Benarkah Al-Qur’an Tidak Bisa Dipahami oleh Orang Awam?

Pertanyaan:

Benarkah bahwa kita sebagai orang awam tidak boleh mencoba memahami Al Qur’an dan As Sunnah? Karena orang awam tidak akan bisa memahami Al Qur’an dan As Sunnah, dan yang bisa memahaminya hanya ulama mujtahid? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja, ini adalah bentuk syubhat untuk menjauhkan manusia dari al-Qur’an dan Sunnah. 

Allah ta’ala sudah membantah syubhat ini dalam banyak ayat. Allah ta’ala berfirman: 

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Telah pasti ketetapan bagi kebanyakan mereka bahwa mereka tidak beriman.” (QS. Yasin: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat para Nabi telah memahami wahyu dan keterangan yang disampaikan para Nabinya, tanpa kesamaran dan kebingungan. Baik orang awamnya dan ulamanya. Namun mereka menolak kebenaran karena kesombongan dan hawa nafsu mereka. Sehingga Allah tambahkan kesesatan dalam diri mereka sebagaimana dalam kelanjutan ayat:

إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ.  وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ. وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya Kami menjadikan pada leher mereka belenggu sehingga terkumpul kedua tangan pada dagu dalam keadaan mereka mendongak ke atas (8) dan Kami jadikan penghalang di depan dan di belakang mereka, Kami tutup mereka sehingga tidak bisa melihat (9) Sama saja apakah kalian memberi peringatan ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak (akan) beriman (10).” (QS. Yasin: 8-10)

Bahkan di ayat ini, Allah ta’ala katakan bahwa orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang mengikuti adz-Dzikru, yaitu al-Qur’an. 

إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ 

“Hanyalah yang bisa engkau beri peringatan adalah yang mengikuti adz-Dzikr (al-Quran) dan takut kepada ar-Rahman (Allah) dalam kesendirian. Berikan kabar gembira kepada mereka akan ampunan (Allah) dan pahala (balasan) yang mulya.” (QS. Yasin: 11)

Menunjukkan bahwa al-Qur’an bisa dipahami. Karena bagaimana mungkin al-Qur’an bisa diikuti jika tidak bisa dipahami?

Al-Qur’an itu Mudah Dipahami

Syubhat ini sungguh jauh panggang dari apinya. Bagaimana mungkin al-Qur’an dikatakan sulit dipahami padahal Allah ta’ala banyak menjelaskan bahwa al-Qur’an itu jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk dipelajari.” (QS. al-Qamar: 32)

Allah ta’ala berfirman,

وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ  بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ

“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’ara: 192-195)

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat ini:

أي لئلا يقولوا لسنا نفهم ما تقول

“Maksudnya, agar mereka (orang Musyrikin) tidak mengatakan: “Kami tidak paham apa yang engkau ucapkan (wahai Muhammad)”.” (Tafsir al-Qurthubi)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ. وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Quran itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. az-Zukhruf: 3-4)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam: 97)

Dan lisan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga merupakan lisan Arab yang jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya ia berbahasa ‘Ajam, sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. an-Nahl: 103)

Maka jelaslah bagi kita bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu jelas dan mudah dipahami, maka tidak benar perkataan orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja.

Allah ta’ala Memerintahkan Kita untuk Tadabbur

Al-Qur’an adalah obat dan penyejuk jiwa. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk senantiasa mentadabburinya. Allah ta’ala berfirman:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak men-tadabburi al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Tadabbur artinya merenungkan ayat al-Qur’an untuk menggali petunjuk dari ayat tersebut untuk diterapkan dalam ilmu dan amal. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan:

والتدبير : أن يدبر الإنسان أمره كأنه ينظر إلى ما تصير إليه عاقبته

Tadabbur adalah seseorang merenungkan keadaan dirinya, seakan-akan ia melihat akibat apa yang akan menimpanya kelak.” (Fathul Qadir, 2/180.)

Sedangkan tafsir adalah mendefinisikan makna ayat dan menjelaskannya. Tadabbur lebih luas dari tafsir. Tafsir adalah wasilah untuk tadabbur. Tadabbur adalah tujuan utama, tafsir adalah wasilahnya.

Maka bagaimana mungkin Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mentadabburi al-Qur’an jika al-Qur’an sulit dipahami dan hanya bisa dipahami oleh sedikit orang saja? Apakah ayat di atas hanya berlaku untuk sebagian kecil orang saja?

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Ayat ini sifatnya umum berlaku untuk seluruh kaum Muslimin. Setiap orang dapat memahami al-Qur’an sesuai dengan hidayah yang Allah berikan kepadanya. Orang awam dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Para penuntut ilmu dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Orang yang kokoh ilmunya (yaitu ulama) juga dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Allah ta’ala berfirman:

أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

“Allah menurunkan hujan dari langit. Kemudian air tersebut mengalir ke lembah-lembah sesuai dengan kadarnya masing-masing.” (QS. ar-Ra’du: 17)

Setiap lembah mengambil jatah air hujan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Demikian juga ilmu yang Allah turunkan kepada manusia, setiap hati manusia dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Orang awam, penuntut ilmu, ulama, setiap mereka dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Yaitu kadar kepahaman yang diberikan kepada mereka. Adapun meyakini bahwa tidak ada yang bisa memahami al-Qur’an kecuali hanya mujtahid mutlak, ini perkataan yang tidak benar.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail, hal. 42-43)

Jenis-jenis Ayat Al Qur’an

Memang benar, ada sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dipahami oleh ulama dan ada yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Namun tidak semua demikian. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

تفسير القرآن على أربعة وجوه : تفسير يعلمه العلماء . وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام . وتفسير تعرفه العرب بلغتها . وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب

“Tafsir al-Qur’an ada empat macam: [1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama, [2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halal dan haram, [3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya, [4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga barang siapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta.” (Tafsir ath-Thabari 1/73)

  • Tafsir yang diketahui orang-orang Arab semisal definisi kata-kata dan arti-arti kalimat yang biasa mereka gunakan.
  • Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, semisal ayat-ayat tentang wajibnya tauhid, haramnya syirik, wajibnya shalat, wajibnya puasa, wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan semisalnya. Semua ini sangat jelas dipahami semua orang secara gamblang.
  • Tafsir yang hanya dipahami ulama semisal tafsiran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap ayat, tafsiran sahabat Nabi terhadap ayat, makna lafazh ‘am, makna lafazh khas, nasikh, mansukh, makna lafadzh muthlaq, makna muqayyad, dan lainnya yang dipelajari dalam ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan ushul tafsir. 
  • Tafsiran yang hanya diketahui Allah semisal huruf-huruf muqatha’ah seperti Alim Laam Miim, Thahaa, YaaSiin, Alim Laam Raa, dan lainnya.

Kembali kepada Qur’an dan Sunnah

Syubhat di atas, pada hakekatnya adalah upaya untuk memalingkan orang dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk perlu berusaha memahami al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak boleh berdalil dengan keduanya, dan mengajak masyarakat untuk taklid buta kepada pendapat ulama. 

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan dalam semua masalah. Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa: 59)

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10)

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Adapun pendapat para ulama, itu bukanlah dalil. Para ulama mujtahid mutlak pun melarang untuk taklid buta kepada mereka. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats-Tsauri. Ambilah dari mana mereka mengambil (dalil).” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapa pun.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia maksum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik rahimahullah berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Maka pendapat ulama kita lihat dalil dan sisi pendalilannya. Pendapat ulama yang bertentangan dengan dalil atau lemah sisi pendalilannya maka tidak kita ikuti, dan kita mengikuti pendapat ulama yang lebih kuat pendalilannya. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Jika kita berselisih pendapat dalam suatu perkara, maka kita kembalikan kepada dalil. Pendapat yang dikuatkan oleh dalil, itulah yang kita ikuti. Pendapat yang bertentangan dengan dalil, ini keliru dan kita tidak mengikuti kekeliruan.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail hal. 22)

Kesimpulannya, wajib bagi kita untuk mengembalikan semua permasalahan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

KONSULTASI SYARIAH

Bimbingan dari Ulama: Antara Umrah dan Sedekah untuk Fakir

Pertimbangan Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid

Ketika kita mencapai momen penting dalam hidup, seperti memilih antara melaksanakan ibadah umrah atau memberikan sedekah kepada orang fakir dan membutuhkan, seringkali kita merasa bingung. Apalagi jika situasi keuangan kita tidak memungkinkan untuk melakukan keduanya secara bersamaan. Dalam situasi semacam ini, kita memerlukan bimbingan dan nasihat yang benar. Fatwa dari ulama seperti Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid memberikan pandangan yang berharga.

