Refleksi Lembaga Dakwah Islam sebagai Solusi Problematika Pemuda Saat Ini

Problematika dan isu di kalangan pemuda sosial di Indonesia selalu ramai diperbincangkan hingga saat ini khususnya mengenai gaya hidup dan kesejahteraan atau kemandirian finansial. Hal ini tidak terlepas dari masih banyaknya keberagaman latar belakang problematika masyarakat, baik dari etnis, agama, cara pandang kehidupan, latar belakang pendidikan, dan sosial. Dari adanya hal tersebut menjadi sebab masyarakat indonesia menghadapi berbagai macam masalah kesejahteraan sosial yang berpengaruh pada segi dan tingkatan ketakwaan seseorang.

Dalam satu dasawarsa terakhir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di negara kita. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah menarik perhatian semua orang tentang apa yang terjadi di negara yang terkenal kedamaian dan keamanannya ini. Berbagai konflik sosial yang terjadi merupakan bagian dari a dinamic change. Hal ini sebagai suatu penyebab sifat positif telah berubah menjadi negatif dan menimbulkan berbagai masalah dalam masyarakat.

Eskalasi konflik dan problematika hidup yang kian bertambah, berdampak pada berkembangnya konflik yang tidak hanya horizontal akan tetapi juga vertikal. Hal demikian menjadi pertanyaan besar bagi kebanyakan masyarakat di indonesia dalam mencari penyebab dan solusi dari semua ini. Kerumitan dalam mengurai penyebab dan latar belakang adanya konflik yang seakan muncul dengan berurutan tanpa kenal waktu merebak di hampir semua tempat di tanah air. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menemukan formula jitu untuk mencari solusi dan obat penawar.

Adanya bentuk, jenis, dan eskalasi konflik, serta problematika yang beragam, beragam pula faktor penyebab dan faktor pemantiknya. Adanya konflik di dalam masyarakat dapat disebabkan karena adanya faktor kepentingan, faktor agama, faktor sosial, faktor politik, pendidikan, kesehatan, faktor ekonomi, budaya, etnis, dan ideologis. Hanya saja, faktor agama, ekonomi, dan politik sering dianggap sebagai faktor yang dominan dibanding dengan dua faktor yang disebutkan terakhir. Hal tersebut terlihat di lapangan bahwa konflik yang sering terjadi di lapangan kerap menggunakan pendekatan dan membawa simbol-simbol agama.

Seperti contoh adanya pembubaran pengajian, lalu perusakan tempat peribadatan, penyerangan dan amuk masa, atau bahkan pembunuhan terhadap penganut agama tertentu. Namun, jika dikaji lebih dalam dan dianalisis kembali bahwasanya konflik etnis, agama, dan ideologi ternyata hanyalah menjadi faktor yang mengikuti atau mengekor dari adanya penyebab konflik yang lebih masif dan kompleks dengan membawa latar belakang kesenjangan sosial, kesenjangan kesejahteraan, ekonomi, dan politik.

Meskipun adanya hal demikian, tidak ada salahnya jika kemudian teramat penting konflik yang terjadi dikarenakan faktor etnis, agama, dan ideologis bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukan langkah dan cara dalam menyelesaikan masalah secara efektif bagi penghayatan, pengamalan dan kebebasan dalam menjalankan sebuah ibadah sekaligus merdeka dalam menjalankannya dan menyebarkan ajaran agama Islam di tengah masyarakat Indonesia. Dasar aliran atau golongan agama Islam yang dibagi menjadi berbagai golongan, ada sekurangnya 73 golongan yang telah disampaikan oleh perawi hadis berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Muhammad shallallahi ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.’[1]

Dari kausalitas (sebab akibat) di atas menjadi satu alasan mengapa kemudian penting belajar agama yang syar’i dan sesuai sunah. Sebagai salah satu cara, yakni dengan mengikuti dan aktif dalam forum komunitas dakwah atau ikut serta dalam agenda lembaga yang bergerak dalam menghimpun dan berusaha berdakwah dalam hal kebaikan dan kebenaran. Lembaga dakwah itu sendiri tidak hanya menaruh perhatian terhadap dakwah untuk kalangan orang yang sudah paham, akan tetapi boleh diakses siapa saja termasuk di dalamnya pemuda, semisal mahasiswa yang ada di kampus dalam memberikan perluasan makna dalam gerak dakwahnya di kalangan pemuda. Memulai dari hal sederhana yang bisa dijalankan bersama dengan berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda sehingga menghadirkan kebaikan dan solusi keumatan melalui dakwah inklusif di berbagai kalangan umat muslim, baik kalangan pemuda saat ini atau masyarakat pada umumnya. Yakni, berkolaborasi dengan berbagai lembaga dakwah Islam dan organisasi dakwah baik di internal kampus ataupun lembaga dakwah Islam yang ada di lingkungan masyarakat.

Di tengah dinamika Lembaga Dakwah yang sangat komplek dan banyak muncul lembaga dakwah di Indonesia. Lembaga Dakwah di Kampus atau yang banyak di kalangan masyarakat secara langsung terlibat dalam membantu mengatasi masalah problematika masyarakat dan problematika keagamaan, khususnya dalam dakwah kampus (pemuda) yang ditengarai oleh aktivis dakwah di kampus. Tentu hal ini menjadi suatu hal yang selaras dengan semangat dakwah dalam mengatasi dan mempersiapan agent of change melalui pemuda, khususnya yang punya pengaruh besar di kalangan pemuda masa kini dalam kampus.

Dapat diperoleh simpulan mengenai agenda Lembaga Dakwah Islam mampu menjadi wadah kebaikan dakwah yang mampu mewadahi aktivitas dalam berdakwah untuk menangkal dan mengurangi problematika umat. Atau sederhananya adalah mengurangi masalah dalam masyarakat di Indonesia melalui pendekatan dan pengelolaan kegiatan dan agenda keagamaan, dalam hal ini melalui dakwah di kampus atau dakwah kepemudaan dan masyarakat.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87995-solusi-problematika-pemuda-saat-ini.html

Dalil Maulid dari Al-Qur’an dan Hadis

Berikut Dalil Maulid dari Al-Qur’an dan Hadis. Ini untuk membantah kelompok atau orang yang menganggap merayakan maulid perkara bid’ah yang terlarang.

Ibnu Hajar (sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Suyuthi) menyatakan bahwa prosesi Maulid memang tidak ada di 3 kurun salafus saleh, hanya saja yang demikian tidak bisa serta merta menjadi bid’ah yang tercela.

Dalam artian begini, bahwa memang tidak dipungkiri dalam prosesi ritual maulid ini terkadang disisipi dengan hal-hal yang tidak pantas. Sehingga yang demikian ini menjadikannya sebagai bid’ah yang tercela.

