Video: Tata Cara Shalat di Atas Kendaraan

Berikut ini adalah tata cara shalat di atas kendaraan. Tata cara shalat di atas kendaraan dapat dilakukan ketika seseorang sedang dalam perjalanan atau situasi di mana sulit untuk menemukan tempat yang sesuai untuk shalat. Shalat di atas kendaraan biasanya dilakukan ketika Anda berada dalam mobil, pesawat, kereta api, atau alat transportasi lainnya.

Ada pertanyaan dari salah seorang sahabat kita, bagaimana tata cara shalat di atas kendaraan? Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menyebutkan:

“Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).”

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis,

عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

“Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)

Dari penjelasan dan hadits di atas dapat diambil satu pelajaran bahwa pada dasarnya shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja. Ini bisa dipahami dari hadits di atas bahwa ketika Rasulullah akan melakukan shalat fardlu maka beliau akan turun dari untanya.

Itu artinya ketika beliau melakukan shalat di atas unta yang beliau lakukan adalah shalat sunah, bukan shalat fardlu. Lebih lanjut, simak penjelasan Ustadz Yunal Isra;

Link Video: https://youtu.be/xo8sj7vBwls

Dengan demikian ingatlah bahwa shalat di atas kendaraan adalah dispensasi dalam Islam ketika Anda berada dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk shalat di tempat yang lebih ideal. Jika Anda memiliki kesempatan untuk shalat di darat dengan sempurna, sebaiknya lakukan shalat di tempat yang layak dan sesuai dengan tata cara yang benar.

Dalam Islam, shalat adalah salah satu kewajiban utama, dan dalam situasi seperti ini, ada beberapa tata cara yang dapat diikuti. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Berapakah Jumlah Takbir pada Salat Jenazah?

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, beliau berkata,

كَانَ زَيْدٌ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا، وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا، فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُهَا

Zaid biasa bertakbir empat kali (mensalati) jenazah kami. Namun, suatu ketika, ia bertakbir sebanyak lima kali. Saya pun bertanya padanya. Ia menjawab, ‘Sebanyak itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir.’” (HR. Muslim no. 957)

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang berapakah jumlah takbir salat jenazah, menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, takbir salat jenazah sebanyak empat kali takbir, tidak boleh lebih dari itu. Ibnul Mundzir rahimahullah menyandarkan pendapat ini kepada mayoritas ulama. Bahkan, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengutip bahwa pendapat tersebut adalah ijma’. (Lihat Al-Ausath, 5: 429 dan Al-Istidzkar, 8: 238)

Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq dengan sanadnya dari Abu Wail, beliau berkata, “Dulu, para sahabat bertakbir pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak tujuh, lima, atau empat kali. Sampai pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, kemudian Umar mengumpulkan para sahabat dan bertanya kepada mereka. Maka, setiap orang menyampaikan pendapat mereka masing-masing. Maka, Umar menyatukan menjadi empat kali takbir sebagaimana salat yang paling panjang, yaitu salat zuhur.” [HR. Abdur Razaq, 3: 479. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa sanadnya hasan (Fathul Baari, 3: 202)]

Pendapat kedua, bolehnya takbir lebih dari empat kali. Hal ini karena perbuatan tersebut dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula, perbuatan tersebut dilakukan oleh sebagian sahabat dan disaksikan oleh sahabat yang lain tanpa ada pengingkaran dari mereka.

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kuat dan mengumpulkan dalil-dalil yang ada berkaitan dengan masalah ini. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melarang bertakbir lebih dari empat kali. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang melakukannya dan demikian pula para sahabat setelahnya. Lalu, bagaimana mungkin hal itu ditinggalkan padahal ada dalilnya? Sedangkan yang dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu statusnya adalah marfu’ (dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Hal ini karena sebagian sahabat senior melakukan hal tersebut disaksikan oleh sahabat yang lain, tanpa ada penyelisihan atau pengingkaran oleh satu pun di antara mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَهَذِهِ آثَارٌ صَحِيحَةٌ، فَلَا مُوجِبَ لِلْمَنْعِ مِنْهَا، وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَمْنَعْ مِمَّا زَادَ عَلَى الْأَرْبَعِ، بَلْ فَعَلَهُ هُوَ وَأَصْحَابُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dan ini adalah asar-asar yang sahih, sehingga tidak ada dalil yang mengharuskan untuk melarang bertakbir lebih dari empat kali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melarang takbir lebih dari empat kali, bahkan beliau sendiri melakukannya dan para sahabat setelah beliau juga melakukannya.” (Zadul Ma’ad, 1: 489)

