MaasyaaAllah… Cantiknya Diriku!

Adakalanya kita melihat ke cermin akan indahnya wajah kita, mata, hidung, bibir, dan kulit yang mulus, dan membuat diri terkagum dengan keindahan tersebut. Ketahuilah wahai Saudari Muslimah, bahwa itu semua adalah anugerah dari Allah ta’ala. Sempurnanya penciptaan diri kita sebagai manusia adalah di antara tanda-tanda kebesaran Allah ta’ala.

Tanda-Tanda Kebesaran Allah

Syaikhul Islam At-Tamimi rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalaatsah, tentang bagaimana kita bisa mengenal Rabb kita adalah dengan ayat-ayatNya dan ciptaan-ciptaanNya. Allah ta’alaberfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Artinya:

“Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlahbersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yangmenciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(Q.S Fushshilat: 37)

Besarnya penciptaan matahari dan bulan, dan indahnya malam dan siang itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah ta’ala yang menciptakannya. Apalagi jika hanya wajah yang cantik nan rupawan, hidung, mata, dan bibir yang sempurna penciptaannya, maka hal ini sangatlah mudah di sisi Allah.  Maka dari itu, perlu kita renungi bahwa indahnya penciptaan manusia adalah bukti kebesaran Allah dan syukur kita pada kenikmatan ini haruslah kita sandarkan kepada Allah saja.

Dalam banyaknya harta yang mungkin disebabkan oleh usaha manusia, maka kita harus untuk menisbatkan hal itu semua kepada Allah. Di dalam surat Al-Kahfi ayat 39, Allah menceritakan tentang orang yang mempunyai kebun yang indah,

وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۙ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚاِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا

Artinya:

 “Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, “Mā syā’allāh, lā quwwata illā billāh” (sungguh, ini semua kehendak Allah. Tidak ada kekuatan apa pun kecuali dengan [pertolongan] Allah).(Q.S Al-Kahfi: 39)

As-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal, dan segala sesuatu yang diharapkan dari kebaikan akhirat itu lebih utama daripada apa yang ada di dunia yang orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.”

Bersyukur Atas Nikmat Allah

Maka dari itu, jangan lupa menyandarkan segala nikmat kepada Allah dengan syukur. Syukur tidaklah hanya pada hati, tapi harus juga diucapkan di lisan dan ditampakkan dengan perbuatan, yaitu dengan cara memanfaatkan nikmat tersebut untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Dalam hal ini, kecantikan tidaklah datang kecuali dari Allah dan di antara bentuk syukur adalah dengan merawatnya dan menjaganya dari pandangan-pandangan laki-laki yang bukan mahramnya karena ini adalah salah satu dari bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Milikilah Rasa Malu

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum (199) mengatakan. “Ketahuilah, bahwa rasa malu itu ada 2 macam:

Pertama: Rasa malu yang itu sudah menjadi tabi’at dan watak, tidak perlu diusahakan. Ini adalah anugerah dari Allah kepada hambaNya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحياء لا يأتي إلا بخير

Artinya:

“Rasa malu itu tidaklah memberikan sesuatu kecuali kebaikan.” (H.R Bukhori, No. 6117)

Karena rasa malu akan menahan pelakunya dari perbuatan yang buruk dan akan mendorong seseorang untuk mempunyai akhlak yang baik dan akan menghasilkan iman

Kedua: Rasa malu yang diusahakan. Rasa malu bisa diusahakan dari mengenal Allah ta’ala, keagunganNya, mendekat padaNya, mengetahui bahwa Allah itu dekat, dan ilmuNya meliputi para hambaNya. Allah-lah yang tahu tentang mata yang khianat dan apa yang ada di dalam dada. Inilah yang disebut dengan muroqobatullah. Ini adalah tujuan iman yang tertinggi, bahkan derajat ihsan yang tertinggi.”

Takjub akan Kecantikan Diri Sendiri

Adakalanya seorang wanita muslimah bercermin, maka dia takjub akan kecantikan dirinya, maka yang yang dilakukan adalah:

  1. Bersyukur, bahwa itu adalah nikmat dan anugerah dari Allah.
  2. Hiasi kecantikan tersebut dengan rasa malu dan menjaga kecantikan tersebut dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.
  3. Menjaga kecantikan tersebut dengan merawatnya dan mempersembahkan kecantikan tersebut hanya pada yang berhak semisal kepada suaminya.
  4. Tidak lupa untuk mendoakan keberkahan pada dirinya.

Karena bisa jadi penyakit ‘ain menimpa dirinya sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

وقد يعين الرجل نفسه

Artinya: “Terkadang seseorang bisa menimpakan ‘ain pada dirinya sendiri”

Maka, untuk mencegah hal tersebut, hendaknya seseorang itu memperbanyak doa keberkahan dan senantiasa bersyukur dan menyadari bahwa kecantikan itu murni anugerah dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأى أحدكم من نفسه أو ماله أو من أخيه ما يعجبه فليدع له بالبركة فإن العين حق

Artinya:

“Jika salah seorang kalian melihat sesuatu di dalam dirinya, atau hartanya, atau yang ada pada saudaranya yang membuatmu takjub, maka doakanlah ia dengan keberkahan. Karena sesungguhnya ‘ain itu nyata.” (HR. Al Hakim di dalam Al-Mustadrok No. 7706, sanadnya shahih)

Jika penyakit ‘ain sudah terlanjur menimpanya, maka hendaklah dia meruqyah dirinya sendiri dan berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya dan hilangnya dampak ‘ain pada dirinya.

