Khutbah Jumat; Memilih Pemimpin Menurut Al-Qur’an

Pemilihan pemimpin merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Pemimpin yang baik akan membawa negara ke arah yang lebih baik, sedangkan pemimpin yang buruk akan membawa negara ke arah yang lebih buruk. Nah berikut Khutbah Jumat ini berjudul: Khutbah Jumat; Memilih Pemimpin Menurut Al-Qur’an.

Khutbah I

الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْن. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى; يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَاٰمِنُوْا بِرَسُوْلِهٖ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَّحْمَتِهٖ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ نُوْرًا تَمْشُوْنَ بِهٖ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌۙ

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut AlQur’an

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum [KPU], Indonesia akan mengadakan hajat besar yakni Pemilihan Presiden 2024, yang akan diselenggarakan di Indonesia pada tanggal 14 Februari 2024. Pemilihan ini akan memilih presiden dan wakil presiden masa bakti 2024-2029.

Lebih lanjut, Pemilihan Presiden 2024 akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Sementara pemilihan umum kepala daerah baru akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024.

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut Al–Qur’an

Sejatinya, Pemilihan Presiden 2024 merupakan momen penting bagi demokrasi Indonesia. Pemilihan ini akan menentukan arah pemerintahan Indonesia untuk lima tahun ke depan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu ini dan memilih calon presiden yang sesuai dengan hati nuraninya.

Calon presiden dan anggota DPR yang terpilih akan menjadi pemimpin tertinggi negara dan akan bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang akan diambil. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memilih calon presiden yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk memajukan Indonesia.

Untuk itu, karena peran pentingnya pemilih pemimpin, maka Islam memberikan panduan [guidance] dalam memilih pemimpin yang baik. Sejatinya ada beberapa panduan Islam dalam memilih pemimpin dalam Al-Qur’an.

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut AlQur’an

Pertama, pemimpin yang jujur. Islam sangat memperhatikan pentingnya memilih pemimpin yang jujur. Hal ini karena pemimpin yang jujur akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi rakyatnya.

Sebaliknya, pemimpin yang tidak jujur akan membawa kerusakan dan malapetaka bagi rakyatnya. Pemimpin yang tidak jujur, akan mudah korupsi dan menyelewengkan jabatannya. Indonesia tidak kekurangan orang pintar, namun kita defisit orang yang benar dan jujur. Dalam Al-Qur’an Q.S Yusuf ayat 54 , Allah berfirman;

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُوْنِيْ بِهٖٓ اَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِيْۚ فَلَمَّا كَلَّمَهٗ قَالَ اِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ اَمِيْنٌ

Artinya; Raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah berbicara kepadanya, dia (raja) berkata, “Sesungguhnya (mulai) hari ini engkau menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami lagi sangat dipercaya.”

Hadirin jamaah Jumat yang mulia

Kedua, berbuat adil. Sejatinya, Allah SWT menyuruh kita untuk berlaku adil dalam segala hal. Perintah untuk berlaku adil ini terdapat di dalam banyak ayat Al-Qur’an, salah satunya adalah Surat An-Nahl [16] ayat 90;

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Artinya; Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut AlQur’an

Dalam Tafsir Al-Misbah, Prof. Quraish Shihab mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Di sisi lain, ada juga ulama yang menjelaskan bahwa adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat.

Lebih lanjut, keadilan merupakan salah satu sifat Allah SWT yang ada dalam asmaul husna. Allah SWT selalu berlaku adil kepada seluruh makhluk-Nya, tidak pernah pilih kasih atau menzalimi seorang pun. Oleh karena itu, sebagai hamba, kita harus berusaha untuk meniru sifat Allah SWT tersebut dengan cara selalu berlaku adil dalam segala hal.

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut AlQur’an

Ketiga, berbuat baik. Islam menganjurkan pemimpin untuk berbuat baik kepada rakyatnya dalam bentuk kebijakan, pelayanan, maupun sikap dan perilaku. Kebijakan yang dibuat harus berpihak kepada rakyat, pelayanan harus diberikan dengan adil dan merata, dan sikap serta perilaku pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman an-Nur ayat 55;

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Artinya; Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik.