Syahdan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary menyatakan;

أَنَّ الْمَوْلِدَ الَّذِيْ يَسْتَحِبُّهُ الْأَئِمَّةُ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةِ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِيْ حَمْلِهِ وَمَوْلِدِهِ مِنَ الْإِرْهَاصَاتِ وَمَا بَعْدَهُ مِنْ سِيَرِهِ الْمُبَارَكَاتِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُمْ طَعَامٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ وَإِنْ زَادُوْا عَلَى ذَلِكَ ضَرْبَ الدُّفُوْفِ مَعَ مُرَاعَاةِ الْأَدَبِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Perkara yang diambil dari perkataan para ulama yang akan diterangkan mendatang bahwasanya maulid yang disunnahkan oleh para imam itu adalah berkumpulnya orang-orang, pembacaan ayat yang mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permulaan perihal Nabi serta irhash (kejadian yang istimewa sebelum menjadi beliau diangkat menjadi Nabi) yang terjadi saat kehamilannya dan hari lahirnya dan hal-hal yang terjadi sesudahnya yang merupakan sirah (sejarah) beliau yang penuh keberkahan.

Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, dan selanjutnya mereka bubar. Jika mereka menambahkan atas perkara diatas dengan memukul rebana dengan menjaga adab, maka hal itu tidak apa-apa”. (Al-tanbihaat Al-Waajibaat Liman Yashna’ul Maulida Bil Munkaraat, 2 H. 10-11)

Nah berikut ini adalah dalil maulid Nabi dari Al-Qur’an dan hadis, yang secara implisit melegitimasi amaliyah ini. Pertama, Q.S.Yunus ayat 58. Allah swt berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “. (Q.S.Yunus: 58)

Ketika membahas ayat ini, Imam Al-Alusi menyatakan;

وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ الْفَضْلَ اَلْعِلْمُ وَالرَّحْمَةَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Imam Abu Syeikh  meriwayatkan dari Shahabat Ibnu Abbas “sesungguhnya makna Al-Fadhl (Karunia Allah) Adalah Ilmu Dan makn Ar-rahmah (Rahmat Allah) Adalah Nabi Muhammad SAW”. (Tafsir Ruhul Ma’ani,  Juz 8 H. 41)

Dengan demikian, Allah Ta’ala memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam. Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Imam Al-Suyuthi dalam tafsirnya yang berjudul Al-Durr Al-Mantsur.

Kedua, firman dalam surat Ali Imran ayat 164;

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Menurut Sayyidah Aisyah Ra, ayat ini khusus bagi orang Arab. Hanya saja kita tetap berhak untuk berbahagia, sebab Rasulullah Saw ini tidak hanya untuk orang Arab saja. Namun universal bagi seluruh penjuru dunia.

Ketiga, Allah Swt berfirman di surat Hud ayat 120;

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.

Ayat ini menjelaskan terkait alasan mengapa dikisahkannya para Nabi di Al-Qur’an adalah untuk memperteguh hatinya Nabi Muhammad Saw.Tentunya kita juga lebih butuh untuk memperteguh diri dengan cara mengenal Nabi kita melalui prosesi maulid.

Keempat, surah Al-Ahzab ayat 56, dan ayat ini menjadi pamungkas dalam tendensi maulid ini. Karena mayoritas prosesi maulid adalah pembacaan sholawat, kemudian diselingi baca Al-Qur’an, dan Mauidzah hasanah. Di sana Allah Swt berfirman;

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya”.

Dalil Maulid dari Hadis

Adapun dari segi Hadis, Sayyid Muhammad dengan tegas menyatakan, bahwa yang pertama kali merayakan maulid nabi adalah beliau saw sendiri, tentunya ini menjadi pamungkas juga dalam melegitimasi amaliyah ini.

Hal ini terekam dalam hadis sahih yang menjelaskan bahwa ketika beliau saw ditanya terkait alasan mengapa puasa hari senin, beliau saw menjawab bahwasanya pada hari tersebut adalah hari lahirnya (maulidnya). (Haul al-Ihtifal bi Maulid bi Dzikra al-Maulid al-Nabawi al-Syarif,  H. 16)

Hadis yang dimaksud adalah hadis yang ditakhrij oleh Imam Muslim, redaksinya adalah sebagai berikut;

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ:‏ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

Nabi Muhammad Saw ditanya soal puasa pada hari Senin, beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku” (HR. Muslim , No. 1162).

Ketika membahas hadis ini, Ibnu Al-Hajar menyatakan;

أَلَا تَرَى أَنَّ صَوْمَ هَذَا الْيَوْمِ فِيهِ فَضْلٌ عَظِيمٌ لِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وُلِدَ فِيهِ. فَعَلَى هَذَا يَنْبَغِي إذَا دَخَلَ هَذَا الشَّهْرُ الْكَرِيمُ أَنْ يُكَرَّمَ وَيُعَظَّمَ وَيُحْتَرَمَ الِاحْتِرَامَ اللَّائِقَ بِهِ وَذَلِكَ بِالِاتِّبَاعِ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي كَوْنِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – كَانَ يَخُصُّ الْأَوْقَاتَ الْفَاضِلَةَ بِزِيَادَةِ فِعْلِ الْبِرِّ فِيهَا وَكَثْرَةِ الْخَيْرَاتِ. أَلَا تَرَى إلَى قَوْلِ الْبُخَارِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ» فَنَمْتَثِلُ تَعْظِيمَ الْأَوْقَاتِ الْفَاضِلَةِ بِمَا امْتَثَلَهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – عَلَى قَدْرِ اسْتِطَاعَتِنَا.

Artinya; Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya puasa pada hari senin ini memiliki keutamaan yang sangat agung, karena Rasulullah saw lahir pada hari tersebut. Maka dari itu, ketika telah memasuki bulan  maulid, seyogyanya untuk memuliakan, mengagungkan, dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya dengan cara mengikuti haliyah Rasulullah saw yang menambah pekerjaan baiknya pada hari-hari tertentu.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan “Rasulullah saw merupakan figur yang paling luhur dan dermawan di bulan Ramadhan”, maka mari kita mencontoh beliau sebisa kita dalam mengagungkan hari-hari yang mulia”. (Al-Madkhal, Juz 2 H. 2-3)

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, masih ada beberapa teks keagamaan yang mengakomodir amaliyah maulid. Terkait hal ini, Sayyid Muhammad menyatakan;

أننا لا نقول بأن الاحتفال بالمولد المذكور في ليلة مخصوصة وعلى الكيفية المعهودة لدينا مما نصت عليه هو الشأن في الصلاة والـصـوم الشريعة صراحة كما وغيرهما إلا أنه ليس فيها ما يمنع من ذلك لأن الاجتماع على ذكر الله والصلاة والسلام على رسول الله ﷺ ونحو ذلك من وجوه الخير مما ينبغي الاعتناء به كلما أمكن لاسيما في شهر مولده لأن الداعي فيه أقوى لإقبال الناس واجتماعهم وشعورهم الفياض بارتباط الزمان بعضه ببعض، فيتذكرون الحاضر والماضي وينتقلون من الشاهد إلى الغائب .

