Meningkatkan Kualitas Puasa

Meningkatkan Kualitas Puasa

BAGI setiap orang beriman, bulan Ramadhan adalah ibarat tamu agung yang harus disambut dengan persiapan yang matang dan penuh rasa senang. Mengapa demikian?

Karena bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan keutamaan yang tidak terdapat pada bulan-bulan lain. Rasulullah SAW saat memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang kedatangan bulan Ramadhan, bersabda: “Telah datang pada kalian bulan Ramadhan. Bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasa’i)

Rasulullah SAW menggambarkan Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah dan maghfirah (ampun¬an dari Allah) masa turunnya rahmat Allah secara melimpah, sekaligus ladang perlombaan untuk berbuat baik bagi setiap orang yang beriman. Karena itulah, maka sepatutnya kaum mukmin bergembira dan menyiapkan diri sebai-baiknya untuk menyambut bulan rahmat tersebut.

Pahala puasa yang tanpa batas

Ibadah paling utama pada bulan Ramadhan adalah puasa. Dibanding ibadah-ibadah utama lainnya, seperti shalat, zakat, dan haji, ibadah puasa terbilang unik karena tidak terlihat secara lahir. Puasa adalah ibadah yang sangat pribadi. Hanya Muslim yang melaksanakannya dan Allah saja yang tahu seperti apakah puasanya itu. Karena itu, pahala ibadah puasa ini diistimewakan Allah SWT.

Hadis-hadis yang menyebut keistimewaan pahala puasa antara lain adalah sabda Rasulullah SAW: “Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya…” (Mutaffaq ‘Alaih).

Rasulullah SAW juga bersabda: “Semua amalan Bani Adam (manusia) akan dilipatgandakan. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipatnya. Namun Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,..” (HR Muslim).

Mengenai keutamaan ibadah puasa, Nabi SAW ber¬sabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan didasari keimanan dan hanya mengharap pahala dan ridha Allah semata (ihtisab), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Tidak hanya itu, puasa juga akan memberi syafaat (pertolongan) pada hari kiamat kelak kepada orang yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: ‘Wahai Tuhanku, aku telah menghalanginya makan, minum dan syahwatnya pada siang hari, maka perkenankanlah aku memberi syafaat baginya.’ Sementara al-Qur’an berkata : ‘Aku telah menghalanginya tidur pada malam hari, maka perkenankanlah aku memberi syafaat untuknya.” (HR Ahmad).

Dengan segala keistimewaan dan keutaan seperti yang diutarakan di atas, lantas bagaimanakan puasa ideal yang dapat mengantarkan orang yang berpuasa kepadanya? Dalam Ihya ‘Ulum ad-Din, Hujjatul Islam al-Ghazali membagi orang yang berpuasa menjadi tiga kelompok dengan tingkatannya masing-masing, yaitu puasa awam (shaum al-‘awam), puasa orang istimewa (shaum al-khawash) dan puasa orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash).

Puasanya awam (shaum al-‘awam)

Menurut al-Ghazali, puasa awam adalah tingakatan puasa yang paling rendah. Pasalnya, dalam puasanya tersebut seorang Muslim hanya menahan dirinya dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri. Namun di luar itu, sikap, tingkah laku, perbuatan, perkataan dan gerak gerik yang dilakukannya selama berpuasa masih belum dipuasakannya. Dia berpuasa, tapi tidak mampu menjaga lisannya untuk tidak berbohong, menipu, menggunjing, mengumpat atau membicarakan aib orang lain. Dia pun tidak mampu menjaga matanya untuk tidak melihat apa yang dilarang Allah SWT. Dia berpuasa, tapi masih mencuri (korupsi) dan melakukan tindakan keji lainnya.

Singkatnya, seorang Muslim berpuasa, namun dia tidak mampu menjaga anggota badannya untuk tidak melakukan hal-hal yang sia-sia dan bermaksiat kepada Allah SWT. Padahal, di antara adab puasa ialah menahan pandangan dari yang haram, dan menjaga lisan dari menggangu orang lain berupa perkataan yang haram, makruh, atau perkataan yang tidak berguna, serta men¬jaga seluruh anggota badannya dari perbuatan dosa.