Hadirin jamaah Khutbah Jumat tentang Memilih Pemimpin Menurut AlQur’an

Pemimpin yang berbuat baik kepada rakyatnya akan mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari rakyatnya. Kebijakan yang dibuat harus berpihak kepada rakyat, artinya kebijakan tersebut harus mengutamakan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Pelayanan harus diberikan dengan adil dan merata, artinya pelayanan tersebut harus diberikan kepada semua rakyat tanpa memandang latar belakang. Sikap serta perilaku pemimpin juga harus menjadi teladan bagi rakyatnya, artinya pemimpin harus menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan terpuji.

Hadirin jamaah Jumat yang mulia

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، فَاعْتَبِرُوْا يَآ أُوْلِى اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Khutbah II

 الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ

 أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ

عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ

BINCANG SYARIAH

Doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an

Berikut ini doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an. Dalam Islam, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Al-Qur’an berisi ajaran Islam yang lengkap, termasuk tentang doa.

Doa adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhannya. Doa dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, baik dalam keadaan senang maupun susah. Doa juga dapat dilakukan secara individu maupun berjamaah.

Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang mengajarkan tentang doa para Nabi dalam Al-Qur’an. Salah satunya, doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an pada Q.S al-Baqarah [2] ayat 127-129 dan 260.

 رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ [127] رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ [128]. رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ[129]. رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ [260]

Rabbanā taqabbal minnā, innaka antas-samī‘ul-‘alīm(u) [127]. Rabbanā waj‘alnā muslimaini laka wa min żurriyyatinā ummatam muslimatal lak(a), wa arinā manāsikanā wa tub ‘alainā, innaka antat-tawwābur-raḥīm(u). [128]

Rabbanā wab‘aṡ fīhim rasūlam minhum yatlū ‘alaihim āyātika wa yu‘allimuhumul-kitāba wal-ḥikmata wa yuzakkīhim, innaka antal-‘azīzul-ḥakīm(u). [129] rabbi arinī kaifa tuḥyil-mautā [260]

Artinya;  “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu, (jadikanlah) dari keturunan kami umat yang berserah diri kepada-Mu, tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan manasik (rangkaian ibadah) haji, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

Ya Tuhan kami, utuslah di antara mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kitab suci dan hikmah (sunah)38) kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.”

Demikian doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an, yang bisa diamalkan ketika selepas shalat dan amal-amal sunnah lainnya. wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Menutup Mulut ketika Menguap Pakai Tangan Kiri?

Pertanyaan:

Saya pernah mendengar penjelasan bahwa ketika kita menguap dianjurkan menutup mulut dengan tangan kiri. Apakah itu benar?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Ketika kita menguap, yang dianjurkan pertama kali adalah menahannya dengan menutup mulut sebisa mungkin.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

Jika kalian menguap dalam shalat maka tahanlah sebisa mungkin” (HR. Muslim no. 2995)

Dalam lafadz yang lain:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

Jika kalian menguap maka tutuplah mulut kalian dengan tangan. Karena setan bisa masuk (jika tidak ditutup)”.

Ibnu Allan Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan:

أي قدر استطاعته ، وذلك بإطباق فيه ، فإن لم يندفع بذلك فبوضع اليد عليه

“Maksudnya tahanlah sebisa mungkin (ketika menguap). Yaitu dengan melakukan ithbaq (menggabungkan bibir). Jika tidak bisa ditahan, maka tutup dengan meletakkan tangan di mulut” (Dalilul Falihin, 6/175).

Sebagian ulama memang menganjurkan untuk menutup mulut dengan tangan kiri. Alasannya, karena menguap adalah keburukan, sehingga lebih didahulukan tangan kiri. Sebagaimana kaidah yang ditetapkan sebagian ulama:

تقديم اليمين في كل ما كان من باب الكرامة ، وتقديم الشمال في كل ما كان من باب المهانة

“Didahulukan tangan kanan dalam semua perkara yang mulia. Dan didahulukan tangan kiri dalam semua perkara yang hina”.