“Kami tidak menyatakan bahwasanya peringatan maulid Nabi pada malam dan prosesi tertentu ini memiliki landasan tegas (nash) seperti perintah sholat, puasa dan syariat lainnya. Hanya saja, pada amaliyah ini tidak ada larangan juga. Karena berkumpul untuk berdzikir kepada Allah dan bersholawat kepada Rasulullah ini merupakan kebaikan, sebagaimana ritual lainnya.

Sehingga ini harus menjadi perhatian kita sebisa mungkin, terlebih di bulan tersebut. Karena pada masa itu, bisa lebih mengena kepada jamaah dan mereka bisa merasakan hubungan spiritual”. (Haul al-ihtifal bi maulid bi Dzikra al-Maulid al-Nabawi al-Syarif, H. 14)

Ada pernyataan yang cukup menohok, dan ini harus sampai kepada mereka-mereka yang anti dengan maulidan. Sayyid Muhammad dalam kitab yang sama menyatakan;

“Tidak layak bagi orang yang berakal mempertanyakan mengapa merayakan maulid Nabi. Karena pada saat itu secara tidak langsung ia mempertanyakan mengapa merasa bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Maka cukuplah ketika ada yang bertanya mengapa merayakan maulid Nabi Saw dengan jawaban:

“kami merayakannya karena kami bahagia atas kelahirannya, kami bahagia karena kami mencintainya dan kami mencintainya karena kami beriman kepadanya. Allahumma Sholli Ala sayyidina Muhammad

Demikian penjelasan dalil Maulid dari Al-Qur’an dan Hadis. Semoga keterangan tentang dalil Maulid dari Al-Qur’an dan Hadis memberikan semangat kita untuk menyemarakkan peringatan kelahiran Rasulullah SAW bulan ini.

BINCANG SYARIAH

Adab Buang Hajat dalam Islam

Adab buang hajat dalam Islam adalah ajaran tentang cara yang tepat dan sopan untuk buang air besar dan kecil. Ajaran ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Berikut adalah beberapa adab buang hajat dalam Islam:

Adab Buang Hajat Menurut Sunnah

Menurut Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali berikut ini sunnah rasul ketika hendak buang hajat. Setiap Muslim yang hendak masuk dan buang air di toilet melakukan hal-hal di bawah ini: 

  1. Mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk ke toilet/jamban dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar.
  2. Jangan membawa sesuatu yang di dalamnya ada Asma Allah dan Nabi/Rasulnya. 
  3. Hendaknya masuk dalam kondisi kepala memakai penutup (kopiah atau sejenisnya) dan memakai alas kaki. 
  4.   Ketika hendak masuk (di depan pintu toilet) membaca doa berikut ini:

 بِسْمِ اللهِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الرِّجْسِ النَّجْسِ الْخَبِيْثِ الْنُخْبِثِ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. 

Artinya: Dengan menyebut nama Allah aku berlindung kepada Allah dari kotoran yang menjijikkan dan keburukan yang menjatuhkan manusia dalam keburukan yaitu Syaitan yang terkutuk.

  1.   Ketika hendak keluar membaca doa berikut (dalam hati):

 غُفْرَانَكَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى مَايُؤَذِّنِى وَأَبْقَى فِيْمَا يَنْفَعُنِى 

Artinya: Aku memohon ampunan kepadamu ya Allah dengan dengan sifat maha pengampun. Segala puji hanya milik Allah yang telah menghilangkan sesuatu yang berbahaya dariku dan menyisakan apa yang bermanfaat bagiku. 

Hendaknya (tidak wajib) menyediakan (membawa) 3 (tiga) batu sebagai alat istinja (cebok) sebelum menggunakan air. Mungkin batu adalah alat yang digunakan di masa itu. Masa ketika Imam Al-Ghazali menulis kitabnya.

Namun untuk saat ini mungkin bisa diganti dengan tisu sebagaimana kebiasaan orang barat. Hanya saja, jika kebiasaan orang barat adalah menggunakan kertas tisu saja, maka Islam menganjurkan penggunaan air setelah menggunakan batu atau tisu untuk istinja.

  1.   Tidak boleh beristinja (cebok) di dalam tempat air (bak mandi) tempat istinja’ melainkan harus disiram di luar bak mandi. 
  2.   Menuntaskan buang air (kecil) dengan berdehem 3 (tiga) kali dan memijat kemaluan 3 (tiga) kali. Maksudnya untuk memastikan dan supaya semua kotoran keluar dari tubuh.
  3.     Menggunakan tangan kiri untuk membersihkan kotoran pada kemaluan. Dan menggunakan tangan kanan untuk menyiramkan air. 

Demikianlah beberapa adab buang hajat dalam Islam. Semoga kita semua bisa mengamalkannya dengan baik.

BincangSyariah

Batik: Islamisasi Nusantara dan Pemeliharaan Kearifan Lokal

Pada zaman yang semakin terglobalisasi ini, budaya lokal sering kali tersisihkan oleh pengaruh budaya asing. Namun, sebagai umat Muslim, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai Islami dan budaya lokal yang khas. Salah satu contohnya adalah seni batik, yang merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009.

Dalam Surah al-Hujurat :13, Allah menyatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Ayat ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan budaya dan menjadikannya sebagai sumber kekayaan dan keberagaman.

Dalam Islam, budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dapat diadopsi dan diperkaya oleh nilai-nilai agama. Dilihat dari sejarahnya, batik di Indonesia memiliki hubungan erat dengan penyebaran ajaran Islam di Jawa.

Kawasan pusat perbatikan di Jawa, seperti Yogyakarta dan Solo, adalah daerah dengan banyak santri yang belajar di pesantren sekaligus menjadi pusat ekonomi kota tersebut. Para santri ini dibekali dengan keterampilan dalam membatik, dan hasil karyanya disebarluaskan ke masyarakat luas.

Pengusaha batik di pesisir utara pulau Jawa kebanyakan adalah santri. Mereka mengenal perkembangan teknologi cetak kain dari India dengan media yang terbuat dari kayu. Para pengusaha ini kemudian menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa Muslim lainnya untuk mengembangkan tekstil seperti bangsa Persia dan Turki. Hal ini terlihat pada penggunaan ragam hias kaligrafi Arab yang berupa ayat Al-Qur’an atau kalimat thayyibah lainnya.

Batik berkaligrafi Arab sering digunakan untuk berbagai keperluan, seperti ikat kepala, selendang, hiasan dinding, dan lain-lain. Kain yang dijadikan ikat kepala seringkali dihiasi dengan kalimat tauhid dan banyak dipasarkan di Aceh. Batik dengan motif kaligrafi ini merupakan cara seniman mengungkapkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dalam karya seni mereka.

Hingga saat ini, batik tetap menjadi salah satu kebanggaan Indonesia, bahkan dikenal di luar negeri. Batik digunakan sebagai pakaian, hiasan dinding, taplak meja, bantal kursi, dan berbagai keperluan lainnya.

Hubungan antara batik dan penyebaran agama Islam adalah contoh yang mencerminkan bagaimana seni dan budaya dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan nilai-nilai agama dalam masyarakat. Ini adalah cara untuk menghormati dan mengenang ajaran Islam dalam seni.

