BPKH Kampanyekan Haji Usia Muda

Pendaftaran haji usia muda dikampanyekan BPKH.

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengkampanyekan pentingnya melakukan perencanaan keuangan dalam merencanakan haji sejak usia muda.

Anggota Badan Pelaksana BPKH Harry Alexander di Batusangkar, Sabtu, mengatakan sosialisasi itu dinilai penting karena tahun 2023 adalah tahun yang berat bagi jamaah haji Indonesia. Lebih dari 830 orang meninggal dunia dan mayoritas adalah lanjut usia (lansia).

“Sementara tahun ini 61 ribu lebih jamaah haji lansia di atas 65 tahun, sehingga pendaftaran haji harus lebih cepat untuk melakukan finansial planning merencanakan haji sejak muda. Apalagi kalau bisa haji muda bersama keluarga,” kata anggota BPKH Harry Alexander.

Harry mengatakan, saat ini ada sekitar 17 juta calon jamaah haji potensial di Indonesia yang ekonominya mampu dan kesehatannya juga mampu.

“Kita berharap 17 juta orang ini bisa mendaftar haji selagi masih muda, dan kita harapkan ke depan Kerajaan Arab Saudi akan menggandakan kuota untuk Indonesia bisa mencapai 1 juta orang,” kata Harry.

Sementara untuk data jamaah haji yang sedang menunggu, kata dia, ada sebanyak 5,3 juta orang, jumlah itu cukup besar tapi tidak sebesar warga Indonesia yang beragam Islam yang berjumlah 230 juta orang.

Dia menyebut, Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang animo masyarakatnya menunaikan ibadah haji cukup tinggi, ada 1.000 calon haji berangkat dari Sumbar setiap tahunnya.

Kemudian dalam sosialisasi haji muda di Sumatera Barat, kata dia, BPKH menggandeng Diniyyah Putri Padang Panjang dengan hadir pada perayaan satu abad Diniyyah.

“Kita menjadikan momen bahwa “young muslimah strong muslimah” bisa merencanakan agar bisa membeli masa depan termasuk bisa berangkat haji dari sejak muda,” katanya. 

sumber : Antara

Tips Sukses Berdagang ala Rasulullah yang Patut Diketahui Para Pedagang

Sebagaimana yang sudah diketahui, selain sebagai pendakwah Rasulullah saw merupakan seorang pedagang. Bahkan beliau sudah berdagang sejak usianya masih belia.

Kesuksesan Rasulullah saw dalam berdagang tak cuma dari sisi materi saja, lebih dari itu Rasulullah saw mementingkan keberkahan serta memupuk tali persaudaraan dalam berdagang.

Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam. Selain mengikuti Rasulullah saw, berdagang juga mempunyai banyak manfaat untuk orang lain.

Selain bisa memenuhi kebutuhan orang lain, dengan berdagang juga bisa menguntungkan dan berbagi rezeki pada pedagang yang lainnya.

Meski berdagang merupakan profesi yang dianjurkan dalam Islam, namun Islam juga melarang perbuatan-perbuatan culas saat berdagang.

Selain itu, Islam juga menjadikan Rasulullah saw sebagai role model dalam berdagang. Berikut ini tips sukses berdagang ala Rasulullah saw yang patut diketahui para pedagang.

  1. Diniatkan karena Allah SWT

Dasar utama Rasulullah saw dalam berdagang yakni atas niat karena Allah SWT. Dasar berdagang beliau bukan untuk memupuk harta, mencari uang sebanyak-banyaknya ataupun  untuk memikat wanita.

Rasulullah saw selalu menjadikan berdagang untuk ibadah kepada Allah SWT dan mendapatkan keberkahan serta ridho dari Allah SWT.

  1. Jujur dalam Berdagang

Sebagaimana yang sudah diketahui, jika Rasulullah saw dikenal sebagai seorang yang jujur maka beliau pun mendapat gelar al-amin atau yang terpercaya.

Kejujuran Rasulullah saw juga diterapkan dalam berdagang. Saat memasarkan dagangannya, Rasulullah saw selalu menjelaskan keunggulan atau kerusakan barang yang dijualnya.