Berdasarkan keumuman hadits dari Hafshah radhiyallahu’anha, ia mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَانَ يَجْعَلُ يَمِينَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ ، وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذَلِكَ 

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menggunakan tangan kanan ketika makan, minum, dan memakai pakaian. Dan menggunakan tangan kiri untuk perkara selain itu” (HR. Abu Daud no.32, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Caranya menutup mulut dengan tangan kiri yaitu dengan meletakkan punggung tangan kiri ke mulut, bukan dengan telapak tangan kiri. Al-Munawi rahimahullah mengatakan:

(فليضع يده) أي ظهر كف يسراه كما ذكره جمع ، ويتجه أنه للأكمل وأن أصل السنة يحصل بوضع اليمين . قيل : لكنه يجعل بطنها على فيه عكس اليسرى

“Maksudnya dengan cara meletakkan punggung tangan kiri, sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama. Dan mereka berpandangan itu lebih sempurna. Walaupun pada asalnya yang sunnah ini sudah tercapai walaupun menggunakan tangan kanan. Namun (jika dengan tangan kanan) maka dengan meletakkan telapaknya, tidak sebagaimana jika menggunakan tangan kiri” (Faidhul Qadir, 1/404).

As-Safarini rahimahullah mengatakan:

وقال السفاريني رحمه الله : “وَقَالَ لِي شَيْخُنَا التَّغْلِبِيُّ فَسَّحَ اللَّهُ لَهُ فِي قَبْرِهِ : إنْ غَطَّيْت فَمَك فِي التَّثَاؤُبِ بِيَدِك الْيُسْرَى فَبِظَاهِرِهَا , وَإِنْ كَانَ بِيَدِك الْيُمْنَى فَبِبَاطِنِهَا

“Guruku, Syaikh At-Taghlibi, semoga Allah meluaskan kuburnya, beliau berkata: Jika menutup mulut ketika menguap dengan tangan kiri, maka gunakan punggungnya. Jika dengan tangan kanan, maka dengan telapaknya” (Ghadza al-Albab, 1/348).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya:

س: هل يكظم التَّثاؤب باليد اليسرى؟

ج: نعم.

س: يكون على الوجوب؟

ج: هذه السنة

“Penanya : Apakah menutup mulut ketika menguap menggunakan tangan kiri?

Syaikh : benar

Penanya : Apakah hukumnya wajib?

Penanya : ini hukumnya sunnah”

(Fatawa ad-Durus, no. 26646).

Namun masalah ini longgar, yang penting berusaha menutup mulut ketika menguap. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya: “Apakah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika menguap beliau menutup tangannya dengan tangan kanan atau tangan kiri ataukah keduanya bersamaan?”. Beliau menjawab:

لا أعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضع يده على فمه إذا تثاءب ، وإنما ورد ذلك من قوله حيث أمر صلى الله عليه وسلم الرجل عند التثاؤب – يعني : أو المرأة – أن يكظم – يعني : يمنع فتح فمه ما استطاع – فإن لم يستطع فليضع يده على فمه ، ويضع اليد اليمنى أو اليسرى ، المهم أن لا يبقي فمه مفتوحاً عند التثاؤب

“Tidak kami ketahui ada hadits tentang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menutup tangannya ketika menguap. Yang ada adalah hadits berisi perintah beliau kepada orang yang menguap. Yaitu dengan menahan mulutnya agar tidak terbuka sebisa mungkin. Jika tidak mampu ditahan, maka letakkanlah tangan di mulutnya. Boleh dengan tangan kanan atau tangan kiri. Yang penting tidak membiarkan mulut terbuka ketika menguap” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 13/61).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

KONSULTASI SYARIAH

Ketika Rasulullah Ditegur Allah  Sebab Mengabaikan Sahabat Tunanetra

Dalam Al-Qur’an Q.S Abasa [42] ayat 1-16, Allah menegur Nabi Muhammad karena mengacuhkan dan memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang tunanetra. Nah berikut kisah lengkapnya tentang ketika Rasulullah ditegur Allah  sebab mengabaikan sahabat tunanetra.

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan, peristiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Makkah,  al-Walîd Ibn al-Mughîrah dengan harapan mereka bisa memeluk Islam.

Dalam pertemuan itu, Nabi Muhammad berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.  

