Dendam Tidak Menyelesaikan Masalah, Berani Memaafkan adalah Solusi Islami

Sebagai manusia biasa, kita seringkali merasa tersakiti dengan orang lain baik perbuatan dan perkataan. Pada saat itulah, kebencian dan rasa ingin membalas sakit hati tidak terelekkan. Jalan yang selalu kita pilih adalah balas dendam. Namun, apakah menyelesaikan masalah?

Balas dendam adalah reaksi alami terhadap perasaan ketidakadilan yang dirasakan seseorang. Namun, dalam pandangan Islam dan juga dari perspektif psikologis, balas dendam adalah perilaku berbahaya yang harus dihindari. Sebagai gantinya, Islam mengajarkan pentingnya perdamaian, pengampunan, dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Terlebih lagi, dampak psikologis balas dendam dapat sangat merusak dan memperdalam konflik.

Dalam perspektif psikologis, balas dendam dapat menciptakan lingkaran setan konflik. Ketika seseorang merasa bahwa dia telah dianiaya atau disakiti, perasaan marah dan dendam dapat mengonsumsi pikiran dan perasaannya. Ini dapat mengarah pada tindakan agresif yang tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga dirinya sendiri. Bahkan dalam jangka panjang, dendam dapat mengakibatkan stres yang kronis, depresi, dan bahkan masalah kesehatan fisik.

Dalam pandangan Islam, pengampunan adalah salah satu nilai mendasar. Allah dikenal sebagai Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffar) dan umat-Nya dianjurkan untuk mengampuni sesama manusia. Ini bukan hanya untuk kebaikan orang lain, tetapi juga untuk kebaikan diri sendiri. Mengampuni adalah cara untuk mencari ketenangan dalam diri, menghilangkan perasaan dendam yang merusak, dan menjaga hubungan yang damai dengan sesama manusia.

Tentu saja, ini bukanlah tugas yang mudah, terutama ketika perasaan dendam mendalam. Dalam hal ini, doa adalah kunci. Berbicara dengan Allah dalam doa membuka pintu kebijaksanaan dan ketenangan. Allah mendengar doa-doa kita, dan dengan berdoa, kita meminta petunjuk dan kekuatan untuk melampaui perasaan dendam.

Komunikasi juga memiliki peran penting dalam mengatasi konflik. Terkadang, konflik muncul karena ketidakpahaman atau ketidaksepahaman. Berbicara dengan pihak yang bersangkutan secara terbuka dan jujur dapat membantu mencari solusi bersama dan meredakan ketegangan.

Namun, terkadang situasinya lebih baik dihindari. Ini bukan berarti memutuskan hubungan, tetapi menghindari konfrontasi yang tidak perlu. Islam mendorong untuk menjaga silaturahmi, namun jika pertemuan dengan pihak yang menyebabkan perasaan dendam dapat menciptakan konflik yang lebih besar, maka menjaga jarak sementara dapat menjadi pilihan yang bijak.

Bahkan dalam psikologi, menghindari balas dendam merupakan langkah yang bijak. Balas dendam seringkali tidak membawa solusi yang baik, dan bahkan dapat memperburuk situasi. Dengan menghindari balas dendam, seseorang bisa meredakan perasaan marah, memulihkan ketenangan, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Dalam situasi balas dendam, Rasulullah telah memberikan contoh bijak. Beliau mengajarkan umatnya untuk bersikap tenang dan bijaksana dalam menghadapi konflik. Kebijaksanaan dan ketenangan adalah kunci untuk meredakan ketegangan dan menciptakan lingkungan yang lebih damai.

Ketika kita berhadapan dengan perasaan dendam, penting untuk mengingat bahwa mengampuni bukan hanya untuk kebaikan orang lain, tetapi juga demi kebaikan diri kita sendiri. Menemukan ketenangan dalam pengampunan adalah langkah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan membawa manfaat positif bagi kesejahteraan jiwa. Sebagai individu, kita juga dapat tumbuh lebih bijaksana dan sabar melalui pengalaman ini.

Jadi, mari bersama-sama mengejar ketenangan dalam pengampunan dan menjauhi bahaya balas dendam. Dalam Islam, jalan menuju perdamaian dan kesejahteraan jiwa dimulai dengan pengampunan.

ISLAMKAFFAH

Cara Mengobati Penyakit Ujub

Ujub adalah sifat yang mengagumi diri sendiri dan membanggakan diri sendiri atas kelebihan yang dimiliki. Sifat ini merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari oleh setiap muslim. Ujub dapat menyebabkan seseorang menjadi sombong dan riya, yang dapat menghalangi seseorang untuk meraih ridha Allah SWT. Nah berikut cara mengobati penyakit ujub. 

Dalam hidup, manusia akan dihadapkan dengan cobaan-cobaan yang diberikan oleh Allah Swt. Cobaan tersebut dapat berupa suatu hal yang positif menurut manusia atau bahkan hal versi negatif seperti halnya musibah. Terkadang, sebagai manusia kita tidak menyadari bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Allah adalah sebuah cobaan untuk diri kita sendiri.

Berawal dari cobaan tersebut dapat dilihat, apakah kita dapat mengakui bahwa segala kenikmatan berasal dari Allah atau mengingkarinya. Jika kita lupa bahwa kenikmatan tersebut berasal dari Allah, dan memilih untuk membanggakan diri, maka itulah yang disebut dengan ujub.

Kita tahu, bahwa ujub adalah sebuah penyakit yang ada didalam hati seseorang. Ujub disini ketika seseorang melihat dirinya sendiri luar biasa dan ia ingin dihormati oleh semua orang. Orang yang memiliki sifat ujub ini melihat hina orang lain padahal setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan yang harusnya kita tidak melakukan ujub tersebut.

Orang yang memiliki sifat ujub jika ia diberikan nasehat, maka ia akan membangkang, keras kepala. Dan jika memberi nasehat, maka akan selalu bersikap kasar. Orang lain harus melihat lebih baik dari orang lain.

Menurut Al-Ghazali, berbangga diri atau ujub dapat menghambat datangnya pertolongan Allah, karena orang yang berbanga diri selalu merasa gelisah setiap saat. Berbangga diri atau ujub adalah penyakit dalam kehidupan manusia yang paling sering mendampingi manusia menjadi sombong dan takabur.

Dalam al-Qur’an Allah Swt. telah menyatakan bahwa kesombongan adalah kegagalan besar.

وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولً

Artinya: “Jangan sombong tentang Bumi. Anda pasti tidak akan pernah membelah bumi dan tidak akan pernah menyaingi ketinggian gunung.” (QS. Al-Isra’ [17]: 37).