Bagi Rasulullah saw, kejujuran dalam berdagang adalah brandnya. Tak heran jika Rasulullah saw dikenal sebagai pedagang yang sukses.

  1. Saling Menguntungkan Kedua Belah Pihak

Dalam berdagang, Rasulullah saw mengutamakan prinsip saling suka sama suka antara pembeli dan penjual.

Selain itu dalam berdagang, Rasulullah saw tidak ada yang ditutup tutupi dari dagangannya dan harus mencapai kesepatakan bersama baik itu dalam harga, jenis barang, maupun dari cara memberikan barang kepada pembeli.

  1. Melarang Menimbun Barang Dagangan

Rasulullah saw melarang pedagang menimbun barang dagangan dengan maksud agar dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi saat orang-orang sedang mencari barang tersebut.

Dalam syariat Islam, menimbung barang merupakan hal yang dilarang dan tidak dibenarkan.

  1. Jangan Memberikan Sumpah Berlebihan

Dalam dunia berdagang, tidak sedikit para pedagang yang memberikan sumpah untuk melariskan dagangannya bahkan melakukan sumpah palsu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:

“Sumpah itu melariskan barang dagangan akan tetapi menghapuskan keberkahan.”

  1. Menghargai Pelanggan

Rasulullah saw sangat menghargai pelanggan, bagi beliau semua pelanggan adalah saudara. Sehingga beliau tidak pernah membeda-bedakan pelanggan.

Dalam berdagang, Rasulullah selalu melayani setiap pembeli dengan senyuman dan penuh sopan santun.

  1. Tidak Mudah Putus Asa

Tips sukses berdagang Rasulullah saw yang terakhir adalah tidak mudah putus asa. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Yusuf ayat 87.

“ Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT, sesungguhnya tidak ada berputus asa dari Rahmat Allah melainkan dari orang yang kafir.” (QS. Yusuf ayat 87)

Itulah tips sukses berdagang ala Rasulullah saw yang patut diketahui para pedagang. Wallahu ‘alam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Mengamalkan Hadits Dhoif : Apakah Berarti Berdusta Atas Nama Nabi Saw?

Di sebuah pengajian umum, salah satu tokoh Wahhabi Indonesia secara lantang mengatakan bahwa mengamalkan hadits dhoif berarti telah berdusta terhadap Nabi saw. sebab hadits dhoif merupakan hadits yang kebenarannya masih ragu-ragu, antara “ya” dan “tidak”. Mengamalkan kebenaran yang ragu-ragu ini berarti telah masuk ke dalam sabda Nabi saw:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Artinya: “Waspadalah bagi kalian dan kepada prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah paling dustanya informasi” (HR. Bukhari dan lainnya)

Namun benarkah hadits tersebut larangan tentang menduga-duga suatu kebenaran ?

Bagi umat yang hidup belakangan seperti saat ini, untuk menguji kebenaran suatu hadits baik dari aspek makna atau kwalitasnya harus menggunakan pendekatan ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran ulama’ hadits. Sebab umat-umat yang hidup belakangan ini tidak pernah bertemu langsung kepada Nabi saw atau pun murid-muridnya, sahabat Nabi saw. Sehingga sangat tertutup untuk mengetahui hakikat makna dari sebuah hadits yang benar-benar sesuai kehendak Nabi saw. Namun dengan menggunakan pendekatan teori ilmu hadits atau penafsiran-penafsiran dari pakar hadits akan lebih condong kepada kebenaran dari pada menjauh dari teori tersebut.

Tentang hadits di atas, Ibn Hajar al Atsqalani di dalam kitab Fathul Bari menjelaskan ada banyak pemahaman yang ditawarkan dari para ulama’ hadits. Pertama, menurut al Khattabi dan lainnya, bahwa yang dimaksud dzon (dugaan) adalah bukan berarti larangan melakukan suatu perbuatan yang diperoleh dari hasil dugaan. Tetapi hadits tersebut larangan menyatakan (meyakinkan) terhadap sesuatu yang masih praduga. Artinya informasi yang sifatnya praduga tidak boleh dianggap ini adalah informasi yang sudah pasti benar. Karena informasi yang sifatnya praduga bisa benar dan bisa salah. Keduanya masih dalam lingkaran kemungkinan saja. Sebab itu tidak boleh, informasi yang masih praduga dianggap sudah yakin, lebih-lebih hal tersebut berkaitan dengan akidah atau hukum.