Saat-saat itulah datang ‘Abdullâh Ibn Ummi Maktûm ra. yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu menyela pembicaraan Nabi saw. memohon agar diajarkan kepada-Nya apa yang telah diajarkan Allah kepada Nabi saw.

Ini, menurut riwayat, diucapkannya berkali-kali. Sikap ‘Abdullâh ini tidak berkenan di hati Nabi saw.—namun beliau tidak menegur apalagi menghardiknya—hanya saja tampak pada air muka beliau rasa tidak senang. Maka, turunlah ayat di atas menegur Nabi Muhammad SAW.

Setelah ditegur oleh Allah, Nabi Muhammad segera meminta maaf kepada Abdullah bin Ummi Maktum. kemudian, mengutip kata Al-Al-Wâhidî dalam Tafsir al-Basith, bila ‘Abdullâh Ibn Ummi Maktûm ra. datang, Nabi saw. menyambutnya dengan ucapan: “Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegur “karena ia” oleh Tuhanku.

Terkait teguran Allah itu, menurut Sayyid Quthub, kecaman itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., menulis bahwa redaksi berbentuk persona ketiga itu mengesankan bahwa persoalan yang sedang dibicarakan ayat di atas—yakni kasus mengabaikan sang tunanetra— sedemikian buruk di sisi Allah sampai-sampai Dia enggan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi-Nya dan kekasih-Nya—karena kasih dan rahmat-Nya kepada beliau serta penghormatan kepadanya untuk tidak diarahkan kepada beliau hal yang buruk itu.  Nanti setelah ditutup kasus yang menjadi sebab teguran itu, baru Allah mengarah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk persona kedua (ayat 3 dan seterusnya).

Pandangan berbeda di katakan oleh al-Biqa’i—Rasulullah ditegur Allah sebab mengabaikan sahabat tunanetra—, penyebutan kata عَبَسَ (‘abasa) dalam bentuk persona ketiga, tidak secara langsung menunjuk Nabi Muhammad SAW, ini mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa Allah pun—dalam mendidik Nabi-Nya—tidak menuding Rasulullah atau secara tegas mempersalahkannya.

Dalam konteks modern, kisah ini juga mengingatkan kita untuk selalu bersikap ramah dan terbuka kepada orang-orang yang memiliki disabilitas.

BINCANG SYARIAH

Sedekah Abu Thalhah

Sahabat Abu Thalhah langsung memberikan kebun kurma yang disayanginya kepada Baginda Nabi ﷺ setelah Allah swt menurunkan ayat tentang berinfak dan sedekah terhadap harta yang dicintai

ANAS bin Malik ra. Pernah berkata: Abu Thalhah ra. adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di Kota Madinah. Di antaranya berupa kebun kurma.

Ada kebun kurma yang paling ia sukai yang bernama Bairaha. Kebun tersebut berada di depan masjid. Suatu ketika Rasulullah ﷺ pernah memasuki kebun tersebut dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.

Terkait itu, Allah SWT berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ 

“Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran [3]: 92).

Menurut Anas bin Malik ra., saat ayat di atas turun, Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah ﷺ. Ia lalu berkata, “Wahai, Rasulullah, sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha. Sungguh aku sekarang mewakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah SWT telah memberi petunjuk kepadamu.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998).

Semoga kita semua bisa mengamalkan ayat di atas sebagaimana Abu Thalhah ra. Aamin.*/ Arief B. Iskandar, Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH

4 Orang yang Tidak Boleh Dijadikan Guru Menurut Imam Malik

Para penuntut ilmu harus berhati-hati dan selektif dalam mencari guru, karena seorang guru akan dijadikan sebagai panutan. Yang ideal untuk dijadikan guru, adalah orang yang betul-betul alim, berwawasan luas, dan berakhlak mulia. Nah 4 orang yang tidak boleh dijadikan guru Menurut Imam Malik. 