Tak hanya itu, Al-Ghazali juga mengatakan bahwa ujub itu sangat membanggakan dirinya, kagum dan puas pada dirinya. Bahkan, saat mereka melakukan perbuatan yang tidak benar termasuk durhaka kepada Allah. Orang yang ujub akan mengira bahwa keberhasilan dan kesuksesannya disebabkan oleh usahanya, dan ia pun cenderung meninggalkan usaha kerasnya.

Orang yang mempunyai sifat ujub tertipu dengan dirinya sendiri dan pendapatnya sendiri. Ia akan merasa aman dari siksa Allah Swt. Bahkan, ia merasa mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan tidak akan mau mendengar nasihat dari orang lain.

Empat ciri-ciri penyakit ujub

Sekurang-kurangnya, ada empat ciri penyakit ujub. Pertama, berbangga diri (sombong). Orang yang memiliki sifat ujub adalah merasa puas dengan dirinya dan merasa paling sempurna, merasa tidak perlu bantuan orang lain, merasa mampu melakukan segala hal sendiri, dan juga mengagung-agungkan kelebihan yang dimilikinya untuk memamerkannya kepada orang lain agar dipuji orang lain.

Kedua, meremehkan dan menganggap kecil orang lain. Orang yang memiliki sifat ujub selalu menganggap remeh orang lain dan juga tidak peduli akan orang yang ada disekitarnya. Orang yang memiliki sifat ujub ini akan merasa angkuh ketika berjalan, dan berpenampilan seakan-akan orang lain lebih rendah dibandingkan dirinya. Jelasnya, tidak mempunyai tatakrama dan kasar ketika berbicara.

Ketiga, keras kepala. Orang yang memiliki sifat ujub mempunyai karakter yang keras dan cenderung akan lebih mendengarkan pendapatnya sendiri dan mengabaikan pendapat orang lain. Ia akan merasa dirinya paling benar. Dan, ketika diberi nasehat, maka akan membangkang dan kasar ketika memberi nasehat kepada orang lain.

Keempat, lemahnya iman kepada Allah Swt. Orang yang memiliki sifat ujub adalah orang yang lemah imannya kepada Allah karena ia merasa dirinya sempurna tanpa ketetapan dari Allah. Orang yang memiliki sifat ujub ketika beribadah demi mendapatkan pujian dan dilihat oleh orang lain, dan orang yang ujub adalah orang yang mengabaikan perintah Allah.

Penyebab ujub menurut Al-Ghazali 

Menurut Imam Al-Ghazali, ada delapan penyebab dari ujub. Pertama, ujub dikarenakan fisiknya. Contohnya seperti kecantikan, postur tubuh, kekuatan, keserasian bentuk, suara yang bagus, penampilan yang ganteng dan lainnya. Kedua, ujub dikarenakan kedigdayaan dan kekuatan. Ketiga, ujub dikarenakan intelektualitas, kecerdasan dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia.

Keempat, ujub dikarenakan nasab terhormat. Maka, sebagian mereka mengira akan selamat dengan kemuliaan nasab dan keturunannya serta keselamatan nenek moyangnya. Kelima, ujub dikarenakan nasab para penguasa yang dzalim dan para pendukung mereka, bukan nasab agama, dan ilmu ini merupakan puncak kebodohan.

Keenam, ujub dikarenakan banyaknya jumlah anak, keluarga, kerabat, pelayan, budak, pendukung dan pengikut. Ketujuh, ujub dikarenakan harta. Delapan, ujub dikarenakan pendapat yang salah.

Sementara itu, akibat dari sifat ujub adalah munculnya rasa sombong didiri, lupa akan dosa-dosa yang sudah diperbuat, ditolak amalnya, tertipu oleh amalannya sendiri, terus-menerus memuji-muji diri sendiri, selalu menganggap dirinya suci dan bebas dari segala kesalahan, pikirannya akan terkungkung, tidak suka mencari kemanfaatan ilmu, dan tidak suka mengajak musyawarah dan tidak suka bertanya pada siapa pun. Tentu saja, hal ini disebabkan karena ia merasa pintar dan malu dianggap bodoh oleh orang lain.

Lalu bagaimana cara mengobati ujub?

Syahdan, ujub, takabbur dan membanggaan diri merupakan penyakit yang tidak mudah disembuhkan. Penyakit tersebut dapat merusak dirinya dan manusia sekitarnya. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, terdapat pelbagai cara mengobati penyakit ujub, takabur dan membanggakan diri.

فإن رأيت صغيرا قلت: هذا لم يعص الله وأنا عصيته، فلا شك أنه خير مني

Artinya: “Jika engkau melihat anak kecil,  katakan (dalam hatimu): Anak ini tidak bermaksiat pada Allah,  sementara Aku bermaksiat pada-Nya. Maka,  tak diragukan bahwa dia lebih baik dariku.”

وإن رأيت كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلى، فلا شك أنه خير مني

Artinya: “Jika engkau melihat orang tua,  katakan (dalam hatimu): orang tua ini telah beribadah kepada Allah sebelumku. Maka, tak diragukan bahwa dia lebih baik dariku.”

Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an juga turut memberikan tips untuk memusnahkan penyakit ujub. Katanya:

وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْعُجْبِ: أَنْ يُذَكِّرَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَمْ يُحَصِّلْ مَا حَصَّلَ بِحَوْلِهِ وَقُوِّتِهِ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْجَبَ بِشَيْءٍ لَمْ يَخْتَرِعْهُ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ الله تَعَالَى

Artinya: “Cara menghilangkan kebanggaan ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya. Namun itu merupakan anugerah dari Allah Swt., dan tidak patut baginya untuk berbangga karena sesuatu yang tidak diciptakannya, semata-mata itu merupakan anugerah dari Allah Swt.” (At-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an, Dar el-Minhaj, halaman 70).” 

Demikian penjelasan terkait cara mengobati penyakit ujub. Dengan menerapkan cara-cara di atas, kita dapat mengobati penyakit ujub dan menjadi orang yang lebih rendah hati. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Makan dengan Bijak: Bahaya Terlalu Kenyang dalam Perspektif Islam

Agama Islam adalah agama yang komprehensif, mengatur setiap aspek kehidupan umatnya, termasuk tata cara makan. Islam mengajarkan prinsip keseimbangan, kesederhanaan, dan kesehatan dalam aspek ini. Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah tentang pentingnya makan dengan bijak, yaitu berhenti makan sebelum merasa terlalu kenyang. Konsep ini memiliki dasar-dasar yang kuat dalam Islam, juga didukung oleh pandangan kesehatan modern.

Salah satu hadis yang menyiratkan pentingnya berhenti makan sebelum kenyang adalah, “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.” Meskipun hadis ini dianggap dhaif atau lemah dalam beberapa pandangan, pesan yang terkandung di dalamnya tetap kuat dan berharga.

Imam Asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam Islam, menjelaskan bahwa terlalu kenyang dapat berdampak negatif pada fisik dan mental. Kelebihan makan tidak hanya membuat tubuh menjadi berat tetapi juga mengakibatkan hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, dan membuat seseorang sering tidur dan malas untuk beribadah.

Secara medis, terlalu kenyang juga memiliki risiko kesehatan yang signifikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa overeating, atau makan dalam jumlah berlebihan, dapat menyebabkan obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan masalah kesehatan lainnya. Makan berlebihan mengganggu metabolisme tubuh, meningkatkan kadar gula darah, dan memberatkan organ pencernaan.

Solusi dalam Perspektif Islam

Islam mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan tubuh mereka. Oleh karena itu, berhenti makan sebelum terlalu kenyang adalah tindakan bijaksana yang mencerminkan nilai-nilai agama dan memelihara kesehatan.

  1. Sederhana tidak berlebihan: Makan dengan bijak adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Menghindari terlalu kenyang membantu mencegah berbagai masalah kesehatan yang terkait dengan konsumsi makanan berlebihan, seperti obesitas dan diabetes.Dalam al-Quran diterangkan : Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al-Qur’an, Al-A’raf :31)
  2. Mendukung Ibadah: Berhenti makan sebelum terlalu kenyang memungkinkan seseorang tetap aktif dan energik. Ini mendukung pelaksanaan ibadah dengan kualitas yang baik, menghindari rasa malas yang disebabkan oleh kekenyangan.
  3. Menghindari Pemborosan: Meninggalkan makanan berlebihan juga sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang menghindari pemborosan. Membuang makanan yang tidak dapat dikonsumsi adalah perbuatan yang tidak bijaksana dan tidak ramah lingkungan.Islam mengecam sifat yang boros dan menghambur-hamburkan makanan. Bahkan, perilaku boros itu dilekatkan sebagai perilaku setan. Dalam al-Quran dinyatakan: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Qur’an, Al-Isra 27).
  4. Biasakan berbagai: Jika ada sisa makanan, lebih baik untuk menyimpannya atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Berbagi makanan dengan mereka yang kurang beruntung adalah tindakan yang baik dan mencerminkan nilai-nilai kedermawanan dalam Islam.

Islam mengajarkan bahwa makan dengan bijak adalah tindakan yang bijak, memperhatikan nilai kesehatan dan spiritual. Makan dengan porsi yang wajar dan berhenti sebelum terlalu kenyang mendukung kesehatan tubuh dan kejernihan mental. Terlalu kenyang dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif pada tubuh dan kesehatan.

Oleh karena itu, penting untuk mengikuti ajaran agama ini dan berhenti makan ketika kita merasa cukup. Selain menghormati ajaran agama, ini juga membantu kita menjaga kesehatan tubuh, mencegah pemborosan makanan, dan mendukung ibadah yang lebih baik.

Dalam Islam, tindakan kecil seperti berhenti makan sebelum kenyang dapat menjadi bagian dari pengabdian yang lebih besar kepada Allah, yang mencakup menjaga diri dan kesehatan kita. Dengan demikian, makan dengan bijak adalah tindakan yang mendukung keseimbangan antara spiritualitas dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.

ISLAMKAFFAH

Fitrah ‘Ubudiyah

Allah tidak menciptakan manusia begitu saja tanpa tujuan sebagaimana yang dianggap sebagian orang. Akan tetapi, seorang yang beriman mengetahui bahwa mereka diciptakan dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an Al-Karim,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ubudiyah atau beribadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling utama bagi seorang hamba kepada-Nya dengan terus merendahkan dan menyandarkan diri  di hadapan Sang Rabb. Bahkan, penghambaan ini sudah Allah jadikan sebagai fitrah yang melekat di jiwa setiap insan. Kebutuhan ia kepada Sang Penciptanya tidak bisa dipisahkan dari sang hamba. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

ۚفِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

(Sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” (QS  Ar- Rum: 30)

Di dalam Tafsir Ath-Thabari, seorang ulama bernama Ibnu Zaid menafsirkan bahwa maksud dari fitrah dalam ayat tersebut adalah Al-Islam. Maksudnya, sifat dasar manusia adalah senang, selalu merendah, dan berserah diri di hadapan Allah.

Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan “dilahirkan dalam fitrah” adalah keadaan asal saat manusia diciptakan. Yaitu, kebutuhan seorang hamba dalam ber-‘ubudiah kepada Allah, sekalipun hamba tersebut mudah berpaling, angkuh, dan menjauh dari Allah dengan ujian yang Ia berikan kepada hamba tersebut, seperti memiliki jabatan, kekuatan, keahlian, harta melimpah, kesehatan yang sempurna, dan yang lainnya. Pasti di suatu titik ketika ia menghadapi suatu masalah kesulitan dan kesempitan, ia akan kembali kepada Allah dengan ber-taqarrub, merendah di hadapan Sang Khaliq, bermunajat memohon keselamatan, dan penjagaan dari-Nya. Karena itulah fitrah yang telah Allah tanamkan pada hati setiap manusia. Sedangkan apa yang ia miliki tidak lagi ada manfaatnya dan ia pun akan merasa menjadi seorang hamba yang lemah.

Mari kita perhatikan firman Allah Ta’ala yang menjelaskan tentang keadaan manusia ketika mereka mendapatkan kesenangan dan ketika mendapatkan musibah. Firman Allah tersebut berbunyi,

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا كُنتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik. Dan mereka bergembira karenanya. Datanglah angin badai. Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’” (QS. Yunus: 22)

Maka, tak heran para ulama mengatakan bahwa berbagai macam ujian dan permasalahan yang Allah berikan kepada seorang hamba, tidak lain dan tidak bukan merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk hamba-Nya. Karena dengan itulah, hamba tersebut akan kembali dan menghambakan diri kepada-Nya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ

Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Anam: 42)

Ujian adalah cara Allah untuk mengembalikan seorang hamba kepada fitrah yang telah Allah tanamkan dan mengembalikan hakikat diri mereka yang lemah, tidak memiliki daya maupun upaya tanpa pertolongan Allah. Dengan itu, ia akan kembali kepada kefitrahannya dengan selalu merasa butuh, bersandar kepada Rabb yang Mahakuasa atas segala sesuatu, Rabb yang Mahaagung, Rabb yang mampu menjauhkan dari berbagai macam mara bahaya. Dan menjadikan ia lebih yakin dengan firman Allah,

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ

Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 2)

Dan juga firman Allah,

لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 2)

Ketika keimanan menancap di dalam sanubari seorang muslim, maka ia akan selalu menyandarkan dirinya kepada Allah. Mari kita lihat bagaimana keimanan dan bersandarnya para hamba Allah kepada Rabb mereka.