Sampai di sini sebenarnya sudah terjawab, mengamalkan hadits dhoif tidak masalah. Tetapi menjadi bermasalah jika menganggap hadits dhoif sebagai hadits shahih atau mutawatir. Sebab itu, Ahlussunnah wal Jama’ah tetap mengamalkan hadits dhoif untuk fadhoilul a’mal (fadhilah-fadhilah suatu perbuatan) saja tidak pada masalah hukum. Karena Ahlussunnah wal Jama’ah tetap meyakini bahwa hadits dhoif adalah hadits yang kebenarannya masih rendah dibanding hadits shahih.

Kedua, penafsiran al Qurtubi bahwa hadits tersebut berbicara tentang larangan berprasangka buruk kepada seseorang tanpa ada sebab atau bukti-bukti, seperti menduga seseorang berbuat zina padahal ia tidak mempunyai bukti kuat untuk menyatakan seseorang tersebut melakukan zina. Maka dari itu tidak boleh menduga seseorang mencuri, merampok, dan mabuk-mabukan serta lainnya, sebelum ada bukti melakukan perbuatan dilarang tersebut. Ini alasan mengapa hadits tentang “dhon” tersebut juga diiringi dengan larangan lainnya seperti mencari-cari kesalahan orang lain, atau menghasud orang lain.

Penafsiran yang dilakukan oleh al Qurtubi ini sangat sesuai dengan firman Allah swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa (QS. al Hujurat: 12)

Penafsiran-penafsiran lainnya tidak jauh berbeda dengan kedua ulama’ di atas. Ini artinya hadits tersebut bukan larangan menduga adanya suatu kebenaran sebagaimana diklaim Wahhabi. Tetapi berbicara larangan berprasangka buruk kepada orang lain. Sebab berprasangka buruk kepada orang menyebabkan kebencian terhadap orang tersebut. Adapun mengamalkan hadits dhoif untuk menambah perbuatan-perbuatan baik yang inklud di dalam keumuman dalil lain sama sekali tidak akan menimbulkan keburukan kepada siapa pun. Justru hal tersebut menambah ibadah dan keimanan serta kecintaan kepada agama Islam sendiri.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Keutamaan Sedekah Sunah

Diriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, dari Abul Khair, bahwa dia mendengar dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ أَوْ قَالَ: حَتَّى يُحْكَمَ بَيْنَ النَّاسِ

Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya, sampai diputuskan di antara manusia (pada hari kiamat).’

قَالَ يَزِيدُ: فَكَانَ أَبُو الْخَيْرِ لَا يُخْطِئُهُ يَوْمٌ لَا يَتَصَدَّقُ فِيهِ بشيء ولو كعكة، ولو بصلة

Yazid berkata, “Abul Khair tidaklah melewatkan suatu hari, kecuali beliau bersedekah, meskipun hanya dengan kue atau bawang.” (HR. Ibnu Hibban 8: 104 dan Al-Hakim 1: 416)

Syekh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Sanadnya sahih sesuai dengan syarat Muslim.”

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis ini menunjukkan keutamaan sedekah sunah. Sedekah sunah adalah di antara sebab mendapatkan naungan dan penjagaan dari panasnya matahari pada hari kiamat. Hal ini karena pada hari kiamat, matahari akan didekatkan. Jika jauh saja sudah terasa sangat panas, bagaimana lagi jika didekatkan?!

Imam Muslim meriwayatkan dari Sulaim bin Amir, Al-Miqdad bin Al Aswad telah menceritakan kepadaku, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ، حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

Pada hari kiamat, matahari didekatkan ke manusia hingga sebatas satu mil.”

Sulaim bin Amir berkata,

فَوَاللهِ مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ؟ أَمَسَافَةَ الْأَرْضِ، أَمِ الْمِيلَ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ – قَالَ: «فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا»

Demi Allah, aku tidak tahu apakah beliau memaksudkan jarak bumi ataukah mil yang dipakai bercelak mata. Lalu, mereka berada dalam keringat sesuai amal perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang berkeringat hingga tumitnya. Ada yang berkeringat hingga lututnya. Ada yang berkeringat hingga pinggang. Dan ada yang benar-benar tenggelam oleh keringat.” (HR. Muslim no. 2864)

Akan tetapi, Allah Ta’ala akan menjaga kekasih-Nya dan orang-orang yang gemar melakukan ketaatan dari panasnya matahari ketika itu.

Sedekah sunah ini memiliki keutamaan yang agung dan pahala yang besar. Demikian pula, sedekah memiliki faedah dan manfaat yang besar pula. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memotivasi umatnya untuk bersedekah sunah. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Sedekah sunah ini bisa ditujukan kepada kaum muslimin yang membutuhkan (fakir miskin), atau kepada orang yang memiliki utang sehingga dia bisa melunasinya, atau untuk jalan-jalan kebaikan, baik membangun masjid, sekolah, memperbaiki jalan umum, dan yang lainnya.

Kandungan kedua, zahir hadis ini menunjukkan bahwa selain naungan arasy, juga terdapat naungan yang lain pada hari kiamat. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “di bawah naungan sedekahnya.”

Penjelasan atas masalah ini ada dua:

Pertama, pada hari kiamat terdapat berbagai macam naungan yang akan menaungi manusia sesuai dengan jenis amal perbuatan. Akan tetapi, naungan arasy adalah naungan yang paling agung dan paling mulia, yang hanya Allah Ta’ala khususkan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Kedua, bahwa pada hari kiamat, hanya ada naungan arasy yang dijadikan sebagai naungan dan tempat berkumpul bagi orang-orang mukmin. Akan tetapi, karena naungan tersebut tidaklah bisa diraih dengan amal saleh, sedangkan manusia itu berbeda-beda tingkat amal salehnya. Maka, setiap orang akan mendapatkan naungan arasy sesuai dengan kadar amal salehnya.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor Pogung, 9 Rabiul akhir 1445/ 24 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88937-keutamaan-sedekah-sunah.html

Doa Mencegah Syirik

Doa Mencegah Syirik

Syirik (kemusyrikan) merupakan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditetapkan paling besar. Untuk itu hendaknya muslim menjauhi dosa syirik dan berdoa meminta perlindungan dari hal tersebut. 

Berikut doa berlindung dari syirik : 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

Allahumma inni a’uzubika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka lima la a’lamu.

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu agar aku tidak menyekutukanMu sedang aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepadaMu atas perbuatan yang tidak aku ketahui.” (HR. Bukhari no. 716 dalam Al-Adab Al-Mufrod).

IHRAM

Di Manakah Nabi Adam dan Hawa Pertama Kali Datang di Bumi?

DALAM kitab Tarikh Ar-Rusul Wal Muluk karya Imam At-Thabari jilid 1 halaman 79 disebutkan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi Adam as diturunkan di India dan Hawa di Jeddah. Lalu beliau mendatanginya dan bertemu di Muzdalifah (dekat Mekkah) dan bertaaruf lagi di Arafah dan karena itu lalu dinamakan tempat itu Arafah.

Disebutkan juga bahwa tempat turunnya Nabi Adam itu di Inda (Hind), namun tidak tepat persis dengan sebuah negara yang namanya India sekarang ini, melainkan wilayah Hind. Tepatnya di sebuah gunung yang paling tinggi di dunia. Para ahli sejarah lalu menafsirkan bahwa barangkali gunung yang dimaksud itu adalah Mount Everest, karena puncak itulah yang merupakan puncak gunung tertinggi di dunia (halaman 80).

Disebutkan juga oleh Ath-Thabari pada halaman 81 sebuah riwayat dari Nafi’ bahwa beliau mendengar dari Umar r.a. berkata bahwa Allah SWT mewayhukan kepada Adam yang saat itu ada di Hind untuk pergi haji ke Baitullah. Maka berangkatlah Adam dari Hind ke Baitullah dan bertawaf di sekelilingnya dan menjalankan manasik selengkapnya.