Syekh Ibnu Muflih al-Maqdisi dalam karyanya, al-Adab asy-Syar’iyah wa al-Manhu al-Mar’iyah Juz 2, halaman 147, mengutip ungkapan Imam Malik terkait larangan untuk berguru kepada empat orang. Adapun kutipannya sebagai berikut:

وقال مالك: لا يؤخذ العلم عن أربعة ويؤخذ عمن سواهم، لا يؤخذ عن معلن بالسفه، ولا عمن جرب عليه الكذب، ولا عن صاحب هوى يدعو الناس إلى هواه، ولا عن شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث به

Artinya: “Imam Malik berkata, tidak boleh suatu ilmu diambil dari empat orang, dan boleh suatu ilmu diambil dari selain mereka, yaitu, ilmu tidak boleh diambil dari orang yang jelas-jelas bodoh, dan tidak boleh diambil dari orang yang sering kali berbohong, dan tidak boleh dari orang yang selalu menuruti hawa nafsu serta mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya, dan tidak boleh dari orang yang telah tua dan memiliki keutamaan serta ahli ibadah  jika dia belum diketahui kebenaran apa yang dia katakan”.

4 Orang yang Tidak Boleh Dijadikan Guru

Ungkapan Imam Malik di atas, memberi arahan kepada kita untuk berhati-hati dalam memilih guru, dan ada empat golongan yang tidak boleh dijadikan sebagai guru. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Pertama, orang yang jelas-jelas bodoh. Orang yang tidak mempunyai keluasan ilmu, tidak boleh dijadikan guru atau diminta pendapatnya untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan ilmu agama. Jika kita bertanya masalah agama, kita harus bertanya kepada orang yang betul-betul mendalami ilmu agama, supaya kita tidak salah dalam memahami ilmu agama. 

Kedua, orang yang sering kali berbohong. Orang yang suka berbohong tidak boleh dijadikan guru. Karena boleh jadi, ia mengatakan, ini adalah pendapat ulama padahal ulama yang bersangkutan tidak berpendapat demikian. Orang yang suka berbohong ia tidak menguasai ilmu agama dengan baik, andaikan ia menguasai ilmu agama dengan baik, niscaya ia tidak akan berbohong atas keilmuannya. 

Ketiga, orang yang selalu menuruti hawa nafsunya. Orang yang menuruti hawa nafsu, tidak boleh dijadikan sebagai guru. Karena boleh jadi pemahamannya menyimpang dan ia anggap sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Jika kita ikut membenarkan penyimpangannya maka kita akan disesatkan oleh penyimpangannya. 

Keempat, orang tua yang memiliki keutamaan serta ahli ibadah. Ahli ibadah itu belum tentu ia adalah seorang yang berilmu. Karena tidak sedikit orang yang gemar beramal sholeh adalah seorang yang jauh dari ilmu agama. Oleh karena itu, jangan jadikan guru orang yang hanya sebatas rajin beribadah tetapi ia tidak berilmu. 

4 orang yang tidak boleh dijadikan guru menurut Imam Malik.Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Tidak Ada Iman tanpa Amal

Syekh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain (yaitu amal), sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal itu laksana buahnya. Oleh sebab itu, harus mengamalkan agama Islam. Karena orang yang memiliki ilmu, namun tidak beramal itu lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (Lihat Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hal. 12)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya (ibadah) apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu, namun tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan (ikrar), bukan semata-mata pembenaran (tashdiq). Di dalam ikrar (pengakuan) itu telah terkandung ucapan hati (qaul qalbi), yaitu berupa tashdiq (pembenaran), dan juga amalan hati (‘amalul qalbi), yaitu berupa inqiyad (kepatuhan).” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syekh Shalih Ahmad Asy-Syami, hal. 92)

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Dikutip melalui Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

Amal paling agung

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, “Amal manakah yang lebih utama?”

Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu, beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

Lalu, beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?”

Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (Lihat Sahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 97)

Keterangan hadis:

Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, berdasarkan hadis di atas bisa disimpulkan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amalan/perbuatan. Hal ini didukung oleh jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang amal yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Syarh Sahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 78)

Ibnu Baththal rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya beliau (Imam Bukhari) ingin memberikan bantahan kepada sekte Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan ucapan tanpa amalan/perbuatan. Beliau ingin menjelaskan sisi kekeliruan dan keburukan keyakinan/akidah serta penyimpangan mereka dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta mazhab para imam/ulama.” (Lihat Syarh Sahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 79)

Akidah salaf tentang iman

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah sebuah perkara yang telah disepakati di kalangan para sahabat dan tabi’in serta para ulama setelah mereka yang kami temui. Mereka menyatakan bahwa iman itu mencakup ucapan, amalan, dan niat. Salah satu di antara ketiganya tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1122)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan. Akan tetapi, iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1124)

Ibnu Abi Zamanin Al-Andalusi rahimahullah (wafat 399 H) mengatakan bahwa para ulama ahlusunah menyatakan bahwa iman mencakup keikhlasan kepada Allah dari dalam hati, mengucapkan syahadat dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan disertai niat yang baik dan sesuai dengan sunah/tuntunan. (Lihat Ushul As-Sunnah, hal. 143)

Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani rahimahullah (wafat 386 H) dalam Muqaddimah Risalah-nya mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan diamalkan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan bertambahnya amal dan berkurang dengan berkurangnya amal. (Lihat ‘Aqidatu As-Salaf Muqaddimah Ibni Abi Zaid, hal. 60)

Isma’il bin Yahya Al-Muzanni rahimahullah (wafat 264 H) dalam risalahnya Syarhus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan disertai keyakinan di dalam hati, serta ucapan dengan lisan dibarengi amalan dengan anggota badan. Kedua hal ini (iman dan amal) adalah dua hal yang berdampingan. Tidak ada iman tanpa amal dan tidak ada amal tanpa iman. (Lihat Isma’il ibn Yahya Al-Muzanni wa Risalatuhu Syarhus Sunnah, hal. 77-78)

Demikian sedikit kumpulan catatan faedah yang Allah Ta’ala berikan kemudahan bagi kami untuk menyusunnya kembali. Semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88370-tidak-ada-iman-tanpa-amal.html

Bentuk Meminta-minta yang Diperbolehkan

Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Sesungguhnya perbuatan meminta-minta (mengemis) itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis ini menunjukkan tercelanya perbuatan mengemis atau meminta-minta. Perbuatan meminta-minta itu bagaikan seseorang yang mencakar wajahnya sendiri ketika meminta-minta di hadapan manusia. Sehingga hal itu akan menyebabkan hilangnya kemuliaan, kehormatan, dan nama baik dari si peminta-minta (pengemis).

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1639) dengan lafaz,

الْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ، أَوْ فِي أَمْرٍ لَا يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا

Meminta-minta itu perbuatan buruk, dengannya seseorang mencoreng (mencakar) wajahnya. Barangsiapa yang mau, maka ia biarkan cakaran itu di wajahnya. Dan barangsiapa yang mau, maka ia tinggalkan. Kecuali jika seseorang meminta kepada pemimpin atau meminta sesuatu yang harus ia dapatkan.

Sedangkan dalam riwayat An-Nasa’i (no. 2599) dengan lafaz,

فَمَنْ شَاءَ كَدَحَ وَجْهَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ

Barangsiapa yang mau, maka ia cakar wajahnya. Dan barangsiapa yang mau, maka ia tinggalkan.”

Kata “كُدُوحٌ” adalah bentuk jamak dari kata كدح, yaitu semua bekas dari garukan atau cakaran. Maksudnya adalah sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa perbuatan mengemis (meminta-minta) itu akan merusak harga diri dan kehormatan seseorang. Mengemis bagaikan aib atau cacat pada kehormatannya, sebagaimana cacat pada wajah akibat cakaran atau garukan. Hal ini karena pengemis itu akan menampakkan tanda-tanda kehinaan dan kerendahan.

Kandungan kedua, hadis tersebut mengecualikan dua bentuk meminta-minta. Terdapat dua kondisi ketika meminta-minta tersebut diperbolehkan, yaitu:

Pertama, meminta kepada penguasa (pemerintah), sehingga diperbolehkan meminta-minta kepada penguasa. Hal ini karena pada hakikatnya, orang itu meminta haknya yang terdapat di baitul mal, bukan semata-mata atau murni pemberian dari penguasa kepada si peminta. Karena penguasa itu hanyalah sebagai wakil. Sehingga, sama seperti ketika seseorang meminta kepada wakilnya untuk mendapatkan haknya sendiri yang ada pada wakilnya.