Seni batik yang menggambarkan unsur-unsur Islam dapat membantu dalam pemeliharaan budaya Islami di masyarakat. Ini memungkinkan generasi muda untuk tetap terhubung dengan warisan budaya dan keagamaan mereka.

Proses pembuatan batik memerlukan ketelitian dan etika yang kuat, sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong perilaku baik dan etika yang tinggi dalam semua aspek kehidupan. Kedua hal ini mencerminkan pentingnya nilai-nilai agama dalam seni batik.

Seni batik adalah bentuk seni yang memiliki kedalaman makna dalam konteks budaya Islam. Ini adalah cara untuk mengungkapkan nilai-nilai agama, tradisi, dan identitas dalam sebuah karya seni yang indah dan bermakna. Seni batik mencerminkan bagaimana seni dan budaya dapat menjadi sarana untuk memperkuat dan mempertahankan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat.

Dalam masa yang semakin terhubung secara global ini, upaya kita untuk memelihara budaya lokal dan nilai-nilai agama adalah salah satu langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan saling menghormati. Dengan menjaga keberagaman budaya kita, kita juga menjaga akar-akar kearifan yang membuat kita unik dan kaya.

ISLAMKAFFAH

5 Rahasia Rasulullah Jarang Sakit yang Patut Dicoba agar Senantiasa Sehat

Rasulullah saw bukan hanya sebagai panutan dalam beribadah, bahkan kehidupannya pun patut untuk ditiru.

Dalam sebuah riwayat disebutkan jika kegiatan Rasulullah saw tidak jauh dari masjid, rumah, dan kegiatan sosial. Misalnya saja berdakwah, membantu pekerjaan istri, hingga memimpin peperangan.

Meski setiap hari senantiasa sibuk dengan berbagai macam aktivitas, namun Rasulullah saw sendiri diketahui jarang sakit.

Menurut beberapa sirah dikatakan jika sepanjang hidupnya Rasulullah saw pernah sakit hanya dua kali saja yakni saat menerima wahyu pertama kali dan menjelang akhir hayatnya.

Lantas mengapa Rasulullah saw jarang sakit? Setidaknya ada 5 rahasia mengapa Rasulullah saw jarang sakit sepanjang hidupnya.

  1. Bangun Malam Sebelum Subuh

Sebagaimana yang sudah diketahui, jika Rasulullah saw senantiasa bangun sebelum subuh. Shalat malam serta dzikir merupakan kegiatan yang biasa Rasulullah saw lakukan untuk menunggu waktu subuh.

Selain sunnah Rasul, ternyata bangun malam dalam Islam mempunyai keutamaan khusus. Bahkan dalam QS. Al-Muzammil ayat 6, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk bangun malam dan mengerjakan shalat.

“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.” (QS. Al-Muzammil ayat 6).

  1. Sering berjalan Kaki

Selain berolahraga, Rasulullah saw juga senantiasa sering berjalan kaki. Bahkan Nabi mengatakan jika jalan kaki merupakan salah satu aktivitas yang baik untuk mengobati diri.

Dalam riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik aktivitas untuk mengobati diri adalah mengobati diri melalui hidung, melalui mulut, bekam, dan Al-masy.”

Al-masy artinya berjalan kaki yang khasiatnya menurut medis dapat mengurangi berbagai macam penyakit diantaranya obesitas, melancarkan peredaran darah, dan beragam manfaat lainnya.

  1. Menjaga Asupan dan Pola Makanan

Rahasia mengapa Rasulullah saw jarang sakit selanjutnya adalah karena Nabi senantiasa menjaga asupan dan pola makan.

Selain senantiasa makan makanan dan minum minuman yang bergizi, Rasulullah saw juga selalu menerapkan adab saat makan dan minum.

Misalnya saja Nabi tidak pernah makan secara berlebihan dan juga tidak tergesa-gesa baik saat makan maupun minum.

“….Cukuplah bagi seorang anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan punggungnya. Jika dia harus makan, hendaklah sepertiga (dari perutnya) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).

  1. Menjaga Pola Tidur

Rahasia Rasulullah saw jarang sakit yang keempat adalah Nabi Muhammad saw selalu menjaga pola tidur.

Sebagaimana yang sudah diketahui, Rasulullah hanya tidur kurang lebih 5 sampai 6 jam dalam sehari.

Selain tidur setelah Isya jika tidak ada kepentingan yang serius, Rasullah saw juga senantiasa tidur sebentar di waktu qailulah, yaitu pertengahan siang sebelum masuk waktu dzuhur.

Waktu qailullah pun tidak lama yakni hanya 15 sampai 20 menit saja dengan tujuan agar bisa kembali segar dan bisa menjalankan aktivitas selanjutnya.

5. Rajin Puasa Sunnah dan Bersedekah

Terakhir, mengapa Nabi Muhammad saw jarang sakit karena Rasul rajin puasa sunnah dan bersedekah.

Sebagaimana yang sudah diketahui, jika puasa banyak sekali manfaatnya diantaranya menurunkan kadar gula darah, kolesterol dan mengendalikan tekanan darah.

Selain puasa 3 hari setiap bulan (Ayyamul Biidh), Rasulullah saw juga sering melakukan puasa sunnah pada hari Senin dan Kamis.

Sedangkan Yusuf Qaradhawi menyebutkan jika berpuasa dapat membersihkan hati dan berbagai penyakit.

Selain itu, sedekah juga bisa membuat seseorang terhindar bahkan bisa menyembuhkan dari penyakit.

Itulah 5 rahasia Rasulullah saw jarang sakit yang patut dicoba oleh umat Islam agar senantiasa sehat. Wallahu ‘alam bhissawab.

ISLAM KAFFAH

Bagaimana Orang Awam Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama?

Pertanyaan:

Bagaimana semestinya orang awam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Dalam menyikapi khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara para ulama, hendaknya kita berusaha menimbangnya dengan dalil. Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy-Syura: 10).

Dari Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud no.4607, Ibnu Majah no.42, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan: “Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu menghilangkan permusuhan dan perselisihan. Karena tidak ada orang (Muslim) yang menolak Al-Qur’an. Maka jika Anda katakan kepada seseorang: Ambil saja pendapat imam Fulan atau ulama Fulan, ia tidak akan merasa tenang. Namun jika Anda katakan kepadanya: Kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, jika ia memiliki iman, maka pasti ia akan merasa tenang dan akan rujuk” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 21).

Beliau juga mengatakan: “Wajib bagi kita semua untuk bersatu di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bukan malah kita saling bertoleransi dan membiarkan tetap pada perbedaan. Bahkan yang benar adalah kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang berkesesuaian dengan kebenaran, kita ambil, pendapat yang salah maka kita tinggalkan. Itulah yang wajib bagi kita, bukan membiarkan umat tetap pada perselisihan” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 24).