Sedangkan Ustadz Mahmud Syakir mengatakan bahwa Nabi Adam itu kuat diperkirakan ada di Barat Laut Asia kemudian di Jazirah Arabia. Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa Adam itu di India atau di bagian utara Iraq. (lihat At-Tarikh Al-Islami oleh Mahmud Syakir jilid 1 halaman 29).

Semua pendapat ini kiranya tidak terlalu bertentangan, karena menunjukkan sebuah rentang wilayah yang relatif berdekatan. Karena kemudian Nabu Adam a.s. memang berkeluarga serta berketurunan di Jazirah Arabia atau di tempat di mana ka’bah berada.

Sedangkan riwayat pendirian Ka’bah sebenarnya bukan didirikan oleh Nabi Adam, melainkan oleh para malaikat yang telah dikirim Allah jauh sebelum Nabi Adam diturunkan ke muka bumi. Sehingga ketika Adam diturunkan di Hind, beliau diperintahkan Allah SWT untuk pergi haji. Ini berarti memang ka’bah sudah ada lebih dahulu sebelum Adam. Di dalam Al-Quran disebutkan hal yang senada.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS Ali Imran: 69)

Dengan demikian, paling tidak kita bisa menerima teori yang menyebutkan bahwa awal mula peradaban manusia memang dari Jazirah Arabia atau tepatnya dari baitullah. Barangkali itulah hikmah adanya syariat pergi haji ke baitullah, yaitu sebagai perjalanan nostalgia bangsa manusia ke tempat asal muasal peradaban mereka.

Bahkan perintah haji itu tidak hanya kepada umat Islam saja, namun Allah SWT menggunakan panggilan kepada seluruh manusia. Dan Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memanggil semua umat manusia untuk berkumpul di lembah di mana dulu nenek moyang mereka membangun peradaban pertama kali.

“Dan panggilah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27) Wallahu a’lam bishshawab. []

SUMBER: DINUL ISLAMI

Hukum Bersalaman Selesai Shalat

APA hukum bersalaman selesai shalat?

Bersalaman itu dianjurkan pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu.” (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi).

Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama.” (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).

Hukum Bersalaman Selesai Shalat: Anjuran Salam

Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa bersalaman di antara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا بِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَامَ إِلَىَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ يُهَرْوِلُ ، حَتَّى صَافَحَنِى وَهَنَّأَنِى

“Saya masuk ke dalam masjid. Rasulullah ﷺ duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim). Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat Nabi itu bersalaman?”.Ia menjawab, “Ya.” (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:

تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ

“Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).

Hukum Bersalaman Selesai Shalat: Menurut Para UlamaAdapun bersalaman setelah selesai shalat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya. Bersalaman selesai shalat itu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan).Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).Hukum Bersalaman Selesai Shalat: Yang MembolehkanImam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan pendapat ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).Mereka berpendapat bahwa bersalaman setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -r- بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ . {قَالَ شُعْبَةُ} وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِى جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى ، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ

“Rasulullah ﷺ pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah ﷺ dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat ‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.

Hukum Bersalaman Selesai Shalat: Ketahui Bagian Bid’ah

Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah mubahah itu memiliki beberapa contoh, di antaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).

Imam an-Nawawi berkata, “Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam. []

[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262 | Sumber:  sommadmorocco.com

Palestina dan Lemahnya Ghirah Kita

Nasib saudara kita di Palestina, mirip kisah Nabi Yusuf  alaihissalam, dizalimi saudara sendiri, dibohongi, dimasukkan sumur lalu ditinggalkan, tapi kita umat Nabi Muhammad yang punya ghirah

PALESTINA dan al-Masjid al-Aqsha adalah “cermin” sekaligus “timbangan” kualitas keimanan dan ukhuwwah umat Islam. Jika kita beriman, mari kita bercermin dan menimbang keimanan itu sekarang.

Bercerminlah di tragedi pembantaian kemanusiaan paling sadis dan paling bengis dan brutal di Jalur Gaza. Maka, masih akan ada yang mengatakan bahwa yang salah adalah Hamas, bahkan orang-orang Palestina.

Mengapa tidak “hijrah”? Mengapa hanya sebuah masjid tua mereka serahkan harta dan nyawa mereka? Ini dungu dan bodoh kwadrat. Kata mereka. Yakinlah, pepatah yang tepat untuk para “Yahudi Pesek” ini adalah: “Buruk rupa cermin dibelah”.

Ya, padahal apa yang ada dicermin itu adalah pantulan benda dan objek yang ada di depannya. Dan cermin tidak akan pernah bohong. Karena itu Rasulullah pernah mengingatkan bahwa “Seorang Mukmin adalah cermin bagi saudaranya (Mukmin) yang lain.”

Timbanglah pula iman dan ghirah kita ketika kiblat pertama umat Islam itu dimbombardir manusia yang nenek-moyangnya dikutuk jadi ‘kera-kera’ buruk rupa oleh Allah.

Mereka kita sebut pengecut, karena Yahudi-Zionis itu hanya mampu berperang melawan benda-benda selain manusia dan mujahid: gudang makanan, perkantoran, rumah sakit, pabrik roti, kantor berita, dan lainnya.

Paling hebat mereka membunuh kaum tua, wanita, dan anak-anak calon mujahid di masa mendatang. Itulah tentara Yahudi-Zionis pengecut. Yang kadang berperang pakai “pampers”, karena sering kencing di celana.

Tapi, timbanglah lagi. Mengapa negara-negara Arab diam? Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim ke mana?

Jadi penontonkah mereka? Dan yang sangat menyayat hati adalah ketika banyak umat Islam yang rela pergi jihad tapi dipersulit oleh negaranya.

Bukankah kata Nabi kita ini “laksana satu tubuh: saling-menguatkan bahkan saling-merasa sakit jika salah satu anggota tubuh itu ada yang terluka. Bahkan, jika ada yang sakit dan terluka bagian tubuh yang lain menghadirkan demam sehingga tak dapat tidur.”

Ini perumpamaan Baginda Nabi ﷺ yang saat ini sangat sulit dicari realisasinya. Lihatlah, Gaza saat ini berjuang dan berjihad sendirian.

Getirnya, malah ada yang bilang: “Tidak, mereka dibersamai oleh Allah.”

Kalimat tersebut benar, tapi menyembunyikan kepengecutan. Karena jika benar hanya cukup kata itu, maka Baginda Rasulullah ﷺ  tak butuh Sahabat ketika berjihad.

Apa benar “sahabat-sahabat Palestina kita” dan “teman-teman Masjid Al-Aqsha” sedang rehat?

Kadang, hiburan hati dan obat jiwa ada di kisah-kisah heroik seperti jihad-nya saudara-saudara kita di Jalur Gaza. Mereka akhirnya memang harus memilih berjuang sendiri.

Karena sepertinya itu pilihan paling nyata. Ternyata, mereka seperti mengulang kisah Nabi Yusuf alaihissalam yang dizalimi oleh saudara kandung sendiri, dibohongi, dimasukkan ke dalam sumur, kemudian, ditinggalkan dan dibiarkan sendirian dalam gelap dan gulitanya sumur itu.

Nabi Yusuf akhirnya sabar dan berjuang sendiri. Beliau bertawakal kepada Allah dan akhirnya dikeluarkan oleh Allah Swt.

Beliau diselamatkan dari berbagai ujian –harta, tahta bahkan wanita—dan akhirnya menuai kemenangan. Ketika menang, beliau memaafkan saudara-saudaranya yang telah mendzaliminya.

Tapi, kita bukan saudara Nabi Yusuf ‘alaihi salam. Bukan. Kita ini umat Nabi Muhammad ﷺ yang masih memiliki ghirah dan iman yang kuat. 

“Cermin” dan “timbangan” Gaza dan Palestina sudah cukup untuk bangkitkan ghirah perjuangan.

Mari kita berjuang dengan doa, harta, dan pena saja dahulu. Sebelum panggilan Jihad itu turun.

