Menjadi Manusia yang Berkualitas

Menjadi Manusia yang Berkualitas

Berikut ini penjelasan terkait menjadi manusia yang berkualitas. Kita tahu, ajaran akhlak (budi pekerti) yang ditulis Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin adalah melakukan segala hal secara tengah-tengah (wasathiyah). Mengerjakan segala hal secara tepat. Tidak ekstrim kanan atau pun ekstrim kiri. Itu artinya, kalau anda ingin hidup bahagia (berkualitas), maka anda harus mempunyai akhlak.

Sebetulnya, watak manusia pada hakikatnya cenderung dan selalu ingin berlebihan. Al-Qur’an mengatakan: 

كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ 

Artinya: “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-Alaq [96]: 6-7).

Manusia mempunyai tendensi kecenderungan alamiah dalam dirinya, yang ketika mengerjakan segala sesuatu selalu cenderung melewati batas. Kenapa melewati batas sangat mudah? Jawabannya karena dalam diri manusia terdapat hawa nafsu (kesenangan). Dengan hawa nafsu, potensi manusia untuk menyenangi sesuatu dengan berlebihan akan sangat mudah.

Menempuh Titik Tengah

Ketika dikatakan “Islam Moderat”, sebenarnya itu Islam yang susah, dan yang mudah justru menjadi “Islam Ekstrim”. Kenapa dikatakan susah? Karena dengan berakhlak yang moderat, maka anda harus menjaga diri untuk berada di tengah-tengah. Seperti seorang pemain sirkus yang berjalan diatas tali di ketinggian. Anda akan mudah jatuh dalam kondisi seperti itu jika tidak mempunyai keseimbangan.

Dengan demikian, tak keliru jika katakan bahwa, akhlak yang sesungguhnya adalah bukanlah suatu tindakan, melainkan sikap dalam jiwa manusia yang dalam istilah Al-Ghazali disebut dengan “haiatun raskihatun fi an-nafsi”. Adalah suatu sifat permanen yang menetap dalam diri manusia.

Sifat atau watak itu selamanya akan menetap dalam diri manusia. Terkadang, sifat-sifat itu akan muncul pada manusia dalam konteks tertentu, dan pada waktu yang terbatas. Begitu pada masa Pemilu, orang yang menjadi Caleg tiba-tiba dermawan. Dan begitu Pemilu sudah lewat, ia kembali lagi menjadi manusia pada biasanya. Tentu saja, hal yang demikian ini bukanlah akhlak (bukan sifat yang datang dan pergi karena ada sifat tertentu).

Itu sebabnya, hemat saya, ekstremitas di dalam agama sekarang ini jangan-jangan bukan sesuatu yang datang dari agama itu sendiri, melainkan karena bagian dari kecenderungan peradaban modern yang sekarang melanda semua orang.

Karena dengan zaman modern, segala barang bisa diproduksi secara massal, akhirnya manusia bisa tergoda dan cenderung berlebihan dalam segala hal. Sebuah zaman yang menuntut semua orang untuk bertindak dalam hal apa pun.

Dalam kompetisi yang keras, seorang pedagang yang tidak bisa menampilkan sesuatu yang menarik perhatian pembeli, dengan sendiri ia tidak akan diperhatikan. Jelasnya, segala hal yang menarik perhatian pasti akan dilakukan, termasuk dengan cara-cara yang sensasional. Dengan kondisi yang demikian cenderung berlebihan, maka menjalankan akhlak seperti yang diajarkan oleh Al-Ghazali terasa sangat berat sekali.

Para ahli tasawuf memberikan analogi bahwa orang akan bisa hidup bahagia jika dalam hidupnya ia seperti batu yang tegak di tengah-tengah padang pasir. Batu itu tetap tegak meski dalam hembusan badai. Bahkan tidak bergerak dari posisinya. Jika seseorang bisa hidup seperti batu itu, maka ia akan mencapai hidup yang bahagia. Ini persis sama dengan ajaran filsafat stoa (stoikisme).

Sekalipun gembira dan sedih bersifat alamiah, akan tetapi ia bisa menjaga level sedih dan gembira pada level yang tidak berlebihan. Sekiranya ia menjumpai kesedihan, tetapi kesedihannya tidak sampai menguasai dirinya. Tidak oleng. Pun juga ketika gembira. Ia bisa mengontrol kegembiraannya sehingga tidak membuat hidupnya menjadi kacau-balau. Inilah yang disebut akhlak tengah-tengah.

Penting juga dicatat, ada baiknya jika moderasi beragama diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, tidak saja membicarakan soal HTI, Salafi, Wahabi dan aliran lainnya. Sebab, ekstremisme itu tidak hanya terjadi pada level ideologi, melainkan juga pada level kehidupan praktik sehari-hari kita seringkali ekstrem. Dan inilah yang membutuhkan moderasi beragama.

Tak hanya itu, zaman modern sekarang, seolah-olah kebahagiaan akan meningkat ketika kepemilikan kita terhadap benda-benda yang bersifat material bertambah terus tanpa ada batasnya. Dengan kata lain, kebahagiaan dalam persepsi banyak orang sekarang ini akan dicapai ketika memiliki sesuatu lebih secara material. Semakin kamu memiliki banyak, maka kamu semakin bahagia.

Padahal, dalam ajaran akhlak yang diajarkan Al-Ghazali dan dalam filsafat stoa justru bukan memiliki lebih, melainkan memiliki secara moderat. Dalam hal ini, bukan berarti mengajak untuk hidup “kere massal”, melainkan untuk hidup sebagaimana kehidupan yang normal. Tidak berlebih-lebihan.

Demikian penjelasan terkait menjadi manusia yang berkualitas. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH