Akhlak Para Salaf dalam Berbicara

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah figur teladan dalam berbicara. Tutur kata beliau ringkas dan mudah dipahami. Ungkapannya lembut penuh tawadhu dan tidak berlebih-lebihan sehingga menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Orang-orang terdahulu yang shalih dianugerahi oleh Allah kekuatan lisan untuk selalu menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu, bukan berbantah-bantahan atau berdebat yang lebih didominasi oleh hawa nafsu. Terlebih lagi ketika mereka membahas permasalahan yang ada kaitannya dengan agama, mereka sangat memuliakan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menjadikan keduanya sebagai sumber petunjuk dalam segala permasalahan kehidupan.

Sebagaimana yang dikatakan Al-Hasan ketika dia mendengar suatu kaum yang saling berbantah-bantahan “Mereka telah bosan beribadah, ringan perkataan bagi mereka dan sedikit wara’ mereka sehingga mereka bicara”. (Dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Az-Zuhd, hal 272).

Sebagian ulama salaf berkata: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba maka Dia bukakan baginya pintu amalan dan Dia tutup darinya pintu jidal (perdebatan), dan jika Allah menghendaki kejelekan pada seorang hamba maka Dia tutup darinya pintu amalan dan Dia bukakan baginya pintu jidal” (Al-Hilyah, 8/361).

Demikianlah diantara akhlak generasi terdahulu yang sangat berhati-hati dalam berbicara, mereka menyadari betapa lidah tidak bertulang yang bisa menjerumuskannya pada neraka ketika ia berbicara tanpa kendali syariat. Di zaman fitnah dimana bendera-bendera Dajjal telah bermunculan, saat ini begitu menjamur orang-orang yang berbicara tanpa ilmu, mereka pandai bersilat lidah dalam memutarbalikkan kebenaran. Menjadikan agama sebagai ajang perdebatan padahal telah jelas ditegaskan dalam Kitab dan Sunnah.

Allah memerintahkan umat-Nya agar ‘mengerem’ sikap terlalu banyak berbicara yang membuat kehebohan di tengah manusia. Terkadang ‘diam itu emas’ ketika seseorang terlalu mengumbar kata-kata tanpa kebutuhan penting. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).

Dengan mengendalikan pembicaraan niscaya lisan akan terjaga dari ketergelinciran. Terlebih lagi dengan menyibukkan lisan pada perdebatan yang bertujuan agar pendapatnya diterima orang lain tanpa landasan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Sikap seperti ini bukan akhlak mukmin yang mulia.

Ja’far bin Muhammad berkata: “Jauhilah diri kalian dari debat dalam agama karena hal tersebut menyibukkan hati dan menumbuhkan nifaq” (Dikeluarkan oleh Al-Ajury dalam “Asy-Syariah” hal 58).

Orang yang diberi taufiq oleh Allah niscaya ia akan bersungguh-sungguh memanfaatkan lisan dengan baik. Dia paham kapan akan diam dan kapan akan bicara. Mampu melihat situasi dan kondisi serta dengan siapa ia berbicara.

Setiap mukmin hendaknya menyadari bahwa setan senantiasa memotivasi, membisik-bisiki orang untuk berbuat melampaui batas termasuk dalam pembicaraan. Setan berambisi menjerumuskan lisan agar tergelincir yang pada akhirnya membuat manusia binasa.

Imam Ahmad mengeluarkan begitu juga Tirmidzi dari hadits Abu Umamah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Rasa malu dan diam karena takut salah adalah termasuk keimanan, dan kejelekan lidah dan banyak bicara adalah dua cabang dari kemunafikan” (Dihasankan oleh Tirmidzy dan dikeluarkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya).

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11632-diantara-akhlak-para-salaf-dalam-berbicara.html

Berbicara

MENGAJARI anak kecil untuk bisa berbicara itu membahagiakan dan seringkali lucu menggelikan. Mengajari orang dewasa untuk bisa berhenti bicara itu menyedihkan dan seringkali perih menyesakkan dada. Seringkali, orang tua yang tak dewasa tak tahu kapan harus bicara apa dan dimana serta bagaimana. Saat emosi memuncak, perasaan orang lain kadang tak menjadi pertimbangan.

Menjaga mulut menjadi sangat penting, karenanya Rasulullah bersabda bahwa selamatnya manusia itu ada pada penjagaannya akan lisannya. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka berbicaralah yang baik atau lebih baik diam saja.”

Kalimat yang tak baik itu bagai duri yang menusuk serta menyakitkan walau dibungkus dengan gurauan. Kalimat yang diniatkan menyakiti itu tetap akan terasa menyakitkan walaupun disampaikan dengan bermanis muka dan bermanis senyum. Pesan hati itu tajam, saudaraku, sahabatku.

Sempatkan membaca al-Qur’an surat al-Hujurat. Di sana ada tatakrama berbicara yang harus diikuti. Bagaimana berbicara dengan orang mulia, bagaimana mengatur intonasi suara dan bagaimana pula menyusun kalimat yang baik serta menata niat yang baik. Bacalah dan amalkanlah maka kita akan menjadi manusia mulia penuh pahala.

Singkat cerita: “Jangan sampai mulutmu mengeluarkan kata-kata yang membuat gigi mulutmu rontok. Jangan pula mulutmu sampaikan kata yang menyebabkan mulut orang lain membungkam mulutmu.” Mari kita jaga mulut kita masing-masing. Maafkan saya jika mulut saya sempat membuat dirimu tersakiti.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Mengelola Ucapan, Sulitkah?

Husain menyampaikan pertanyaan kepada ayahnya, Ali bin Abu Thalib, tentang kakeknya, Muhammad SAW. Ia ingin tahu bagaimana perilaku kakeknya saat berada di luar rumah. Ali, sahabat yang juga menantu Nabi Muhammad, menggambarkan sejumlah hal kepada putranya tersebut.

Menurut dia, Rasulullah selalu menjaga lidah atau ucapannya dan tak berbicara kecuali yang penting. Dia juga berlaku santun dan lemah lembut terhadap orang lain. Di kesempatan lain, Ali berujar pula pada anak laki-lakinya itu bahwa sang kakek tidak pernah mencela.

Rasul selalu dapat mengelola ucapannya dengan baik. Pernyataan yang keluar dari dirinya merupakan hal-hal baik dan tak menyakitkan. Mengenai ucapan yang elok ini, Amr Khaled, dai dan motivator asal Mesir, menggolongkannya sebagai akhlak baik.

Dalam karyanya, Buku Pintar Akhlak, dia menggambarkan kebangkrutan yang akan menimpa seorang Muslim akibat perangai buruk. Ia menuturkan, Rasul menanyakan kepada para sahabatnya, apakah mereka tahu siapa yang dianggap sebagai orang-orang yang bangkrut? Mereka serempak menjawab bahwa mereka yang bangkrut adalah orang-orang yang tanpa uang dan harta.

Namun, jawabannya bukan itu. Menurut Mu hammad, yang bangkrut di antara umatnya adalah mereka yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka pernah mencela dan mencaci orang, memakan harta orang, memukul, dan menumpahkan darah orang. Orang yang berpahala itu kemudian harus memberikan pahala amal baik nya kepada orang yang pernah menjadi objek perilaku buruknya.

Yusuf al-Qaradhawi, cendekiawan Muslim, mengatakan banyak hadis yang menekankan agar seorang Muslim hatihati dengan ucapannya. “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.

” Ia mengutip hadis mutafaq alaih dari Abu Hurairah dan Abu Syuraih. Hadis lain menyebutkan, Allah memberikan rahmat kepada orang yang berkata baik lalu mendapatkan keuntungan atau diam lalu selamat. Al-Qaradhawi me ngatakan, ucapan dari seseorang berpotensi mengandung bahaya sehingga mendatangkan kesalahan.

Imam al-Ghazali telah menghitung ada 20 bencana akibat ucapan yang berpangkal pada lidah, antara lain, berdusta, gibah atau membicarakan orang lain, adu domba, bersaksi palsu, sumpah palsu, berbicara tak berguna, dan menghina orang lain. Di sisi lain, al-Qaradhawi mengingatkan, orang yang banyak cakap akan banyak juga berbuat kesalahan. Pembicaraannya ke mana-mana dan akhirnya menjadi gibah dan mengumbar cela orang lain. Oleh karena itu, hadis Rasulullah menyebutkan keselamatan terletak pada sikap diam.

Tetapi, ini tak berarti manusia harus mengunci mulutnya agar tidak berbicara sama sekali. Tidak demikian, melainkan seseorang hendaknya mengucapkan katakata yang baik saja serta diridhai Allah. “Jadi, sebaiknya kita memelihara pembicaraan dan jangan mengumbar ucapan membahayakan,” katanya.

Mukmin yang merasa diawasi Allah, ujar al-Qaradhawi, mesti memahami setiap ucapan merupakan amalan yang kelak dihisab. Maka, ia tergerak hanya mengeluarkan ucapan sarat makna. Tak mengutuk, termasuk dalam kepiawaian seseorang dalam mengendalikan ucapannya.

Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela disebutkan, Rasulullah adalah satu-satunya manusia yang tidak pernah mengucapkan kutukan kepada manusia, binatang, dan makhluk lainnya, kecuali kepada setan dan iblis, musuh manusia. Seorang laki-laki mendatangi beliau dan meminta wasiat. Lalu dijawab, “Saya berwasiat kepadamu agar tidak menjadi pengutuk.” Aisyah menyampaikan cerita lain. Saat suaminya, Muhammad, mendengar Abu Bakar mengutuk sebagian budaknya, ia segera menoleh kepada sahabatnya itu.

Muhammad menegurnya dan meminta agar Abu Bakar tak berbuat demikian lagi. Setelah itu, Abu Bakar memerdekakan budaknya dan ia mendatangi Rasulullah serta berjanji tak akan mengulangi perbuatan tersebut. Muadz bin Jabbal pun menyampaikan informasi bahwa Rasulullah melarang seorang Muslim mencaci maki saudara Muslimnya, durhaka kepada imam yang adil, serta mencela orang yang telah meninggal dunia.

Keajaiban Berbicara

Anak yang masih menyusu itu kemudian berkata, Bapakku adalah fulan, tukang gembala. Allah SWT Sang Maha Pencipta punya kekuasaan mutlak.

Kekuasaan-Nya dapat melampaui akal manusia. Betapa banyak hal yang di luar akal manusia terjadi di bumi ini. Semua itu terjadi hanya dengan Allah melontarkan kalimat, Kun fa ya kun. Terjadi maka terjadilah.

Sejarah merekam bayi-bayi bisa berbicara. Paling terkenal adalah Isa binti Maryam.

Kaum Bani Israil menyindir Maryam yang hamil tanpa memiliki suami.

Mereka berkata, `Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang pezina yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina’ (QS Maryam:28). Maryam hanya diam. Tangannya menunjuk bayi mungil di pangkuannya. Sikap itu disambut tawa kaum Bani Israel.

Mereka heran bagaimana orang dewasa bisa berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan? Dengan izin Allah, Isa dapat berbicara.

Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada. Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunai kan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia (pun) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS Maryam: 30-32).

Begitulah kalimat yang meluncur dari mulut Isa. Aidh Al-Qarni menjelaskan, berdasarkan satu riwayat, Isa dapat berbicara dengan suara yang fasih, jelas, dan lucu.

Dia berbicara dalam waktu tiga hari.

Sosok kedua yakni teman Juraij. Dalam bukunya, Sentuhan Spiritual Aidh Al Qarni, syekh kenamaan dari Saudi itu menceritakan, Juraij adalah lelaki Bani Israil yang gemar beribadah. Ia selalu melaksanakan shalat, zikir, dan berdoa kepada Allah SWT.

Ia membangun satu tempat untuk menyepi agar bisa beribadah kepada Tuhannya.

Satu hari, ibunya datang saat Juraij sedang shalat. Ibunya berkata, Wahai Juraij.

Juraij pun membatin, Ya Tuhan, shalatku atau ibuku. Dia bingung apakah harus menghentikan shalatnya untuk menjawab ibunya atau terus melaksanakan shalat tanpa memutuskannya. Ia lantas memilih untuk meneruskan shalatnya. Ibunya pun pergi meninggalkan Juraij.

Esok harinya, ibunya kembali mendatangi Juraij. Hanya, Juraij ketika itu masih dalam keadaan shalat. Ibunya berkata, Wahai Juraij. Juraij kembali berkata, Ya Tuhan, ibuku atau shalatku! Dia pun meneruskan shalatnya. Ibunya kembali pergi. Kejadian ini kembali terulang keesokan harinya.

Ibu Juraij datang ketika Juraij sedang larut dalam shalat. Juraij kembali memutuskan untuk meneruskan shalat. Sang ibu rupanya kesal. Dia pun berdoa kepada Allah, Ya Allah, jangan matikan dia sampai melihat muka wanita pelacur. Ibunya berdoa kepada Allah agar Juraij menyaksikan muka wanita-wanita pezina sebelum mencabut nyawa anaknya. Setelah berdoa, ibunya kemudian pergi.