Kedua, meminta-minta dalam kondisi darurat atau benar-benar sedang dalam kondisi kesulitan. Yaitu, dia membutuhkan sesuatu yang harus dia penuhi, baik karena suatu beban (hajat atau kebutuhan) yang harus dia tanggung, atau ada bahaya yang menimpa pada hartanya, atau dia tiba-tiba tertimpa kefakiran (misalnya, hartanya ludes terkena kebakaran).

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 491-492).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89058-bentuk-meminta-minta-yang-diperbolehkan.html

Bolehkah Memakai Wewangian Sebelum Ihram?

السؤال

بعض الناس إذا أراد أن يحرم يطيب جسمه ورأسه ، ويطيب ملابس الإحرام ، ثم يلبسها ويحرم ، ما حكم ذلك؟

Pertanyaan:

Sebagian orang, jika ingin berihram menggunakan parfum di badan dan kepalanya serta pakaian ihramnya, lalu mengenakan pakaian ihramnya, kemudian melakukan ihram, bagaimana hukumnya?

الجواب

الحمد لله.

أما تطييب الرأس والبدن فهو سنة عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وقد سبق بيانه في جواب السؤال رقم (106550) .

وأما تطيب ملابس الإحرام فلا يجوز ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى المحرم عن لبس ثوب مسه طيب ، وقد سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله عن تطييب ملابس الإحرام فقال :

“لا يجوز ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (لا تلبسوا ثوباً مسه الزعفران ولا الورس)” انتهى.

“مجموع الفتاوى” لابن عثيمين (22/9) .

Jawaban:

Alhamdulillah. 

Adapun menggunakan wewangian kepala dan badan, maka itu adalah sunah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban pertanyaan nomor (106550). 

Adapun menggunakan wewangian pada pakaian ihram, maka hukumnya tidak boleh, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melarang orang yang ihram mengenakan kain yang telah terkena wewangian. 

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah ditanya tentang wewangian pakaian ihram, maka beliau menjawab, “Tidak boleh, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah bersabda, ‘Jangan pula memakai apapun yang telah terkena safron atau Wars (keduanya adalah jenis wewangian, pent.).’” Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā Ibni ʿUstaimīn (22/135-136).

Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/109335/لا-يجوز-تطييب-ثياب-الاحرام
PDF sumber artikel.

Akankah Sejarah Berulang Menimpa Kaum Yahudi?

Bangsa Yahudi hanya datang bertamu di Palestina, sang tamu kemudian mengusir tuan rumah, sekaligus mengklaim bahwa rumah yang mereka rampas tersebut miliknya, itulah sejarahnya

HASAN KLEIB, pemateri sentral dalam acara jumpa pers yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) tujuh tahun lalu, tepatnya pada Kamis, 3 Maret 2016 siang di Jakarta, datang terlambat. Laki-laki tegap dengan rambut tipis itu berjalan cepat menuju kursi tengah di barisan meja pemateri.

Begitu duduk, Hasan langsung dipersilahkan oleh sang moderator untuk memulai pemaparannya. Hampir seratus wartawan dari dalam dan luar negeri yang diundang oleh kantor Kemenkominfo siang itu telah lama menanti kehadiran Direktur Jenderal Multilateral Kementrian Luar Negeri RI  tersebut, termasuk saya.

Sedang sang tuan rumah, Ismail Cawidu, Kepala Humas Kemenkominfo, telah lebih dulu duduk di kursi di sebelah kanan Hasan. Namun, dia belum mendapat kesempatan berbicara. Ia sempat mengangkat tangan kepada saya sebelum acara dimulai. Kami berdua saling kenal setelah diundang mengisi acara di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu sebelumnya. Dialah yang mengundang saya ke acara ini.

Rencananya, tiga hari setelah jumpa  pers tersebut, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bakal menggelar sebuah konferensi di Gedung Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, selama dua hari, yakni pada 6 dan 7 Maret 2016. Jumpa pers hari itu  dilaksanakan sebagai bagian dari puncak persiapan penyelenggaraan konferensi tersebut.

“Konferensi ini bukan konferensi biasa. Ini konferensi luar biasa,” kata Hasan memulai pemaparannya.