Puasa orang istimewa (shaum al-khawash)

Puasa orang istimewa adalah tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa awam. Sebab, pelakunya tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan syahwat, melainkan juga memelihara seluruh panca indra dan anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat dan dosa (kaffu al-jawarih ‘an al-atsam). Mereka mampu mempuasakan mata, telinga, tangan, kaki, hidung dan indera yang lain dari larangan Allah. Mereka juga berusaha untuk tidak berkata bohong, menggunjing, ghibah, dan perbuatan lain¬nya, yang dapat mengurangi nilai puasa mereka.

Puasa tingakatan ini juga disebut puasanya orang-orang shalih (shaum ash-shalihin). Menurut al-Ghazali, puasa tingkatan ini tidak akan dicapai secara sempurna kecuali setelah melewati enam perkara sebagai prasayaratnya. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan. Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca al-Qur’an. Ketiga, menjaga pendengaran dari kata-kata yang tidak baik. Keempat, mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, hingga perutnya kekenyangan. Keenam, hatinya senantiasa diliputi rasa cemas (khauf) dan harap (raja) karena tidak diketahui apakah puasanya itu diterima atau tidak oleh Allah SWT.

Puasa orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash)

Tingkatan tertinggi adalah puasanya orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash) yaitu, mereka yang selain berhasil mencapai tingkat kedua, juga mampu memuasakan hatinya dari segala keinginan yang hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah secara total dari memikirkan sesuatu selain Allah SWT (shaum al-qalbi ‘an al-himam al-duniyah wa al-afkar al-dun¬yawiyah wakaffahu ‘amma siwa Allah bi al-kulliyyah). Menurut al-Ghazali, tingkatan puasa yang ketiga ini adalah tingkatan puasa para Nabi, Shiddiqqin, dan Muqarrabin.

Orang-orang yang telah mencapai level ini adalah mereka yang senantiasa merasa diawasi Allah. Mereka telah mencapai derajat al-ihsan, karena beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah atau merasa diawasi Allah. Dengan begitu, mereka pun terjaga dari maksiat, dosa dan perkara-perkara yang dimurkai Allah, sekecil apapun itu.

Mari mengevaluasi puasa kita

Berdasarkan penjelasan tiga tingkatan puasa di atas, semestinya kita mengevaluasi kualitas ibadah puasa yang selama ini kita jalankan. Memang benar, dengan mencapai tingkat pertama, puasa kita telah sah secara fiqih dan gugurlah kewajiban berpuasa kita. Namun, kita masih terancam dengan hadis Nabi SAW: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).

Siapakah mereka yang dengan berpuasa hanya men¬¬dapat¬kan rasa haus dan dahaga? Hadis lain men¬jelas¬kan: “Siapa yang berpuasa tapi tidak meninggalkan per¬kataan dusta tapi malah melakukannya, maka Allah tidak memandang perlu ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR Bukhari).

Juga Sabda Rasulullah SAW: “Lima perkara yang menggugurkan puasa adalah perkataan dusta, ghibah, mengadu domba, melihat dengan syahwat, dan persaksian palsu.” (HR ad-Dailami).

Mengenai hukum orang yang berpuasa tapi tidak mampu menjaga dirinya dari dusta dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya, seperti yang diterangkan dalam hadis di atas, para ulama memandang hal tersebut meruasak nilai puasa tapi tidak membatalkannya. Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada pengharaman, sedangkan batalnya puasa hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri).”

Mula ‘Ali al-Qari menyatakan dalam Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang berhaji, yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tapi kesempurnaan pahala tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Jadi, puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah.

Alhasil, bila puasa kita masih berada pada tingkatan pertama, maka kita harus berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan kualitas puasa yang kita lakukan, sehingga dapat naik ke tingkatan kedua.

Selanjutnya kita berusaha dan berdoa lagi supaya mencapai tingkatan ketiga. Dengan demikian, dengan izin Allah, kita mampu untuk merasakan manisnya iman dan Islam dari ibadah yang kita lakukan. Semoga ibadah puasa yang kita lakukan mampu menaikkan derajat kita menjadi orang yang bertakwa (muttaqin) dan karenanya kita memperoleh pahala yang besar, keridhaan, ampunan, dan rahmat dari Allah SWT. Amin. Wallahu a’lam bish shawwab.*

Oleh Asep Setiawan el-Banjary
Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

HIDAYATULLAH