Ada fakta menarik bahwa di masa lampau nikah beda agama pernah dilakukan oleh anak Rasulullah. Berikut penjelasan tentang nikah beda agama Putri Rasulullah; Zainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’
Di sosial media, sempat viral berita tentang pernikahan beda agama, pernikahan yang dilarang Islam dan negara. Dalam hukum Islam, menurut golongan jumhur, perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.
Sedangkan laki-laki yang muslim dan ingin menikahi perempuan non muslim masih ada celah dilegalkan jika perempuannya ahlul kitab.
Di Indonesia, fenomena nikah beda agama atau lintas agama bukan persoalan baru, karena tidak sedikit publik figur melakukan pernikahan tersebut. Namun, menjadi perbincangan hangat karena tersebar foto pernikahan perempuan berjilbab di Gereja, tepatnya di Semarang Jawa tengah.
Terlepas dari pro-kontra yang terjadi di tengah masyarakat, kami hanya ingin memaparkan kisah cinta sepasang pasutri yang beda agama di masa Nabi Muhammad saw. Peristiwa itupun terjadi pada putri sulungnya Rasulullah, yaitu Zainab anak yang dilahirkan dari rahim Khadijah.
Jalinan cinta (dalam nikah) antara Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash bin ar-Rabi’ bukan tanpa alasan. Ibnu Hisyam menuturkan, disamping Abul Ash bin ar-Rabi’ seorang yang kaya dan tajir, ia juga merupakan pemuda yang memiliki talenta dalam bisnis, dan yang tidak kalah penting ia orangnya dikenal jujur.
Maka tidak mengherankan, jika Khadijah membujuk sang suami untuk menikahkan putri sulungnya dengan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Abul Ash bin ar-Rabi’ juga keponakan dari Khadijah karena anak lelaki Halah binti Khuwailit (saudari kandung Khadijah), berarti Zainab adalah sepupu Abul Ash bin ar-Rabi’.
Sayang, cinta keduanya harus mengalami cobaan sebab berbeda keyakinan. Bermula ketika Nabi mendapat wahyu dan mendakwahkannya Zainab ikut serta memeluk islam sedangkan kekasihnya tetap dalam kekufurannya. Dalam Kondisi ini, musuh Nabi banyak yang memutus hubungan pernikahan putri-putri Nabi.
Diantaranya, putrinya Ruqayyah yang diceraikan oleh suami Utbah bin Abu Jahal. Namun, hal itu tidak berlaku kepada Abul Ash yang mencintai Zainab. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, sebagaimana diabadikan Ibnu Hisyam.
وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِامْرَأَتِي امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ
“Aku tidak bisa mencintai wanita Quraisy manapun karena sudah ada istriku (Zainab)”
Keduanya merajut mahligai rumah tangga sekitar dua belas tahun dengan kondisi agama yang berbeda, namun kekuatan cintanya tetap mengikat kuat i’tikad bersama.
Bahkan Zainab tetap memilih tinggal di Mekah dan rela berpisah dengan keluarga terkhusus ayah tercinta, Nabi Muhammad yang berhijrah ke Madinah. Karena ia terikat dengan suaminya yang masih kufur namun jujur.
Tidak berhenti di situ, menurut laporan Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh [27/2], pada tahun kedua Hijriyah ketika perang Badar meledak antara kaum Quraisy Mekah dan kelompok Rasulullah di Madinah, menantu Nabi, Abul Ash ikut serta berperang hingga terciduk menjadi tawanan saat peperangan selesai.
Pasca perang Badar kaum Quraisy menebus para tawanan di Madinah. Zainab dengan besarnya cinta juga ikut menebus sang suami yang ikut ditawan. Tidak tanggung-tanggung, harta yang dijadikan tebusan sang suami merupakan harta peninggalan mendiang ibundanya Khadijah, yang berupa kalung. Hal ini membuktikan cinta yang diperjuangkan.
Melihat kalung itu, Rasulullah langsung “tersedu-sedu” dalam keharuan mengenang kenangan dalam memori ingatan. Ia pun langsung membebaskan para tawanan. Akan tetapi, khusus menantunya, Abul Ash, Nabi memintanya untuk mendatangkan Zainab ke Mekah.
Permintaan itu pun sulit ditolak oleh Abul Ash dengan kondisi yang sedang meliputi, maka dengan rasa terpaksa Abul Ash merelakan kepergian istri kinasihnya untuk berkumpul kembali dengan Rasulullah di Madinah. Raga keduanya pun dibatasi ruang dan waktu namun tidak dengan cintanya yang tetap bersemi dalam qalbu, konon istilah milenialnya adalah LDR.
Bukti dari cinta yang masih bersemi, tepat sebelum Fathu Mekah sekitar tahun delapan Hijriah Abul Ash menjalani profesi dagangnya namun di tengah perjalanan pulang ia kena patroli tentara Madinah.
Maka malamnya, Abul Ash menyusup ke Madinah dan mencari pujaan hati Zainab yang pernah meninggalkan dirinya selama kurang lebih enam tahun, untuk meminta perlindungan sekaligus mengobati rindunya. Usahanya pun berhasil dan Abul Ash membawa harta dagangannya untuk dibagikan kepada para pemiliknya di Mekah.
Namun apa yang terjadi setelah itu membuat tercengan seantero Mekah. Sebab secara terang-terangan Abul Ash mendeklarasikan untuk masuk islam. Ternyata, pertemuan singkat dengan sang pujaan hati Zainab di malam, itu telah mengundang taufik dan hidayah untuk masuk islam secara suka rela.
Akhirnya, Abul Ash pergi ke Madinah menemui Nabi sekaligus istri yang dulu sempat terpisah. Nabi pun akhirnya mengembalikan Zainab dalam pelukan kekasihnya tersebut. merekapun hidup bahagia secara lahir dan batin dan memiliki putri Umamah yang juga disayang Rasulullah.
Yang menjadi problem apakah nikah beda agama boleh atau tidak diantaranya adalah riwayat tentang kisah cinta Zainab dan Abul Ash tersebut. Sebab, menurut satu riwayat yang dijadikan pedoman ulama jumhur, ketika Nabi mengembalikan Zainab dalam pangkuan Abul Ash disertai dengan akad dan mahar baru.
Ini artinya, pernikahan saat beda agama batal atau tidak dianggap lantaran ada larangan quran yang turun di tahun ke-6 yaitu surah Al-Mumtahanah. Sedangkan menurut pendapat lainnya, Nabi tidak mengadakan akad baru.
Dengan demikian, nikah beda agama sebelumnya diakui dan sah. Kedua pendapat inilah yang kemudian menjadi ajar perbedaan terkait boleh atau tidaknya nikah beda agama. Kedua riwayat tersebut dicatat oleh Ibnu Atsir dalam kitab Kamil fi Al-Tarikh. Wallahu A’lam.
Demikian penjelasan terkait nikah beda agama putri Rasulullah, yakniZainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’. Semoga artikel nikah beda agama putri Rasulullah ini bermanfaat, bukan menciptakan polemik baru.