Maka dakwah yang mengajak untuk membiarkan umat taqlid pada pendapat madzhab masing-masing, ormas masing-masing, partai masing-masing mempersilakan memilih pendapat mana saja, ini adalah dakwah yang keliru. Syaikh Shalih Al-Fauzan melanjutkan: “Adapun yang mengatakan: ‘biarkan mereka mengikuti pendapat madzhab masing-masing, biarkan mereka mengikuti akidah mereka masing-masing, setiap orang bebas berpendapat dan menuntut kebebasan berkeyakinan dan berpendapat’, ini adalah kekeliruan. Yang Allah larang dalam firman-Nya (yang artinya): ‘berpegang-teguhlah pada tali Allah kalian semuanya, dan janganlah berpecah-belah‘ (QS. Al Imran: 103). Maka wajib bagi kita untuk bersatu di atas Kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan di antara kita.” (Syarah Al-Ushul As-Sittah, hal. 18).

 Adapun orang awam yang tidak tahu dalil dan tidak bisa memahaminya, maka ia boleh taqlid kepada fatwa ulama atau kepada pendapat madzhab. Selama ia belum mengetahui ilmunya. Ia boleh taqlid pada pendapat ulama yang ia yakini ilmunya dan diyakini ulama tersebut istiqamah berpegang pada dalil yang shahih. Bukan sekedar mengikuti pendapat yang enak dan mudah. Allah ta’ala berfirman:

فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا

“Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga kalian akan menyimpang dari kebenaran” (QS. An-Nisa: 135).

Sulaiman At Taimi rahimahullah berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172).

Adapun ketika ia memahami dalil dan ia sudah mengetahui ilmu, maka ia tidak boleh taqlid buta kepada pendapat ulama atau pendapat madzhab yang menyelisihi dalil. Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan:

“Ini tergantung kondisi masing-masing orang. Orang awam dan penuntut ilmu pemula mereka hanya bisa sebatas taqlid kepada ulama yang mereka percayai ilmunya dan ketaqwaannya. Maka boleh bagi dia untuk taqlid kepada salah satu madzhab yang merupakan madzhab Ahlussunnah.

Adapun muta’allim (orang yang serius belajar agama), yang ia memiliki kemampuan untuk menilai mana pendapat ulama yang kuat dan mana pendapat yang lemah, maka wajib baginya untuk memilih pendapat yang ditegakkan dengan dalil dari pendapat-pendapat para imam madzhab yang empat ataupun ulama yang lain. Orang yang demikian wajib mengamalkan dalil, karena ia memiliki kemampuan untuk itu.

Adapun manusia secara umum, mereka berbeda-beda keadaannya, tidak hanya berada pada satu tingkatan saja. Maka taqlid tidak diharamkan secara mutlak dan tidak diwajibkan secara mutlak. Namun yang tepat adalah sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepala ahludz dzikr (ahli ilmu) jika engkau tidak mengetahui” (QS. Al-Anbiya: 7).

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang mengambil pendapat ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya atau sesuai dengan seleranya. Sehingga ia mencari-cari pendapat yang ringan dan mudah yang tidak ditegakkan dengan dalil. Karena mereka hanya ingin menuruti selera dan hawa nafsunya. Ini tidak diperbolehkan.

Yang semestinya dilakukan adalah memilih pendapat ulama yang ditegakkan dengan dalil jika ia memiliki kemampuan untuk menimbang kuat-lemahnya pendapat” (Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/704).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufiq.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42910-bagaimana-orang-awam-menyikapi-perbedaan-pendapat-ulama.html

Air Tinggal Sedikit; Apakah Minum atau wudhu Dahulu? 

Jika air tinggal sedikit, apakah minum atau wudhu dahulu? Pasalnya, di era kemarau seperti saat ini, banyak sekali pertanyaan masyarakat terkait persoalan ini. 

Di antara keistimewaan syariatnya Nabi Muhammad Saw adalah menyediakan solusi atas apapun. Yakni dalam kasus bersuci ini misalnya, jika tidak ada air maka boleh menggunakan debu. 

Karena ketersediaan debu ini sudah bisa dipastikan, di mana-mana pasti ada debu. Sehingga debu menjadi pengganti posisi air dalam bersuci. (Ahkam Al-Tayammum, H. 47) 

Lain halnya dengan umat terdahulu, mereka tidak bisa demikian. Yakni ketika tidak menemui air untuk bersuci, maka mereka tidak bisa shalat. Dikatakan;

قَالَ بَعْضُ شُرَّاحِ الرِّسَالَةِ الْقَيْرَوَانِيَّةِ: كَانَ مَنْ مَضَى مِنْ الْأُمَمِ إنَّمَا يُصَلُّونَ بِالْوُضُوءِ فِي مَوَاضِعَ اتَّخَذُوهَا وَسَمَّوْهَا بِيَعًا وَكَنَائِسَ وَصَوَامِعَ فَمَنْ غَابَ مِنْهُمْ عَنْ مَوَاضِعِ صَلَاتِهِ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي غَيْرِهِ مِنْ بِقَاعِ الْأَرْضِ حَتَّى يَعُودَ إلَيْهِ ثُمَّ يَقْضِيَ كُلَّ مَا فَاتَهُ، وَكَذَا إذَا عَدِمَ الْمَاءَ لَمْ يُصَلِّ حَتَّى يَجِدَهُ ثُمَّ يَقْضِيَ مَا فَاتَهُ وَخُصَّتْ الْيَهُودُ بِرَفْعِ الْمَاءِ الْجَارِي لِلْحَدَثِ دُونَ غَيْرِهِ نَقَلَهُ الزَّرْقَانِيُّ. 

“Sebagian komentator kitab Risalah Al-Qairawaniyyah menyatakan bahwa umat terdahulu hanya bisa shalat di tempat ibadah, yakni Gereja dan Sinagog. Maka barang siapa yang tidak menemui tempat tersebut, ia tidak bisa sholat. Demikian pula ketika tiada air, mereka tidak bisa shalat. Sehingga ketika menemui air, mereka harus mengqadhanya. 

Selain itu, orang Yahudi diberi kekhususan lain. Yaitu mereka hanya bisa menghilangkan hadats hanya dengan air saja”. (Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib, jilid 1, halaman 273) 

Lalu kenapa debu hanya dikhususkan pada umat ini? Dijelaskan;

وَقَالَ الْحَكِيمُ وَإِنَّمَا جُعِلَ تُرَابُ الْأَرْضِ طَهُورًا لِهَذِهِ الْأُمَّةِ؛ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمَّا أَحَسَّتْ بِمَوْلِدِ نَبِيِّنَا انْبَسَطَتْ وَتَمَدَّدَتْ وَازْدَهَتْ وَافْتَخَرَتْ عَلَى السَّمَاءِ وَسَائِرِ الْخَلْقِ بِأَنَّهُ مِنِّي خُلِقَ، وَعَلَى ظَهْرِي تَأْتِيه كَرَامَةُ اللَّهِ، وَعَلَى بِقَاعِي يَسْجُدُ بِجَبْهَتِهِ لِلَّهِ، وَفِي بَطْنِي مَدْفِنُهُ فَلَمَّا جَرَّتْ رِدَاءَ فَخْرِهَا بِذَلِكَ جُعِلَ تُرَابُهَا طَهُورًا لِأُمَّتِهِ، وَجُعِلَتْ تَحْتَ أَقْدَامِهِمْ مَسْجِدًا، فَالتَّيَمُّمُ هَدِيَّةٌ مِنْ اللَّهِ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَاصَّةً لِتَدُومَ لَهُمْ الطَّهَارَةُ فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ وَالْأَزْمَانِ. 