Karena ia akan berlaku kapan saja. Dan saudara-saudara kita di Gaza memang dipilih Allah di shaf dan dan utama melawan penjajah Yahudi ini.

Yang tengah berjuang adalah para mujahid. Yang gugur adalah syahid, mereka tak pernah merugi.

Dan kita, pandai-pandailah bercermin dan menimbang rasa. Wallāhu A‘lam bis-shawāb.*/ Qosim Nurseha Dzulhadi, guru dan dosen di Pesantren dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Sedang menyelesaikan Program Doktor di Universitas Darussalam (Unida) Gontor

HIDAYATULLAH

Cara Bersyukur Menurut Imam Al-Ghazali

Bersyukur menurut Imam Al-Ghazali adalah menyadari dan mengakui bahwa segala kenikmatan yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak, maupun sedikit, semuanya berasal dari Allah SWT. Syukur juga berarti menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Nah berikut bersyukur menurut Imam al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Kitab Arbain Fi Ushuluddin Juz 1, halaman 132, mengulas tentang konsep bersyukur kepada Allah SWT. Dalam literatur ilmu tasawuf, bersyukur kepada Allah SWT, termasuk maqam atau kedudukan yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud, dan sebagainya. Nah berikut cara bersyukur menurut Imam Al-Ghazali. 

Imam Al-Ghazali menegaskan: 

اعلم أن الشكر من المقامات العالية، وهو أعلى من الصبر والخوف والزهد وجميع المقامات التي سبق ذكرها، لأنها ليست مقصودة فى أنفسها، وإنما تراد لغيرها

Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya syukur merupakan sebagian dari beberapa kedudukan yang tinggi. Dan syukur itu lebih tinggi kedudukannya dari pada sabar, rasa takut, zuhud, dan semua kedudukan yang telah disebutkan. Karena sesungguhnya semua kedudukan (selain syukur) itu tidak dimaksudkan pada dirinya sendiri. Dan sesungguhnya semua kedudukan tersebut dikehendaki untuk selain dirinya”.

Kenapa bersyukur kepada Allah maqam atau kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan sabar, khauf, dan  zuhud? Karena tujuan sabar untuk memerangi hawa nafsu, khauf akan mengantarkan kepada maksud yang terpuji, zuhud menyibukkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Sedangkan syukur itu untuk diri sendiri, dan tidak akan terputus sampai ke surga. Artinya, syukur akan kekal abadi selamanya sampai di surga nanti. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menyusun konsep hakikat bersyukur kepada Allah. Konsep tersebut dibagi atas tiga bagian, ilmu, hal, dan amal. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Pertama, ilmu. Artinya, seorang hamba harus mengetahui atau mengenal nikmat dan yang memberi nikmat, supaya ia bisa bersyukur. Untuk merealisasikan syukur, ia harus mensucikan Allah atau beriman kepada Allah. Ketika seorang hamba mempunyai keyakinan bahwa kenikmatan yang diperoleh bukan dari Allah, maka bersyukurnya tidak akan sempurna, karena ia masih berpaling dari Allah. 

Kedua, hal. Artinya, ketika seorang hamba dianugerahi kenikmatan ia harus tunduk dan mengagungkan yang memberi nikmat yaitu, Allah SWT. Dan paling sempurnanya bersyukur adalah bergembira atas anugerah nikmat, kemudian nikmat tersebut dijadikan wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Ketiga, amal. Artinya, menggunakan kenikmatan yang dianugerahi oleh Allah kepada jalan yang disenangi atau diridhai oleh Allah, bukan digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Contohnya, kenikmatan penglihatan digunakan untuk membaca kitabullah, telinganya digunakan untuk mendengar sesuatu yang bermanfaat, lisannya digunakan untuk berzikir.