Adapun yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidaklah dapat dinilai sebagai ijma. Akan tetapi, hal itu dinilai sebagai perubahan fatwa dengan adanya perubahan zaman karena ada maslahat yang hendak dicapai pada saat itu. Hal itu bukan berarti mengubah hukum yang sudah ada sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan ini, seseorang boleh bertakbir lebih dari empat kali ketika salat jenazah. Sesekali seseorang bertakbir lebih dari empat kali untuk menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa demikianlah sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, jika seseorang ingin kontinyu dengan satu cara saja, maka hendaknya dia bertakbir empat kali, karena hadis-hadis yang menunjukkan tentang takbir empat kali itu jumlahnya lebih banyak. (Lihat Ahkam Al-Jana’iz, karya Al-Albani hal. 111-114)

Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 2 Dzulhijjah 1444/ 1 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 302-306).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85939-takbir-pada-salat-jenazah.html

Shalat Rawatib Sebaiknya di Masjid atau di Rumah?

Berikut ini adalah penjelasan terkait shalat rawatib sebaiknya di masjid atau di rumah? Termasuk dari salah satu kemuliaan umat Nabi Muhammad Saw antara lain adalah disyariatkannya shalat sunnah rawatib.

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dilaksanakan beriringan dengan shalat maktubah yang lima. Banyak sekali hadist-hadist Rasulullah Saw yang menerangkan keutamaan-keutamaan melaksanakan shalat sunnah rawatib

Nah, dikarenakan pelaksanaannya mengikuti shalat maktubah yang itu lebih utama dilakukan di masjid apakah shalat sunnah rawatib juga lebih utama dilakukan di masjid?. Berikut penjelasannya.

Shalat Rawatib Sebaiknya di Masjid atau di Rumah?

Banyak sekali keterangan di dalam literatur kitab fikih yang menjelaskan terkait keutamaan shalat sunnah rawatib di rumah masing-masing. Salah satunya adalah keterangan yang disampaikan oleh Syaikh Zakariyah Al-Anshari di dalam kitabnya yaitu Fathul Wahab;

‌(وَ) ‌انْتِقَالُهُ  ( لِنَفْلٍ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ) لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ: “صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إلَّا الْمَكْتُوبَةَ”.

Artinya; “Adapun melaksanakan shalat sunnah rawatib di rumahnya itu lebih utama, hal ini berdasarkan hadist Bukhari dan Muslim, “Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena susungguhnya paling utamanya shalat (sunnah rawatib) ialah shalatnya seseorang dirumahnya kecuali shalat maktubah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa melaksanakan shalat sunnah rawatib di rumah itu lebih utama daripada melaksanakan di masjid, sekalipun shalat fardhu itu lebih utama dilakukan di masjid.

Keutamaan itu didasarkan kepada hadist tersebut. namun, juga dijumpai hadis lain yang mendukung keutamaan shalat sunnah rawatib di rumah daripada shalat di masjid.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا قضى أحدكم الصلاة في مسجده، فليجعل لبيته نصيباً من صلاته، فإن الله جاعل في بيته من صلاته خيرا.

Artinya; “Rasulullah bersabda; “Apabila salah seorang dari kalian malaksanakan shalat (maktubah) di masjid, maka hendaklah jadikan rumahnya sebagai tempat shalat, karena Allah menjadikan kebaikan di dalam rumah melalui shalat di dalamnya.” (HR. Imam Muslim).

Demikian penjelasan jawaban dari shalat rawatib sebaiknya di masjid atau di rumah? Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Apakah Boleh Garuk-garuk Saat Sholat?