“Al-Hakim membeberkan alasan mengapa debu menjadi suci bagi umat ini adalah karena saat debu merasa lahirnya sang baginda Nabi besar Muhammad Saw, ia menjadi lapang, memanjang dan berbangga kepada langit dan makhluk lainnya. 

Bahwa Nabi Muhammad diciptakan darinya, dan di atas punggungnya lah Rasulullah saw memperlihatkan karamahnya, di hamparannya lah Rasulullah saw bersujud kepada Allah, dan di dalamnya lah Rasulullah saw dikebumikan. 

Sehingga ketika debu (tanah) membanggakan dirinya, niscaya Allah menjadikannya suci untuk umatnya Rasulullah saw dan setiap sisinya bisa dijadikan tempat sujud. Dengan demikian, tayammum adalah hadiah dari Allah swt yang dikhususkan pada umat ini. Agar mereka bisa melakukan bersuci dalam kondisi dan situasi apapun”. (Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib, 1/273). 

Air Tinggal Sedikit; Apakah Minum atau wudhu Dahulu? 

Lalu bagaimana solusinya, ketika air tinggal sedikit. Apakah dibuat minum atau wudhu’? Menurut Syekh Nawawi Banten, ketika memang tidak lagi menemukan air, maka air tersebut dibuat minum. Dan dia bersuci dengan tayamum, dijelaskan;

و) السبب الثالث:  (الاحتياج إليه)  أي إلى الماء  (لعطش حيوان محترم)  وهو ما يحرم قتله قاله النووي في الإيضاح، ولو وجده وهو محتاج إليه لعطشه أو عطش رفيقه أو دابته أو حيوان محترم تيمم ولم يتوضأ سواء في ذلك العطش في يومه أو فيما بعده قبل وصوله إلى ماء آخر، قال أصحابنا: ويحرم عليه الوضوء في هذا الحال لأن حرمة النفس آكد ولا بدل للشرب وللوضوء بدل وهو التيمم والغسل عن الجنابة وعن الحيض وغيرهما كالوضوء فيما ذكرناه وسواء كان المحتاج للعطش رفيقه المخالط له أو واحداً من القافلة وهو المسافر. 

واعلم أنه مهما احتاج إليه لعطش نفسه حالاً أو مآلاً أو رقيقه أو حيوان محترم وإن لم يكن معه ولو في ثاني الحال قبل وصولهم إلى ماء آخر فله التيمم وجوباً ويصلي ولا يعيد لفقد الماء شرعاً ولو لم يجد الماء أو وجده يباع بثمن مثله وهو واجد الثمن فاضلاً، عما يحتاج إليه في سفره ذاهباً وراجعاً لزمه شراؤه، وإن كان يباع بأكثر من ثمن المثل لم يلزمه شراؤه لأن للماء بدلاً سواء قلت الزيادة أم كثرت، لكن يستحب شراؤه وثمن المثل هو قيمته في ذلك الموضع في تلك الحالة. انتهى قول النووي ملخصاً. ومثل احتياجه للماء احتياجه لثمنه في مؤنة ممونه من نفسه وعياله. 

“Sebab ketiga yang memperbolehkan tayamum adalah butuhnya hewan muhtaram pada air, maksudnya hewan muhtaram adalah hewan-hewan yang haram dibunuh (demikian penuturan Imam Al-Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah).

Demikian pula boleh tayamum ketika ia menemukan air, namun ia sendiri membutuhkannya, atau temannya, hewannya. Maka ia boleh tayammum, dan tidak perlu wudhu’. Baik di hari tersebut, atau hari setelahnya yang mana ia belum menemukan air lagi. 

Ashab kami berpendapat bahwa haram baginya wudhu, sebab keselamatan jiwanya lebih dipertimbangkan. Sehingga ia harus meminum air tersebut dan ia bersucinya dengan tayammum. Adapun ketika ada yang menjual air dengan harga di atas standar, ia tidak wajib untuk membelinya”. (Kasyifat Al-Saja, 1/87) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwa kita harus meminum air tersebut, ketika memang haus sekali dan airnya sedikit. Adapun bersucinya bisa dengan tayamum.

Demikian penjelasan terkait air tinggal sedikit apakah minum atau wudhu dahulu? Semoga ketarangan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Sebanyak 2.100 Orang Tewas Akibat Perang Hamas dan Israel

Perang antara Israel dan Hamas yang dimulai pada tanggal 7 Oktober 2023 telah menyebabkan korban jiwa yang sangat besar, baik dari pihak Israel maupun Palestina. Dilansir dari CNN Indonesia, sebanyak 2.100 orang tewas akibat perang Hamas dan Israel

Menurut data dari Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah korban tewas di Palestina telah mencapai 900 orang, termasuk ratusan anak-anak. Di sisi lain, jumlah korban tewas di Israel telah mencapai 1.200 orang.

Menurut data Pasukan Pertahanan Israel (IDF), jumlah korban luka-luka terus bertambah, dan sebagian besar korban adalah warga sipil. IDF mengatakan bahwa serangan roket dan mortir dari Hamas telah menargetkan berbagai lokasi di Israel, termasuk kota-kota besar seperti Tel Aviv dan Jerusalem.

Serangan-serangan tersebut telah menyebabkan kerusakan pada properti dan infrastruktur, serta mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat Israel. Perang ini dipicu oleh serangan roket yang diluncurkan oleh Hamas ke wilayah Israel.

Serangan ini dibalas oleh Israel dengan serangan udara dan artileri ke Jalur Gaza. Serangan Israel telah menyebabkan kerusakan infrastruktur yang parah di Jalur Gaza, termasuk rumah-rumah, sekolah, dan rumah sakit.

Sementara itu, Presiden Republik Indonesia Jokowi mendesak perang Israel-Palestina segera dihentikan. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam pernyataan pers yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden pada Selasa, 10 Oktober 2023.

“Indonesia mendesak agar perang dan tindakan kekerasan segera dihentikan untuk menghindari semakin bertambahnya korban dan hancurnya harta benda. Karena eskalasi konflik akan menimbulkan dampak kemanusia yang begitu besar, “ kata Jokowi.

Dalam keterangan resminya, Jokowi juga menyampaikan keprihatinannya atas korban jiwa dan luka-luka yang terjadi dalam konflik tersebut. Ia juga berharap agar semua pihak dapat menahan diri dan mengutamakan dialog untuk menyelesaikan konflik.

“Akar konflik tersebut pendudukan wilayah Palestina oleh Israel harus segera diselesaikan sesuai parameter yang disepakati PBB,” tambahnya.