Pentingnya Ibadah Umrah dan Sedekah

Umrah dan sedekah keduanya adalah bentuk ibadah yang memiliki nilai dan kedudukan penting dalam Islam. Umrah, seperti halnya haji, adalah pelaksanaan ritus yang melibatkan komitmen finansial dan fisik. Umrah mencakup tindakan seperti tawaf, sa’i, dzikir, salat, dan talbiyah. Dalam konteks ini, jika sedekah yang dimaksud adalah sedekah wajib, maka sedekah jelas lebih utama dibandingkan umrah.

Perbedaan Antara Sedekah Wajib dan Sedekah Sunah

Namun, jika yang dimaksud dengan sedekah adalah sedekah sunah, maka pada prinsipnya, haji dan umrah lebih utama dibandingkan sedekah. Hal ini disebabkan oleh aspek ibadah badan dan harta yang terlibat dalam pelaksanaan haji dan umrah.

Pertimbangan Khusus dalam Memilih

Ketika kita berada dalam situasi di mana ada sekelompok orang yang membutuhkan bantuan atau ada kerabat yang mengharapkan dukungan finansial, dan ada uzur (halangan yang sah) yang memungkinkan kita untuk menggabungkan infak dengan haji dan umrah, maka dalam konteks ini, memberikan sedekah menjadi lebih utama.

Pendapat Para Imam Besar dan Ulama

Sejarah fatwa dalam Islam menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama besar tentang prioritas antara umrah dan sedekah.

  • Imam Abu Hanifah, misalnya, berpendapat bahwa umrah lebih utama dibandingkan sedekah.
  • Imam Malik, dalam satu konteks, menyatakan lebih suka haji dibandingkan sedekah, kecuali dalam kondisi sulit seperti masa kelaparan.
  • Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa jika ada kerabat dalam kondisi sulit atau sekelompok orang yang membutuhkan bantuan, sedekah kepada mereka lebih utama. Namun, dalam situasi lain, haji dan umrah lebih utama karena melibatkan ibadah badan dan harta.
  • Syaukani juga memandang bahwa umrah lebih utama berdasarkan penjelasan hadis yang merujuk pada keutamaan iman, jihad, haji, dan sebagainya.

Pentingnya Konteks dan Kepedulian Sosial

Dalam konteks sosial yang saat ini sering kali dipenuhi oleh berbagai kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh sesama Muslim, memberikan sedekah kepada mereka mungkin akan menjadi pilihan yang lebih baik. Situasi lapar, kekurangan pangan, dan ketersediaan tempat tinggal bagi saudara-saudara kita di Timur dan Barat adalah permasalahan yang harus kita hadapi. Dalam keadaan ini, memberikan sedekah kepada mereka adalah tindakan yang lebih utama daripada infak harta untuk haji dan umrah.

Kesimpulan

Mengingat konteks dan situasi yang berubah, kita harus mempertimbangkan keutamaan sosial dan kebutuhan saudara-saudara kita yang membutuhkan. Keputusan antara umrah dan sedekah harus didasarkan pada situasi pribadi dan pertimbangan hati nurani kita. Kami berharap bahwa panduan ini akan membantu Anda dalam mengambil keputusan yang bijaksana dan bermanfaat, sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.

Sumber:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/39969/أيهما-أفضل-الصدقة-أم-العمرة

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88761-umroh-atau-sedekah-untuk-fakir.html

Perjalanan Jihad Imam Syafi’i Mencari Ilmu

Imam Syafi’i bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, lahir di tahun 150 Hijriyah. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. di Abdi Manaf, sehingga beliau sering disebut “anak paman Rasulullah saw.” Tulisan ini akan menceritakan perjalanan jihad Imam Syafi’i dalam mencari ilmu.

Imam Syafi’i merupakan pemimpin di Mazhab Fikih yang ketiga setelah Imam Malik dan Imam Hanafi. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat cakap dalam persoalan agama. Bukan hanya dalam persoalan fikih, beliau juga mahir dalam ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu akidah, dan lain sebagainya. Sebab kealimannya itu,  beliau disebut-sebut sebagai pembaharu muslim abad kedua hijriah.

Di umur yang masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah berhasil menghafalkan Alquran 30 juz. Dan di umur sepuluh tahun beliau telah menghafal banyak sekali hadis-hadis Nabi. Melihat semangat belajar Imam Syafi’ yang begitu besar, Sang Ibu lantas mengirim Imam Syafi’i ke Kabilah Hudzail untuk memperdalam ilmu-ilmu agama kepada para pakar di sana. 

Setelah tujuh tahun lamanya, barulah beliau kembali ke Mekkah, tanah kelahirannya, dengan sudah menguasai berbagai keilmuan Islam. Bahkan beliau telah diberi legalitas fatwa oleh gurunya, padahal beliau masih remaja berusia 20 tahun.

Tidak cukup sampai di situ, Imam Syafi’i berangkat lagi ke Madinah untuk jihad mencari ilmu. Di sana beliau berguru kepada Imam Malik bin Anas. Imam Syafi’i sangat bersungguh-sungguh untuk mengejar dan  menggali  ilmu sang guru, terutama ilmu fikih Mazhab Imam Malik. Beliau menetap di Madinah sampai akhir hayat sang guru. 

Imam Syafi’i lantas melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke negeri Yaman, dan setelahnya beliau berpindah ke Baghdad pada tahun 184 Hijriyah. Di Baghdad beliau bertemu dengan Qadhi Muhammad bin Hasan al-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Dengan semangatnya yang menggebu-gebu, Imam Syafi’i berusaha mendalami madzhab Imam Hanafi secara menyeluruh.

Walhasil, dari perjalanannya yang begitu panjang Imam Syafi’i telah menguasai dua mazhab fikih utama, yakni Madzhab Maliki dan Hanafi. Di mana saat itu kedua madzhab tersebut seringkali bersinggungan dalam menghasilkan hukum-hukum fikih. Di antara sebabnya adalah, madzhab Maliki cenderung mengunggulkan hadis Nabi ketimbang penemuan-penemuan akal. Akibatnya, hadis-hadis yang lemah pada akhirnya dijadikan dasar hukum sekalipun ia bertentangan dengan hukum akal.

Sedangkan Madzhab Hanafi sebaliknya. Sangat mengunggulkan penemuan-penemuan akal ketimbang hadis-hadis Nabi. Akibatnya, banyak ditemukan hasil ijtihadnya yang kurang selaras dengan hadis shahih sekalipun.

Jeniusnya, Imam Syafi’i beliau mampu mendamaikan dua metode pengambilan hukum Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Oleh karena kontroversi dua mazhab tersebut lah, Imam Syaf’i lantas menyusun kitab Al-Risalah yang berisikan metode-metode pengambilan hukum fikih menurut pandangan beliau. Atau dalam istilah keilmuan kita biasa menyebutnya sebagai ilmu ushul fikih, ilmu yang mempelajari tata cara penarikan hukum-hukum fikih dari sumber-sumber agama Islam.

Seusai menimba ilmu di Baghdad, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanan ke Iraq. Lalu beliau kembali ke Mekkah dan menulis banyak kitab terkait madzhabnya yang berupaya menengahi madzhab Maliki dan Hanafi. Baghdad menjadi tujuan beliau lagi seusai menyelesaikan pencariannya di Mekkah.

Mesir menjadi tanah terakhir yang menjadi saksi jihad mencari ilmu seorang Imam Syafi’i. Ketika di Mesir beliau banyak mengeluarkan pendapat-pendapat yang berbeda dari sebelumnya, Kondisi Mesir tentu berbeda dengan tanah-tanah lain, Sehingga produk hukumnya pun bisa berbeda. Pendapat-pendapat baru Imam Syafi’i selama di Mesir biasa disebut al-Qaul al-Jadid. 

Hingga menutup usia, beliau telah melahirkan banyak sekali kitab fenomenal. Dari murid-murid yang belajar kepadanya ketika di Mesir, beliau telah mencetak ulama-ulama penerus Mazhab Syafi’i dari berbagai belahan dunia.