Di dalam shahihain, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku untuk melakukan ruqyah karena ‘ain.”

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa:

أللهم حسنت خلقي فحسن خلقي

Artinya:

“Ya Allah, sebagaimana Engkau memperbagus rupa diriku, maka perbaguslah akhlakku.” (H.R Ibnu Hibban dalam Bulughul Maram No. 451)

Indahnya akhlak adalah sesuatu yang lebih penting untuk kita minta daripada indahnya jasad. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk meminta keindahan akhlak di atas keindahan jasad di dalam doa kita.

Penulis: Triani Pradinaputri

Referensi:

  1. Tafsir As-Sa’diy dalam http://quranapp.com/18/39-39
  2. Al-Ushuluts Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimiy
  3. Nashihatiy Lin Nisaa, Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah
  4. Fiqih Hasad, Syaikh Musthofa bin Al-’Adawiy
  5. https://dorar.net/h/cKaWCpqI
  6. https://dorar.net/h/SYHIojUa

Sumber: https://muslimah.or.id/17538-maasyaaallah-cantiknya-diriku.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Cara Mengobati Penyakit Ujub

Ujub adalah sifat yang mengagumi diri sendiri dan membanggakan diri sendiri atas kelebihan yang dimiliki. Sifat ini merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari oleh setiap muslim. Ujub dapat menyebabkan seseorang menjadi sombong dan riya, yang dapat menghalangi seseorang untuk meraih ridha Allah SWT. Nah berikut cara mengobati penyakit ujub. 

Dalam hidup, manusia akan dihadapkan dengan cobaan-cobaan yang diberikan oleh Allah Swt. Cobaan tersebut dapat berupa suatu hal yang positif menurut manusia atau bahkan hal versi negatif seperti halnya musibah. Terkadang, sebagai manusia kita tidak menyadari bahwa kenikmatan yang diberikan oleh Allah adalah sebuah cobaan untuk diri kita sendiri.

Berawal dari cobaan tersebut dapat dilihat, apakah kita dapat mengakui bahwa segala kenikmatan berasal dari Allah atau mengingkarinya. Jika kita lupa bahwa kenikmatan tersebut berasal dari Allah, dan memilih untuk membanggakan diri, maka itulah yang disebut dengan ujub.

Kita tahu, bahwa ujub adalah sebuah penyakit yang ada didalam hati seseorang. Ujub disini ketika seseorang melihat dirinya sendiri luar biasa dan ia ingin dihormati oleh semua orang. Orang yang memiliki sifat ujub ini melihat hina orang lain padahal setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan yang harusnya kita tidak melakukan ujub tersebut.

Orang yang memiliki sifat ujub jika ia diberikan nasehat, maka ia akan membangkang, keras kepala. Dan jika memberi nasehat, maka akan selalu bersikap kasar. Orang lain harus melihat lebih baik dari orang lain.

Menurut Al-Ghazali, berbangga diri atau ujub dapat menghambat datangnya pertolongan Allah, karena orang yang berbanga diri selalu merasa gelisah setiap saat. Berbangga diri atau ujub adalah penyakit dalam kehidupan manusia yang paling sering mendampingi manusia menjadi sombong dan takabur.

Dalam al-Qur’an Allah Swt. telah menyatakan bahwa kesombongan adalah kegagalan besar.

وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولً

Artinya: “Jangan sombong tentang Bumi. Anda pasti tidak akan pernah membelah bumi dan tidak akan pernah menyaingi ketinggian gunung.” (QS. Al-Isra’ [17]: 37).

Tak hanya itu, Al-Ghazali juga mengatakan bahwa ujub itu sangat membanggakan dirinya, kagum dan puas pada dirinya. Bahkan, saat mereka melakukan perbuatan yang tidak benar termasuk durhaka kepada Allah. Orang yang ujub akan mengira bahwa keberhasilan dan kesuksesannya disebabkan oleh usahanya, dan ia pun cenderung meninggalkan usaha kerasnya.

Orang yang mempunyai sifat ujub tertipu dengan dirinya sendiri dan pendapatnya sendiri. Ia akan merasa aman dari siksa Allah Swt. Bahkan, ia merasa mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan tidak akan mau mendengar nasihat dari orang lain.

Empat ciri-ciri penyakit ujub

Sekurang-kurangnya, ada empat ciri penyakit ujub. Pertama, berbangga diri (sombong). Orang yang memiliki sifat ujub adalah merasa puas dengan dirinya dan merasa paling sempurna, merasa tidak perlu bantuan orang lain, merasa mampu melakukan segala hal sendiri, dan juga mengagung-agungkan kelebihan yang dimilikinya untuk memamerkannya kepada orang lain agar dipuji orang lain.