Berikut ini adalah penjelasan mengenai apakah boleh garuk-garuk saat sholat? Pasalnya, shalat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditoleransi untuk ditinggalkan, sehingga selama jiwa masih dikandung badan maka kewajiban shalat tersebut tetap melekat pada setiap diri manusia. 

Dan tentu ketika melaksanakan shalat kita diharuskan untuk mengupayakan diri menenangkan diri agar khusuk dalam melaknasakan shalat, karena ketika kita khusyuk di dalam shalat maka kita digolongkan sebagai orang-orang yang mukmin. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Al-Mukminun ayat 1-2.

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ(1). وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ(2).

Artinya; “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,(1). dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, (2). (QS. Al-Mukminun ayat 1-2).

Dan salah satu hal yang perlu dijaga juga di dalam menjaga kekhusyuan shalat adalah menggaruk anggota badan yang gatal, karena jika dibiarkan terus gatal justru hal itu akan mengganggu kekhusyuan shalat kita. Dan perlu diketahui bahwa ada cara menggagruk yang perlu dilakukan agar tidak berdampak kepada kebatalan shalat, berikut ini penjelasannya.

Apakah boleh garuk garuk saat sholat?

Di dalam literatur kitab fikih banyak sekali dijumpai keterangan yang menjelaskan cara menggaruk anggota badan yang gatal ketika shalat. Salah satunya dalam kitab Fathul Wahab karya Syaikh Zakariyah Al-Anshari;

‌(لَا ‌إنْ ‌خَفَّ) ‌الْكَثِيرُ كَتَحْرِيكِ أَصَابِعِهِ مِرَارًا بِلَا حَرَكَةِ كَفِّهِ فِي سُبْحَةٍ إلحاقا له بالقليل فإن حرك كفه فيه ثَلَاثًا وَلَاءً بَطَلَتْ صَلَاتُهُ.

Artinya; “Tidak membatalkan jika perbuatan ringan yang banyak, seperti menggerakkan jari-jemari berulang kali tanpa menggerakkan telapak tangan pada pakaian, karena hal ini disamakan dengan pekerjaan yang sedikit. Namun jika sampai menggerakkan dengan telapak tangan sebanyak tiga kali berturut, maka itu membatalkan shalat.”

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa cara menggaruk anggota tubuh yang gatal adalah dengan cara cukup menggerakkan jari tangan, karena hal tersebut tidak membatalkan shalat, sebab dikategorikan sebagai gerakan yang ringan. Dan hal ini perlu diketahui agar shalat kita bisa tetap dalam keadaan khusyuk. 

Keterangan serupa juga ditemukan dalam kitab Iqna`.

لَا الحركات الْخَفِيفَة المتوالية ‌كتحريك ‌أَصَابِعه بِلَا حَرَكَة كَفه فِي سبْحَة

Artinya; “Tidak membatalkan shalat yaitu gerakan ringan yang berturut-turut, seperti menggerakkan jari-jari tanpa menggerakkan telapak tangan yang ada pada pakaian.”

Demikian penjelasan mengenai cara menggaruk anggota tubuh yang gatal ketika shalat agar tidak batal. Sekaligus menjawab pertanyaan apakah boleh garuk-garuk saat sholat? Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia

Di antara bentuk pemuliaan Allah Ta’ala terhadap umat manusia adalah Allah Ta’ala memberikan akal kepada mereka. Dan kadar akal yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia itu berbeda-beda sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagian manusia ada yang akalnya lebih sempurna dibanding sebagian yang lain (sebagaimana orang dewasa dengan anak-anak). Ada yang hilang akalnya seperti orang gila dan ada orang yang akalnya hilang sesaat semisal orang yang tidur, pingsan, atau orang sedang yang koma.

Perlakuan syariat terhadap berbagai perbedaan level (taraf) akal manusia tentu tidaklah sama. Orang yang mukalaf (terkena beban syariat) syaratnya harus berakal dan balig. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: (1) orang yang tidur sampai dia bangun, (2) anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan (3) orang yang gila sampai ia kembali sadar (sembuh).(HR. Abu Daud. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Berdasarkan hadis di atas, maka tidak diwajibkan ibadah seperti salat, puasa, haji, jihad, atau ibadah lainnya bagi tiga golongan orang tersebut.

Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyikapi perbedaan akal

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan orang-orang sesuai dengan kadar akal orang tersebut.

Pertama, Kisah diskusi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat memboncengkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ « يَا مُعَاذُ تَدْرِى مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ « لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا »

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, “Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas keledai yang diberi nama ‘Ufair.”

Mu’adz berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba dan apa hak hamba yang akan Allah tunaikan?’”

Mu’adz berkata, “Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba, hendaklah ia menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang akan Allah tunaikan yaitu Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.’”

Mu’adz berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh memberitahukan kabar gembira tersebut pada yang lain?’ Beliau menjawab, ‘Jangan kabari mereka. Nanti malah mereka malas beramal (mereka akan bersandar pada hal ini).’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang Mu’adz bin Jabal menyampaikan hal demikian karena beliau khawatir jika orang lain salah (gagal) paham terkait hadis tersebut. Dikhawatirkan orang-orang saat itu hanya cukup bersyahadat tanpa melakukan ibadah, menggampangkan tuntunan syariat, bahkan bermaksiat.

Dari hadis di atas dapat kita ketahui pula bahwa tidak semua kebenaran harus disampaikan kepada semua orang. Selayaknya dalam menyampaikan ilmu kepada orang lain itu disesuaikan dengan tingkat pemahamannya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ

Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. (HR. Bukhari)

Kedua, Muamalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak kecil.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أن أبا بكر رضي الله عنهما دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى

Abu Bakar radhiallaahu anhuma masuk menemui Aisyah. Di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang menabuh rebana. Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika itu menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, Abu Bakar membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata ‘Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.’ Pada waktu itu adalah hari-hari Mina. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي؛ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ، فَيَلْعَبْنَ مَعِي

Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dahulu aku juga memiliki teman-teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke rumah, teman-temanku pun berlari sembunyi. Beliau shallallahu alaihi wasallam pun meminta mereka untuk keluar agar bermain lagi, maka mereka pun melanjutkan bermain bersamaku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dawud juga meriwayatkan sebuah hadis dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadis ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah. Lalu, Rasulullah bertanya, “Apa ini wahai ‘Aisyah?”

Dia (‘Aisyah) pun menjawab, “Boneka-boneka (mainan) milikku.”

Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, “Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?”

‘Aisyah menjawab, “Kuda.”

Beliau bertanya lagi, “Apa itu yang ada pada bagian atasnya?.”

‘Aisyah menjawab, “Kedua sayapnya.”

Beliau menimpali, “Kuda punya dua sayap?”

‘Aisyah menjawab, “Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?” Beliau pun tertawa hingga aku (‘Aisyah) melihat gigi beliau. (HR. Abu Dawud no. 4934, hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani)

Beberapa hadis di atas menggambarkan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyikapi anak-anak termasuk istri beliau yang masih kecil dengan perlakuan yang baik karena akal anak-anak yang masih terbatas dan suka bermain.

Ketiga, Dialog Nabi dengan wanita yang berpenyakit ayan (epilepsi).

Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga? Aku pun menjawab, Tentu saja.

Ia berkata, “Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh, maka tanpa disadari auratku terbuka. Doakanlah supaya aku sembuh.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Maka, ia berkata, ‘Aku akan bersabar.’ Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku (bila kambuh, maka tanpa disadari auratku) terbuka. Maka, mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.’Maka, beliau shallallahu alaihi wasallam pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meremehkan dan memandang rendah orang yang akalnya kurang. Hendaknya seseorang yang akalnya lebih sempurna tidak boleh merasa sombong dan merendahkan orang-orang yang akalnya belum sempurna (kurang akal).

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86854-tuntunan-syariat-menyikapi-perbedaan-akal-manusia.html

Mengapa Dua Kalimat Sederhana Ini Berat di Timbangan Kelak? Begini Penjelasan Ulama

Tasbih, tasbih, dan tahlil bila digabungkan ringan dibaca tapi sarat pahala

Bagi Muslim setiap tindakan yang diniatkan karena Allah SWT akan bernilai pahala. Banyak amalan-amalan sederhana yang sebenarnya memiliki nilai tinggi bahkan bisa mendapat surga.