Pantas, hingga kini makam beliau di Mesir tidak pernah sepi dari peziarah. Semoga kita dapat meneladani kesungguhan Imam Syafi’i dalam mencari ilmu. Beliau yang tak pernah puas akan apa yang sudah dipelajari. Lebih-lebih semoga kita bisa turut mewariskan ilmu para ulama kepada generasi setelah kita sebagaimana beliau contohkan.

Demikian ringkasan kisah perjalanan jihad Imam Syafi’i dalam mencari ilmu. Semoga bermanfaat.

BINCANG MUSLIMAH

Berdoa, Cara Muslim Menyikapi Konflik Palestina-Israel

Pada tanggal 7 oktober 2023 lalu, konflik antara Palestina dan Israel yang sudah terjadi selama beberapa dekade kembali pecah. Konflik ini tentu mengorbankan banyak nyawa yang tidak bersalah terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak. Indonesia yang memiliki visi untuk menghapus segala bentuk penjajahan di dunia dan turut andil dalam perdamaian dunia sebagaimana yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 tetap setia berada di garda terdepan untuk membela Palestina.

Dalam hal ini, Indonesia merealisasikan kepeduliannya dengan mengirimkan bala tentara Indonesia untuk membantu Palestina, membangunkan sekolah dan rumah sakit untuk masyarakat Palestina khususnya di jalur Gaza. Selain itu banyak pula para relawan yang mengirimkan bantuan secara finansial untuk masyarakat Palestina meskipun jumlah bantuan yang dikirimkan tidak bisa mencukupi kebutuhan para korban.

Lantas bagaimana seharusnya sikap kita sebagai seorang muslim dalam menyikapi konflik Palestina-Israel?

Pada dasarnya berjihad atau berperang di jalan Allah adalah salah satu fardhu kifayah (kewajiban yang jika dikerjakan oleh sebagian orang maka kewajiban hal tersebut kepada yang lainnya akan gugur). Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain bi Muhimmat al-Din halaman 593:

‌‌باب الجهاد وهو فرض كفاية كل عام كقيام بحجج دينية وعلوم شرعية

Artinya: “Bab tentang jihad. Jihad adalah fardhu kifayah pada setiap tahun seperti menegakkan hujjah-hujjah agama dan ilmu-ilmu syar’iyyah”

Namun, jihad langsung ke Palestina dengan konflik yang masih sangat panas bukanlah merupakan alternatif terbaik untuk kebanyakan orang, terlebih semua jalur menuju Palestina khususnya jalur Gaza dibuka terbatas bahkan sering kali ditutup. Kendati demikian, sebagai seorang manusia terlebih seorang muslim semestinya membantu semampunya.

Persaudaraan yang dijalin antara masyarakat Indonesia tidak sebatas bersaudara sebagai sesama manusia saja, akan tetapi juga bersaudara sebagai sesama muslim yang sudah seharusnya saling membantu dan menguatkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut: 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‌الْمُؤْمِنُ ‌لِلْمُؤْمِنِ ‌كَالْبُنْيَانِ يَقَوِّي بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan kepada sebagian yang lain.” (H.R. Abu Dawud)

Secara umum, hadis ini memerintahkan kita untuk menguatkan saudara kita yang lain, termasuk saudara kita di Palestina. Saling menguatkan di sini tidak terbatas dengan berperang bersama di tanah air mereka. Islam memberikan opsi lain cara menolong penduduk Palestina dan mencegah kemungkaran yang berkecamuk semampu yang kita bisa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

مَنْ رَأَى مُنْكَرًا ‌فَلْيُغَيِّرْهُ ‌بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَان

Artinya: “Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka menggunakan lisannya, jika ia tidak mampu maka menggunakan hatinya. Dan yang demikian itu adalah paling rendahnya iman.”

Dengan demikian, ketika kita tidak memiliki kemampuan apapun untuk mencegah kemungkaran yang sedang diderita oleh saudara-saudara kita di Palestina, kita masih punya cara dengan mencegahnya melalui lisan kita. Salah satunya dengan mendoakan mereka agar segera dibebaskan dari penjajah Zionis yang semakin brutal menghabisi masyarakat Palestina. Untuk saat ini, berdoa adalah hal yang bisa dilakukan muslim dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. 

Kita harus yakin bahwa Allah yang Maha Penguasa pasti akan mengabulkan doa-doa hambanya yang sudah lama terzalimi. Allah yang Maha Segala akan membantu orang-orang yang selalu mengabdikan diri kepada-Nya.

BINCANG MUSLIMAH

Jangan Gunakan Istilah Mabuk Agama

Pertanyaan:

Mohon pencerahannya ustadz. Saya mendapati ada sebagian ustadz yang menggunakan istilah “mabuk agama” terhadap orang-orang yang menurut beliau berlebihan dalam beragama. Apakah penggunaan istilah “mabuk agama” ini dibenarkan?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Hendaknya menjauhi istilah “mabuk agama” atau “mabuk manhaj”, karena beberapa poin berikut:

Pertama, perkataan seperti ini tidak ada contohnya dari para ulama salaf maupun khalaf. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah sering menasehati murid-murid beliau:

إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ

“Jauhkan dirimu dari berkata-kata dalam suatu masalah, yang mana engkau tidak memiliki imam (pendahulu) dalam perkataan tersebut” (Siyar A’lamin Nubala, 11/296).

Bahkan istilah “mabuk agama” merupakan perkataan yang sering dilontarkan oleh orang liberal, atheis, dan para pembenci Islam. Istilah “mabuk manhaj” juga istilah yang sering dilontarkan oleh para pembenci dakwah sunnah. Yang sudah seharusnya kita tidak menyerupai mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, dishahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair menjelaskan: 

ولا شك أن الموافقة بالظاهر قد يكون لها نصيب في الموافقة بالباطن، وقد تجر إليه، وقل مثل هذا في التشبه بالمبتدعة، سواء كانت البدع كبيرة أم مغلظة أم خفيفة، وقل مثل هذا في التشبه بالفساق وغيرهم، كل هذا له دلالته على شيء من الموافقة بالباطن والميل القلبي

“Tidak ragu lagi bahwa keserupaan secara lahiriah memiliki pengaruh dalam keserupaan dalam batin. Terkadang keserupaan secara lahiriah membawa kepada keserupaan dalam batin. Ini juga berlaku dalam perkara menyerupai ahlul bid’ah, baik bid’ah yang besar atau berat ataupun bid’ah yang ringan. Demikian juga ini berlaku dalam perkara menyerupai orang fasik. Semuanya akan membawa kepada keserupaan dalam batin dan kecondongan hati kepada mereka” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, halaqah ke-68, tanggal 11/2/1433).

Oleh karena ini hendaknya gunakan istilah-istilah yang syar’i atau yang digunakan oleh para ulama untuk menyatakan sikap berlebihan dalam beragama, seperti: ghuluw, tanatthu’, ifrath, takalluf, atau semisalnya.

Kedua, perkataan ini mengandung makna bahwa agama Islam bisa membuat orang mabuk dalam artian: sesat. Padahal agama Islam itu pasti benar dan lurus, yang membuat sesat adalah pemahaman orang yang menyimpang, bukan agama Islamnya.

Perkataan ini juga bisa bermakna bahwa orang semakin dalam belajar Islam akan semakin sesat dan ngawur seperti orang yang mabuk. Ini pernyataan yang batil. Justru semakin belajar Islam dan semakin rajin menuntut ilmu agama, akan bertambah ilmu dan iman. Sehingga menjadi sebab ia semakin shalih dan semakin baik. Buktinya Allah perintahkan kita untuk berdoa meminta tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS. Thaha: 114).