Kedua, meremehkan dan menganggap kecil orang lain. Orang yang memiliki sifat ujub selalu menganggap remeh orang lain dan juga tidak peduli akan orang yang ada disekitarnya. Orang yang memiliki sifat ujub ini akan merasa angkuh ketika berjalan, dan berpenampilan seakan-akan orang lain lebih rendah dibandingkan dirinya. Jelasnya, tidak mempunyai tatakrama dan kasar ketika berbicara.

Ketiga, keras kepala. Orang yang memiliki sifat ujub mempunyai karakter yang keras dan cenderung akan lebih mendengarkan pendapatnya sendiri dan mengabaikan pendapat orang lain. Ia akan merasa dirinya paling benar. Dan, ketika diberi nasehat, maka akan membangkang dan kasar ketika memberi nasehat kepada orang lain.

Keempat, lemahnya iman kepada Allah Swt. Orang yang memiliki sifat ujub adalah orang yang lemah imannya kepada Allah karena ia merasa dirinya sempurna tanpa ketetapan dari Allah. Orang yang memiliki sifat ujub ketika beribadah demi mendapatkan pujian dan dilihat oleh orang lain, dan orang yang ujub adalah orang yang mengabaikan perintah Allah.

Penyebab ujub menurut Al-Ghazali 

Menurut Imam Al-Ghazali, ada delapan penyebab dari ujub. Pertama, ujub dikarenakan fisiknya. Contohnya seperti kecantikan, postur tubuh, kekuatan, keserasian bentuk, suara yang bagus, penampilan yang ganteng dan lainnya. Kedua, ujub dikarenakan kedigdayaan dan kekuatan. Ketiga, ujub dikarenakan intelektualitas, kecerdasan dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia.

Keempat, ujub dikarenakan nasab terhormat. Maka, sebagian mereka mengira akan selamat dengan kemuliaan nasab dan keturunannya serta keselamatan nenek moyangnya. Kelima, ujub dikarenakan nasab para penguasa yang dzalim dan para pendukung mereka, bukan nasab agama, dan ilmu ini merupakan puncak kebodohan.

Keenam, ujub dikarenakan banyaknya jumlah anak, keluarga, kerabat, pelayan, budak, pendukung dan pengikut. Ketujuh, ujub dikarenakan harta. Delapan, ujub dikarenakan pendapat yang salah.

Sementara itu, akibat dari sifat ujub adalah munculnya rasa sombong didiri, lupa akan dosa-dosa yang sudah diperbuat, ditolak amalnya, tertipu oleh amalannya sendiri, terus-menerus memuji-muji diri sendiri, selalu menganggap dirinya suci dan bebas dari segala kesalahan, pikirannya akan terkungkung, tidak suka mencari kemanfaatan ilmu, dan tidak suka mengajak musyawarah dan tidak suka bertanya pada siapa pun. Tentu saja, hal ini disebabkan karena ia merasa pintar dan malu dianggap bodoh oleh orang lain.

Lalu bagaimana cara mengobati ujub?

Syahdan, ujub, takabbur dan membanggaan diri merupakan penyakit yang tidak mudah disembuhkan. Penyakit tersebut dapat merusak dirinya dan manusia sekitarnya. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, terdapat pelbagai cara mengobati penyakit ujub, takabur dan membanggakan diri.

فإن رأيت صغيرا قلت: هذا لم يعص الله وأنا عصيته، فلا شك أنه خير مني

Artinya: “Jika engkau melihat anak kecil,  katakan (dalam hatimu): Anak ini tidak bermaksiat pada Allah,  sementara Aku bermaksiat pada-Nya. Maka,  tak diragukan bahwa dia lebih baik dariku.”

وإن رأيت كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلى، فلا شك أنه خير مني

Artinya: “Jika engkau melihat orang tua,  katakan (dalam hatimu): orang tua ini telah beribadah kepada Allah sebelumku. Maka, tak diragukan bahwa dia lebih baik dariku.”

Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an juga turut memberikan tips untuk memusnahkan penyakit ujub. Katanya:

وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْعُجْبِ: أَنْ يُذَكِّرَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَمْ يُحَصِّلْ مَا حَصَّلَ بِحَوْلِهِ وَقُوِّتِهِ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْجَبَ بِشَيْءٍ لَمْ يَخْتَرِعْهُ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ الله تَعَالَى

Artinya: “Cara menghilangkan kebanggaan ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya. Namun itu merupakan anugerah dari Allah Swt., dan tidak patut baginya untuk berbangga karena sesuatu yang tidak diciptakannya, semata-mata itu merupakan anugerah dari Allah Swt.” (At-Tibyan fi Adab Hamalati al-Qur’an, Dar el-Minhaj, halaman 70).” 

Demikian penjelasan terkait cara mengobati penyakit ujub. Dengan menerapkan cara-cara di atas, kita dapat mengobati penyakit ujub dan menjadi orang yang lebih rendah hati. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Perbedaan Pamer, Riya, Ujub, dan Sombong

Pertanyaan:

Apa perbedaan antara pamer, riya’, ujub dan sombong?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Ini adalah pertanyaan yang bagus, karena banyak sekali orang yang salah kaprah dalam memahami istilah-istilah di atas dan salah dalam menggunakannya.