وَاُفَوِّضُ اَمْرِيْٓ اِلَى اللّٰهِ

Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah.” (QS. Gafir: 44)

Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan seorang hamba, kecuali ketika hamba tersebut memahami atas hakikat dirinya dan keagungan Allah. Sehingga tidak ada rasa khawatir dan tidak ada rasa sedih di dalam menjalani kehidupan dunia.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Sebaliknya ketika hamba diuji oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kemewahan, kemudahan, kelapangan harta, jabatan, dan dunia, ternyata banyak di antara mereka yang menjadi hamba Allah yang sombong, angkuh, jumawa, tidak mengetahui hakikat dirinya dan hakikat ‘ubudiyah kepada Allah, sehingga mereka pun semakin jauh dari Allah.

Bahkan, tidak sedikit dari mereka akan senantiasa dihantui dengan rasa khawatir dengan masa depan. Hati mereka sering merasa sempit dan sulit untuk menerima kebaikan, walaupun harta mereka melimpah ruah sebanyak harta Karun. Karena sesungguhnya harta tidak akan membawakan dia kepada sebuah kebahagiaan yang hakiki. Wallahu ‘alam bish-shawab

***

Dirangkum dan disusun di Pesantren Gratis Klaten, 28 September 2023.

Penulis: Agung Argiyansyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88587-fitrah-ubudiyah.html

Asal Usul Gaza di Palestina

Nama Gaza atau Gaza Hashem (Gaza al-Hashem) untuk menghormati Hasyim bin Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad , tokoh penting dalam sejarah Makkah, nenek moyang Nabi Muhammad

GAZA bukan bukan sebuah kota yang baru dibangun. Ia adalah kota tua dengan nama yang juga sudah sangat dikenal sejak dulu. Gaza ditinggali mulai 15 SM.

Gaza sebagaimana  Palestina juga memiliki sejarah nama, kalau kata Palestina dalam Al-Maudhu berasal dari kata “Philistia” (dalam bahasa Inggris: Philistia), yaitu kata yang diberikan oleh para penulis Yunani kepada bangsa Palestina yang menguasai tanah ini pada abad ke-12 SM, yang terletak di pantai selatan antara Jaffa dan Gaza.

Pada abad kelima SM ketika sejarawan Herodotus menggunakan kata “Palaistina” untuk merujuk pada jalur pantai yang dihuni oleh orang Filistin.

Bagaimana dengan Kata Gaza?

Gaza atau Gazza dinamakan Gaza berdasarkan beberapa teori dan interpretasi. Salah satu teori menyebutkan bahwa Gaza  berasal kata gazzah  (منعة والقوة) yang berarti “kekuatan dan keberanian,” mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza kuat dan berani.

Ada juga yang mengatakan bahwa kata Gaza  memiliki arti “الثروة” yang berarti “kekayaan.” Beberapa sejarawan mengartikan Gaza sebagai “المميزة” atau “المختصة” untuk menunjukkan kedudukannya yang istimewa di antara tempat-tempat lain.

Nama Gaza telah berubah seiring berjalannya waktu dan berbagai peradaban yang pernah mendiami atau berinteraksi dengan wilayah tersebut. Misalnya, orang Ibrani menyebutnya “عزة” (Azza), orang Kanaan menyebutnya “هزاتي” (Hazati), dan orang Mesir menyebutnya “غزاتو” (Gazato).

Selama masa kekuasaan Asyur dan Yunani, mereka menyebutnya “عزاتي” (Azati). Selama masa Perang Salib, namanya berubah menjadi “غادرز” (Gadara). Namun, nama Arab “غزة” (Gaza) tetap digunakan oleh orang Turki. (dalam Al-Wathan)

Selain itu, Gaza juga dikenal sebagai tempat yang makmur, terutama dalam perdagangan wewangian, karavan, dan rempah-rempah. Karena perdagangan ini, Gaza dikenal sebagai “سيدة البخور” atau “Nyonya Wewangian.”

Selain itu, wilayah ini dinamakan Gaza Hashem (Gaza al-Hashem) untuk menghormati Hasyim bin Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad ﷺ. Hasyim adalah tokoh penting dalam sejarah Makkah dan merupakan nenek moyang Nabi Muhammad.

Dan perlu diingat bahwa nama Gaza telah berubah sepanjang sejarahnya dan mungkin tidak ada penjelasan tunggal yang sepenuhnya memahami asal-usul nama ini.

****

Sejarah panjang, tentang Gaza terlalu panjang diurai, sedikit yang penulis ambil dari Al-Wathan dalam Nubdzah-nya. Gaza, sebuah kota yang bersejarah, telah memainkan peran penting dalam berbagai periode sejarah, termasuk selama pemerintahan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman).

Gaza adalah wilayah administratif yang dikenal sebagai “sancak” atau “liwa” di wilayah Syam, dan pada waktu tertentu, ia tergabung dalam wilayah pemerintahan Sidon dan kemudian Yerusalem (Baitul Maqdis).

Pada akhir abad ke-18, setelah kampanye Prancis yang sukses di Mesir pada tahun 1798, perhatian Napoleon Bonaparte beralih ke Palestina. Pada tahun 1799, Napoleon melakukan ekspedisi menuju Gaza, yang pada saat itu merupakan pusat penting dalam aspek militer dan ekonomi.

Napoleon menggambarkan Gaza sebagai “pos perbatasan utama ke Afrika dan pintu ke Asia.” Pada tanggal 24 Februari 1799, pasukan Prancis berhasil merebut Gaza, namun karena berbagai kesulitan, resistensi, dan wabah penyakit, Napoleon terpaksa mundur dari seluruh kota di wilayah Syam.

Pada tahun 1831, Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir, mengirim ekspedisi militer ke Palestina yang dipimpin oleh putranya, Ibrahim Pasha. Gaza jatuh tanpa perlawanan yang berarti, tetapi akibat masalah internal, pasukan Mesir terpaksa mundur pada tanggal 19 Februari 1841.

Ketika Perang Dunia I pecah, Gaza, seperti sebagian besar Palestina, menjadi medan pertempuran. Pasukan Inggris mencoba untuk merebut kota ini, tetapi mereka gagal dalam dua pertempuran awal pada tahun 1917.

Akhirnya, dalam pertempuran ketiga yang berlangsung selama enam hari, Pasukan Salib dari Inggris di bawah pimpinan Lord Allenby berhasil merebut Gaza pada tanggal 7 Oktober 1917. Pada saat itu, Gaza telah menjadi tujuan penting dalam sejarah militer.

Setelah Perang Dunia I, Gaza tetap di bawah kendali Kesultanan Utsmani (Ottoman) hingga berakhirnya perang. Namun, peranannya sebagai pusat ketegangan dan perubahan kepemilikan terus berlanjut.

Kemudian, di tahun 1948, ketika Palestina mengalami tragedi Nakba, Gaza jatuh di bawah pemerintahan Mesir. Status ini berlangsung hingga tahun 1967, ketika ‘Israel’ merebut Gaza dan sebagian besar wilayah Palestina selama Perang Enam Hari.

