Khazanah Melayu dan bahasa Indonesia sudah menyerap kata kafir sejak dahulu kala.
Sejak kapan kata kafir dipakai dalam kazanah bangsa Indonesia? Untuk menjawabnya sampai hari publik memang belum banyak tahu, alias masih serba abu-abu. Apalagi bila kemudian merunut penggunaan atau kapan kata itu ’kafir’ diserap dalam kosa kata dalam bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia itu.
Yang pasti penerjemahan Alquran adalam bahasa Indonesia belum terlalu lama. Yang terlihat memang jejak sejarah penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17 M. Sosoknya adalah pada figur Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.
Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari tinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra’uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya terjemahan Alquran karya Abdul Ra’uf Fansuri. Setelah itu, hampir tak ditemukan lagi terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M. Karya tafsir Alquran dia diberinama Tarjuman al-Mustafid. Para ahli Melayu menegaskan, kitab tafsir Alquran pertama di Nusantara tersebut disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran Alquran.
Tak hanya itu, kitab tafsir tersebeut juga dipergunakan umat Islam di berbagai wilayah yang berbahasa Melayu, misalnya Malaysia dan Singapura. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta Makkah (al-Amiriah).
Meski terkenal, terjemahan Alquran ini mendapat kritik dari orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje. Katanya, penerjemahan Alquran Abdul Raud Al Singkili lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-Baidawi, karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain.
Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh, ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.
Penerjemahan generasi kedua di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).
Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. Seperti tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) yang dianggap mewakili generasi ketiga.
Dan setelah itu muncul berbagai karya terjemahan Alquran dari berbagai orang sampai sekarang, termasuk dari penerjamahan dari Kemenag RI. Di sana kata atau istilah ‘kafir’ itu pun tetap ada dan tak diganti.
Sastrawan, pakar sufisme dan guru besar falsafah dan kebudayaan Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM mengaku terkejut bila kata ‘kafir’ dianggap pejoratif bagi kerukunan berbangsa, hubungan antaragama, dan antarmanusa. Apalagi kata ini sudah terserap dan dipakai dalam sastra melayu, sastra Aceh, dan sastra daerah semenjak dahulu kala. Jadi sangat jauh waktunya dari eksistensi formil bahasa Indonesia yang mulai muncul sosoknya secara jelas melalui ‘Sumpah Pemuda’ pada sejak tahun 1928.
Menurut, Abdul Hadi, sejak masuknya Islam di wilayah kepulauan yang kini disebut Nusantara kata ‘kafir’ sudah eksis secara nyata. Fakta itu nyata yakni pada sastra Melayu, yakni melalui berbagai karya Hamzah Fansuri. Di sana dia memakai kata Arab/Alquran itu. Malahan, bila dihitung tercatat lebih dari 3000 kata Arab diserap dalam bahasa Melayu.
“Saat itu, yakni pada abad 16, pun sudah digunakan kata kafir dan kata serapan bahasa Alquran lainya. Ini ada dalam beragaman bentuk puisi, syair, kitab fikh, ajaran keagaman Islam, dan lainnya. Silahkan baca isi kesusateraan lama kita. Berbagai kata itu, termasuk kafir’ sudah ada dan dipakai orang. Di sini memang kadang tidak mengakui dan malas baca asal usul bahasa itu ada yang ada dalam kazanah Islam yang sudah lama. Dan wlaupun ada baca, banyak yang hanya dari pandangan yang aliran sepaham saja,’’ katanya.
Tak hanya kata ‘kafir’, lanjut Abdul Hadi, kata ‘Habib’ pun bukan barang asing atau istilah baru dalam kazanah bahasa di Nusantara. Kata itu sudah dipakai pada abad 16. Di Jawa misalnya ‘habib’ mereka disebut sebagai ‘maulana’. Dan kata habib atau maulana itu dipakai orang untuk tidak hanya menyebut orang dan keturunan Arab dari Hadramaut saja, tapi bagi setiap orang yang mereka anggap sebagai para pencinta ajaran Rasul Muhammad SAW.’’