  1. Pamer

Pamer dalam istilah syar’i disebut dengan al fakhr. Dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith, al fakhr didefinisikan:

تباهى بمالَهُ وْما لقومه من محاسنَ

“Berbangga dengan hartanya dan kelebihan yang dimiliki kaumnya”.

Pamer atau al fakhr itu biasanya dalam perkara duniawi. Seperti memamerkan harta, rumah yang bagus, pakaian yang bagus, mobil yang mewah, pamer makan di restoran mewah, dan semisalnya dalam rangka untuk berbangga. 

Sifat suka pamer adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ، كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS. At Takatsur 1-3).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap hamba yang sombong lagi fakhur (suka berbangga)” (QS. Luqman: 18).

Sifat suka pamer juga bertentangan dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Padahal kita diperintahkan untuk tawadhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu’ kecuali Allah akan tinggikan ia” (HR. Muslim, no.2588).

Dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’ (rendah hati) agar tidak ada seorang pun yang saling fakhr (berbangga diri) pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain” (HR. Muslim no. 2865).

  1. Riya’

Adapun riya’, adalah melakukan ibadah atau amalan shalih dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia. Para ulama mendefinisikan riya’,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain” (Lihat Al Muwafaqat karya Asy Syatibi [2/353], Ar Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55]).

Perbedaan riya’ dengan al fakhr (pamer) adalah riya‘ terjadi pada amalan shalih atau ibadah, sedangkan al fakhr (pamer) terjadi pada amalan duniawi. 

Orang yang pamer harta, pakaian bagus, makanan enak dan semisalnya tidak disebut melakukan riya’. Namun orang yang menampakkan sedekahnya agar dipuji, menampakkan shalat malamnya agar dipuji, memperbagus shalatnya agar dianggap ahli ibadah, inilah contoh-contoh orang yang melakukan riya’.

Riya’ dapat membatalkan pahala amalan shalih. Allah ta’ala berfirman:

قالَ اللهُ تعالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264).

Allah dan Rasul-Nya mencela pelaku riya’ dan mengabarkan bahwa riya’ termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan riya’ membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam niat ibadah. Allah ta’ala berfirman:

اِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa: 142).

Dari Mahmud bin Labid Al Anshari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ أخوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّركُ الأصغرُ: الرِّياءُ، يقولُ اللهُ يومَ القيامةِ إذا جَزَى النَّاسَ بأعمالِهم: اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاءٍ.

“Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik ashghar, yaitu riya’. Allah akan berkata di hari Kiamat ketika memberikan balasan kepada manusia atas amalan mereka: “Pergilah kalian kepada pihak-pihak yang kalian jadikan tujuan riya’ di dunia. Lihatlah apakah mereka bisa memberikan ganjaran kepada kalian hari ini?”” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 32).

  1.  Merasa Senang Setelah Beribadah 

Yang sering disalah-pahami dengan riya’ adalah jika seseorang merasa senang ketika dapat melaksanakan suatu ibadah. Jika seseorang berkata dalam hatinya, “Alhamdulillah saya bisa melaksanakan shalat tahajud”, “Alhamdulillah Allah beri saya taufik untuk sedekah”, “Alhamdulillah bisa hadir di majelis ilmu” dan semacamnya, tanpa bermaksud mencari pujian dari orang lain, maka ini perbuatan yang terpuji. Riya’ adalah jika ia menampakkan hal itu kepada orang-orang dan berharap mendapatkan pujian dari orang-orang.

Adapun merasa senang dengan ibadah, ini adalah hal yang dipuji oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (58)

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58).

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن سرَّتهُ حسنتُهُ وساءتْهُ سَيِّئتُهُ فذلِكم المؤمنُ

“Siapa yang merasa senang dengan kebaikan yang dilakukannya dan merasa gelisah dengan keburukan yang dilakukannya, maka itu tanda ia seorang Mukmin” (HR. At-Tirmidzi no. 2156, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Ujub 

Berbeda lagi dengan ujub. Ujub adalah merasa tinggi dan agung atas kelebihan yang dimiliki, dan menisbatkan itu semua kepada dirinya sendiri bukan kepada Allah. Al Ghazali rahimahullah mendefinisikan ujub:

العُجْب: هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها إلى المنعم

“Ujub adalah merasa agung ketika memiliki suatu nikmat dan bersandar kepadanya, namun lupa menisbatkannya kepada pemberinya (yaitu Allah)” (Ihya’ Ulumiddin, 3/371).

Orang yang ujub merasa bahwa nikmat dan kelebihan yang ia miliki itu karena dirinya sendiri dan atas usahanya. Ia lupa bahwa ia mendapatkan itu semua semata-mata karena kemurahan Allah ta’ala kepadanya. Maka ujub adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala sebutkan bahwa salah satu sebab kalahnya kaum Mukminin adalah karena ujub:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ 

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang” (QS. At-Taubah: 25).