Sejak itu, Gaza telah menjadi saksi perubahan politik dan perjalanan sejarah yang sulit. Pada tahun 1993, berdasarkan Kesepakatan Oslo, Palestina mendirikan Otoritas Palestina, yang memulihkan beberapa bentuk kedaulatan di wilayah tersebut.

Sejarah Gaza adalah kisah perubahan yang terus berlanjut, perjuangan, dan perebutan kekuasaan selama berabad-abad, mencerminkan kompleksitas sejarah Timur Tengah yang begitu kaya dan beragam.

Kini, Gaza mengalirkan darah hitam dan coklat! Mari kita doakan.*/ Dr. Halimi Zuhdy, Malang-Jakarta, 18 Okt 2023

HIDAYATULLAH

Pesan Syekh Ali Jum’ah; Korban Syahid Palestina adalah Ahli Surga

Syekh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir, adalah salah satu ulama terkemuka yang aktif menyuarakan dukungannya untuk Palestina. Dalam berbagai kesempatan, ia menyampaikan pesan-pesan tentang Palestina. Nah berikut Pesan Syekh Ali Jum’ah bahwa korban syahid Palestina adalah ahli surga.

Siapa yang tidak kenal Ali Jum’ah Muhammad Abdul Wahhab (atau yang akrab di sapa Syekh Ali Jum’ah). Ia adalah pemikir dan salah satu ulama yang produktif dalam penyusunan kitab maupun karya ilmiahnya. Puluhan kitab telah terbit dan sukses menjadi referensi keilmuan dan bacaan-bacaan untuk umat Islam seluruh dunia.

Beberapa kitab-kitab yang telah ditulis olehnya adalah Al-Hukm al-Syar’i Inda al-Usuliyyin, Al-Madkhal ila Dirasat al-Madhahib al-Fiqhiyyah, Al-Mar’ah fi Hadarah al-Islamiyyah, Al-Kalimu al-Tayyib (Fatawa Asriyyah) dan karya-karya lainnya. Bukan hanya karya, ia memiliki perpustakaan seluas 6 apartemen dimana jumlah kitabnya telah mencapai dan lebih dari 80.000 judul kitab.

Sebagai seorang ilmuwan yang terkemuka, beliau juga turut menyertai pelbagai seminar setempat dan antarabangsa dalam membincangkan pelbagai isu Islam semasa.

Itu sebabnya, tak heran jika banyak karya ilmiahnya telah dihasilkan. Seperti, Al-Raqabah al-Syar’iyyah; Musykilatuha wa Turq Tatwiruha, adalah karya ilmiah untuk Muktamar keempat di India. Kemudian, Huquq al-Insaniyah min Khilal Huquq al-Akwan fi al-Islam, untuk Muassasah Nayf.

Menurut Syaikh Muawwad Ibrahim, Syaikh Ali Jum’ah adalah ulama faqih (pemahaman agamanya luas) pada masa ini, dan seorang mufti di negeri kinanah Mesir. Sementara menurut Prof. Ahmad Umar Hasyim, beliau adalah ulama langkah yang hanya muncul sekali dalam sejarah pada jangka waktu yang lama.

Beberapa kali pernah safari dakwah ke Indonesia. Kemaren, tanggal 8 Oktober 2023 bertempat di Yogyakarta, Syaikh Ali Jum’ah menyampaikan tausiyah dalam acara Maulid Nabi di Ndalem An-Nadwah, kediaman Habib Hilal Al-Aidid. Bahkan, Syaikh Ali Jum’ah juga menyampaikan rasa senangnya bisa berkunjung ke Indonesia. Tentu saja, kedatangan Syaikh Ali Jum’ah di acara Maulid Nabi di Ndalem An-Nadwah itu menjadi kesempatan yang sangat istimewa dan luar biasa.

Yang tidak kalah pentingnya untuk dicatat adalah, karena pemikiran bernas nasionalisme dan moderatismenya sangat kuat, tak jarang beliau mendapatkan aksi-aksi teror. Tak sedikit dari mereka kelompok Ikhwanul Muslimin menganggap racun dan sengaja mendistorsi fatwa-fatwanya. Bahkan, beliau pernah mendapat upaya pembunuhan di depan Masjid Al-Fadhl pada 6 Oktober City pada 2016, meskipun gagal tereksekusi.

Sekalipun sering mendapatkan ancaman, akan tetapi beliau sama sekali sedikutpun tidak pernah merasa takut dan gentar. Alih-alih takut, justru sampai sekarang sikap nasionalismenya masih tetap berlanjut. Beliau tidak peduli terhadap caci-maki para kaum-kaum ekstremis. Saat masa kampanye beliau pernah berpesan, “Bentengi dirimu melawan kebohongan tentara bayaran setan.”

Pesan Syekh Ali Jum’ah terkait Palestina

Pesan pertama, untuk para ibu-ibu di Palestina yang anaknya syahid (mati sahid), engkau adalah ahli surga. Semuanya anak-anak yang syahid akan membawa ayah dan ibu-ibunya untuk masuk ke dalam surga. Maka, bersabarlah, kokohlah, sehingga sampai pertolongan Allah Swt. datang kepada kalian semua.

Pesan kedua, untuk pemerintahan Israel, bahwa negaramu tidak akan berlangsung lama (hancur). Sebab, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Negaramu sudah tua-rentah dan sebentar lagi akan luluh-lantah. Sekarang waktunya kalian untuk pergi karena kalian sudah terkena penyakit pikun.

Pesan ketiga, untuk tentara Mesir dan Barat, kalian beserta keluarganya adalah tentara yang selalu digadang-gadangkan oleh Rasulullah Saw. Maka, peranglah karena kalian sudah diperangi. Sebagaimana pesan al-Qur’an:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190).

Di ayat yang lain, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216).

Akan tetapi, lanjut Syaikh Ali Jum’ah sembari mengutip ayat al-Qur’an: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condong lah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Pesan keempat, untuk alam semesta. Saya ingin agar supaya dicari perbedaan tentang apa yang dilakukan Zionisme Israel di Palestina dengan Zionisme Hitler. Dan empat pesan ini aku pasrahkan kepada Presiden Mesir yaitu, Abdul Fattah As-Sisi untuk segera menindak lanjuti demi keamanan rakyat Mesir dan tegaknya keamanan Palestina.

Demikian penjelasan terkait pesan Syekh Ali Jum’ah bahwa korban syahid Palestina adalah ahli surga. Untuk lebih jelasnya silahkan tonton video Youtube.

BINCANG SYARIAH

Hukum Sholat Pasien Berkateter Urin, Sahkah?

Bagaimana hukum sholat pasien berkateter urin, apakah sah? Kateter merupakan alat yang digunakan untuk mengosongkan kandung kemih yang berupa tabung yang dimasukkan melalui alat kelamin bagi penderita penyakit seperti retensi urin atau ketidakmampuan kandung kemih untuk mengeluarkan seluruh urin.

Ini disebabkan beberapa faktor, seperti pembesaran prostat, dan prosedural medis sebagaimana dilansir dari alodokter.com. Lantas bagaimana hukum sholat pasien seorang muslim yang terkena prosedural medis harus berkateter urin mengingat pemasangan kateter tidak bisa dibongkar pasang?
Untuk persoalan ini, LBM MWC NU Tanggulangin membahas problem ini pada tanggal 13 Oktober 2023 karena tuntutan masyarakat untuk pencerahan hukum terkait problem diatas.

Status Wudhu Pasien Berkateter

Pada dasarnya pembahasan sholat tidak bisa dilepaskan dari pembahasan bersuci khsusnya wudhu, karena syarat sah shalat yang sangat mengikat adalah suci dari hadats baik besar atau kecil dan suci dari najis baik yang ada di tubuh, baju, dan tempat.

Dalam problem kateter tentunya pasiennya tidak sebagaimana pasien normal, urin yang berada di tampungan kandung kemih akan langsung keluar melalui saluran tabung kateter menuju keplastik penanpung urin, dan tentunya hal ini tidak bisa dikendalikan oleh pasien sebagaimana mengendalikan hasrat ingin buang air kecil.

Mempertimbangkan kondisi demikian, maka status pasien berkateter termasuk dalam kategori da’im al-Hadats atau orang yang selalu berada dalam keadaan berhadats sebagaimana wanita mustahadzah, dan penderita penyakit beser kencing atau cepirit.

Terdapat tata cara tersendiri dalam wudhu da’imu al-Hadats sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Bakri dalam I’anatu al-Thalibin juz 1 halaman 47 sebagai berikut :

وحاصل ما يجب عليه – سواء كان مستحاضة أو سلسا – أن يغسل فرجه أولا عما فيه من النجاسة، ثم يحشوه بنحو قطنة – إلا إذا تأذى به أو كان صائما – وأن يعصبه بعد الحشو بخرقة إن لم يكفه الحشو لكثرة الدم، ثم يتوضأ أو يتيمم.

“Yang wajib dilakukan oleh penderita da’imu al-Hadats adalah pertama membersihkan kemaluannya dari najis, kemudian menyumpal dengan sesuatu seperti kapas -kecuali dia merasa sakit atau sedang berpuasa- kemudian ditutup dengan sesuatu seperti kain jika menyumpal dengan kapas tidak mencukupi karena terlalu banyak najis yang keluar, kemudian barulah berwudhu atau bertayammum (jika ada halangan untuk menggunakan air).”

Kasus kateter tentunya tidak sama dengan mustahadzah dan juga penderita beser, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mencopot kateter kemudian memasangnya kembali bisa menimbulkan bahaya yang nyata bagi pasien.

Tentunya catatan merasa kesakitan ketika menyumpal alat kelamin dengan kapas memberikan kefahaman bahwan hal ini tidak butuh dilakukan dalam kasus kateter, karena tidak memungkinkan untuk disumpal dengan kapas dan ditutup sebagaimana kasus beser dan istihadzah.

Untuk itu maka yang harus dilakukan adalah langsung berwudhu sebagaimana biasa dan tentunya harus melihat dulu bahwa tidak ada urin yang mengalir dari kandung kemih kepada saluran kateter menuju penampungannya

Hukum Sholat Pasien Berkateter Urin

Pada dasarnya kewajiban shalat tidak bisa terhalangi oleh sakit selama masih sadar dan bisa melakukan dalam keadaan yang memungkinkan, maka dari itu pasien berkateter tentunya masih diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu lima waktu setiap harinya dalam keadaan sebisa mungkin dan dengan sarana yang ada.

Pada dasarnya, sudah disinggung di atas tentang syarat keabsahan shalat harus suci juga dari najis yang menempel di tubuh, pakaian, dan tempat, dalam kasus pasien berkateter masih belum bisa menghadapi syarat ini dengan benar.

Pasien berkateter tentunya tidak bisa dikatakan suci dari najis karena kateternya sendiri menampung najis berupa urin yang mengalir dari kandung kemih  yang menempel dan bersambung dengan tubuh pasien, dan hal ini merupakan salah satu yang membatalkan shalat yakni bersambung dengan benda najis.  

Sebagaimana dalam Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah juz 2 halaman 14 sebagai berikut:

وَلَا يَجُوزُ لِنَحْوِ السَّلِسِ تَعْلِيقُ نَحْوِ قَارُورَةٍ لِيَقْطُرَ فِيهَا بَوْلُهُ مَثَلًا وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ بَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِهِ

“Tidak diperbolehkan bagi penderita beser untuk menggantungkan botol sebagai penampung urin yang keluar dari alat kelaminnya sedangkan dia dalam keadaan shalat, bahkan bisa membatalkan shalatnya”.

Memang problem ini sangat dilematis disatu sisi shalat fardhu masih dihukumi wajib, di sisi yang lain shalatnya jelas tidak sah karena ketersambungan tubuh dengan benda najis. Ketika terjado dilematika demikian, tentunya terdapat konsekuensi hukum tertentu terkait shalat tersebut dan tentunya sangat tidak bisa membatalkan kewajiban seseorang untuk shalat.

Namun, syariah memberikan kelonggaran dengan tatanan sholat li hurmatil waqti yakni shalat sebagaimana memungkinkan hanya untuk melakukan perintah agar tidak terkesan meninggalkan kewajiban shalat, dan tentunya akan di ulangi kembali shalat yang dilakukan pada masa berkateter dikemudian hari ketika sudah dinyatakan sembuh oleh dokter dan boleh untuk melepaskan kateter dari tubuhnya.  

Sebagaimana menurut al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz 3 halaman 136 sebagai berikut:

أما حكم المسألة فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب ان يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث ابي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال ” وإذا أمرتكم بشئ فاتوا منه ما استطتم ” رواه البخاري ومسلم

“Adapun hukum permasalahan ketika terdapat suatu najis yang tidak dimaafkan di tubuh seseorang dan dia kesulitan untuk menghilangkannya, maka dia wajib melakukan shalat dengan keadaan tersebut untuk menghormati waktu shalat yang masuk, sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda dan jika kalian diperintahkan untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim”.

Demikian jawaban terkait hukum sholat pasien berkateter urin, sahkah?  Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Istitha’ah Kesehatan Jadi Syarat Calon Peserta Haji Lakukan Pelunasan

Para calon peserta haji akan menjalani dua kali pemeriksaan.

Kementerian Agama menyatakan Istitha’ah (kemampuan) kesehatan bakal menjadi syarat bagi calon peserta ibadah haji dalam melakukan pelunasan biaya haji.

“Kita sepakat Istitha’ah akan menjadi syarat jamaah melakukan pelunasan,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (21/10/2023).