Pengurus Bidang Dakwah MIUMI Yogjakarta, Nanung Danar Dono, menyebutkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, Beliau bersabda: 

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu *’Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim’.” (HR Bukhari no 6682 dan Muslim no 2694) 

Hadits ini menjelaskan tentang sebuah amalan sangat sederhana, namun nilainya sangat tinggi di hadapan Allah SWT. Bahkan bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan di hari kiamat kelak. 

Amalan sederhana yang dimaksud adalah memuji keagungan Allah SWT  dengan melafazkan kalimat subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim, yang artinya: “Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Mahasuci Allah Yang Mahaagung”. 

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Muqaddimah al-Fath (Fath al-Bari) menjelaskan keutamaan hadits di antaranya: 

Pertama, maksud kata “dua kalimat” ini adalah untuk menyemangati beramal dengan berdzikir kalimat yang sangat ringan. 

Baca juga: 2 Buah Surga yang Ada di Dunia dan Diabadikan Alquran, Atasi Asam Urat Hingga Kanker

Kedua, maksud kata “dua kalimat yang dicintai” ini adalah untuk menyemangati orang yang berdzikir karena kedua kalimat tersebut dicintai Allah Yang Mahapengasih (Ar-Rahman). 

Ketiga, maksud kata “dua kalimat ringan” ini adalah untuk menyemangati beramal, karena dua kalimat ini sangat mudah sekali diucapkan, ringan diamalkan, dan hampir tidak ada kendala dalam mengucapkannya. Keempat, maksud kata “dua kalimat yang berat di timbangan” ini adalah untuk menunjukkan betapa besarnya pahala yang dijanjikan Allah SWT. 

Maka, mari kita amalkan bersama, agar tabungan amal kita semakin banyak untuk bekal kepulangan kita kelak di hari akhir. 

ISLAMDIGEST

Hukum Meminta Pap TT dalam Islam

Bagaimana hukum meminta pap TT dalam Islam? Istilah PAP dihubungkan dengan niatan seksual. Dalam konteks ini maknanya adalah meminta gambar sesuatu atau seseorang.

Menurut ajaran Islam, memandang aurat orang lain yang bukan mahram hukumnya haram. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Oleh karena itu, memandang payudara wanita yang bukan mahram hukumnya juga haram.

Pap TT juga termasuk dalam kategori perbuatan zina mata. Zina mata adalah perbuatan memandang dengan syahwat kepada lawan jenis yang bukan mahram. Zina mata bisa menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina yang lebih besar.

Selain itu, pap TT juga bisa menyebabkan fitnah. Fitnah adalah menyebarkan berita bohong yang bisa merusak nama baik orang lain. Pap TT bisa menyebabkan fitnah jika foto atau video payudara wanita yang disebarkan tanpa izin. Fitnah bisa merusak nama baik wanita yang bersangkutan dan bisa menimbulkan masalah hukum.

Oleh karena itu, umat Islam diharamkan untuk melakukan pap TT. Pap TT adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bisa menimbulkan banyak mudharat.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah juz 40, halaman 341:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ نَظَرُ الرَّجُل إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ. وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِأَدِلَّةٍ مِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ، وَبِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ. ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي تَحْدِيدِ الْعَوْرَةِ الَّتِي يَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا عَلَى أَقْوَالٍ

Artinya; Ulama bersepakat bahwa kaum pria haram memandang aurat perempuan muda bukan mahram. Mereka mendasarkan pandangannya dengan sejumlah dalil, salah satunya firman Allah;

“Katakanlah kepada orang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan padandangan mereka,’’.  Dan sabda Rasulullah SAW, ‘Allah menakdirkan sebagian dari zina untuk anak Adam di mana ia akan melakukan itu, bukan mustahil. Zina mata adalah melihat.’ Tetapi ulama berbeda pendapat perihal batasan aurat yang haram untuk dilihat pada sejumlah pendapat,”.