Demikian penjelasan terkait cara bersyukur menurut Imam Al Ghazali. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Ancaman Keras untuk Perbuatan Meminta-minta

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang senantiasa suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan wajahnya tidak berdaging.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040, 104)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak.” (HR. Muslim no. 1041)

Kandungan hadis

Kandungan pertama, dalam dua hadis di atas terdapat dalil haramnya meminta-minta (mengemis) kepada orang lain atau meminta sedekah kepada mereka tanpa ada kebutuhan. Terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang meminta-minta kepada orang lain, padahal dia bukanlah orang fakir atau sedang dalam kondisi butuh. Dia meminta-minta hanyalah untuk memperbanyak dan menumpuk harta benda. Pada hari kiamat, dia akan mendapatkan hukuman dalam bentuk didatangkan dalam kondisi wajahnya yang tidak memiliki sekerat daging. Hal ini karena balasan itu setimpal dengan perbuatan. Ketika wajahnya dulu disorongkan untuk meminta-minta dan menghadap ke orang lain ketika meminta-minta, maka hukuman pun ditimpakan atas wajahnya.

Hal ini juga sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu siapa saja yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk dan memperbanyak harta kekayaan. Pada hakikatnya, yang dia kumpulkan adalah bara api yang akan digunakan untuk menghukumnya pada hari kiamat, karena yang dia kumpulkan adalah harta yang haram. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak” adalah dalam rangka memberikan ancaman (tahdid).

Kandungan kedua, dapat dipahami dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “untuk menumpuk kekayaan”, bahwa orang yang meminta-minta karena fakir atau karena ada kebutuhan tidaklah mengapa dan termasuk perbuatan yang mubah. Hal ini karena dia meminta haknya yang diizinkan oleh syariat, baik berupa meminta dari harta zakat, sedekah sunah, kafarah, atau yang lainnya.

Kandungan ketiga, Islam mengharamkan perbuatan meminta-minta dan menjadikan perbuatan tersebut sebagai profesi atau pekerjaannya. Padahal dia tidak membutuhkan itu, baik karena dia sudah memiliki harta, atau karena mempunya aset yang menghasilkan dan itu sudah mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, atau dia bisa bekerja atau berdagang jika memang memiliki kemampuan.

Perbuatan meminta-minta ketika tidak ada kebutuhan itu hanya akan menimbulkan pengaruh yang jelek dan kerusakan yang besar bagi jiwa kita, di antaranya:

Pertama, perbuatan tersebut adalah bentuk kehinaan dan meruntuhkan kemuliaan dan harga diri seseorang. Perbuatan meminta-minta juga menghilangkan rasa malu, meskipun ketika meminta dia diberi. Lalu, bagaimana jika ditolak atau tidak diberi?

Kedua, perbuatan meminta-minta tersebut akan mencegah orang-orang yang masih memiliki kekuatan fisik dan akal pikiran untuk bekerja keras dan berinovasi yang dapat memberikan manfaat atau maslahat untuk masyarakat secara umum.

Ketiga, perbuatan meminta-minta itu adalah sarana penipuan dan kebohongan. Hal ini karena si peminta-minta biasanya akan berdandan seperti orang yang sangat miskin (pakaian compang camping atau robek), atau dia menunjukkan seolah-olah dia sedang sakit parah dan kondisinya mengenaskan. Dia melakukan itu dengan tujuan agar orang lain merasa kasihan dengan kondisinya dan pada akhirnya memberikan harta kepadanya. Padahal itu semua adalah kebohongan dan tipuan semata.

Keempat, perbuatan tersebut sama saja mengingkari nikmat Allah kepada dirinya. Karena dia menampakkan diri seolah-olah sebagai orang fakir dan tidak punya apa-apa. Dia mengingkari nikmat Allah dengan menampakkan kesusahan. Sedangkan seorang hamba dituntut untuk menampakkan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada dirinya.

Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan yang hina ini. Dia mendidik dirinya sendiri untuk memiliki cita-cita dan harapan yang tinggi, serta menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya. Dia tidak menjerumuskan dirinya ke dalam perbuatan tercela ini, yaitu mengemis atau meminta-minta, padahal dia masih mampu untuk bekerja. Dan hendaknya seseorang bersyukur kepada Rabbnya ketika dia mendapatkan nikmat berupa badan yang sehat, fisik yang sempurna, dan anggota badan yang masih kuat bekerja. Hendaklah dia menyibukkan dirinya dalam berbagai hal yang bermanfaat.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88935-ancaman-keras-untuk-perbuatan-meminta-minta.html