Dalam hadits disebutkan bahwa orang yang memiliki ilmu sama saja seperti mengambil warisan para Nabi. Semakin banyak ilmunya, semakin banyak warisan para Nabi yang ia dapatkan. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ، وإنَّ الملائكةَ لَتضَعُ أجنحتَها رِضًا لطالبِ العِلْمِ، وإنَّ العالِمَ ليستغفِرُ له مَن في السَّمواتِ ومَن في الأرضِ، والحِيتانُ في جَوْفِ الماءِ، وإنَّ فَضْلَ العالِمِ على العابدِ كفَضْلِ القمَرِ ليلةَ البَدْرِ على سائرِ الكواكبِ، وإنَّ العُلَماءَ ورَثةُ الأنبياءِ، وإنَّ الأنبياءَ لم يُورِّثوا دينارًا ولا درهًما، ورَّثوا العِلْمَ، فمَن أخَذه أخَذ بحظٍّ وافرٍ

“Barang siapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga. Dan para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu, karena ridha kepada mereka. Dan orang yang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi, juga oleh ikan-ikan yang ada di kedalaman laut. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan orang yang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama dibandingkan seluruh bintang-bintang. Dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, Namun mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang menuntut ilmu sungguh ia mengambil warisan para Nabi dengan jumlah yang besar (HR. At-Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Semakin banyak ilmu seseorang maka ia semakin terpuji, bahkan sampai dibolehkan iri kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا حسدَ إلا في اثنتين : رجلٌ آتاه اللهُ مالًا؛ فسلَّطَ على هَلَكَتِه في الحقِّ ، ورجلٌ آتاه اللهُ الحكمةَ؛ فهو يَقضي بها ويُعلمُها

“Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang: seseorang yang diberikan harta oleh Allah, kemudian ia habiskan harta tersebut di jalan yang haq, dan seseorang yang diberikan oleh Allah ilmu dan ia memutuskan perkara dengan ilmu tersebut dan juga mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari 73, Muslim 816).

Dan dalil-dalil yang lainnya yang menunjukkan bahwa semakin sering seseorang menuntut ilmu, semakin baik bukan semakin mabuk atau ngawur

Dan semua perkataan yang mengandung kemungkinan makna-makna yang batil, harus dihindari.

Ketiga, ini bentuk mencampur-adukkan antara haq dan batil. Agama itu haq, mabuk itu kebatilan. Padahal kita dilarang mencampur-adukkan antara haq dan batil. Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

“Dan janganlah kamu campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 42)

Jika istilah-istilah seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin nantinya akan ada istilah “mabuk Al-Qur’an”, “mabuk hadits”, “mabuk iman”, “mabuk takwa”, “mabuk sedekah”, dll. Yang akan membawa kepada pelecehan terhadap syariat Islam. Allahul musta’an.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

***

Perkara yang Bukan Termasuk Riya’

Riya’ (pamer) adalah perilaku atau perbuatan yang dilakukan seseorang yang bertujuan untuk menunjukkan kelebihan atau kebaikan dirinya di hadapan orang lain. Riya‘ sering terkait dengan upaya untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain.

Ada perkara-perkara tertentu yang sebagian kaum muslimin menyangkanya sebagai perbuatan riya’, padahal hal tersebut bukanlah bagian dari riya’.

Pertama, mendapatkan pujian setelah beramal kebaikan

Ketika seseorang beramal kebaikan dan setelahnya ada yang memuji amalan yang telah ia lakukan, maka hal ini bukan termasuk riyaselama ia ikhlas dalam beramal. Walaupun tidak termasuk riya’, hendaknya seseorang berhati-hati dengan pujian, dan berdoa agar dirinya lebih baik dari apa yang disangkakan orang lain.

Dalam suatu riwayat, ada orang yang sering dipuji oleh manusia. Sehingga terkesan bahwa orang tersebut riya‘, padahal bukan riya‘.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟ قَالَ : ( تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ )

Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Bagaimana seseorang yang beribadah atau berbuat suatu kebaikan, lalu dipuji oleh manusia?’ Rasulullah menjawab, ‘Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang dipercepat oleh Allah.’ (HR. Muslim)

Di antara bentuk kabar gembira kepada seorang mukmin, yaitu tatkala manusia memberikan pujian yang baik kepadanya. Karena pujian manusia kepadanya merupakan persaksian bahwa dirinya adalah golongan orang yang baik. (Lihat Fatawa Nur Ala Ad-Darb, hal. 111)

Tatkala dipuji, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berdoa,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Allahumma anta alamu minni bi nafsiy, wa ana alamu bi nafsi minhum. Allahummaj alniy khairam mimma yazhunnun, waghfirliy ma la yalamun, wa la tu’akhidzniy bima yaqulun.”

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri. Dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan. Ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku. Dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228)

Kedua, bersemangat ketika berkumpul bersama ahli ibadah atau jamaah

Tatkala ia sendiri di rumah, terasa malas beribadah. Kemudian ia pergi bertemu sahabatnya yang saleh untuk mendapatkan motivasi dan ia pun bersemangat setelah itu. Hal demikian bukanlah riya’.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah:119)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 927)

Dalam kitab Al-Adzkar karya Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah,

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ

“Penawar hati itu ada lima: 1) membaca Al-Quran dengan tadabbur (perenungan), 2) kosongnya perut (dengan puasa-pen), 3) qiyamul lail (salat malam), 4) berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh.(Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107)

Terkadang seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, dan mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288)

Ketiga, memperbagus dan memperindah pakaian

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya tentang seseorang yang senang berpakaian dan memakai sandal yang bagus,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.(HR. Muslim)

Terlebih lagi jika hendak menegakkan salat, maka ditekankan untuk memperindah pakaiannya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A’raf: 31)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa berdasarkan ayat ini dan juga dalil dari As-Sunnah, dianjurkan memperindah penampilan ketika salat, terlebih pada hari Jumat dan hari raya (hari ‘id). Dianjurkan pula memakai wangi-wangian, karena hal itu termasuk dalam perhiasan, dan bersiwak sebagai perkara yang menyempurnakannya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3: 402)

Keempat, menutupi aib dan dosa dirinya

Dosa yang dilakukan itu wajib ditutupi, sehingga tidak diperbolehkan seseorang itu menceritakan dan menampak-nampakkan maksiat yang pernah ia lakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An Nur: 19)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه

“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut. Yang mana dia berkata, Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu. Akan tetapi, pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, mendapatkan popularitas tanpa dicari dan diinginkan

Seseorang yang mendapatkan ketenaran tanpa ia mencarinya, maka hal ini bukan termasuk riya’. Hanya saja, jika ia mendapatkan popularitas sedangkan imannya lemah, maka dapat terjerumus ke dalam fitnah. Bahkan, karena popularitas yang dimilikinya, bisa menjadikan amal jariyah atau dosa jariyah karena ada yang mengidolakannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim)

Imam Ghazali rahimahullah mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.” (Lihat Ihya Ulumuddin, 3: 278)

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88595-perkara-yang-bukan-termasuk-riya.html

Pintu Rezeki yang Paling Luas dan Mudah

Belumkah kita mendengar sabda Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam:

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, sungguh Allah akan Memberikan kalian rezeki sebagaimana Dia Memberi rezeki kepada burung; ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

Bagaimana menurut Anda jika ada salah seorang raja dunia ini, dia berkata, “Kemarilah…”sementara dia kaya dan perbendaharaan negara ada di tangannya.

Raja itu berkata kepada Anda, “Tenang saja, semua “rezeki”, kebutuhan, dan gaji yang Anda perlukan saya yang menanggungnya, tidak perlu khawatir.”

Demi Allah, bagaimana Anda akan melewati pagi dan sore hari Anda?

Tidakkah Anda tenang dan bahagia?

Bahkan jika ada sedikit keterlambatan dari “rezeki” yang akan diberikan kepada Anda ini—“rezeki” ini, tentu, “rezeki” di sini maksudnya pemberian (si raja tadi)—adapun rezeki itu (sebenarnya) dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā, maka Anda akan merasa tenang, tenteram dan ayem, karena Anda mengetahui bahwa raja yang berjanji kepada Anda ini mampu.

Lantas bagaimana dengan Zat Yang Maha Memberi Rezeki dan Maha Agung, yaitu Allah, Yang Maha Dermawan, Yang Maha Luas, Maha Besar, dan Maha Mampu Subẖānahu wa Taʿālā, Menjanjikan kepada Anda bahwa Anda akan diberi dan mendapatkan karunia yang telah Dia Tuliskan bagi Anda, maka tenanglah dan perbaguslah usaha Anda dalam mencarinya.

Apakah perkataan ini maksudnya bahwa seseorang kemudian bermalas-malasan, berdiam diri, dan tidak mencari rezeki?

Jawabannya: tentu tidak sama sekali!

Pelajaran dari perkataan ini bukan demikian.

