Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”, mengabaikan urusan halal-haram
Oleh: Een Stiawati
BULAN PEBRUARI 2020 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan uji materi alias judicial review yang dilayangkan seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Gugatan tersebut, dilayangkan Ramos lantaran dirinya yang merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam. Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Kasus ini mengingatkan kita tahun 2014, ketika mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anbar Jayadi bersama 4 orang temannya yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Saputra menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan pernikahan beda agama di Indonesia (Kompas.com, 4/9).
“Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas,” kata Anbar di Gedung MK, Kamis (4/9/2014), dia berpendapat biarkan masyarakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya, menurutnya pula karena setiap agama memiliki hokum yang berbeda maka ia menilai ada ketidakpastian hukum bagi mereka yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama.
Atas pengajuan uji materi ini terjadi pro dan kontra, banyak pihak yang tidak setuju, tetapi masih saja ada yang mendukung mereka walaupun jumlahnya sedikit. Pakar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah menyayangkan sikap kelima mahasiswanya yang menjadi penggugat Pasal 2 ayat 1, UU No 1 1974 tentang perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mengaku tidak habis pikir, bagaimana bisa murid-muridnya mempermasalahkan Undang-Undang yang selama ini terbukti mengatur harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.“Dari materi Hukum Perdata Islam yang pernah kami sampaikan, kami tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Di dalam konstitusi kita-pun, tidak boleh. Mereka berpendapat, bebas menjalankan agama dan bebas tidak menjalankan agama. Tapi tidak seperti itu,” dengan nada prihatin (hidayatullah.com ).
Demikian halnya dengan Imam Besar Masjid Istiqlal kala itu, dimana beliau berharap agar Mahkamah Konstitusi menolak atas gugatan tersebut, begitu juga Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin berpendapat bahwa pernikahan beda agama sangat sulit direalisasikan, ketika nikah beda agama dilegalkan maka masalah lain akan muncul yang lebih sulit, misalnya agama apa yang akan dia pakai ketika menikah? Dan banyak lagi kecaman yang datang dari berbagai kalangan.
Di tengah banyaknya pihak yang kontra justru peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.
Ketua Moderate Muslim Society, yang juga politisi PDI-P, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM kala itu, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama (Kompas.com, 5/9).
Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila saat dihubungi Kompas.com (4/9/2014) menilai setiap warga Negara Indonesia berhak untuk menikah baik dengan sesama maupun beda agama.
Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanya menuruti nafsu “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya.
Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan. Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.
Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta?
Mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim yang seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar. Gugatan legalisasi perkawinan beda agama bukanlah hal baru karena kelompok sekular dan liberal termasuk KOMNAS HAM terus berupaya menyuarakan kebebasan, ini menjadi isyarat yang jelas bahwa orang-orang liberal terus menyasar Islam dan syariahnya.
Nikah Beda Agama Pintu Pemurtadan?
Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan minta dilegalkan. Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya dua hal:
Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya.
Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara.
Jika kita mau mencermati, sesungguhnya upaya gugat menggugat aturan agama bahkan yang sudah jelas dalilnya akan terus berlangsung selama sistem demokrasi diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi memberi peluang untuk seseorang berpendapat sekehendak hatinya karena demokrasi menganut prinsip kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan perpendapat dan kebebasan bertingkah laku.
Maka wajar seseorang mengeluarkan pendapatnya walaupun bertentangan dengan Islam. Sistem Islam sangatlah berbeda dengan demokrasi, dimana perkataan dan perbuatan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’, dia tidak bebas melakukan semaunya begitu juga terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum muslim maupun muslimah haram menikah dengan kaum musyrik, Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾
“Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS: al-Baqarah [2]: 221).
Dengan demikian, perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram.
Adapun perkawinan pria mukmin dengan wanita ahlul kitab adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita ahlul kitab yang muhshanât yaitu ‘afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).
Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afîfât itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria muslim dengan wanita ahlul kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.
Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanita ahlul kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”. Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita mukmin.”
Demikian jelaslah sudah bahwa upaya pelegalan nikah beda agama merupakan pelegalan perzinahan karena sesungguhnya pernikahan beda agama adalah haram hukumnya dan ini adalah buah demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai pijakannya. Oleh karena itu kinilah saatnya untuk kita berupaya berpijak kepada Hukum Allah SWT, sebagai pengganti sistem demokrasi yang rusak.*
Penulis peminat masalah agama. Een_stiawati@yahoo.com