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sifat ujub akan mendatangkan azab Allah dan juga besar dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

وبينا رجلٌ يَمشي في حُلَّةٍ قد أعجبَتْه نفسُه خسَف اللهُ به فهو يتجَلجَلُ فيها إلى يومِ القيامةِ

“Di antara kita ada lelaki yang berjalan menggunakan pakaian yang bagus, yang membuat ia ujub kepada dirinya. Lalu Allah tenggelamkan ia ke dalam bumi dan ia tergoncang-goncang di dalamnya sampai hari kiamat” (HR. Bukhari no.5789, Muslim no.2088).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لو لم تُذنِبوا لخشيتُ عليكم ما هو أكبرُ منه العُجبَ

“Andaikan kalian tidak berbuat dosa, aku khawatir kalian terjerumus dalam perkara yang lebih besar dari dosa yaitu ujub” (HR. Al Bazzar no.6936, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2921).

Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu juga mengatakan:

قال عمر رضي الله عنه: (أخوف ما أخاف عليكم أن تهلكوا فيه ثلاث خلال: شحٌّ مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه)

“Yang paling aku takutkan dari perkara yang bisa membinasakan kalian adalah tiga perkara: sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti dan ujub kepada diri sendiri” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 1/568).

Perbedaan ujub dengan merasa senang dengan ibadah adalah, orang yang ujub menisbatkan kenikmatan dan kelebihan yang ia miliki kepada dirinya. Ini adalah akhlak yang tercela. Adapun orang yang merasa senang ketika bisa menyelesaikan ibadah, ia menisbatkan keutamaan tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa karena taufik dari Allah lah, ia bisa menyelesaikan ibadah. Sehingga ini adalah akhlak terpuji sebagaimana telah dijelaskan.

  1. Sombong

Adapun sombong, telah didefinisikan maknanya oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri. Dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ قالَ رَجُلٌ: إنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا ونَعْلُهُ حَسَنَةً، قالَ: إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi”. Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, jika seseorang menyukai untuk menggunakan pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu kesombongan?”. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Allah ta’ala mencintai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain (HR. Muslim no.91).

Kesombongan adalah akhlak tercela. Allah ta’ala kabarkan bahwa kesombongan adalah perilaku iblis. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34).

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa orang yang sombong diancam tidak akan masuk Surga. Dalam hadits yang lain, dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

((ألا أخبركم بأهل الجنَّة؟ كل ضعيف متضاعف؛ لو أقسم على الله لأبرَّه، ألا أخبركم بأهل النَّار؟ كل عتلٍّ، جواظٍ مستكبرٍ)) 

“Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Yaitu orang-orang yang lemah dan dianggap lemah. Namun jika mereka meminta kepada Allah dengan bersumpah, Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni neraka? Yaitu orang-orang yang keras, kasar dan sombong” (HR. Bukhari no.4918, Muslim no.2853).

Maka kesombongan adalah akhlak yang tercela yang harus disingkirkan dari diri-diri kita. Wajib bagi kita untuk menerima kebenaran dan tidak menolaknya, serta wajib untuk tidak merendahkan orang lain. 

Namun apa bedanya ujub dengan sombong? Disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (15/395) :

قال أبو وهب المروزي: سألت ابن المبارك: ما الكبر؟ قال: «أنْ تزدري الناس». فسألته عن العجب؟ قال: «أنْ ترى أنَّ عندك شيئًا ليس عند غيرك، لا أعلم في المصلين شيئًا شرًا من العجب»

“Abu Wahab Al Marwazi bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Apa itu sombong?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sombong adalah merendahkan orang lain.”.

Al Marwazi berkata, “Lalu aku bertanya kepadanya tentang ujub.” Ibnul Mubarak menjawab, “Ujub adalah engkau merasa bahwa engkau memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Dan aku tidak mengetahui ada keburukan yang terjadi pada orang yang shalat, yang lebih bahaya dari ujub“.

Sebagian ulama mengatakan, ujub itu rukunnya dua: dirinya dan sesuatu yang dibanggakannya. Sedangkan sombong itu rukunnya tiga: dirinya, yang dibanggakannya, orang lain yang menjadi objek sombongnya. 

Maka seseorang bisa terjerumus dalam ujub dalam kesendirian, tidak harus ada orang lain. Sedangkan ketika seseorang ujub dan menampakkan kepada orang lain, itulah kesombongan.

Wallahu a’lamWalhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html

Trik Terhindar dari Sifat Ujub Menurut al-Ghazali

Adakah cara atau trik terhindar dari sifat ujub ? Ulama banyak membahas kalau sifat ujub (berbangga diri) merupakan salah satu penyakit hati. Seseorang yang terjangkit penyakit ini akan merasa mulia dan menganggap dirinya besar, sementara kepada orang lain cenderung ada rasa meremehkan dan merendahkan.

