Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag.1)

Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag.1)

Nasihat adalah suatu hal yang sarat akan ajaran agama Islam. Agama Islam sangat masyhur terhadap keistimewaannya berupa nasihat. Sejatinya nasihat tidak hanya dibutuhkan oleh hati-hati yang lalai atau hati-hati yang sudah mulai merunduk kepada dosa dan maksiat. Nasihat juga dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang mulai berpaling dari Allah dan Rasul-Nya, juga sebagai pengingat untuk senantiasa mengamalkan amalan-amalan saleh dan meninggalkan maksiat. Bahkan, nasihat ini menjadi hal yang sangat ditekankan dalam agama ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ( ١ ) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ ( ٢ ) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ( ٣ )

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkategorikan nasihat termasuk dari enam hal yang menjadi hak sesama muslim. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu, beliau ditanya, “Apa enam perkara itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Bila engkau bertemu dengannya, ucapkankanlah salam kepadanya. Bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya. Bila dia meminta nasihat, berilah dia nasihat. Bila dia bersin lalu dia membaca tahmid, doakanlah semoga dia memperoleh rahmat. Bila dia sakit, kunjungilah dia. Dan bila dia meninggal dunia, ikutlah mengantar jenazahnya ke kubur.” (HR. Muslim no. 4023)

Karena pentingnya tentang nasihat ini, terdapat sebuah risalah yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaily hafidzahullah yang berjudul Fadhlu An-Nushi Lil-Muslimin” (Keutamaan menasihati kaum muslimin). Risalah yang ditujukan untuk kaum muslimin secara umum dan secara khusus untuk para penuntut ilmu dan para da’i sebagai tumpuan dalam menapaki jalan-jalan dakwah yang terjal dan penuh rintangan. Agar tetap kuat dan bersabar dalam menasihati dan membimbing kaum muslimin kepada jalan kebenaran.

Nasihat adalah perangai keimanan

Sesungguhnya nasihat adalah perangai teragung dari keimanan. Terlihat jelas bahwa orang-orang yang beriman sangat cinta terhadap nasihat sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam surah Al-‘Ashr. Sebaliknya, orang-orang kafir tidak suka terhadap nasihat. Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan perkataan Nabi Shalih ‘alaihissalam,

وَنَصَحۡتُ لَكُمۡ وَلَـٰكِن لَّا تُحِبُّونَ ٱلنَّـٰصِحِينَ

Dan aku telah memberi nasihat kepada kalian, tetapi kalian tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat.” (QS. Al-A’raf: 79)

Nasihat adalah karakteristik orang-orang mulia

Nasihat adalah karakteristik orang-orang yang mulia. Karena orang-orang yang mulia pasti mencintai sebuah nasihat. Nasihat merupakan bukti dari sebuah kejujuran, ketulusan, dan bukti dari sebuah cinta. Karena jika seseorang mengetahui sebuah kebaikan, dia ingin orang lain mengetahui dan melakukan kebaikan yang serupa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 12)

Fitrah orang beriman adalah menyukai nasihat

Hal ini merupakan fitrah dari orang yang beriman. Karena orang yang beriman akan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Ketika dia mengetahui sebuah kebaikan, maka tentu dia pun senang tatkala saudaranya mengetahui kebaikan yang sama. Sebaliknya orang yang rusak fitrahnya, ia tidak akan menyukai nasihat. Bahkan, sulit baginya untuk menerima nasihat. Sehingga, kewajiban kita untuk menasihatinya. Kalau ia tidak ingin menerima nasihat, maka kita tidak lagi menasihatinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ

Oleh sebab itu, berikanlah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al ‘Ala: 9)

Sebagian ulama menafsirkan إنْ dengan syarthiyyah. Sehingga, maknanya adalah berikanlah manfaat jika peringatan itu bermanfaat. Jika peringatan itu tidak bermanfaat, maka jangan berikan kembali peringatan atau nasihat tersebut. Namun, sejatinya manfaat itu akan kembali kepada orang yang menasihati, baik nasihat itu diterima ataupun tidak. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal.164 karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)

Nasihat merupakan lambang dari kasih sayang

Nasihat merupakan sebuah lambang dari kasih sayang. Sebagaimana orang tua yang sayang dan cinta kepada anak-anaknya, tentu ia akan menasihati anaknya untuk senantiasa melakukan kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan. Tidak membiarkan anak-anaknya tenggelam di dalam dosa dan maksiat. Suami yang cinta terhadap istrinya, ia akan senantiasa memberikan arahan dan nasihat terhadap istrinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Malik bin Huwairits ketika hendak pulang ke kampungnya,

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

Kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka. Ajarilah mereka dan perintahkan (untuk salat).” (HR. Bukhari no. 631)

Nasihat merupakan tanda seseorang memperoleh taufik

Nasihat juga merupakan tanda seseorang memperoleh taufik dari Allah Ta’ala. Di antara tanda-tanda seseorang mendapatkan taufik adalah seseorang berusaha untuk memberikan nasihat. Di antaranya juga adalah seseorang menerima nasihat. Dalam menerima nasihat, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:

Pertama: Menasihati dan menerima nasihat. Dan ini adalah tingkatan yang paling utama.

