya, walaupun si murid bisa jadi sudah mengetahui tentang ilmu tersebut.

Mari kita simak riwayat dari para salaf tentang permasalahan adab ini, sebagai berikut:

عن معاذ بن سعيد قال: كنا عند عطاء بن أبي رباح، فتحدَّث رجل بحديث، فاعترض له آخر في حديثه، فقال عطاء: سبحان الله، ما هذه الأخلاق؟ ما هذه الأحلام؟ إني لأسمع الحديث من الرجل، وأنا أعلم منه، فأُرِيهم من نفسي أني لا أُحسِن منه شيئا

Dari Mu’adz ibn Sa’id, beliau berkata: Kami sedang berada di majelis ‘Atha’ ibn Abi Rabah, di mana seseorang meriwayatkan sebuah hadits lalu ada orang lain yang menyanggahnya saat dia sedang membawakan hadits tersebut. Maka ‘Atha’ berkata, “Subhanallah. Akhlak apa ini? Mimpi apa ini? Sesungguhnya aku mendengar hadits dari seseorang, sementara aku lebih berilmu dari dia, maka aku tunjukkan kepadanya bahwa aku tidak tahu sama sekali tentang hadits tersebut.”

قال عطاء: إن الشاب ليتحدث بحديث فأستمع له كأني لم أسمع، ولقد سمعته قبل أن يولد

Dari ‘Atha’, beliau berkata, “Ada seorang pemuda sedang meriwayatkan sebuah hadits. Maka aku mendengarkannya seolah aku belum pernah mendengar hadits tersebut, padahal aku telah mendengarnya sebelum dia dilahirkan.”

عن خالد بن صفوان قال: إذا رأيت محدِّثا يحدِّث حديثا قد سمعته، أو يخبر خبرا قد علمته، فلا تشاركه فيه، حرصا على أن تُعلِم من حضرك أنك قد علمته، فإن ذلك خفة وسوء أدب

Dari Khalid ibn Shafwan, beliau berkata, “Jika engkau melihat seseorang sedang meriwayatkan sebuah hadits yang telah engkau dengar, atau mengabarkan kabar yang telah engkau tahu, maka jangan ikut meriwayatkan hadits tersebut karena ingin memberi tahu kepada orang-orang yang hadir bahwa engkau telah mengetahuinya. Sesungguhnya itu adalah sikap meremehkan dan adab yang buruk.”

Dari nukilan di atas, kita simpulkan bahwa merupakan adab yang buruk ketika kita menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sudah tahu ilmu yang sedang dia bicarakan. Apalagi jika dia adalah guru kita, yang sedang mengajarkan ilmu, membahas sebuah hukum, menyebutkan sebuah hadits, atau mengupas faidah dari perkataan ulama’, dan kita sedang duduk di majelis atau kajian beliau. Tidak boleh bagi kita untuk kemudian menunjukkan sikap bahwa kita sudah paham apa yang diterangkan oleh guru kita tersebut, walaupun kita sebenarnya memang sudah paham dan bisa jadi hafal seluruh ilmu yang beliau bawakan. Wajib bagi kita untuk mendengarkan beliau secara antusias, seolah kita baru mendapatkan faidah itu pertama kali, dalam rangka menghormati guru kita dengan cara memiliki sikap tawadhu’ di hadapannya dan memberikan kebahagiaan di dalam hatinya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki adab dan akhlak kita, terutama kepada guru kita, dan semoga Dia memberikan keberkahan kepada ilmu dan waktu kita.

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57001-adab-murid-terhadap-guru-mendengarkan-penjelasan-beliau-dengan-antusias.html

Hukum Guru Mengajar Les Sampingan Bagi Siswa

Jika ada guru yang mengajar matematika, lalu ada siswa yang meminta utk les d luar kelas, dengan biaya tertentu, apakah ini dibolehkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pertanyaan semacam ini pernah disampaikan kepada Imam Abdul Aziz Ibnu Baz – rahimahullah –.

Teks pertanyaan,

يتساءل بعض الطلاب عن الاستعانة ببعض المدرسين لتدريسهم خارج المدرسة فيما لم يفقهوه مقابل مبلغ من المال ، علماً بأن الطالب هو الذي يلح على المدرس في ذلك وهل يختلف الحكم إذا كان الطالب يدرس عند المدرس في نفس المدرسة ؟

Sebagian siswa bertanya tentang hukum meminta tolong ke beberapa guru agar mengajar tambahan di luar kelas, untuk materi yang tidak mereka pahami, dengan membayar biaya tertentu. Dengan catatan, bahwa sang siswa yang meminta guru untuk melakukan itu. Apakah hukumnya berbeda jika yang meminta diadakan les adalah guru yang mengajar di sekolah tersebut?

Jawaban Syaikh Ibnu Baz,

لا بأس أن يستعين الطالب بالمدرس خارج غرفة التدريس في أن يعلمه ويفقهه في المواد التي يدرسها ، سواء كان المدرس هو الذي يدرسه أو مع مدرس آخر ، إلا إذا كانت التعليمات لدى المدرسة تمنع من ذلك ، فعلى الطالب أن يلتزم بالتعليمات التي توجه إليه

Tidak masalah siswa meminta tolong guru untuk les tambahan materi yang dia ajarkan di luar kelas. Baik beliau guru materi tersebut atau guru yang lain. Kecuali jika ada aturan di sekolah yang melarang hal itu, sehingga semua siswa wajib mentaati aturan yang berlaku baginya.

Beliau melanjutkan,

أما إذا لم يكن هناك تعليمات تمنع فلا مانع من أن يكون بعض الأساتذة يدرسونه ويعلمونه في خارج أوقات الدراسة في بيته أو في المسجد ولا حرج في ذلك

Namun jika di sana tidak ada aturan yang melarang hal itu, maka tidak masalah sebagian guru mengajar les tambahan di luar waktu belajar, baik di rumahnya atau di masjid. Semacam ini tidak masalah.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Imam Ibnu Baz. 8/279].

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/34045-hukum-guru-mengajar-les-sampingan-bagi-siswa.html

Para Khalifah dan Penghormatannya pada Guru

BULAN Oktober dikenal dan diperingati ‘Hari Guru Sedunia’. Tapi benarkah penghormatan itu sepadan dengan amal dan jerih payah yang telah mereka lakukan?

Faktanya,  mereka yang seharusnya menempati posisi terhormat karena keluhuran profesi, sejauh ini belum mendapat perlakuan layak. Di lapangan, yang justru seringkali terjadi mereka hanya didikte dan tak jarang dikriminalisasi. Ada kesenjangan sikap yang luar biasa yang ditujukan kepada mereka: ketika guru dianggap salah, urusanya langsung ke pengadilan. Namun, ketika berhasil mendidik anak, maka penghormatan pada mereka kurang diberikan. Yang banyak justru dilupakan.

Di masa kejayaan Islam, guru begitu dihormati baik oleh negara dan masyarakat. Mehdi Nakosteen misalnya, dalam buku “Kontribusi Islam atas Intelektual Dunia Barat” (1996: 76-77) mencatat bahwa guru dalam pendidikan muslim begitu dihormati. Para pelajar muslim (mahasiswa) mempunyai perhatian besar terhadap gurunya. Bahkan, sering kali lebih suka hubungan intelektual secara langsung dengan gurunya daripada dengan tulisan-tulisan mereka.

Penghormatan Negara  

Raghib As-Sirjani dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” (2009: 1/244) menyebutkan beberapa contoh penghormatan itu.  Terkait pemerintah kepada guru bisa dibaca keterangan dari Abdullah bin Mubarak Rahimahullah menuturkan ia belum pernah menjumpai guru, ahli Qur`an,  orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menjaga diri dari larangan-larangan Allah sejak masa Rasulullah hingga sekarang melebihi apa yang ada di zaman Harun Ar-Rasyid.

Pada masanya, anak kecil usia 8 tahun hafal al-Qur`an atau anak usia 11 tahun menguasai fiqih dan ilmu lain, meriwayatkan hadits, berdialog dengan guru sudah hal lumrah pada saat itu.  Apa rahasianya? Ini tidak lain karena kepedulian Khalifah Harun kepada ilmu, guru serta murid sejak dini. Untuk menggapai tujuan itu, banyak sekali dana yang dikeluarkan olehnya. Marwah guru di mata beliau sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.

Masih dalam buku yang sama (I/245), perhatian daulah terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).

Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-KhabusyaniRahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

Penghormatan Orangtua kepada Guru

Orang tua pun demikian juga melakukan penghormatan tinggi kepada guru.  Pada masa keemasan Islam,  mereka sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru. Mereka memberikan dukungan dan membiasakan untuk mengajarkan anak-anak kepada mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya.

Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini [Atha’] (Aidh Al-Qarny, Rūh wa Rayhān, 296).

Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa ini harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru.

Demikian juga Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sebagai orangtua, beliau mempercayakan pendidikannya kepada para guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.

Di Nusantara juga begitu. Pada zaman Mataram Islam misalnya, oleh Mahmud Yunus –dalam buku “Sejarah Pendidikan Islam” (1993: 221-227)– disebut sebagai masa keemasan pendidikan dan pengajaran Islam di tanah Jawa karena mempunyai organisasi yang teratur dalam pemerintahan Negara Islam.

Kepedulian orangtua waktu itu bisa dilihat dari  kontribusi pembiayaan pendidikan –seperti pesantren melalui pemungutan zakat,  srakah (iuran waktu nikah), wakaf dan palagara (pembayaran suatu hajat dari penduduk desa) juga raja.

Menariknya, begitu pedulinya-nya orangtua dan anak dalam masalah pendidikan dan guru, pada waktu itu kalau ada anak usia tujuh tahun belum bisa membaca al-Qur`an, maka akan menjadi bahan olokan teman. Mereka merasa malu kalau pada usia itu belum bisa baca al-Qur`an.

Sementara, kepedulian penguasa –dalam hal ini kerajaan—misalnya, pada tahun 1700, pada masa kerajaan Kartasura,  ada pesantren-pesantren yang dijadikan tanah perdikan diberi tanah sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun-temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.  Kedua contoh tersebut menunjukkan betapa pedulinya masyarakat dan kerajaan Mataram pada guru. Mereka bekerjasama dan bahu-membahu untuk menghormati pendidikan dan guru.

Dari beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati guru. Itu terwujud melalui kepedulian negara dan masyarakat. Sebagai penutup, nasihat A. Hassan dalam buku “Kesopanan Tinggi Secara Islam” (1993: 25-28) menarik untuk direnungi, “Sungguh pun ilmu-ilmu ada tertulis di kitab-kitab, tetapi kunci dan rahasianya ada di tangan atau di dada guru.” Beliau juga menyarankan: hormatilah guru, berlakulah sopan kepadanya dan turuti perintah-perintahnya di hadapannya dan di belakangnya.*

Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Penulis alumni Al Azhar – Kairo, dan Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Angkatan VIII (2014-2015)

HIDAYATULLAH

Mengapa Engkau Begitu Tenang Wahai Guru?

SEBAGAI penyebar kedamaian, guru saya ini seringkali dimusuhi para perusuh. Sebagai pengajak kebaikan, guru saya ini seringkali ditantang oleh para penyuka keburukan. Sebagai pembangun masyarakat, guru saya ini diancam oleh para perusak bangunan kemasyarakatan. Namun, guru yang satu ini hebat, tetap tenang dan tersenyum. Para muridnya rata-rata tak terima gurunya diperlakukan tak benar, namun kaget saja dengan respon tenang sang guru.

Suatu hari, seorang santri memberanikan diri bertanya kepada sang guru rahasia di balik tenang dan senyumnya menghadapi tantangan, ancaman dan gangguan serta berbagai musibah. Sang guru menjawabnya dengan jawaban yang mengagumkan.

Berikut jawabannya: “Anak-anakku, ketika kita naik bis, kita merasa tenang berada di dalam bis yang kita sendiri tak kenal supirnya. Ketika kita naik pesawat, kita begitu tenang dan percaya bahwa pilot akan mengantarkan kita ke bandara tujuan dengan aman. Padahal kita tak mengenal pilot itu. Begitu pula ketika kita naik kereta api, kita tenang dan percaya pada masinisnya walau kita tidak kenal. Lalu apa alasan kita tidak tenang hidup di bumi ini sementara kita tahu bahwa Allah Yang Mengatur hidup kita?”

Semua murid, santri, terdiam dengan jawaban jitu itu. Lalu guru saya itu berdiri masuk ke dalam bilik kecilnya sambil berkata lirih: “Kau tak beriman sebelum merasa tenang dan nyaman dengan aturannya. Ayo beristighfar untuk lemahnya iman kita.” Sang guru hanyut dalam heningnya malam.

 

INILAH MOZAIK

Menjaga Keikhlasan Guru

Banyak guru tak ingin ditimpa kesusahan. Padahal, tak sedikit guru yang hidupnya berhasil karena sabar menjalani hidup susah. Setiap guru bisa jadi punya sudut pandang berbeda tentang makna hidup susah.