Orang- orang Bani Israil kembali menggunjingkan Juraij dan ibadahnya. Mereka membenci Juraij dan tidak menginginkan kecuali kemesuman, kefasikan, dan pelacuran. Mereka meninggalkan hijab. Perempuan bergumul dengan lelaki sehingga zina merajalela. Allah pun melaknat mereka dan menja dikan sebagian di antaranya monyet dan babi. (QS al-Maidah:13).

Orang-orang Bani Israil kemudian berupaya untuk memfitnah Juraij. Lantas, seorang perempuan cantik mendatangi mereka dan berkata, Jika kalian ingin, aku akan memfitnahnya untuk kalian. Wanita itu berusaha untuk menggoda Juraij.

Namun, Juraij mengabaikannya. Pelacur itu tak kehilangan akal.

Dia mendatangi seorang penggembala dan membawanya ke tempat ibadah Juraij.

Pelacur itu menggoda penggembala itu sampai menggauli dirinya hingga hamil.

Setelah anak yang dikandungnya lahir, pelacur itu berkata, Anak itu dari Juraij.

Orang-orang Bani Israil pun mendatangi Juraij dan memintanya untuk turun.

Mereka menghancurkan pertapaannya dan memukulinya. Juraij heran sambil berkata, Ada apa ini? Juraij dituding berzina sambil membawa anak pelacur itu. Juraij berkata, Biarkan aku sampai selesai shalat. Usai beribadah, ia mendatangi anak itu.

Juraij menekan bagian perutnya sambil berkata, Wahai anak kecil, siapakah bapakmu? Anak yang masih menyusu itu kemudian berkata, Bapakku adalah fulan, tukang gembala. Keajaiban lainnya yang ditukil dari riwayat Imam Bukhari.

Seorang ibu yang menyusui anaknya melihat lelaki sedang melintas dengan kuda.

Dia begitu gagah dengan tubuh dan pakaiannya. Ibu anak itu kemudian berkata, Ya Allah, jadikan- lah anakku seperti orang ini. Tiba-tiba anak itu melepas susu dan memandang ibunya.

Kemudian, dia berkata, Ya Allah, jangan Engkau jadikan aku seperti dia! Tak cukup dengan itu, ibu itu melihat seorang perempuan yang sedang dipukuli orang banyak.

Mereka menuduh perempuan itu sebagai pezina dan pencuri.

Wanita itu hanya berkata, Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung. Ibu itu pun kembali berdoa, Ya Allah, jangan Engkau jadikan anak ku seperti wanita itu. Anak itu kembali melepas susunya dan memandang ibu nya. Dia berkata, Ya Allah, jadikan aku seperti dia!

Anak yang disusui itu berkata, lelaki yang melintas tersebut adalah orang zalim.

Maka, aku berkata, Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia. ‘ Anak itu juga berkata, wanita yang dipukuli itu bukan pezina dan bukan pencuri. `Maka aku berkata, `Ya Allah, jadikan aku seperti dia.

Bukan hanya bayi, beberapa hadis meriwayatkan ada binatang yang berbicara.

Dalam sahih Bukhari Muslim, dikisahkan ada seorang penggembala yang berada di dekat kambingnya, menyerangnya. Serigala itu mengambil seekor kambing.

Maka, sang penggembala itu memintanya sampai ia dapat menyelamatkan kambing itu dari serigala.

Serigala itu menoleh kepadanya dan berkata, Siapa (yang akan) memburunya pada hari pemburuan, hari di mana tidak ada penggembala baginya kecuali aku.

‘Penggembala itu berkata, `Maha suci Allah, serigala dapat berbicara’.

Allah pun bisa membuat benda-benda ti dak bergerak dapat berbicara.

Dalam shahih Bukhari, Jabir berkata, Masjid Rasulullah diatapi dengan pelepah kurma.

Apabila Nabi berkhotbah, dia berdiri di atas pelepah kurma itu. Ketika dibuatkan mimbar untuknya dan beliau (berkhotbah) di atasnya, kami mendengar suara seperti suara tangisan sampai Nabi datang dan meletakkan tangannya di atas pelepah kurma.

Suara itu pun berhenti.

Aidh Al Qarni mengungkapkan, kisah tersebut membuktikan jika Allah adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia bisa membuat pohon merintih, serigala berbicara, hingga bayi berkata. Kisah ini juga membuktikan betapa Allah akan mem bela para utusan dan kekasih-Nya, orang-orang saleh dan para dai.

Ketiga, Allah akan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Kemudian, Aidh al Qarni menambahkan, faktor terpenting adalah per-buatan bukan harta, jabatan atau keturunan. Wallahu a’lam.

 

REPUBLIKA