Tidakkah Anda mendengar sabda Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang tadi,

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, sungguh Allah akan Memberikan kalian rezeki sebagaimana Dia Memberi rezeki kepada burung…”

Apa yang burung itu lakukan?

Duduk dan tidur saja?

Ataukah disebutkan, “… ia pergi pada pagi hari…”?

Jadi, tetap harus ada usaha!

Maksud dari perkataan ini bahwa usaha haruslah dibarengi dengan tawakal, yakin, bergantung, dan menyerahkan segalanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā.

Demikianlah seseorang mengumpulkan dua kebaikan sekaligus; yakni mengupayakan sebab yang diperintahkan syariat, dan tawakal yang diperintahkan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā.

Syaikh Shalih Sindi hafizhahullah – Nasehat Ulama Yufid.TV

https://www.youtube.com/watch?v=8lewa8C3Vm4

Referensi: https://konsultasisyariah.com/43247-pintu-rezeki-yang-paling-luas-dan-mudah.html

Keutamaan Masjid al-Aqsa

فضائل المسجد الأقصى

Keutamaan Masjid al-Aqṣā

يزداد ألم المسلمين وأسفهم يوماً بعد يوم على الحال التي آل إليه المسجد الأقصى من تسلط اليهود المجرمين عليه وانتهاكهم لحرمته واعتدائهم على قدسيته ومكانته وارتكابهم فيه ومع أهله أنواعاً كثيرة من التعديات والإجرام

Derita umat Islam dan duka mereka semakin hari semakin bertambah melihat bagaimana Masjid al-Aqṣā yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi durjana. Mereka melanggar kesuciannya, mengotori kemuliaan dan kedudukannya, dan berbuat nista terhadapnya dan para penghuninya dengan berbagai macam pelanggaran dan kejahatan.

والمسجد الأقصى مسجد عظيم مبارك له مكانة عالية في نفوس المؤمنين ومنزلة رفيعة في قلوبهم ، فهو مسجد قد خص في الكتاب والسنة بميزات كثيرة وخصائص عديدة وفضائل جمة تدل على رفيع مكانته وعظيم قدره 

Masjid al-Aqṣā adalah masjid yang mulia dan diberkahi, yang memiliki status yang mulia dalam jiwa orang-orang beriman dan kedudukan yang tinggi di dalam hati mereka. Inilah masjid yang dalam Kitab dan sunah secara khusus disebutkan keunggulannya bermacam-macam, karakteristik yang banyak, dan keutamaannya melimpah yang menunjukkan statusnya yang tinggi dan kedudukannya yang agung.

فمن فضائل المسجد الأقصى أنه أحد المساجد الثلاثة المفضلة التي لا يجوز شد الرِّحال بنية التعبُّد إلا إليها ، فعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ : الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى)) [1].

  • Salah satu keutamaan Masjid al-Aqṣā adalah statusnya yang merupakan salah satu dari tiga masjid utama yang mana ada larangan untuk bersafar ke suatu masjid dengan niat beribadah kecuali ke tiga masjid tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah —semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Tidak boleh ‘mengikat pelana’ —maksudnya melakukan perjalanan— kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan Masjidil Aqṣā.” [1]

ومن فضائله أنه ثاني مسجد وضع في الأرض ، فعن أبي ذر رضي الله عنه قال : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ ؟ قَالَ : (( الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ )) قَالَ قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : (( الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى )) ، قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا ؟ قَالَ : (( أَرْبَعُونَ سَنَةً ، ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّهْ فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ )) [2].

  • Di antara keutamaannya, bahwa Masjidil Aqṣā adalah masjid kedua yang diletakkan di muka bumi. Diriwayatkan dari Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali diletakkan di muka bumi?’ Beliau bersabda, ‘Masjidil Haram.’” Abu Dzar mengisahkan, “Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau bersabda, ‘Kemudian Masjidil Aqṣā.’ Aku bertanya, ‘Berapa lama selisih waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab, ‘Empat puluh tahun, kemudian di mana saja kamu mendapati (waktu) salat, maka salatlah karena di situlah keutamaannya.’” [2]

ومن فضائله أنه قبلة المسلمين الأولى قبل نسخ القبلة وتحويلها إلى الكعبة ، فعن البراء رضي الله عنه قال : ((صَلَّيْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ – أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ – شَهْرًا ثُمَّ صَرَفَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ )) [3].

  • Di antara keutamaannya, Masjidil Aqṣā adalah kiblat pertama umat Islam sebelum ada nasakh arah kiblat dan dipindahkan ke Ka’bah. Diriwayatkan dari al-Barāʾ —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata, “Kami pernah salat bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan —atau tujuh belas bulan— lalu dipindahkan ke arah kiblat (Ka’bah). [3]

ومن فضائله أنه مسجد في أرض مباركة ، قال الله تعالى : {سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ } [الإسراء:1] . وقد قيل : لو لم تكن لهذا المسجد إلا هذه الفضيلة لكانت كافية .

  • Di antara keutamaannya, Masjidil Aqṣā adalah masjid yang terletak di tanah yang berkah. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Mahasuci (Allah) Yang telah Memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqṣā yang telah Kami Berkahi sekelilingnya, …” (QS. Al-Isra’: 1). Oleh karena itu, ada sebuah pernyataan dilontarkan, “Andai masjid ini tidak memiliki keutamaan apapun kecuali keutamaan ini, maka ini sudah cukup.”

 وأرضه هي أرض المحشر والمنشر ، فعن ميمونة مولاة النبي صلى الله عليه وسلم قالت : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ ؟ قَالَ (( أَرْضُ الْمَحْشَرِ وَالْمَنْشَرِ … )) [4].

  • Tanahnya adalah tanah al-Maẖsyar dan al-Mansyar. Diriwayatkan dari Maimunah —bekas budak Rasulullah—, dia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berikan aku penjelasan tentang Baitul Maqdis.’ Beliau menjawab, ‘Ia adalah tempat al-Maẖsyar (berkumpulnya manusia untuk dihisab, pent.) dan al-Mansyar (dibangkitkannya manusia setelah kematian, pent.).’” [4]

 ومن فضائله أنه مسرى رسول الله صلى الله عليه وسلم ومنه عُرج به إلى السماء ، فعن أنس بن مالك رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ قَالَ فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ قَالَ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ)) [5].

  • Di antara keutamaannya, bahwa Masjidil Aqṣā adalah tujuan isra Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan permulaan mikraj beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ke langit. Diriwayatkan dari Anas bin Malik —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Didatangkan Burāq kepadaku, yaitu binatang tunggangan yang berwarna putih, lebih besar daripada keledai tetapi lebih kecil dari bagal. Ia meletakkan tubuhnya hingga perutnya menyentuh pangkal tubuhnya.” Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengisahkan, “Lantas aku menungganginya sehingga aku tiba di Baitul Maqdis.” Beliau bersabda, “Kemudian aku mengikatnya pada tiang masjid yang biasanya juga para Nabi mengikat di situ.” Beliau melanjutnya, “Sejurus kemudian aku masuk ke dalam masjid dan melakukan salat dua rakaat, kemudian aku keluar dan didatangi oleh Jibril ʿAlaihis Salām yang datang dengan membawa satu bejana berisi arak dan satu bejana berisi susu, maka aku memilih susu. Jibril ʿAlaihis Salām lantas berkata, ‘Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah,’ lalu ia membawaku naik menuju langit.” [5]

ومن فضائله أن الصلاة فيه تضاعف ، فعن أبي ذر رضي الله عنه قال : تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ: مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى ، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا – أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا – )) [6]

  • Di antara keutamaannya, bahwa salat di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Diriwayatkan Abu Dzar —Semoga Allah Meridainya—dia berkata, “Kami saling bertukar pendapat di sisi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang mana yang lebih utama, masjid Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau Baitul Maqdis. Lalu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Satu salat di masjidku ini lebih utama daripada empat salat di sana, sungguh itulah sebaik-baik tempat salat. Sesungguhnya, hampir-hampir tiba masanya di mana seseorang memiliki tanah seukuran kekang kudanya yang dari tempat itu dia bisa melihat Baitul Maqdis tapi itu lebih baik baginya dari dunia seluruhnya — atau, lebih baik dari dunia dan segala isinya.” [6]

وهذا علم من أعلام نبوته صلى الله عليه وسلم ، حيث بيَّن ما سيؤول إليه المسجد الأقصى مع تعلُّق قلوب المسلمين به وأن مؤامرات الأعداء على المسجد الأقصى ستزداد ، حتى إن المؤمن ليتمنى أن يكون له موضع صغير يطلُّ منه على المسجد الأقصى ويكون ذلك أحبَّ إليه من الدنيا وما فيها 

Ini adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kenabian beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, di mana beliau menjelaskan apa yang akan terjadi pada Masjidil Aqṣā serta keterikatan hati umat Islam dengannya dan bahwa konsipirasi musuh-musuh Islam terhadap Masjidil Aqṣā yang semakin menguat akan membuat orang beriman berangan-angan ingin memiliki secuil tempat yang dekat dari Masjidil Aqṣā yang mana hal itu akan lebih dicintainya daripada dunia dan seisinya.