Lalu kapan kata ‘kafir’ mempunyai konotasi keras atau pejoratif? Abdul Hadi menjawab itu sejak kolonial Belanda memakai kata ini sebagai lambang perlawaan bagi orang yang menentang eksistensinya sebagai pihak kolonial. Maka kata kafir dipandang sebagai sebutan untuk melawannya.
‘’Jejak kata ‘kafir’ dianggap bermasalah atau pejoratif sejak kata itu dipakai untuk melawan pihak penjajah, Kapan itu, sejak dari fatwa Syekh Abdul Samad al Palembangi pada abad 18. Sejak itu lebih tegas dipakai ulama dan rakyat untuk melawan diberbagai koloni Belanda termasuk untuk meletupkan Perang Jawa (Diponegoro), perang Padri yang kemudian memuncak pada perang Aceh, dan lainnya. Dalam hikayat Perang Sabi karya Cik Pantekulu, kafir disebut ‘kaphe’,’’ katanya.
Dan semua tahu, surat dan seruan Abdul Samad Al Palembani yang saat itu menjadi imam di Masjidil Haram dipasang di berbagai masjid di pusat kekasaan Mataram Jawa di Surakarta. Surat yang beredar menjelang Ramadhan ini sangat menggelisahkan pihak kolonial.
‘’Namun sebelum dipakai Syekh Abdul Samad Al Palembangi, sebelum itu kata ‘kafir’ sebagai sarana perlawanan terhadap kolonial, pun sebenarnya sudah dipakai, yakni pada sosok pejuang asal Makasar yang meninggal dan menjadi pahlawan di Afrika Selatan, Syekh Yusuf Al Makasari,’’ ujar Abdul Hadi.
Bahkan, lanjut dia, kata ‘kafir’ itu juga ada di serat Babad Lombok, Babad Madura dan lainnya. Bahkan sudah disebut pula dalam kitab Syamsudin Al Sumatrani, yang kemudian sudah diserap pula dalam bahasa Aceh dan Melayu. “Tak hanya itu, sepengetahuan saya dalam terjemahan Bible dalam bahasa Melayu pada abad 18, kata kafir juga dipakai untuk orang yang tidak percaya pada ajaan Trinitas).
Lalu bagaimana dengan nasib kata ‘kafir’ di negara lain? Dalam hal ini ada kenyataan yang sangat menarik, yakni bila mengacu pada sejarah umat Islam yang tinggal di Balkan (Bosnia). Ternyata di sana kata ‘kafir’ itu dipakai dalam masyarakat yang wilayahnya dahulu hidup dalam lingkup Kerajaan Ottoman. Kata kafir di dalam bahasa Balkan (Bosnia) disebut dengan ‘cavir’. Begitu juga kata lain yang identik menjadi pandangan hidup dan ajaran agama Islam seperti iman, azan, mukmin, syariat, syarufm maulana, dan lainnya. Mereka tak menerjemahkan atau menyerap dalam istilah bahasa lokal.
‘’Jadi sama saja dengan yang di Indonesia pun. Di mana banyak kata yang menjadi into ajaran Islam— seperti istilah kafir, iman, shaat, zakat, dan lainnaya — memang di Bosnia tak diterjemahkan. Kata itu merupakan ‘word viewnya’ orang Muslim baik yang ada di Balkan yang di Eropa dan seluruh negara lainnya,’’ tukas sahabat saya.
Jadi apakah kata ‘kafir’ akan bernasib sama dengan kata ‘fiksi’ dan ‘fiktif’ yang sudah ramai diributkan orang belakangan ini. Ternyata banyak pihak yang salah paham dan bingung memahami? Atau mungkin nasibnya persis dengan kata ‘adil’ yang dalam bahasa Jawa atau bahasa lokal lainnya tak ketemu padan makna dalam satu kata yang sama. Ini persis juga nasib Rafles yang kala itu di Sumatra Timur terkejut dan bingung melihat orang yang tak sadar dan bikin ribut di kerumunan orang di pasar. Kata amuk akhirnya dimasukkan dalam lema Inggris menjadi ‘amock’. Silap kata memang bisa hilang isi kepala –bahkan nyawa– ternyata!
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.