Al-Ghazali mengatakan bahwa buah dari penyakit ujub ini adalah banyaknya sifat keakuan. Aku lebih baik dari itu, aku begini, begitu dan lain sebagainya. Lebih lanjut al-Ghazali menuturkan bahwa sifat ujub mirip dengan sifat takabbur dalam hal definisi. Orang yang takabur merasa dongkol atau kesal saat diberi nasehat sementara kasar ketika memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain maka dialah orang yang sombong sejatinya

Lantas, bagaimana agar seseorang bisa terhindar dari sifat ujub ini? Berikut 5 trik terhindar dari sifat ujub menurut al-Ghazali yang dikutip dari kitabnya Bidayatu al-Hidayah (h.135-136),

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

Selayaknya ketahuilah olehmu bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah kelak di akhirat. Hal itu merupakan perkara yang ghaib (tidak diketahui) sehingga menunggu adanya kematian. Keyakinanmu bahwa dirimu lebih baik dari orang lain merupakan sebuah kebodohan. Sepantasnya engkau tidak memandang orang lain melainkan dengan pandangan bahwa ia ebih baik dari dirimu dan mempunyai kelebihan daripada dirimu.”

Secara gamblang, trik-trik agar seseorang terhidar dari sifat ujub, takabbur, atau berbangga diri tersebut adalah berikut ini,

  1. bila memandang anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah sementara engkau yang lebih tua darinya justru sebaliknya. Sehingga dengan demikian sudah jelas bahwa ia lebih baik darimu.
  2. Bila melihat orang lain yang lebih tua maka yakinlah bahwa dirinya lebih dulu beribadah kepada Allah, sehingga ia lebih baik dari dirimu.
  3. Bila orang lain tersebut berilmu maka yakinlah bahwa ia mendapatkan anugerah yag tidak engkau dapatkan, menjangkau apa yang belum engkau jangkau dan mengetahui apa yang tidak engkau tahu. Jika sudah demikian, bagaimana engkau bisa sepadan dengannya atau bahkan lebih unggul?
  4. Bila orang lain itu bodoh maka anggaplah bahwa ia melakukan maksiat dengan kebodohannya. Sementara engkau bermaksiat dengan berlandaskan ilmu. Inilah yang menjadi bukti penguat kelak di pengadilan akhirat.
  5. Bila orang lain itu kafir maka yakinlah bahwa kondisi akhir (kematian) seseorang tidak ada yang tahu. Bisa saja orang kafir itu masuk Islam sebelum mati dengan amalan baik (husnul khatimah). Sementara dirimu bisa jadi menjadi sesat dan menjadi kafir sebelum kematian menjemputmu, sehingga engaku meninggal dengan amalan buruk (su’ul khatimah)

Itulah kiat-kiat supaya seorang hamba bisa terhindar dari sifat ujub ataupun takabbur yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin.Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Riya adalah Penyakit Hati yang Harus Dihindari, Ini Ciri-cirinya

Riya adalah penyakit hati yang harus dihindari karena dapat merusak amal kebaikan. Dalam Al Quran disebutkan bahwa orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka.

Riya termasuk salah satu sifat orang munafik. Sifat ini bertentangan dengan sifat orang beriman yang senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatu. Orang yang berbuat riya tidak akan mendapat apapun atas kebaikan yang mereka kerjakan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 264 berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ – ٢٦٤

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264)




Berikut pengertian, ciri-ciri, dan cara menghindari riya,


A. Pengertian riya

Riya berasal dari bahasa Arab ra’a-yara-ruyan-wa ru’yatan yang artinya melihat. Menurut istilah riya adalah memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaannya baik ucapan, tulisan, sikap, maupun amal perbuatannya diketahui.

Riya juga dapat diartikan sebagai sikap ingin dipuji atau disanjung orang lain atas perbuatan yang telah dilakukan. Orang yang berbuat riya termasuk golongan orang yang celaka. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maun:

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ – ١ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ – ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ – ٣ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ – ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ – ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ – ٦ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ – ٧

Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al Maun: 1-7)


B. Ciri-ciri orang riya

Menurut Ali bin Abi Thalib, ciri-ciri orang riya terdapat dalam jiwa seseorang. Di antara ciri-ciri orang riya adalah malas jika seorang diri, giat jika di tengah-tengah orang banyak, tambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, dan berkurang frekuensi amalannya jika mendapat celaan.

Dikutip dari buku Akidah Akhlak untuk Madrasah Aliyah Kelas X oleh Aminudin dan Harjan Syuhada, ada enam jenis riya di dunia ini. Antara lain riya dengan perkataan, riya dengan amal perbuatan, riya dengan badan, riya dengan tingkah laku dan pakaian, riya dengan kepandaian, dan riya dengan banyak teman dan pergaulan.

C. Cara menghindari riya

Perbuatan riya sebagai salah satu penyakit hati dapat dihindari dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau muraqabah. Dalam buku Quran Hadits yang ditulis oleh Muhaemin dikatakan bahwa mendekatkan diri kepada Allah dan mengingat nama-Nya setiap saat akan menjadikan hati menjadi bersih.

Riya juga dapat dihindari dengan meluruskan niat melakukan segala sesuatu karena Allah SWT. Selain itu, berbuat sewajarnya dan tidak membicarakan perbuatan yang telah dilakukan juga dapat menjadi cara untuk menghindari munculnya penyakit hati ini.

Perbuatan riya dilarang dalam Islam. Bahkan, riya disebut termasuk dosa dari jenis syirik. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari perbuatan riya dan penyakit hati lainnya. Aamiin ya rabbal alamin.