Kedua: Tidak menasihati dan tidak menerima nasihat. Dan ini adalah tingkatan yang paling buruk

Ketiga: Tidak menasihati dan menerima nasihat.

Keempat: Menasihati dan tidak menerima nasihat.

Nasihat merupakan hakikat dari agama

Dan nasihat merupakan hakikat dari agama yang sesungguhnya. Karena agama Islam dibangun di atas nasihat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim no. 55)

Dalil-dalil bahwasanya para nabi dan rasul memiliki karakter penasihat

Oleh karena itu, para nabi dan rasul memiliki karakter sebagai “penasihat”. Allah Ta’ala mengabarkan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala berbicara dengan kaumnya. Allah berfirman,

أُبَلِّغُكُمۡ رِسَـٰلَـٰتِ رَبِّى وَأَنصَحُ لَكُمۡ وَأَعۡلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku. Dan aku memberi nasihat kepadamu. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 62)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Hud ‘alaihis salam,

أُبَلِّغُڪُمۡ رِسَـٰلَـٰتِ رَبِّى وَأَنَا۟ لَكُمۡ نَاصِحٌ أَمِينٌ

Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Shalih ‘alaihis salam,

فَتَوَلَّىٰ عَنۡہُمۡ وَقَالَ يَـٰقَوۡمِ لَقَدۡ أَبۡلَغۡتُڪُمۡ رِسَالَةَ رَبِّى وَنَصَحۡتُ لَكُمۡ وَلَـٰكِن لَّا تُحِبُّونَ ٱلنَّـٰصِحِينَ

Maka, Shalih meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat.’” (QS. Al-A’raf: 79)

Dalil-dalil dari sahabat Nabi tentang nasihat

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum juga berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menunaikan nasihat kepada kaum muslimin. Sebagaimana dalam hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Aku telah membai’at Rasulullah untuk menegakkan salat, menunaikan zakat, dan menasihati kepada setiap muslim.” (HR. Bukhari no. 524 dan Muslim no. 56)

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إِنِّي أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ أُبَايِعُكَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَشَرَطَ عَلَيَّ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فَبَايَعْتُهُ عَلَى هَذَا

Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian aku berkata, ‘Aku membai’at engkau untuk Islam.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi syarat, ‘Dan menasihati kepada setiap muslim.’ Maka, aku membai’at beliau untuk perkara itu.” (HR. Bukhari no. 58)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nasihat

Mengingat betapa agungnya kedudukan nasihat dalam agama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan agama dengan nasihat, karena nasihat mencakup agama. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

Agama itu adalah nasihat.”

قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.” (HR. Muslim no. 55)

Nasihat merupakan bukti akan kejujuran. Sebagaimana lawan kata dari “nasihat”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang al-ghisy (penipuan) yang menafikan nasihat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa menghunuskan pedang untuk menyerang kami, maka dia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)

Abu Bakr unggul karena sebab nasihat

Dengan sebab nasihat, para sahabat dan para salaf mendahului orang-orang saleh yang lain. Bakr bin Abdillah Al-Muzaniy [1] rahimahullah pernah berkata,

مَا سَبَقَهُمْ أَبُو بَكْرٍ بِكَثْرَةِ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ وَلَكِنْ بِشَيْءٍ وَقَرَ فِيْ صَدْرِهِ

Abu Bakr tidak mendahului mereka (sahabat yang lain) dalam hal banyaknya puasa dan salat. Akan tetapi, Abu Bakr mendahului mereka dari keimanan yang menetap di dalam hatinya.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, hal. 48. Lihat juga Latha’iful Ma’arif, hal. 254)

Sebagian ulama menjelaskan perkataan di atas dengan mengatakan,

الذِّي وَقَرَ فِي صَدْرِهِ هُوَ حُبُّ اللهِ وَالنَّصِيْحَةِ لِخَلْقِهِ

Yang menetap kuat di dalam hati Abu Bakr adalah kecintaan kepada Allah dan mencintai untuk menasihati hamba-hamba-Nya.” (Lihat Latha’iful Ma’arif, hal. 254)

[Bersambung]

***

Depok, 22 Januari 2024/10 Rajab 1445

Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi

Catatan kaki:

[1] Syekh Ibrahim menulis perkataan ini dari Abu Bakr Al-Maziniy. Syaikhul Islam menyebutkan dalam kitab Minhajus Sunnah (6: 223) dari Abu Bakr bin ‘Ayyasy. Di dalam Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid (hal. 48) disebutkan dari Bakr bin Abdillah Al-Muzaniy. Demikian pula yang disebutkan Ibnu Rajab dalam Latha’iful Ma’arif. Lihat juga Tafsir Suratul Ahzab karya Syekh Ibnu Utsaimin (hal. 104). Barangkali yang benar adalah Bakr Al-Muzaniy sebagaimana asalnya Syekh menukil dari kitab Latha’iful Ma’arif (hal. 254).

Sumber: https://muslim.or.id/91126-keutamaan-menasihati-kaum-muslimin-bag-1.html