Saya kerap menjumpai guru di pelosok daerah yang hidupnya susah. Ukuran susahnya karena guru tersebut belum berstatus guru pegawai negeri sipil (PNS). Ada dua sikap berbeda dari guru yang hidup susah, mengeluh atau tetap ikhlas berbuat kebajikan. Yang mengeluh, hidupnya tak beranjak dari satu kesusahan ke kesusahan lainnya. Yang ikhlas mengajar dan mendidik, mereka kerap mengalami kejadian yang di luar nalar.

Contohnya, ada seorang bapak guru yang mengabdi di Biak (Papua). Beliau sudah lebih dari 20 tahun menjadi guru honorer. Hidupnya dijalani dengan penuh perjuangan. Dengan seorang istri dan tiga anak, uang gajinya pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bahkan, kerap mengalami kekurangan. Tetapi, keluarga mereka bahagia. Berapa pun rezeki yang didapatkan, mereka cukupkan. Kehidupan keluarganya berjalan harmonis. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak pintar dan saleh. Sambil berkaca-kaca, beliau mengutarakan perasaan bahagia dan bersyukur karena ketiga anaknya bisa kuliah di perguruan tinggi negeri lewat beasiswa.

Saat beliau bercerita ihwal perjuangan hidupnya sebagai guru, tak ada sedikit pun tersirat rona kesedihan. Saat hidup susah, beliau dan keluarganya tak banyak mengeluh. Sebaliknya, beliau malah tetap menjaga niat, keikhlasan, serta semangat dalam mengajar dan mendidik para siswanya. Di saat yang sama, ketaatannya kepada Allah SWT tak pernah berkurang, bahkan makin dekat dengan Allah SWT.

Hal itu yang menyebabkan dirinya tak pernah resah dengan status dirinya yang bukan guru PNS.

Dalam buku Cara Berpikir Suprarasional (Republika Penerbit, 2013) karya Raden Ridwan Hasan Saputra, bapak guru ini layak disebut guru suprarasional. Ketika menghadapi masalah yang sangat sulit, guru suprarasional menjadikan Allah SWT sebagai faktor yang sangat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan atau tindakan dalam hidupnya. Guru dengan cara berpikir suprarasional selalu menggantungkan harapan dan doanya kepada Allah SWT dalam ikhtiar memecahkan kesulitan hidup.

Guru suprarasional paham makna merencanakan kesusahan. Di tengah himpitan kesulitan hidup, dia memilih tetap menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab. Bahkan, dia melakukan hal-hal lain di luar tanggung jawab. Misal, memberikan bimbingan belajar gratis kepada siswa yang lemah pemahamannyaa.

Dengan menjaga keikhlasan, kesusahan akan mendatangkan rezeki yang tak disangka-sangka. Anak yang saleh tak bisa dibeli dengan uang.

Bagaimana mungkin pula gaji seorang guru honorer bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi? Rezeki tak diduga adalah hasil kombinasi ikhtiar merenca nakan kesusahan dan menjaga keikhlasan. Atas izin Allah SWT, kesusahan membawa kenikmatan. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Asep Sapaat

REPUBLIKA

Indahnya Memiliki Guru Ikhlas, Jujur dan Fasih

MENCARI guru itu jangan didasarkan pada pandai atau tidaknya bicara melainkan pada tulus dan jujurnya sang guru itu. Pengetahuan untuk otak itu penting, namun keyakinan untuk hati itu jauh lebih penting.

Cobalah renungkan dawuh Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Hikamnya. Beliau berkata “Ucapan orang ikhlas dan jujur menjadi cahaya dan memberi berkah walau ucapannya itu tidak disampaikan secara fashih atau lancar.”

“Sedangkan ucapan orang yang tidak ikhlas dan tidak jujur itu menjadikan kegelapan dalam hati dan kegagalan, walaupun ucapannya fasih, lancar.”

Keikhlasan guru dalam mengajar sangatlah penting. Bagi yang mersa menjadi guru, belajarlah untuk ikhlas agar ilmu yang disampaikan bisa masuk ke hati para murid atau santrinya.

Doakan saya ya saudaraku, sahabatku dan santri serta jamaahku agar saya menjadi pribadi yang ikhlas dan jujur dalam mengajar dan berdakwah. Salam, AIM [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2378517/indahnya-memiliki-guru-ikhlas-jujur-dan-fasih#sthash.T64yI0mR.dpuf

 

Baca juga:

 

Carilah Guru Menanamkan Keyakinan & Keistiqamahan

Nilai Penting Adab dalam Ilmu