 ومن فضائله ما ورد في حديث عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((لَمَّا فَرَغَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ مِنْ بِنَاءِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ ثَلَاثًا : حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ ، وَمُلْكًا لَا يَنْبَغِي لَأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ ، وَأَلَّا يَأْتِيَ هَذَا الْمَسْجِدَ أَحَدٌ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ )) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا ، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ)) [7].

  • Di antara keutamaannya juga adalah apa yang disebutkan dalam hadis Abdullah bin Amr bin al-ʿĀṣ —Semoga Allah Meridainya— dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Ketika Nabi Sulaiman bin Daud ʿAlaihimas Salām merampungkan pembangunan Baitul Maqdis, beliau ʿAlaihis Salām memohon kepada Allah tiga permintaan, (1) keputusan hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, (2) kekuasaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun setelahnya, (3) dan agar tak seorang pun yang datang ke Masjidil Aqṣā dengan niat semata-mata untuk salat di dalamnya kecuali dihapuskan segala kesalahannya sehingga dia menjadi seperti ketika hari ia dilahirkan oleh ibunya.” Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu bersabda, “Adapun permintaannya yang pertama dan kedua telah dikabulkan dan aku berharap semoga yang ketiga juga Allah Kabulkan.” [7]

إنه لا يخفى على أيِّ مسلم ما يعانيه المسلمون في فلسطين من آلام وقتل وتشريد بسبب توالي الاعتداء الغاشم عليهم من اليهود المعتدين الغاصبين ، ولا يخفى أيضاً حاجة المسلمين في فلسطين وضرورتهم إلى الكساء والطعام والدواء . ولذا فإنَّ من الواجب على المسلمين المسارعة إلى نجدتهم ومدِّ يد المساعدة لهم والوقوف معهم في محنتهم حتى يتمكنوا من مقاومة عدوهم الذي يملك العدة والعتاد 

Tidak samar bagi muslim manapun penderitaan yang dialami oleh kaum muslimin di Palestina, dari rasa sakit, pembunuhan, hingga pengusiran akibat serangan brutal yang bertubi-tubi oleh para penjajah lalim Yahudi. Tidak samar pula bagaimana kebutuhan dan hajat kaum muslimin di Palestina akan sandang, pangan, dan obat-obatan. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam untuk bersegera menyelamatkan mereka, mengulurkan tangan kepada mereka, dan berdiri bersama mereka dalam penderitaan mereka sehingga mereka dapat melawan musuh-musuh mereka yang memiliki persiapan dan peralatan lengkap.

والله جل وعلا يثيب المؤمن على ما يقدِّم لإخوانه ثواباً عاجلاً وثواباً أخروياً يجد جزاءه في يوم لا ينفع فيه مال ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم ، قال الله تعالى {وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا } [المزمل:20] ، وقال تعالى : {وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ } [سبأ:39] . وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ …)) [8]. وعن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : (( … وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ )) [9].

Allah Subẖānahu wa Taʿālā akan Memberi ganjaran kepada orang beriman atas apa yang dia berikan untuk saudara-saudaranya dengan balasan di dunia dan ganjaran di akhirat. Dia akan mendapatkan balasannya pada hari di mana harta dan anak tidak lagi berguna kecuali jika dia datang menemui Allah dengan hati selamat. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Dia Subẖānahu wa Taʿālā juga Berfirman, “… dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan Menggantinya, karena Dialah Sang Pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’: 39). Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” [8] Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Sedekah itu memadamkan (menghapus) kesalahan seperti air memadamkan api.” [9]

فجودوا عليهم أيها المسلمون بما أعطاكم الله ، واعطفوا عليهم يبارك لكم في مالكم ويخلف عليكم بخير ويضاعف لكم الأجر والثواب ، فعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( …وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ)) [10] .

Oleh sebab itu, berdermalah untuk mereka, wahai kaum muslimin! Bersimpatilah kepada mereka, agar Allah Memberkahi harta kalian, Mengganti untuk kalian dengan kebaikan, dan Melipat gandakan ganjaran dan pahala kalian. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan Membantu kebutuhannya.” [10] 

وأن نكثر لهم من الدعاء بأن يجبر ضعفهم ويقوي شوكتهم ، وأن يرد كيد المعتدين في نحورهم ، وأن يكف بأس الذين كفروا والله أشد بأساً وأشد تنكيلا ، وأن يطهِّر المسجد الأقصى من أيدي الظلمة المعتدين والبغاة الغاصبين إنه سميع مجيب .

*********

________________

Hendaknya kita juga memperbanyak doa untuk mereka agar Allah Menutupi kelemahan mereka, Menguatkan kekuatan mereka, Mengembalikan makar orang-orang zalim ke leher-leher mereka sendiri, Menghentikan kekerasan dari orang-orang kafir, karena sesungguhnya Allah lebih dahsyat kekuatan-Nya dan lebih keras siksaan-Nya, dan Mensucikan Masjidil Aqṣā dari tangan-tangan orang zalim yang melampaui batas dan para penjajah yang membangkang, sesungguhnya Dia Subẖānahu wa Taʿālā Maha Mendengar dan Menjawab doa. 

*********

________________

[1] رواه البخاري (1189) ، ومسلم (1397) .

[2] رواه البخاري (3366) ، ومسلم (520) .

[3] رواه البخاري (4492) ، ومسلم (525) .

[4] رواه ابن ماجه (1407) ، وصحح الألباني رحمه الله هذا القسم في (تخريج أحاديث فضائل الشام) رقم (4) .

[5] رواه مسلم (162) .

[6] رواه الحاكم (4/509) وصححه ، ووافقه الذهبي .

[7] رواه النسائي (693) ، وابن ماجه (1408) وصححه الألباني رحمه الله في (صحيح الترغيب) (1178) .

[8] رواه مسلم (2588) .

[9] رواه الترمذي (2616) ، وصححه الألباني رحمه الله في (صحيح سنن الترمذي) (2110) .

[10] رواه البخاري (2442) ، ومسلم (2580) .

[1] Diriwayatkan oleh Bukhari (1189) dan Muslim (1397).

[2] Diriwayatkan oleh Bukhari (3366) dan Muslim (520).

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari (4492) dan Muslim (525).

[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1407), dan bagian ini disahihkan oleh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— dalam Takhrīj Aẖādīts Faḏāil asy-Syām No. (4).

[5] Diriwayatkan oleh Muslim (162).

[6] Diriwayatkan oleh al-Hakim (4/509) dan dia menyahihkannya serta disetujui oleh az-Zahabi.

[7] Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (693) dan Ibnu Majah (1408), dan disahihkan oleh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— dalam Ṣaẖīẖ at-Targhīb (1178).

[8] Diriwayatkan oleh Muslim (2588).

[9] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2616), dan disahihkan oleh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— dalam Ṣaẖīẖ Sunan at-Tirmidzī (2110).

[10] Diriwayatkan oleh Bukhari (2442) dan Muslim (2580).