Perang ini telah menjadi tragedi kemanusiaan yang menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi kedua belah pihak. Korban jiwa yang sangat besar, termasuk ratusan anak-anak, merupakan bukti bahwa perang tidak pernah menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik.

Adalah penting untuk mencari solusi damai yang dapat mengakhiri konflik Israel-Palestina. Solusi ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, serta memenuhi hak-hak dasar rakyat Palestina.

BINCANG SYARIAH

Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 3): Tingkatan Hikmah dalam Berdakwah

Bismillah wal-hamdulillah wash -shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Tingkatan hikmah dalam berdakwah ilallah

Tingkatan hikmah dalam berdakwah itu ada empat. Tingkatan pertama sampai ketiga terdapat dalam surah An-Nahl ayat 125. Allah berfirman,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“Dakwahilah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.”

Pertama: Tingkatan hikmah [1]

Mengenalkan kebenaran dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dengan manhaj salaf saleh. Cara ini untuk jenis mad’u mustajibin (objek dakwah yang menerima dakwah). Yaitu, tipe objek dakwah yang suka menerima kebenaran, suka diberitahu, suka mendapatkan nasihat, suka ngaji. Intinya, orang yang jika diberitahu kebenaran, suka menerima dan mengamalkannya.

Kedua: Tingkatan mau’izhah hasanah (nasihat yang baik)

Nasihat yang berisi memerintahkan kebaikan diiringi targhib (kabar gembira, janji, dan pahala dari Allah) dan melarang keburukan diiringi tarhib (ancaman, siksa, dan peringatan). Cara ini untuk jenis mad’u ghafilin (objek dakwah yang lalai). Yaitu, tipe objek dakwah yang lalai. Tahu kebenaran, namun tidak mengamalkannya karena malas dan mengikuti hawa nafsu, sehingga perlu diiming-imingi dengan pahala (targhib) dan diperingatkan dengan siksa (tarhib).

Ketiga: Tingkatan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara terbaik)

Berdebat dengan ilmiah dan beradab Islami, dengan niat ikhlas menjelaskan kebenaran agar diikuti dan menjelaskan kebatilan agar dihindari, menghilangkan syubhat dan kesalahpahaman serta dengan cara menjelaskan yang paling mudah dan enak diterima di hati “lawan debatnya” selama tidak menyelisihi syariat. Yaitu, dengan kalimat halus dan sopan dan jauh dari kata-kata yang menyakitkan hati.

Debat dengan cara terbaik itu bukan tujuannya untuk menjatuhkan dan mempermalukan orang yang didebat, dan bukan pula tujuannya pamer ketinggian ilmu. Akan tetapi, murni karena ingin “lawan debatnya” kembali kepada kebenaran, masuk surga bersamanya dengan mencari rida Allah.

Cara ini tidaklah digunakan, kecuali jika cara pertama dan kedua tidak berhasil. Karena jika cara pertama dan kedua masih bisa digunakan, maka tidak perlu berdebat.

Cara ini untuk jenis mad’u mu’aaridhin mu’aanidin (objek dakwah yang menentang). Yaitu, tipe objek dakwah yang berpaling dan menentang, tidak mengenal kebenaran, atau mengetahui kebenaran, namun ada syubhat (pemahaman yang salah dikira benar) sehingga menentangnya.

Keempat: Tingkatan mujaladah (tegas dan keras pada tempatnya, serta menghukum orang yang layak mendapatkannya)

Dalilnya adalah Allah berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 46,

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ

“Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka.”

Cara mujaladah (tegas dan keras) ini hanya dilakukan jika cara-cara sebelumnya tidak bermanfaat. Cara ini untuk jenis mad’u zhalimin.

Mujaladah adalah cara yang tegas dan keras pada tempatnya, dengan kalimat yang keras, serta menghukum orang yang layak mendapatkannya dengan hukuman had dan ta’zir. Yang melakukan cara ini hanyalah orang yang secara syar’i memiliki wewenang kekuasaan dan kekuatan dengan memperhatikan aturan-aturan syariat Islam dan sesuai kewenangannya, seperti polisi, tentara, dan jabatan semisalnya dengan sesuai kewenangannya masing-masing.

Apabila hukuman dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang, maka biasanya akan menimbulkan kemudaratan yang lebih besar daripada maslahat. Dan ulama telah menjelaskan bahwa mengingkari kemungkaran jika menimbulkan kemudaratan yang lebih besar, maka itu dilarang dan diharamkan.

Hukum asal cara berdakwah yang hikmah adalah dengan lembut [2]

Dalil-dalil lembut dalam berdakwah ilallah

Sesungguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Sebagaimana terdapat dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفقَ

“Sesungguhnya Allah itu Mahalembut, mencintai kelembutan.” (HR. Muslim)

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan pada seluruh perkara.” (HR. Al-Bukhari)

Pada umumnya, kelembutan adalah kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا يُنزع من شيء إلا شانه

“Sesungguhnya kelembutan itu, tidaklah berada pada sesuatu, kecuali menghiasinya. Dan tidaklah dicabut dari sesuatu, kecuali menodainya.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, dengan rahmat Allah, dalam berdakwah ilallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menerapkan kelembutan, sebagaimana Allah sebutkan hal itu dalam surah Ali ‘Imran ayat 159,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah semata. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Demikian pula, Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam diperintahkan oleh Allah untuk berkata lembut kepada orang yang paling sombong, Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman,

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Maka, berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”

Lembut adalah hukum asal cara berdakwah

Perlu diketahui bahwa hukum asal cara berdakwah adalah dengan lembut, bukan dengan kekerasan. Maka jangan dibalik, dengan menjadikan hukum asal cara berdakwah adalah dengan kekerasan, lalu terkadang memakai cara lemah lembut! Jangan sampai umat menjauh dari dakwah ini, hanya gara-gara cara kita yang keras dalam berdakwah.

Oleh karena itu, jika seorang da’i dihadapkan dengan suatu kondisi di mana orang yang dihadapinya jika disikapi lembut atau disikapi keras, pengaruhnya seimbang, maka saat itu dia harus memilih sikap lembut. Karena dia diperintahkan untuk kembali ke hukum asal.

Syekh Al- ‘Allamah Muhammad Al-‘Utsaimîn rahimahullah mengisyaratkan tentang hukum asal cara berdakwah,

“Jika di dalam sikap kasar dan keras ada maslahatnya, maka gunakanlah sikap tersebut. Namun, jika kenyataannya adalah sebaliknya, maka gunakanlah sikap lembut dan halus. Adapun jika kondisinya sama antara pemakaian sikap kasar dan keras dengan pemakaian sikap lembut dan halus, maka saat itu gunakanlah sikap lembut dan halus, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

Sesungguhnya Allah Mahalembut dan mencintai kelembutan dalam setiap perkara.‘ (HR. Bukhârî dan Muslim).”

Beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan hukum asal cara berdakwah

Salah satu syarat bolehnya beramar makruf dan nahi mungkar adalah lembut [3]

Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahulláh berpetuah, “Tidak boleh beramar makruf dan nahi mungkar, kecuali seseorang yang memiliki tiga sifat: 1) Lembut ketika menyuruh dan lemah lembut ketika melarang. 2) Adil ketika menyuruh dan adil ketika melarang. 3) Memiliki ilmu tentang apa yang ia suruh dan memiliki ilmu tentang apa yang ia larang.”

Empat syarat (diperbolehkannya) pemakaian kata-kata yang kasar [4]

Imam Ibnul Wazir rahimahullah berkata,

“Ketahuilah bahwa ada empat syarat (diperbolehkannya) pemakaian kata-kata yang kasar ketika memperingatkan seseorang.

Dua syarat untuk menjadikan sikap itu boleh, yaitu: 1) Orang yang diperingati benar-benar melakukan perbuatan atau perkataan yang salah. 2) Ungkapan orang yang memperingatkan harus sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya: Dia tidak boleh memanggil orang yang melakukan perbuatan yang hukumnya makruh dengan ungkapan, ‘Wahai orang yang berbuat maksiat!’ Atau memanggil orang yang melakukan suatu perbuatan dosa yang tidak dia ketahui besarnya, ‘Wahai fasik!” Juga dia tidak boleh berkata kepada orang fasik dari kalangan kaum muslimin, ‘Wahai kafir!’, atau yang semisal.

Dan dua syarat agar sikap itu menjadi sunah hukumnya, yaitu: 1) Orang yang akan memperingatkan telah memprediksi bahwa sikap keras tersebut akan lebih bermanfaat bagi ‘lawan’-nya untuk kembali kepada Al-Haq atau untuk menerangkan dalil padanya. 2) Hendaknya orang yang mempergunakan sikap keras tersebut niatnya benar, dan bukan sekedar karena dorongan tabiatnya.”

Bolehkah anak berlaku kasar dalam dakwahnya kepada orang tua? [5]

Mayoritas ulama menegaskan bahwa seorang anak tidak boleh berdakwah kepada kedua orangtuanya dengan cara-cara kekerasan. Imam Al-Ghazali, misalnya, beliau berkata, “Seorang anak tidak berhak untuk mendakwahi bapaknya dengan menghina, mengancam, dan menakut-nakuti. Tidak pula dengan memukul.”

Abdul Aziz Ar-Rajihi berkomentar, “Anak tidak boleh menakut-nakuti, mengancam, menghina, memukul dan berkata kasar. Hal ini karena orang tua memiliki hak yang sangat besar terhadap anaknya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyandingkan hak-Nya dengan hak kedua orang tua. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik- baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Allah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun keduanya kafir, sepanjang tidak sampai menaati keduanya dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya! Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik! Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku!” (QS. Luqman: 15)

Tingkatan amar makruf nahi mungkar (hisbah)

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan bahwa tingkatan amar makruf nahi mungkar (hisbah) itu ada lima. Kami ringkas kelima tingkatan tersebut sebagai berikut:

Pertama: Mengenalkan perkara makruf ataupun mungkar.

Kedua: Nasihat dengan ucapan yang lembut.

Ketiga: Celaan dan ucapan kasar (yang tidak keji).

Keempat: Melarang/mencegah secara paksa.

Kelima: Menakuti-nakuti dan mengancam dengan pukulan, atau langsung memukul oleh pihak yang berwenang.

Adapun pengingkaran anak kepada orang tua, budak kepada tuannya, serta istri kepada suaminya, maka diiizinkan dengan tingkatan hisbah nomor 1,2, dan 4.

Sedangkan, pengingkaran rakyat kepada pemerintah, tidak diizinkan, kecuali tingkatan hisbah nomor 1 dan 2 agar tidak terjadi kemudaratan yang sama atau lebih besar.

Lanjut ke bagian 4: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87800-tingkatan-hikmah-dalam-berdakwah.html

3 Manfaat Mengingat Kematian Menurut Yahya bin Muadz Ar-Razi

Berikut ini adalah penjelasan terkait manfaat mengingat kematian. Sejatinya, kematian adalah akhir dari perjalanan hidup manusia menuju kepada keabadian, yaitu, alam akhirat. Semua makhluk hidup yang ada di dunia ini, pasti akan mengalami kematian. Dan kematian itu, terkadang datangnya tiba-tiba, dan juga tidak memandang usia.

Oleh karena itu, kita harus memperbanyak mengingat kematian, supaya kita bisa mempersiapkan diri dengan memperbanyak amal kebaikan. Karena amal kebajikan nantinya akan menyelamatkan kita di saat menghadapi kematian.

Syekh Ibnu Khamis, dalam karyanya Manaqib Al-Abrar Wa Muhasini Al-Ahyar Fi Tabaqat As-Sufiyyah, Juz 1, halaman 276, mengutip pernyataan Syekh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi tentang 3 manfaat mengingat kematian. Adapun kutipannya sebagai berikut: 

 مَنْ أكثر ذكر الموت لم يمت قبل أجلِهِ، ويدخل عليه ثلاث خصال من الخير، أوّلها: المبادرة إلى التّوبة، والثانية: القناعة برزق يسير، والثالثة: النَّشاط في العبادة

Artinya: “Barangsiapa yang banyak mengingat mati niscaya dia tetap tidak akan mati sebelum waktunya tiba, dan akan masuk kepada dirinya tiga macam kebaikan. Pertama, bersegera taubat. Kedua, qana’ah atau merasa cukup terhadap rezeki meskipun sedikit. Ketiga, semangat dalam beribadah”. 

Pernyataan Syekh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi di atas, memberi peringatan kepada kita untuk selalu mengingat  kematian. Karena orang yang berangan-angan hidup panjang di dunia, terkadang ia melupakan kematian. Syekh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi memberikan informasi terkait 3 manfaat mengingat kematian. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Pertama, segera bertaubat. Orang yang mengingat kematian, ia segera bertaubat dari dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Berbeda dengan orang yang tidak mengingat kematian ia selalu menunda-nunda untuk bertaubat.

Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk segera bertaubat sebelum kematian tiba. Karena kematian akan membuka kedok keburukan kita, dan pengadilan akhirat akan membeberkan dosa-dosa yang pernah kita lakukan.

Kedua, merasa cukup dengan rezeki yang sedikit. Orang yang selalu mengingat kematian tidak akan cinta terhadap kemewahan dunia. Karena ia lebih fokus kepada kehidupan yang abadi di akhirat. Sehingga ia merasa cukup atas nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Walaupun ia tidak memiliki harta, ia tetap bersyukur dan tetap konsisten dalam menjalankan ibadah.

Ketiga, bersemangat dalam beribadah. Orang yang mengingat kematian penuh semangat dalam menjalankan ibadah, karena ia selalu memikirkan balasan yang akan didapatkan kelak di akhirat atas perbuatan kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, ia mempersiapkan diri sebelum kematian tiba dengan memperbanyak amal kebajikan.

Demikian penjelasan terkait 3 manfaat mengingat kematian menurut Yahya bin Muadz Ar-Razi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH