Wukuf di Padang Arafah jangan hanya dipahami sebagai ritual fisik semata. Dalam konteks jiwa, wukuf harus bisa membersihkan hati dari segala prasangka, dan raga harus terbebas dari segala perbuatan dosa, sambil terus memaksimalkan jiwa sosial kita.
Profesor Aswadi, Koordinator Konsultan Pembimbing Ibadah Daker Makkah mengajak para jemaah untuk meresapi maknawukuf sedalam-dalamnya. Pastikan saat momen itu, semua konsentrasi tercurah pada introspeksi diri, sehingga usai berhaji, jadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
“Wukuf di era modern sekarang tidak hanya sekadar berhenti, tapi kita harus memformat jiwa dan raga kita, menjadi terbebas, terhenti dari tindakan yang tidak berkenan. Harus ditutup rapat-rapat itu dan harus mengabadikan nilai kesucian dari Tuhan,” pesan Guru Besar UIN Sunan Ampel ini.
Maksud dari memformat adalah membersihkan jiwa dari segala prasangka, perasaan, atau tutur kata buruk. Setelah itu, jiwa yang bersih menuntun kepada aktivitas fisik berupa kegiatan sosial, seperti membantu kesulitan orang, khususnya orang terdekat atau kaum fakir miskin.
Aswadi menambahkan, wukuf di Arafah juga memiliki potensi luar biasa membentuk kesadaran manusia bahwa apa pun ikhtiar yang dilakukan manusia, maka itu masih terbatas oleh kuasa Tuhan. Betapa pun besar keinginan manusia, terkadang digantikan oleh maksud Tuhan yang tak pernah diduga sebelumnya. Bahkan mungkin jauh melebihi ekspektasinya.
“Jadi misalnya kita pernah memberi Rp 1.000 dalam momentum tepat, dia akan teringat untuk selamanya pernah mendapat santunan di saat membutuhkan tak akan henti-hentinya memberikan balasan. Itu pentingnya memberikan sesuatu pada orang yang sangat sulit membutuhkan,” paparnya.
Selain wukuf, makna berhaji juga sudah jelas disampaikan dalam Al Quran bahwa haji mabrur itu adalah sebuah proses tumbuh kembangnya kebaikan dalam hati, tutur kata yang menyejukkan orang lain, tindakan perilaku yang bukan hanya untuk mementingkan kebutuhan pribadi tapi juga orang lain.
“Termasuk nilai melepaskan himpitan masyarakat secara luas,” tambahnya.
Inti dari berhaji selain membersihkan jiwa dan raga adalah kegiatan sosial. Ini sesuai dengan urutan ajaran yang dicontohkan nabi dan sesuai rukun Islam. Menurut Aswadi, Nabi Muhamma SAW mengajak umatnya memahami dulu konsep ketauhidan lewat syahadat dan salat. Setelah itu dakwahnya mulai bergeser ke arah fungsi sosial lewat puasa dan zakat dan akhirnya disempurnakan oleh haji.
“Ibadah haji baru dilakukan pada saat Nabi Muhammad hijrah di tahun ke 10. Sebelumnya fokus pada urusan tauhid dulu,” paparnya.
Di tahun saat Nabi Muhammad SAW berhaji, maka Islam pun disempurnakan. Dari situ, para sahabat sudah menduga bahwa saat semua sudah sempurna, maka akan ada yang hilang. Benar saja, berselang beberapa bulan setelah hajipertama dan terakhirnya, Nabi Muhammad SAW meninggal dunia.
“Hanya sekali itulah nabi melaksanakan ibadah haji,” ucap Aswadi.