Hasan benar! Konferensi ini memang dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI. Ia disebut luar biasa karena diselenggarakan di luar jadwal rutin, yakni setiap tiga tahun sekali.

KTT rutin baru akan dilaksanakan bulan berikutnya, yakni tanggal 15 dan 16 April 2016, di Istambul, Turki.

Yang juga menarik, KTT Luar Biasa ini sedianya akan digelar di Maroko. Namun, Maroko menyatakan tidak sanggup. Presiden Palestina dan Sekjen OKI meminta Indonesia menggantikan Maroko menjadi tuan rumah. Lampu hijau dinyalakan oleh pemerintah Indonesia. Jadilah negeri dengan jumlah kaum Muslim terbesar di dunia ini sebagai tuan rumah hajatan tersebut.

Ada 10 hingga 12 pemimpin setingkat kepala Negara yang menghadiri KTT ini, serta utusan dari Amerika Serikat, Rusia, PBB, dan Uni Eropa, serta 4 negara peninjau, yakni Bosnia Herzegovina, Afrika, Rusia, dan Thailand.

Namun, yang paling istimewa dari konferensi ini adalah tema yang diusung –yang menjadi tema tunggal– yakni solusi mengatasi persoalan yang melanda Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Ya, tema ini pula yang menarik perhatian saya untuk memenuhi undangan media briefing siang itu. Israel, satu seperempat abad silam, lewat David Ben Gurion, telah mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak.

Berdirinya “negara” Israel ini menjadi babak baru persoalan yang melanda Palestina dan menyita perhatian masyarakat dunia, terutama kaum Muslim.

Saya sengaja menaruh tanda kutip pada kata “negara” karena pada dasarnya Israel berdiri di atas penindasan dan perampasa yang mereka lakukan atas bangsa dan negara Palestina. Coba perhatikan sebuah peta yang dirilis oleh National Geographic tahun 1947, atau setahun sebelum peristiwa Nakba. 

Peta itu memperlihatkan hanya ada Palestina di wilayah yang diapit oleh Trans-Jordan, Mesir, Suriah, dan Laut Mediterania. Tidak ada Israel.

Jadi, bangsa Yahudi hanya datang bertamu. Namun, sang tamu kemudian mengusir tuan rumah, sekaligus mengklaim bahwa rumah yang mereka rampas tersebut miliknya.

Tidak semua wilayah Palestina berhasil mereka rampas, melainkan menyisakan dua bagian kecil, yakni Tepi Barat dan Gaza, yang terus bergejolak hingga kini. KTT Luar Biasa OKI, yang khusus membahas persoalan Palestina, hanyalah satu di antara banyak upaya untuk menghentikan upaya penindasan yang dilakukan ‘Israel’.

KTT tersebut membuahkan beberapa keputusan. Salah satunya, Deklarasi Jakarta (Jakarta Declaration) yang berisi rencana aksi konkret para pemimpin OKI untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Hasil lainnya adalah meningkatkan tekanan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberikan perlindungan internasional bagi warga Palestina, dan penetapan batas waktu pendudukan Israel atas negara di Bumi Syam tersebut.

Namun, ‘Israel’ keras kepala, sebagaimana nenek moyang mereka dahulu. Mereka tetap saja menjajah Palestina dan menyerang kaum Muslim yang beribadah di Masjid al-Aqsha.

Bahkan, di penghujung 2023 ini, mereka membombardir Gaza. Ribuan warga sipil Palestina, termasuk bayi dan anak-anak, meninggal.

Tak ada negara yang sanggup dan mau menghentikan aksi biadab ini, termasuk PBB. Di banyak negara, yang bergerak menentang justru penduduknya, bukan negaranya.

Namun, gelombang ketidaksukaan kepada sikap sombong dan keras kepala bangsa Yahudi ini kian lama kian membesar. Mungkinkah sikap keras kepala kaum Yahudi ini kelak akan berbalik menimpa mereka sendiri sebagaimana sejarah pernah mencatatnya berulang kali? Wallahu a’lam. *

Oleh: Mahladi Murni, Penulis adalah wartawan

HIDAYATULLAH