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr

Sumber:

https://al-badr.net/muqolat/2563

PDF sumber artikel

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42926-keutamaan-masjid-al-aqsa.html

Bahaya Bangsa Yahudi

خطر اليهود

Bahaya Bangsa Yahudi

إنّ من يتأمَّل التاريخ على طول مداه ويتأمل في أحوال الأمم وأخلاقها ومعاملاتها يجد أن أسوء الأمم خُلقا وأشرَّها معاملة أمّةُ اليهود تلك الأمة الغضبية الملعونة ؛ أمّة الكذب والطغيان والفسوق والعصيان والكفر والإلحاد ، أمّةٌ ممقوتة لدى الناس لفظاظة قلوبهم وشدّة حقدهم وحسدهم ولعِظم بغيهم وطغيانهم ، أهل طبيعة وحشية وهمجيّة لا يباريهم فيها أحد ، كلّما أحسوا بقوةٍ ونفوذٍ وتمكنٍ وقدرة هجموا على من يعادونه هجوم السبُع على فريسته ، لا يرقبون في أحد إلا ولا ذمة ، ولا يعرفون ميثاقاً ولا عهدا ، لا يُعرف في الأمم جميعها أمةٌ أقسى قلوبا ولا أغلظ أفئدة من هذه الأمة ، قد التصق بهم الإجرام والظلم والعدوان والجور والبهتان من قديم الزمان يقول الله تعالى: {فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً} ويقول الله تعالى: {ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً}.

Barang siapa yang mengerti perjalanan sejarah yang panjang dan merenungkan keadaan, akhlak, dan kehidupan sosial berbagai umat manusia, niscaya dia akan mendapati bahwa umat yang paling buruk dan yang paling jelek akhlak dan muamalahnya di antara mereka adalah bangsa Yahudi.

Merekalah umat yang dimurkai dan terkutuk. Bangsa pendusta, tirani, fasik, durhaka, dan kafir lagi ingkar. Bangsa yang dibenci oleh umat manusia karena hati mereka yang keras dan buruknya kebencian mereka serta hasad dalam diri mereka, di samping parahnya penindasan dan kezaliman yang mereka lakukan.

Bangsa ini tabiatnya keras dan serakah hingga tidak ada seorang pun yang lebih keras dan serakah daripada mereka. Setiap kali mereka mendapatkan kekuatan, pengaruh, kedudukan, dan kemampuan, mereka akan segera menyerang lawan mereka seperti binatang buas yang menyergap mangsanya. Tidaklah mereka menguasai seseorang melainkan dia kehilangan jaminan keselamatannya dan tidaklah mereka menyepakati perjanjian melainkan akan terjadi pengingkaran. Di tengah semua bangsa yang ada, tidak dikenal bangsa yang lebih keras dadanya dan lebih kasar hatinya melebihi bangsa ini. Kriminalitas, kezaliman, agresi, tirani, dan kedustaan telah melekat erat pada mereka sejak zaman dahulu. 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā Berfirman (yang artinya), “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.” (QS. Al-Maidah: 13). 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā juga Berfirman (yang artinya), “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras, sehingga (hati kalian) seperti batu, bahkan lebih keras daripadanya.” (QS. Al-Baqarah: 74).

ومن قسوة قلوب هؤلاء أنهم قتلوا بعض أنبياء الله الذين جاءوا يحملون إليهم الهدى والصلاح والسعادة والفلاح ، قال الله تعالى : {لَقَدْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَأَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ رُسُلًا كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ} [المائدة:??] ، وقال تعالى : {فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا} [النساء:???] ، وقال تعالى : {إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ} [آل عمران:??] ، وهذه القسوة التي وصمهم الله بها في القرآن ملازمةٌ لهم على مر العصور واختلاف الأزمان إلى زماننا هذا.

Di antara bentuk kerasnya hati mereka adalah bahwa mereka berani membunuh beberapa nabi Allah yang datang untuk mereka membawa petunjuk, kesalehan, kebahagiaan, dan kemenangan. 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā Berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah Mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami Mengutus kepada mereka rasul-rasul. Namun setiap rasul datang kepada mereka dengan membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, (maka) sebagian (dari rasul itu) mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.” (QS. Al-Maidah: 70). 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā juga Berfirman (yang artinya), “Maka (Kami Menghukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, dan karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, serta karena mereka mengatakan, ‘Hati kami telah tertutup.’ Sebenarnya Allah telah Mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 155). 

Dia Subẖānahu wa Ta’ālā juga Berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih.” (QS. Ali ‘Imran: 21). 

Inilah kekerasan hati yang digambarkan oleh Allah dalam al-Qur’an yang masih melekat pada diri mereka meskipun masa yang lama telah berlalu dan zaman telah berganti sampai di zaman kita ini.

ثم هم مع ذلك أهل مكرٍ وخديعة وخُبث وكيد ، وقد عانى المسلمون الأُوَل من صفة اليهود هذه الشيء الكثير ، ولا يزال المسلمون يعانون الويل من جرَّاء مكر اليهود وكيدهم والله يقول : {إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ}

Di samping itu, mereka adalah orang-orang yang penuh makar, tipu daya, culas, dan tipuan. Umat Islam di masa-masa awal telah menderita karena sering menjadi korban karakter Yahudi ini. Pun kaum Muslimin sekarang masih merasakan penderitaan akibat tipu daya Yahudi dan muslihat mereka. 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā Berfirman (yang artinya), “Jika kamu memperoleh kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 120). 

وقد دأَب اليهود من قديم الزمان على الغدر والخيانة ونقض العهود والوعود ، قال تعالى : {إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (55) الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ}، لقد عاش اليهود طوال حياتهم بؤرة فساد في المجتمعات وأساس كل منكر وفحشاء ، ينشرون الرذيلة ويشيعون الفساد ، وقد كانوا عبر التاريخ مصدراً للمنكر والفحشاء ؛ فهم أصحاب بيوت الدعارة في العالم وناشرو الانحلال الجنسي في كل مكان ، يبتزُّون أموال الشعوب ثم يسخرونها في إشاعة الرذيلة بينهم ليحطِّموا بذلك قيمهم ويخلخلوا إيمانهم ويضعِفوا قوتهم وليكونوا بذلك فريسةً سهلة لهم ، فما أقبحه من مكر.

Sejak zaman dahulu, bangsa Yahudi sudah biasa memberontak, berkhianat, dan mengingkari janji dan kesepakatan. Allah Subẖānahu wa Ta’ālā Berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya makhluk yang berjalan yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka tidak beriman, (yaitu) orang-orang yang terikat perjanjian dengan kamu, kemudian setiap kali berjanji mereka mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak takut (kepada Allah).” (QS. Al-Anfal: 55-56). 

Bangsa Yahudi sepanjang hidup mereka adalah kerusakan bagi masyarakat dan pangkal segala kemungkaran dan kekejian. Mereka menyebarkan amoralitas dan hidup dengan membawa kerusakan. Sepanjang sejarah mereka, mereka menjadi sumber kemungkaran dan tindakan amoral. Mereka adalah pemilik rumah-rumah pelacuran global dan penyebarkan paham pergaulan bebas di mana-mana. Mereka memeras uang orang-orang lalu menggunakannya untuk menyebarkan tindak amoral ke tengah mereka untuk menghancurkan norma-norma mereka, menggerogoti iman mereka, dan melemahkan kekuatan mereka, sehingga mereka menjadi mangsa empuk bagi mereka. Sungguh, betapa licik muslihat mereka.

إن عِداء اليهود للإسلام عداءٌ قديم منذ فجر الإسلام الأوّل، وعداءهم وحقدهم على أهله معروف لدى الخاص والعام في قديم الزمان وحديثه ، لأن الإسلام عرَّى حالهم وكشف أمرهم وفضح مخازيهم وأظهر قبائحهم وشنائعهم، فبات أمرهم معلناً بدل أن كان سراً ، وبادياً لكل أحد بعد أن كان خفيّا . وجاءت آيات القرآن الكريم آيةً تلوى الأخرى معرِّية أمر هؤلاء مجلِّية حقيقة أمرهم كاشفةً كل مكرهم وكيدهم وخداعهم ، وصدق الله إذ يقول : {وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ}

Permusuhan bangsa Yahudi terhadap umat Islam adalah permusuhan klasik sejak pertama kali munculnya fajar Islam. Permusuhan dan kebencian mereka terhadap orang-orang Islam sudah dikenal oleh para pakar dan orang-orang awam sejak zaman dahulu hingga sekarang. Sebabnya adalah karena Islam membeberkan hakikat mereka, menyingkap rahasia mereka, mengungkap aib-aib memalukan mereka, dan menampakkan keburukan dan kekejaman mereka, sehingga perkara agama mereka menjadi dikenal oleh publik dan tidak lagi tersembunyi serta menjadi jelas bagi semua orang setelah sebelumnya dirahasiakan. 

Ada banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang Mulia yang diturunkan silih berganti, ayat demi ayat, yang menyingkap perkara mereka dan menjelaskan hakikat masalah mereka serta membeberkan semua rencana jahat, tipu daya, dan muslihat mereka. 

Sungguh, Maha Benar Allah Subẖānahu wa Ta’ālā ketika Berfirman (yang artinya), “Dan demikianlah Kami Terangkan ayat-ayat al-Quran, (agar terlihat jelas jalan orang-orang yang saleh) dan agar terlihat jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’am: 55).

لا غرابة أن كان عداء اليهود للإسلام شديداً ؛ فالإسلام جاء هادماً لكل ما لديهم من زيف وبهتان وباطل ، ومناقضا لكل ما عندهم من جنوح وانحراف وضلال. إنَّ الإسلام يدعو إلى الإيمان والتوحيد والإخلاص، واليهود يدعون إلى الكفر والإلحاد والتكذيب والإعراض. إنَّ الإسلام يدعو إلى مُثُلٍ عليا وقِيم رفيعة وإلى الرحمة والخير والإحسان، بينما اليهود يدعون إلى القسوة والإجرام والوحشية والعدوان والظلم والبهتان.

Tidak mengherankan jika permusuhan orang Yahudi terhadap Islam sangat keras, karena Islam datang untuk menghancurkan semua kepalsuan, fitnah, dan kebatilan mereka, serta menentang semua kekejaman, penyimpangan, dan kesesatan mereka. Islam menyerukan kepada keimanan, tauhid, dan keikhlasan, sedangkan orang-orang Yahudi mengajak untuk kafir, ingkar, mendustakan, dan berpaling dari agama. Islam juga menyeru kepada akhlak yang mulia dan nilai-nilai yang luhur, kasih sayang, dan kebaikan, sementara orang-orang Yahudi menyeru kepada kekerasan, kriminalitas, kebrutalan, permusuhan, kezaliman, dan muslihat.

الإسلام يدعو إلى الحياء والستر والحشمة والعفاف ، واليهود يدعون إلى الرذيلة والفساد والمكر والبغي . الإسلام يحفظ الحقوق ويحترم المواثيق ويحرِّم الظلم ، واليهود لا يعرفون حقّا ولا يحفظون عهداً ولا ميثاقاً ولا يتركون الظلم والعدوان . الإسلام يحرِّم قتل النفس بغير الحق ويحرِّم السرقة والزنا ، واليهود يستبيحون سفك دماء غير اليهود وسرقة أموالهم وانتهاك أعراضهم.

Islam menyerukan kepada rasa malu, menutup aurat, kesopanan, dan kesucian diri, sementara orang-orang Yahudi menyerukan perbuatan-perbuatan amoral, kerusakan, tipu muslihat, dan melampaui batas. Islam juga menjaga hak-hak yang ada, menghormati perjanjian, dan melarang kezaliman, sementara orang-orang Yahudi tidak menggubris hak-hak yang ada, tidak menepati perjanjian dan kesepakatan, dan tidak meninggalkan perbuatan zalim dan permusuhan. 

Islam melarang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan dan melarang pencurian serta perzinahan. Adapun orang-orang Yahudi, mereka membolehkan menumpahkan darah orang-orang non-Yahudi, mencuri uang mereka, dan menodai kehormatan mereka.

ورغم كلِّ هذا الضلال الذي هم فيه فإنهم يعتقدون في أنفسهم أنهم شعب الله المختار وأنهم أبناء الله وأحباؤه وأن أرواحهم متميزة عن بقية أرواح البشر بأنها جزء من الله وأنه لو لم يُخلق اليهود لانعدمت البركة من الأرض ولما نزلت الأمطار ولا وجدت الخيرات ، ويعتقدون فيمن سواهم أنهم أشبه بالحمير وأن الله خلقهم على صورة الإنسان ليكونوا لائقين لخدمتهم ، ألا شاهت وجوه الأخسرين ولعنة الله على المجرمين.

Dengan semua kesesatan dalam diri mereka, mereka masih meyakini bahwa mereka adalah ‘bangsa Allah’ dan umat pilihan-Nya, bahwa mereka adalah ‘anak-anak-Nya’ dan makhluk yang dicintai-Nya, dan bahwa roh-roh mereka berbeda dengan roh manusia lainnya. Roh mereka adalah bagian dari Allah dan bahwa keberkahan akan diangkat dari bumi, hujan tidak akan turun, dan perbuatan baik tidak akan ada jika orang Yahudi tidak diciptakan. 

Mereka juga meyakini bahwa umat lain selain mereka tidak lebih seperti keledai dan bahwa Allah menciptakan mereka dalam rupa manusia agar layak untuk menjadi pelayan mereka!! 

Semoga Allah Memburukkan rupa orang-orang yang merugi tersebut dan Melaknat para durjana tersebut!

يجب أن ندرك جميعاً أنَّ عدوان اليهود على المسلمين في فلسطين ليس مجرد نزاعٍ على أرض ، وأن ندرك أن قضية فلسطين قضيةٌ إسلامية يجب أن يؤرِّق أمرها بال كل مسلم ، ففلسطين بلد الأنبياء وفيها ثالث المساجد الثلاثة المعظمة ، وهي مسرى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقبلة المسلمين الأولى ، وليس لأحدٍ فيها حقّ إلا الإسلام وأهله ؛ والأرض لله يورثها من يشاء من عباده والعاقبة للمتقين.

Kita semua harus menyadari bahwa permusuhan bangsa Yahudi terhadap kaum muslimin di Palestina bukan hanya sekedar masalah sengketa tanah. Kita juga harus memahami bahwa masalah Palestina adalah masalah umat Islam yang harus menjadi perhatian setiap muslim. Palestina adalah negeri para nabi. Di sana ada masjid suci ketiga dari tiga masjid suci, di sanalah Rasulullah diperjalankan untuk Isra’, dan di sanalah kiblat pertama umat Islam. Tidak ada yang berhak memilikinya kecuali Islam dan umat Islam. 

Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah dan Dia akan Mewariskannya kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. 

ويجب أن ندرك أنَّ تغلب هذه الشرذمة المرذولة والفئة المخذولة وتسلطهم على المسلمين إنما هو بسبب الذنوب والمعاصي وإعراض كثير من المسلمين عن دينهم الذي هو سبب عِزهم وفلاحهم ورفعتهم في الدنيا والآخرة ، قال تعالى : { وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}، فلا بد من عودةٍ صادقة وأوبة حميدة إلى الله جلّ وعلا فيها تصحيحٌ للإيمان وصلةٌ بالرحمن وحفاظ على الطاعة والإحسان ، وبُعدٌ وحذرٌ من الفسوق والعصيان لينال المؤمنون العزّة والتمكين والنصر والتأييد.

Kita harus tahu bahwa dominasi umat hina ini dan bangsa yang tertipu ini serta kekuasaannya atas kaum muslimin tidak lain dan tidak bukan adalah karena dosa dan maksiat serta berpalingnya banyak kaum muslimin sendiri dari agama mereka, karena agama Islam adalah kunci kejayaan, keberhasilan, dan kedigdayaan mereka di dunia dan di akhirat. 

Allah Subẖānahu wa Ta’ālā Berfirman (yang artinya), “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30). 

Oleh sebab itu, perlu untuk sejujur-jujurnya kembali dan sebaik-baiknya bertobat kepada Allah Jalla wa ʿAlā. Hal tersebut akan memperbaiki keimanan, memperbagus hubungan yang baik dengan ar-Rahman, dan menjaga amal ketaatan dan kebajikan, serta menjauhkan dan memunculkan mawas diri terhadap kefasikan dan kemaksiatan agar umat Islam kembali mendapatkan kejayaan dan kekuasaan mereka serta pertolongan dan dukungan dari Allah.

{وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55) وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ } 

“Allah telah Menjanjikan kepada orang-orang di antara kalian yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia, sungguh, akan Menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah Menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan Meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia Ridai, dan Dia benar-benar akan Mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) Menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Namun barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik, maka laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kalian mendapat rahmat.” (QS. An-Nur: 55-56).

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin al-Abbad al-Badr

Sumber:

https://al-badr.net/muqolat/2565

PDF sumber artikel

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42939-bahaya-bangsa-yahudi.html