Ketulusan Cinta Kepada Nabi

Ketulusan Cinta Kepada Nabi

Ketulusan cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya sebatas lisan, tapi harus dibuktikan dengan perilaku dan sikap kita selama hidup

HADIRNYA Rasulullah ﷺ di tengah umat mampu melahirkan kecintaan dan mengamalkan amalannya. Bahkan malaikat pun cinta Rasulullah ﷺ dengan cara bershalawat atasnya. Pada hakekatnya cinta itu butuh pembuktian. Inilah tiga bukti ketulusan cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Mutaba’ah

Di antara tanda-tanda ketulusan dan bukti cinta seseorang adalah mengikuti siapa yang dia cintai. Sebagaimana Allah berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ

Katakanlah (Muhammad), ”Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran ;31)

Maka tidak benar pengakuan seseorang bahwa ia mencintai Allah sampai ia benar-benar mengikuti Nabi ﷺ sebagaimana Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pengakuan seseorang tentang cinta kepada Allah itu palsu , manakala dia berada di atas tuntunan selain Nabi Muhammad ﷺ sampai ia mau mengikuti  syariat dan sunnah yang dibawanya. (Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Ibnu Katsir, 2/32)

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia pasti akan memuliakan dan lebih mengutamakannya. Karena jika tidak demikian, itu sebenarnya hanyalah klaim belaka.

Cinta yang tulus kepada Nabi Muhammad ﷺ akan nampak dari tanda-tandanya, diantaranya adalah meneladaninya, mengamalkan sunnah-sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatannya, mengerjakan perintahnya, menjauhi laranganya, beretika sesuai dengan adab-adabnya. (Mahabbatu Ar- Rasul Baina Al-Itba’ wa Al-Ibtida’, Abdurrauf, 67).

Ghirah

Ghirah yang dimaksud adalah kecemburuan yang melahirkan sikap pembelaan kepada sesuatu yang dicintainya. Cemburu tidak selalu bermakna negatif, bahkan terkadang bermakna positif.

Karena kecemburuan itu lahir dari sifat cinta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah.

“Ghirah adalah engkau membenci apa yang dia benci dan merasa cemburu apabila sang kekasih dilanggar atau dirusak haknya atau diabaikan perintahnya, ini sebenarnya adalah kecemburuan orang yang mencintai secara sejati, dan agama ini didasari oleh rasa ghirah.” (Raudhatul Muhibin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, 385).

Disebutkan di dalam hadits, bahwa Saad bin Ubadah z pernah berkata:

قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِيْ لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصَفِّحٍ فَقَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّيْ

‘Kalau kulihat ada seorang laki-laki bersama isteriku niscaya kusabet dengan pedang tepat dengan mata besinya. Berita ini sampai kepada Nabi ﷺ sehingga Nabi bertanya, “Apakah kalian merasa heran dari kecemburan Sa’d, sungguh aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Bukhari).

Apabila kecemburuan terhadap Allah dan Rasul-Nya ini telah hilang dari hati seseorang, maka cintanya menjadi hambar. Sehingga ungkapan bahwa dia mencintai hanya sekadar klaim belaka.

Bagaimana mungkin dia melihat ada seseorang yang akan melecehkan kehormatan kekasihnya, menyakitinya, merendahkan haknya, meremehkan perintahnya sedangkan dia hanya berpangku tangan dan tidak cemburu dan membelanya.

Ghirah inilah yang menjadi dasar dan pokok dari jihad, amar makruf, dan Nahi mungkar. Maka apabila ghirah ini hilang dari hati seorang hamba, maka dia tidak akan berjihad, amar makruf dan nahi mungkar. (Kaifa Nuhibbu Rasulullah, Yahya bin Muhammad Al-Azhari, 142).

Pengorbanan

Di antara bukti ketulusan cinta selanjutnya adalah pengorbanan. Cinta itu menuntut pengorbanan.

Maka setiap orang yang mencintai pasti akan berjuang serta berusaha keras untuk mendapatkan ridha orang yang dicintainya, apapun ia akan usahakan baik dari tenaga maupun       hartanya demi mengejar ridhanya.

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَزَّازُ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ قَال سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالًا فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا قَالَ فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قُلْتُ مِثْلَهُ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قُلْتُ وَاللَّهِ لَا أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Rasulullah ﷺ  memerintahkan kepada kami untuk bersedekah, bertepatan dengan itu, aku mempunyai harta, aku berkata (dalam hati), “Pada hari ini, aku lebih unggul dari pada Abu Bakar, jika aku lebih dulu, Umar berkata, lalu aku datang dengan setengah dari hartaku.” Maka Rasulullah ﷺ  bersabda, “Apa yang kamu sisakan buat keluargamu?”, jawabku, “Sepertinya itu.” Lalu Abu Bakar datang dengan membawa seluruh yang ia punyai. Beliau bertanya,  “Apa yang kamu sisakan buat keluargamu?” Dia menjawab, “Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Maka aku berkata, “Demi Allah. aku tidak pernah bisa mengunggulinya terhadap sesuatupun selamanya.” (HR: Tirmidzi).

Hal ini dikuatkan dengan keterangan dari Al-Qadhi. Beliau berkata, “Di antara bukti kecintaan kepada Rasulullah adalah menolong sunahnya, membela syariatnya, mendambakan hadir membersamainya, maka dia akan berjuang dengan jiwa, harta serta apapun itu. Maka jelaslah bahwa hakikat keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan semua hal ini. (Umdah Al-Qari Syarah Shahih Al-Bukhari, Badruddin Al-Aini, 1/144).

Ketulusan cinta kita kepada Nabi Muhammad ﷺ itu bukan hanya sebatas lisan saja, tapi lebih dari      itu harus dibuktikan dengan perilaku dan sikap kita selama hidup kita.*/Syamil Rabbani, staf  Ma’had Aly An -Nur (Waru, Baqi, Sukoharjo)

HIDAYATULLAH