LELAKI kurus kering berambut setengah keriting ini maju ke depan dalam acara pertemuan para pejabat dengan rakyat. Dalam acara sosialisasi program kerja ini, lelaki kurus bernama Emmad ini mewakili para pemuda di desanya. Semua kaget saat dia melangkah maju, karena semua tahu bahwa Emmad bukanlah siapa-siapa yang lulus dari lembaga pendidikan mana. Dia hanya alumni sebuah langgar yang sudah rapuh sementara pengasuh langgarnya sibuk mengurusi batuk menahun dan penyakit rematiknya.
Dua jam pertama pertemuan ini berisi pemaparan program kerja lengkap dengan visi misinya. Semuanya tersusun indah membuat sebagian hadirin terpukau dan beberapa tepuk tangan. Entah tepuk tangan itu bermakna kagum dan setuju, ataukah hanya ingin mengusir kantuk dan pemberitahuan bahwa tak ada suguhan yang bisa dipegang tangannya, tak ada yang paham.
Sejatinya semua sudah paham bahwa kenyataan riil masyarakat adalah penuh keresahan. Perputaran ekonomi hanya di antara mereka para pejabat, sementara rakyatnya hanya sebagai penonton dan pembaca berita. Kemapanan hanya milik mereka kaum elit, sementara kaum ekonomi sulit tak pernah lepas dari kesulitannya. Untung, para rakyat setiap malam diajari makna kesabaran di langgar atau surau masing-masing.
Semua hadirin penasaran apa yang akan disampaikan pemuda kurus itu. Tanpa pengeras suara, dia berbicara lantang. Matanya tajam melihat kepada para pejabat yang berjejer duduk di atas kursi khusus itu. Jemari telunjuknya jelas menuding lurus pada para pejabat itu. Suaranya menggelegar menghentikan semua suara yang ada di ruangan itu.
Tak panjang yang diucapkannya: “Bapak-bapak pejabat yang merasa terhormat. Kalimat-kalimat Bapak sungguh bijak dan indah sebijak dan seindah kalimat Lukman al-Hakim. Sayang, perilaku Bapak dalam memerintah dan mengatur kehidupan ekonomi serakus dan sejahat Fir’aun.” Lelaki itu lalu keluar ruangan. Beberapa orang ikut keluar mengikutinya. Saya tak mampu menafsirkannya. Salam, AIM. [*]
Oleh KH Ahmad Imam Mawardi