DETIKHIKMAH

Hati-hati terhadap Ujub dan Riya’

“KEBAJIKAN apa pun yang kamu peroleh adalah dari Sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari kesalahan dirimu sendiri.” (QS. an-Nissa [4]: 79)

Jadi, pada suatu waktu, saya ditakdirkan berdakwah ke Singapura. Di sana disuguhi sejumlah makanan. Tapi hampir semua makanan itu merupakan pantangan. Yang tersisa hanya cumi-cumi kecil. Maka disantap lah terus cumi-cumi itu.Tanpa terasa sudah tidak bersisa. Tidak lama kemudian efeknya mulai terasa, dan ternyata asam urat.

Begitulah, saudaraku. Kalau kita tidak hati-hati, nafsu bisa mengendalikan. Seperti menghabiskan suguhan cumi-cumi sampai ke sisa-sisanya. Padahal, tanpa cumi-cumi itu saya bisa hidup seperti biasa. Tapi nafsu membuatnya hanya enak di lidah. Sedangkan sebagian anggota badan tidak bisa bergerak, sehingga harus diobati dokter.

Kemudian, saya berangkat menuju teman-teman marinir di Cilandak. Membicarakan tentang acara tabligh yang akan diadakan di sana. Setelah pembicaraan selesai, lalu teman-teman di sana mengajak, “Aa’, itu akan ada perlombaan menembak, ayo ikut!” Karena dulu memang pernah latihan menembak di sana, dan tembakannya dianggap jitu.Tapi anggapan jitu ini pula yang membuat lupa, sehingga ingin memperlihatkan. Meskipun dokter sudah berpesan agar hati-hati menjaga sakit yang baru mulai sembuh.

Dan benar. “Duar! Duar! Duar!”Tidak ada yang mengenai sasaran. Di samping menahan malu karena biasanya kena menjadi tidak kena, juga rasa sakit yang kambuh lagi. Mengganti baju tidak bisa, memegang sarung dan sikat gigi pun tidak memungkinkan. Itu hanya, maaf, disebabkan ingin memperlihatkan jitu yang dulu. Ternyata oleh Allah dibuat pelurunya ke mana-mana. Na’udzubillah.

Tapi yang pasti kena adalah hati,”Ya Allah, Mahasuci Engkau. Engkau Mahatahu niat yang tersembunyi. Engkau mengetahui hamba ini ada ujubnya, dan ingin pamer kemampuan. Tidak cocok dengan ceramah. Ampunilah hamba-Mu ini.”

Nah, hati-hatilah kalau ingin kemampuan kita diketahui orang lain, ujub dan riya’. Seperti menembak tadi. seandai mengenai sasaran pun tidak mengubah apa-apa. Karena saya juga bukan tentara.

Memang terkadang kita lupa dan ingin memperlihatkan siapa diri ini. Beruntunglah ketika itu diberi peringatan oleh Allah dengan tidak satu pun peluru yang mengenai sasaran.

Saudaraku. Mari kita ikhtiar bersama-sama menjaga hati. Mungkin di suatu waktu kita terlanjur ujub atau riya’. Tapi ketika sadar, harus langsung bertafakur tentang apa yang telah diperbuat. Tentang apa sebetulnya tujuan yang asli di hati kita? Misalnya yang menjadi imam salat Isya di masjid sebelum pengajian. Selesai mengimami bertanyalah pada hati, ‘Mengapa dan apa tujuan saya tadi membaca ayat ini? Apa karena ingin memamerkan hafalan serta kelembutan suara?” Atau, yang azan, “Mengapa tadi saya bersikeras ingin azan? Apa karena sedang ada mertua?’

Harus kita periksa supaya bisa bertemu kesalahannya. Lalu, bertobat. Dengan begitu nantinya kita bisa semakin peka. Ketika melakukan kesalahan serupa. maka bisa langsung ingat dan lebih berhati-hati. Jangan sampai sesudah kejadian kita malah merasa biasa saja. Jika tidak mengevaluasi diri dan tidak bertobat. maka ujub dan riya’ tidak akan berkurang.

Dengan hati yang semakin bersih dan peka nanti akan ada semacam ‘radar’ yang berbunyi di sekitar amal perbuatan kita. Kalau hati makin bersih nurani atau suara hati yang selalu jujur bisa berbisik “Hush riya’, ujub!” Yang menutupi suara hati adalah nafsu kita sendiri.Tapi kalau bisa menahan nafsu dan semakin hati menjadi bersih, nurani pun bisa semakin nyaring dan kuat pengaruhnya dalam diri ini.

Nah, mudah-mudahan seperti itu. Yang penting bagaimana hati ini bisa bersih. Kalau mau hati bersih, kita harus benar-benar serius mengupayakannya. Seperti cerita menembak yang tidak kena tadi, saya harapkan dapat menjadi bahan ulasan tema tulisan ini. Tetapi, bercerita begitu, secara halus bisa saja ada ujub dan riya’ nya. Karenanya, mari masing-masing lebih sering memeriksa hati kita dan bertafakur! [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Awas Foto Selfie Bikin Ujub ke Hati

RASULULLAH Shallallahu alaihi wa sallam melarang keras seseorang ujub terhadap dirinya. Bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 5452 dan dishaihkan al-Albani)

Di saat yang sama, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotivasi kita untuk menjadi hamba yang berusaha merahasiakan diri kebalikan dari menonjolkan diri. Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri. (HR. Muslim 7621).

Selfie, jeprat-jepret diri sendiri, sangat tidak sejalan dengan prinsip di atas. Terlebih umumnya orang yang melakukan selfie, tidak lepas dari perasaan ujub. Meskipun tidak semua orang yang selfie itu ujub, namun terkadang perasaan lebih sulit dikendalikan.

Karena itu, sebagai mukmin yang menyadari bahaya ujub, tidak selayaknya semacam ini dilakukan. Allahu alam.

 

INILAH MOZAIK

Awas! Selfie tidak Lepas dari Perasaan Ujub

RASULULLAH Shallallahu alaihi wa sallam melarang keras seseorang ujub (takabur/sombong) terhadap dirinya. Bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai dosa besar yang membinasakan pelakunya.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tiga dosa pembinasa: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 5452 dan dishaihkan al-Albani)

Di saat yang sama, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotivasi kita untuk menjadi hamba yang berusaha merahasiakan diri kebalikan dari menonjolkan diri. Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri. (HR. Muslim 7621).

Selfie, jeprat-jepret diri sendiri, sangat tidak sejalan dengan prinsip di atas. Terlebih umumnya orang yang melakukan selfie, tidak lepas dari perasaan ujub. Meskipun tidak semua orang yang selfie itu ujub, namun terkadang perasaan lebih sulit dikendalikan.

Karena itu, sebagai mukmin yang menyadari bahaya ujub, tidak selayaknya semacam ini dilakukan. Allahu alam

 

INILAH MOZAIK

Waspadai Bahaya Ujub

Subhanallah. Sungguh hanya Allah yang Mahasuci. Selain-Nya, pasti berbintik noda, kotor, hitam, pekat, dan legam. Terjerumus pada dosa bahkan terjerembap pada jejaring maksiat halus, seperti merasa dirinya paling saleh, paling dermawan, paling benar jihadnya, paling taat, dan paling bersih.

Tiada godaan terhebat dari seorang yang sukses rezekinya, jabatannya, popularitasnya, ilmunya, dan keturunannya kecuali bangga dan kagum pada dirinya sendiri. Merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling suci. Dan sungguh, inilah penyakit hati orang sukses termasuk tentu “si penulis” ini. Begini-begitu kan kesannya saja. Padahal aib dan kekurangan seabrek-abrek. Untungnya saja, aib kita semua masih ditutupi Allah. Kalau dibuka, pasti sangat malu dan hina.

“Jangan kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS al-Qashash:76).  “Maka jangan kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) paling mengetahui orang yang bertakwa.” (QS an-Najm:32). Rasulullah mengingatkan dengan mengulang sampai tiga kali, “Takutlah kalian pada al-Uzba”, yaitu bangga dan kagum pada diri sendiri.

Ketika Rasulullah SAW mengingatkan dengan sabdanya tersebut, di hadapan beliau adalah para sahabat yang mulia. Mereka saleh-saleh dan para penghapal Alquran. Karena itu, dosa ujub boleh jadi jebakan dan jerat halus, tapi mematikan bagi para pelakunya, yang kebanyakan dari kalangan orang-orang hebat. Dosa ujub ini lebih halus dari langkah semut.

Bisa jadi kesannya tawadhu, tetapi di hati ingin dipuji. Sangat marah jika dihina ternyata karena berharap dipuji. Inilah Dho’ful aqli wal-iimaani, tanda lemahnya akal dan iman. Padahal jelas sangat rugi, sudah capek-capek beramal, tapi hancur karena ujub.

Karena itu sahabatku, seringlah duduk di majelis ilmu dan zikir. Saat  menengadah dan menatap wajah guru, rontoklah kebanggaan diri. Duduklah bersama fakir miskin, yatim piatu, orang-orang susah, ziarahilah kuburan, perkuat puasa sunah, tadaburkan Alquran, perhebat istighfar, dan selalu harus sempatkan diri secara khusus muhasabah diri selesai shalat malam, “Siapa aku, dari mana, di mana, dan mau ke mana akhirnya aku?”

Sungguh tidak pantas bangga diri kecuali hanya Allah yang Mahasuci dan Terpuji. “Tiga hal yang membinasakan; kekikiran yang  diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR Thabrani).

Sifat ujub membawa akibat buruk dan menjerat kepada kehancuran, baik bagi pelakunya maupun bagi amal perbuatannya. Di antara dampak dari sifat ujub tersebut adalah membatalkan pahala. Seseorang yang merasa ujub dengan amal kebajikannya, pahalanya akan gugur dan amalannya menguap karena Allah tidak akan menerima amalan kebajikan sedikit pun, kecuali dengan ikhlas karena-Nya.

Allahumma ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang Kau ridhai, minal mukhlishiin. Berilah kami rezeki teragung, yaitu sifat ikhlas dan bersihkan hati kami dari riya, sum’ah, ujub, dan semua penyakit hati. Aamiin.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

sumber: Republika ONline