Syarat tersebut akan diterapkan setelah Kementerian Agama berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk pelaksanaan haji 1445 Hijriah/2024 Masehi.

Yaqut menjelaskan para calon peserta haji akan menjalani dua kali pemeriksaan. Tujuannya agar mereka mengetahui kondisi dini kesehatannya dan ada waktu untuk melakukan pemulihan.

Menurutnya, pemeriksaan pertama dilakukan pada awal November untuk mengetahui kondisi awal jamaah calon haji. Jika ada calon peserta haji yang memiliki penyakit tertentu, maka mereka punya waktu panjang untuk pemulihan.

“Cek kesehatan dilakukan dua kali. Jamaah yang kurang sehat direkomendasikan agar ada proses pemulihan. Pada pemeriksaan kedua, kalau sudah baik, berhak melunasi,” katanya.

Langkah tersebut diambil sebagai ikhtiar (usaha) agar kasus peserta ibadah haji sakit dan wafat di Saudi bisa ditekan.

Kemenag juga akan menggelar mudzakarah (pertukaran pikiran tentang suatu masalah) perhajian di Yogyakarta, 23-25 Oktober 2023. Mudzakarah antara lain akan membahas masalah syarat Istitha’ah kesehatan, diikuti oleh perwakilan ormas keagamaan dan praktisi kesehatan.

Sebelumnya, Indonesia mendapat tambahan 20 ribu kuota haji untuk tahun 2024, dari pertemuan bilateral yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman al-Saud.

Dalam pertemuan yang berlangsung di sela-sela KTT ASEAN-GCC di Riyadh, pada Jumat, Jokowi menyampaikan secara terus terang tentang panjangnya antrean haji di Indonesia dengan adanya jamaah yang bahkan harus menunggu hingga 47 tahun.

sumber : Antara

Takut Mati adalah Gangguan Jin?

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Kita takut atau tidak, kelak kita juga akan menghadapinya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Ali Imran: 185)

Dunia yang kita anggap sebagai tempat terindah dalam memperjuangkan mimpi ini, jelas-jelas ditegaskan oleh Allah ‘Azza Wajalla akan hancur juga. Dunia tempat kita mengangankan banyak hal, kelak juga akan binasa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bahkan menasihatkan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma agar hidup tak lebih dari seorang musafir,

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ أوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Hiduplah di dunia seperti orang asing atau musafir.” (HR. Bukhari no. 6416)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan ayat 185 dari surah Ali Imran,

هذه الآية الكريمة فيها التزهيد في الدنيا بفنائها ، وعدم بقائها ، وأنها متاع الغرور ، تفتن بزخرفها ، وتخدع بغرورها ، وتغر بمحاسنها ، ثم هي منتقِلة ، ومنتقَل عنها إلى دار القرار ، التي توفَّى فيها النفوس ما عملت في هذه الدار ، من خير وشرٍّ

Ayat yang mulia ini terdapat anjuran untuk bersikap zuhud terhadap urusan dunia, kefanaannya dan ketidakkekalannya. Bahwasanya dunia hanyalah tempat senda gurau belaka, yang gemerlapnya bisa menipu, yang gemerlapnya membuat banyak orang tersesat. Kemudian ia akan berpindah menuju negeri keabadian, yang semua makhluk bernyawa diberi balasan apapun yang mereka kerjakan di dunia, baik atau buruk.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 159)

Takut menghadapi kematian

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama menggambarkan bagaimana perbedaan kondisi orang mukmin seperti air yang mengalir dari teko dan orang munafik seperti kain basah yang dikaitkan dengan pengait besi. Mendengar ini tentu saja tak semua siap menghadapi kematian dan siapa di antara kita yang benar-benar siap dengannya?!

Namun, apakah kekhawatiran ini merupakan gangguan setan? Harus kita rinci terlebih dahulu.

Kekhawatiran atau ketakutan yang terpuji

Jika kekhawatiran atau ketakutan akan kematian tadi menjadikan seseorang lebih takut dalam melanggar perintah Allah ‘Azza Wajalla dan menjadikannya lebih taat kepada-Nya, maka kekhawatiran semisal ini tidaklah tercela. Kekhawatiran seperti ini dimiliki para salaf saleh. Hingga di akhir kehidupan mereka dipenuhi dengan tangisan, bukan karena takut dengan kematiannya, melainkan takut dengan apa yang akan menimpa mereka di hari kemudian.

‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sering menangis ketika datang ke pemakaman. Ketika ditanya alasan tangisan tersebut, beliau menjawab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

إنَّ القبرَ أوَّلُ مَنازلِ الآخرةِ ، فإن نجا منهُ ، فما بعدَهُ أيسرُ منهُ ، وإن لم يَنجُ منهُ ، فما بعدَهُ أشدُّ منهُ

“Sesungguhnya kubur ini adalah awal peristiwa akhirat. Siapa saja yang selamat di sana, maka setelahnya akan lebih mudah. Dan siapa saja yang tidak selamat, maka kondisi setelahnya akan lebih mengerikan.” (Shahih Ibnu Majah, no. 3461)

Bekal apa yang harus kita perbanyak untuk menghadapi kematian agar kita meninggal dengan tenang? Ketakwaan. Seorang penyair pernah mengatakan,

تزود من التقوى فإنك لا تدري إذا جن ليل هل تبقى إلى الفجر

“Berbekallah dengan ketakwaan! Karena engkau tidak tahu ketika malam menjelang, apakah engkau tetap bertahan hidup hingga fajar menyingsing.”

Ketakutan akan kematian yang tercela

Namun, ada juga kekhawatiran yang tercela ketika menyikapi kematian. Yaitu, kekhawatiran yang menjadikan pelakunya enggan untuk bangkit atau berbuat banyak ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla, atau berburuk sangka dengan Allah ‘Azza Wajalla, atau berputus asa dari ampunan Allah ‘Azza Wajalla. Kekhawatiran yang semisal ini sama sekali tidak bermanfaat bagi pelakunya. Bahkan, boleh jadi itu merupakan tanda gangguan setan. Apakah kita bisa menghindarinya? Dengan izin Allah, bisa.

Allah ‘Azza Wajalla menjelaskan dalam firman-Nya betapa lemahnya gangguan setan terhadap manusia,

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفاً

Sesungguhnya tipu daya setan teramat lemah.” (QS. An-Nisa: 76)

Di antara beberapa kiat agar kita terhindar dari was-was yang semisal ini adalah:

Pertama: Berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk.

Kedua: Banyak mengingat Allah dengan berzikir kepada-Nya, berupa zikir pagi-petang, zikir sebelum tidur, zikir ketika masuk kamar mandi, dan lain-lain.

Ketiga: Banyak membaca Al-Qur’an.

Keempat: Memperbanyak salat sunah, seperti salat malam.

Kelima: Memperbanyak amalan-amalan sunah, dan sebagainya.

Dengan sibuknya seorang hamba dalam ketaatan kepada Allah, Allah tidak akan membiarkan setan mengganggunya sama sekali. Ibnul Jauzi rahimahullahu mengatakan,

النفس اذا لم تشغلها بالطاعة شغلتك بالمعصية

“Jika jiwa ini tidak disibukkan dengan ketaatan, maka akan disibukkan dengan kemaksiatan.”

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88368-takut-mati-adalah-gangguan-jin.html

Syekh Abdurrauf As-Singkili : Ulama yang Pertama Kali Menerjemahkan Al-Quran Dalam Bahasa Melayu

Mengungkap Kehidupan dan Karya-karya Ulama Terkemuka dari Aceh

Dalam perjalanan sejarah panjang Indonesia, terdapat banyak tokoh dan ulama yang telah berkontribusi secara signifikan dalam membangun tradisi ilmiah dan agama di tanah air. Salah satu sosok ulama terkemuka yang lahir di Aceh adalah Syekh Abdurrauf As-Singkili.

Namanya mungkin belum begitu dikenal di kalangan masyarakat luas, tetapi peran beliau dalam sejarah penyebaran ilmu dan agama di Indonesia sangatlah penting. Artikel ini akan mengungkap kehidupan dan karya-karya ulama Aceh yang luar biasa ini.

Pendahuluan: Siapa Itu Syekh Abdurrauf As-Singkili?

Syekh Abdurrauf As-Singkili, nama lengkapnya Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili, adalah seorang ulama kelahiran Singkil, Aceh, pada tahun 1024 H atau sekitar tahun 1615 M. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai orang pertama yang berhasil menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu, yang pada saat itu menjadi lingua franca di nusantara.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah ulama pertama yang menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu.

Karya Terkenal: Tarjuman al Mustafid

Salah satu karya paling terkenal dari Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu dalam kitab tafsirnya yang dikenal sebagai “Tarjuman al Mustafid.” Pilihan bahasa Melayu dalam menerjemahkan Al-Quran dipengaruhi oleh fakta bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang luas digunakan dalam nusantara pada masa itu.

Ini juga disebabkan oleh pengaruh kuat Islam yang berkembang di wilayah tersebut, sehingga orang-orang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu yang menggunakan aksara Arab Melayu dalam penulisannya.

Tafsir Tarjuman al Mustafid merupakan langkah luar biasa dalam sejarah penyebaran dan pemahaman Al-Quran di Indonesia dan wilayah sekitarnya. Karya ini tidak hanya membantu memahami makna Al-Quran, tetapi juga mempromosikan pemahaman agama dan moralitas di kalangan masyarakat.

Pemikiran dan Pendidikan: Seorang Ulama Multitalenta

Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah sosok ulama yang luar biasa dan multitalenta. Bahkan sejak usia muda, beliau telah mulai belajar berbagai ilmu, termasuk ilmu-ilmu zahir seperti tata bahasa Arab, mantiq (logika), filsafat, hadis, fikih, membaca Al-Quran dan tafsir, ilmu tauhid, ilmu falak, geografi, sejarah, dan bahkan ilmu pengobatan. Dengan semangat kehausan akan pengetahuan, beliau mengejar berbagai bidang ilmu.

Namun, ketertarikan Syekh Abdurrauf As-Singkili tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu zahir. Beliau juga mendalami ilmu-ilmu batin seperti tasawwuf dan tarekat. Tarekat Syatariyah menjadi salah satu bagian penting dalam pemahaman spiritualitas beliau. Selain itu, beliau juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan tarekat Syatariyah di Indonesia, yang kemudian menyebar dari Aceh hingga ke Cirebon.

Perjalanan Ilmiah dan Pendidikan

Perjalanan ilmiah Syekh Abdurrauf As-Singkili terbilang sangat panjang dan melibatkan berbagai tempat, termasuk perjalanan ke wilayah Timur Tengah seperti Mekah dan Mesir. Di Mekah dan Mesir, beliau menghabiskan sekitar 19 tahun untuk mendalami ilmu agama. Beliau belajar dari berbagai ulama terkemuka, seperti Muhammad Al-Babili dan Muhammad al-Barzanji di Anatolia.

Selain itu, nama-nama ulama besar seperti Syekh Ibrahim bin Abdullah Jam’an, Syekh Ahmad Qusyasi, dan Syekh Ibrahim al-Kurani juga menjadi gurunya. Selama masa-masa inilah, Syekh Abdurrauf As-Singkili menyerap pengetahuan agama Islam yang mendalam dan beragam.

Karya-karya Lain

Selain Tarjuman al Mustafid, Syekh Abdurrauf As-Singkili juga menghasilkan beberapa karya lain yang juga memiliki dampak signifikan dalam tradisi keilmuan Islam di nusantara. Beberapa karyanya antara lain:

  1. Mir’at at-Thulab: Karya di bidang hukum Islam yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatudin.
  2. Mawa’iz al-Badi: Berisi nasihat tentang akhlak.
  3. Tabih al-Masyi: Memuat tentang ajaran tasawuf.
  4. Kifayatul Muhtajin: Berisi penjelasan konsep wahdaul wujud.

Karya-karya ini merupakan warisan berharga dari seorang ulama besar yang telah berjuang untuk penyebaran pengetahuan, agama, dan moralitas di wilayah Aceh dan nusantara secara luas.

Kehidupan dan Peninggalan

Syekh Abdurrauf As-Singkili lahir di Singkil, Aceh, dan wafat di Kuala Aceh, Aceh. Silsilah keluarganya dipercayai berasal dari Persia (Iran) yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan penting di pantai Sumatera Barat.

Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah contoh nyata bagaimana seorang individu dapat memiliki dampak yang besar dalam penyebaran pengetahuan dan agama. Ia tidak hanya seorang ulama, tetapi juga seorang pendidik, penulis, dan pemikir. Karyanya dalam menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu telah menjadi tonggak sejarah dalam pemahaman Al-Quran di Indonesia.

Pengabdian beliau dalam berbagai ilmu, baik yang bersifat zahir maupun batin, membantu membentuk tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Selain itu, perkenalannya dengan tarekat Syatariyah juga memberikan kontribusi penting dalam perkembangan tarekat ini di Indonesia.

Sekarang, ketika kita melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan agama di Indonesia, kita seharusnya tidak lupa akan sumbangan besar dari tokoh seperti Syekh Abdurrauf As-Singkili. Semangatnya untuk belajar dan menyebarkan pengetahuan merupakan warisan berharga yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya dalam upaya menjaga dan memperluas warisan keilmuan dan agama di Indonesia. Semoga kisah dan karya-karya ulama besar ini tetap diingat dan dihargai dalam sejarah bangsa.

ISLAMKAFFAH