Demikian penjelasan terkait hukum meminta Pap TT dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Dua Dzikir yang Mempunyai Keutamaan Melimpah, Baca Setiap Hari Minimal 100 Kali

Dzikir merupakan salah satu aktivitas mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dengan berdzikir seorang hamba akan memperoleh ketenangan batin. Ia akan terhubung dengan Allah Ta’ala. Sehingga dengan dzikir dampaknya akan membuat seorang hamba memancarkan kebaikan-kebaikan dalam perilakunya dan ucapannya sehari-hari.   

Ada dua lafaz dzikir yang sangat istimewa. Orang yang membacanya, Allah SWT akan hapus dari segala keburukan dan dosa. Apa dua lafaz itu?  

Pertama   

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

Laa ilaaha ilIallaahu wahdah, Iaa syariikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir’ (Tiada Tuhan selain Allah, Dialah Tuhan Yang Maha Esa). 

“Tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah yang memiliki alam semesta dan segala puji hanya bagi-Nya. Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu).”   

Orang yang membacanya setiap hari sebanyak 100 kali akan mendapatkan pahala seperti orang yang memerdekakan 10 budak. Bagi orang yang membacanya akan dicatat 100 kebaikan dan dihapus 100 keburukan yang pernah diperbuatnya.   

Tak hanya itu, bila seseorang membaca lafaz ini pada pagi hari maka dia akan mendapatkan perlindungan Allah SWT dari godaan setan hingga sore hari.  

Kedua  

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ Subhaanallaah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya)   

Orang yang dapat mengamalkan bacaan tasbih ini seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.   

Baca juga: Cerita Mantan Menkes Lolos dari Maut, Kamar yang Disiapkan untuknya Ditembaki Israel

Keutamaan dua dzikir ini diungkapkan sebagaimana dalam sebuah hadits nabi Muhammad SAW dalam kitab Shahih Muslim:    

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَههُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّاا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ   

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata, “Aku membacakan kepada Malik dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilIallaahu wahdah, Iaa syariikalahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir’ (Tiada Tuhan selain Allah, Dialah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah yang memiliki alam semesta dan segala puji hanya bagi-Nya. Allah adalah Mahakuasa atas segala sesuatu) dalam sehari seratus kali, maka orang tersebut akan mendapat pahala sama seperti orang yang memerdekakan 10 orang budak dan dicatat seratus kebaikan untuknya, dihapus seratus keburukan untuknya. Pada hari itu ia akan terjaga dari godaan setan sampai sore hari dan tidak ada orang lain yang melebihi pahalanya, kecuali orang yang membaca lebih banyak dan itu. Barangsiapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus meskipun sebanyak buih lautan” (HR Muslim).   

IQRA

Kemenag Lakukan Persiapan Haji 2024 Lebih Awal, Ini Pertimbangannya

Persiapan haji untuk maksimalkan penyelenggaraan

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah menyatakan operasional haji 1444 H/2023 M resmi berakhir pada 5 Agustus lalu. 

Dalam kesempatan itu, dia pun menyebutkan harapannya agar persiapan haji tahun depan dilakukan secepat mungkin. 

Menyusul hal tersebut, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) pun tak lantas berdiam diri. Beberapa hal langsung dilakukan, seperti proses sosialisasi, pembaruan kontrak kerja, serta mitigasi yang harus dilakukan. 

Berdasarkan informasi yang ada, proses evaluasi yang tengah dilakukan ini akan melahirkan mitigasi dan solusi, untuk bisa serentak dilakukan pada 2024. 

“Empat bulan sisa waktu kita dalam pendorongan evaluasi, mitigasi, solusi dan sosialisasi. Khususnya Direktorat Pelayanan Haji Dalam Negeri, semuanya harus diselesaikan,” ujar Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri, Saiful Mujab, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (31/8/2023). 

Informasi ini dia sampaikan dalam kegiatan Evaluasi Monitoring Pelayanan Jamaah Haji di Asrama Haji pada Masa dan Pascaoperasional Haji Tahun 1444 H/2023 M. 

Bagi peserta yang hadir, dia meminta untuk aktif dan ikhlas dalam menjalankan tugasnya, karena waktu yang disediakan terbatas dalam menyelesaikan proses persiapan keberangkatan jamaah haji. 

Dalam proses evaluasi yang dilakukan saat ini, dia menyebutkan perlunya untuk melakukan mitigasi. Hal ini dilihat dari penyelenggaraan haji yang disosialisasikan kemarin, apakah ada gesekan publik terhadap kebijakan yang telah dibuat. 

“Semua ini perlu diantisipasi. Khususnya proses pelayanan jamaah yang dimulai dari asrama haji, yang membutuhkan koordinasi lintas Kementerian/Lembaga,” lanjut dia. 

Tidak hanya itu, Saiful Mujab juga menegaskan bahwa tidak ada zona aman. Semuanya bergerak dalam proses kontrak koordinasi dengan stakeholder. 

Dia menegaskan, jika evaluasi dan mitigasi ini tidak dimulai sesegera mungkin, maka sosialisasi kepada publik akan terhambat. Setiap pihak harus belajar dari evaluasi haji tahun ini, untuk perbaikan tahun depan. 

“Bagian Pelayanan Haji Dalam Negeri siap dalam proses monitoring dan pengawasan sehingga semuanya berjalan sesuai dengan timeline yang sudah ditetapkan,” ucap dia. 

Proses tata ruang sektoral dan lintas kerja sama, lanjut dia, memerlukan regulasi mendetail, sehingga asrama haji dapat menjalankan layanan secara seragam. Untuk itu, dibuatlah layanan spesifik perihal asrama haji. 

Saiful Mujab menyebut asrama haji merupakan gerbang awal dari operasional haji Indonesia. Karena itu, Kementerian Agama (Kemenag) akan terus mengawal sampai prosesnya selesai. 

Hadir dalam acara tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Ahmad Abdullah, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Saiful Mujab, Kepala Subdit Asrama Dasrul, 33 peserta kepala Bidang Haji Kanwil Kemenag Provinsi dan kepala UPT seluruh Indonesia dan 25 peserta pusat.   

IHRAM

Bahaya Hasad dalam Berdakwah

Godaan dai dalam berdakwah adalah hasad dan dengki, karena sesungguhnya kita ibarat batu bata yang saling mengukuhkan antara satu sama lain

KITA sering mendengar tentang penyakit hasad, iri, dengki sebagai bagian dari kehidupan. Bagi seorang dai, telah dijanjikan bahwa menghadapi orang-orang mukmin yang iri hati merupakan tantangan besar yang harus diatasi dalam perjalanan dakwah.

Mari kita memperhatikan di sekitar kita khususnya. Bagaimana hasad, dengki  dan iri hati suatu perkara yang tidak asing.

Tidak sedikit sebagaian umat Islam sendiri saling menjatuhkan dan menghancurkan kebahagiaan orang lain hanya karena tidak senang melihat keberhasilan dan kelebihan yang dimiliki orang lain.

Tidaklah mustahil penyakit seperti ini juga ada dalam komunitas dakwah sendiri. Padahal, jika kita membiarkannya hal itu meracuni jiwa kita, akan banyak amal dan dakwah yang lumpuh.

Parahnya lagi, kita tidak ingin dakwah ini berhenti karena di antara kader-kader dakwah yang saling mengadu domba dan saling menjatuhkan.  Imam-Nawawi  dalam Syarah Muslim pernah berkata “Para ulama berkata,  Persaingan untuk mendapatkan sesuatu berlomba-lomba untuk mendapatkannya dan tidak suka orang lain mengambilnya, itulah awal dari tingkat rasa iri. Adapun iri hati (dengki) yaitu ingin kehilangan nikmat dari orang lain.”

Hasad dan iri hati semuanya adalah  tanda- tanda hati yang sedang sakit. Untuk para dai sekalipun, memelihara kesucian hati adalah titik tolak utama dalam gerakan dakwah, sebab hati yang menyala bercahaya senantiasa memancarkan tenaga pada jasadnya dan begitulah sebaliknya.

Dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam sekawanan kambing lebih merusak terhadapnya daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib Wat Tarhib no. 1710).

Boleh jadi dalam kesibukan pendakwah dalam kerja-kerja amal para dai terlupa untuk melihat akan keadaan hati dia sendiri, mungkin karena penat menghadapi kesibukan dunia, akhirnya jiwa menjadi kosong walaupun jasad terus bergerak dengan amal lahiriah.

Inilah permulaan bagaimana hasad dan dengki mulai menjangkiti para pendakwah. Biasanya hati yang sakit ia tidak mampu melihat kelebihan, kesuksesan yang miliki orang lain.

Sungguhpun ada yang sibuk dalam berdakwah, jika hatinya sakit, ia tidak terlepas menyimpan sifat cemburu melihat kelebihan, keberhasilan pendakwah lain, ormas lain, lembaga lain, dalam berdakwah.

Ada yang hatinya sakit melihat para pendakwah lain dicintai masyarakat dan para jamaahnya. Ada yang memiliki perasaan iri melihat keberhasilan dakwah orang lain yang jauh lebih maju dalam dakwahnya.

Meski merasa ada kekurangan pada diri sendiri, tapi di lubuk hatinya yang terdalam ia lebih suka menuding orang lain yang lebih dipercaya umat dan jamaah.

Sabda Baginda Rasulullah ﷺ

أَبْشِرُوْا وَأَمِّلُوْا مَا يَسُرُّكُمْ فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلٰكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Berilah kabar gembira dan carilah apa yang dapat membuat kalian gembira. Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian, akan tetapi yang aku khawatirkan terhadap diri kalian adalah dibentangkannya kemewahan dunia pada diri kalian sebagaimana dibentangkannya kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba untuk mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba, sehingga harta dunia tersebut akan membinasakan kalian sebagaimana keluasan dunia membinasakan mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Coba perhatikan bersama, mungkin awalnya hanya prasangka buruk terhadap sesama anggota jamaah lain, pendakwah lain di luar golongan kita, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi perasaan iri, dengki, dan hasad dan akhirnya menebar fitnah.

Maka berhati-hatilah, kilatan rasa iri, hasad, walau hanya sedikit, mungkin bisa menjadi api yang meluluhkan dakwah kita.

Dakwah bukanlah medan persaingan. Dakwah bukanlah ladang untuk menunjukkan siapa yang paling cepat melaju, siapa paling hebat, namun ini adalah ladang amal jamaah.

Bidang yang kita gerakkan ibarat menumpuk batu bata satu per satu yang pada akhirnya akan membentuk menara yang presisi.

Para pendakwah terkadang menganggap enteng hal ini. Mungkin karena mereka semua menganggap dirinya adalah orang-orang yang terbina, sudah lama mengaji, sudah diundang kemana-mana, sehingga merasa merasa aman dan jauh dari penyakit hati.

Mari bangun! Hasad, rasa iri dan dengki sesungguhnya sangat halus dan bisa mungkin menjangkiti jiwa kita, tanpa kita sadari dan kita duga. Karena itu sangat penting memperbaharui niat agar setiap amal dan ibadah kita hanya kepada Allah semata, bukan untuk balasan dunia, apalagi untuk follower.

Amatlah penting untuk setiap kader-kader dakwah mengenali kelebihan dan potensi diri masing-masing serta berusaha mengembangkan kebolehan mereka tanpa rasa perlu menjatuhkan  teman-teman lain.

Kita hendaklah sadar bahwa dakwah ibarat kapal yang membawa penumpang menuju jalan selamat, tidak hanya seorang nahkoda yang hebat saja yang memimpin kapal yang dibutuhkan, bahkan setiap individu yang berada di dalamnya harus memperkuat struktur kapal ini agar akhirnya dapat berlayar dengan selamat sampai ke tujuan abadinya.

Wahai saudara-saudaraku, kita koreksi diri kita! Kita buang segala prasangka-prasangka buruk dan perasaan tidak senang sesama, karena sesungguhnya kita ibarat batu bata yang saling mengukuhkan antara satu sama lain.*/isma

HIDAYATULLAH