Lelaki itu tumbuh di tengah keluarga terhormat. Ia dikaruniai bakat kepenyairan yang membuatnya terkenal di seluruh kabilah. Pada musim-musim Pasar ‘Ukazh, ketika para penyair Arab berdatangan dari segala penjuru, lelaki bernama ath-Thufail Ibn ‘Amr ad-Dausi itu berada di posisi terdepan.
Thufail adalah aset suku Quraisy. Suatu bencana bagi Quraisy bila Thufail menggunakan bakat kepenyairannya untuk membela Rasulullah SAW. Karena itu, para pemuka Quraisy bergegas menyambut tatkala mendengar kabar kedatangan Thufail ke Makkah. Mereka khawatir Thufail bertemu Rasulullah dan masuk Islam. Mereka mencegat lelaki itu. Ia disuguhi jamuan yang mewah dan penginapan.
“Muhammad itu memiliki kata-kata laksana sihir yang bisa memisahkan seorang ayah dari anaknya, saudara dari saudaranya, atau suami dari istrinya. Kami mengkhawatirkan dirimu dan kaummu darinya. Karena itu, janganlah kau berbicara dengannya dan janganlah mendengarkan kata-katanya!” pesan para pemuka Quraisy, seperti dikisahkan Khalid Muhammad Khalid dalam Biografi 60 Sahabat Rasulullah.
Begitu gencar kaum Quraisy memengaruhinya sampai-sampai Thufail terpengaruh. “Demi Allah, mereka terus membujuk diriku hingga aku benar-benar memutuskan untuk tidak mendengar sesuatu pun dari Rasulullah dan tidak pernah bertemu dengannya. Ketika pergi ke Ka’bah, aku tutup telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar apa pun yang beliau katakan.”
Keesokan harinya, Thufail pergi ke Ka’bah dengan telinga tersumpal kapas. Setibanya di sana, ia melihat Rasulullah tengah menunaikan shalat. Lelaki itu tertarik dengan tata cara shalat Rasulullah yang amat berbeda dengan kaumnya. Perlahan-lahan, ia mulai mendekat. Allah tidak menghendaki selain memperdengarkan sedikit dari yang dibaca Rasul kepadanya. Thufail mendengar kalam yang indah.
Penyair itu membatin, “Aduhai, celakalah ibuku. Demi Allah, aku adalah seorang penyair dan laki-laki yang cerdas. Aku bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Jadi, apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang dibaca oleh Muhammad. Jika yang dibawanya adalah baik, aku bisa menerimanya dan jika yang dibawa itu buruk, aku tinggalkan.”
Lelaki itu pun menanti hingga Rasulullah kembali ke rumah. Thufail mengikutinya. Ia berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah menceritakan ini dan itu tentang dirimu. Demi Allah, mereka tidak pernah berhenti untuk menakut-nakuti diriku terhadapmu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar tidak bisa mendengar apa yang engkau katakan.”
“Tetapi, Allah menghendaki agar aku mendengar. Aku pun mendengar kalam yang indah. Karena itu, tunjukkanlah apa yang kau bawa!” lanjut Thufail meminta.
Rasulullah pun membacakan beberapa ayat dari Alquran. Demi Allah, kata Thufail, ia tidak pernah mendengar kalam yang lebih indah daripada Alquran dan lebih adil daripada Rasulullah. Lelaki itu kemudian menyatakan kalimat syahadat.
Tidakkah kita lihat ada kesamaan antara lelaki ini dan Umar bin Khatab? Mereka orang-orang terhormat dengan citarasa sastra tinggi, tumbuh di tengah tradisi syair yang melegenda, namun tunduk mendengar ayat-ayat-Nya. Fitrah yang suci membimbing mereka mengakui kebenaran kalam Ilahi.
Lewat surah az-Zumar ayat 18, Allah telah menyanjung mereka “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” Thufail adalah perwujudan fitrah yang suci. Semua orang berusaha menjauhkannya dari kebenaran, tapi kehendak-Nya tak dapat dikekang. Thufail pun bersikap adil dengan tidak membabi buta mengikuti nasihat kaum Quraisy. Dia pergunakan akal untuk memilah yang baik dan yang buruk.