Hukum Melepaskan Pakaian Jenazah ketika Dimandikan

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثِيَابِهِ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا، أَمْ نَغْسِلُهُ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ، ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ: أَنْ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ، فَقَامُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ، يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ ، وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَقُولُ: لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ، مَا غَسَلَهُ إِلَّا نِسَاؤُهُ

Ketika mereka (para sahabat) hendak memandikan (jenazah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak tahu apakah kita akan menanggalkan pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana kita menelanjangi orang-orang yang meninggal di antara kita, atau kita memandikannya dalam keadaan beliau memakai pakaiannya?’

Ketika mereka berselisih (pendapat), Allah menidurkan mereka hingga tidak ada seorang pun melainkan dagunya menempel pada dadanya. Kemudian mereka diajak bicara seseorang yang berbicara dari sisi rumah, mereka tidak mengetahui siapakah dia. Orang tersebut berkata, ‘Mandikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan memakai pakaiannya.’ Kemudian mereka bangkit menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memandikan beliau dalam keadaan beliau memakai jubahnya. Mereka menuangkan air dari atas jubah dan memijat-mijatnya dengan jubah bukan dengan tangan mereka. Aisyah berkata, ‘Seandainya nampak bagiku dahulu seperti apa yang nampak sekarang ini, maka tidak ada yang memandikan beliau kecuali para istrinya.‘” (HR. Ahmad 43: 331 dan Abu Dawud no. 3141, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Para sahabat yang terlibat dalam memandikan jenazah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Ali bin Abi Thalib, paman beliau ‘Abbas, Al-Fadl bin Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid, dan Qutsam bin ‘Abbas radhiyallahu Ta’ala ‘anhum. Yang memandikan langsung adalah ‘Ali bin Abi Thalib, sedangkan sahabat yang lain membantu beliau menuangkan air.

Terdapat beberapa faedah dari hadis di atas, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis ini merupakan dalil bahwa memandikan jenazah itu merupakan suatu perkara yang telah dikenal luas (ma’ruf) di kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga, pakaian jenazah itu ditanggalkan (dilepas) ketika dimandikan. Hal ini karena dengan dilepasnya pakaian tersebut, hal itu akan lebih memudahkan dalam memandikan dan juga lebih baik dalam membersihkan jasad jenazah. Adapun kemaluan si mayit, hendaknya ditutupi dengan kain.

Dalil dalam masalah ini adalah perkataan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Kami tidak tahu apakah kita akan menanggalkan pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana kita menelanjangi orang-orang yang meninggal di antara kita?”

Perkataan tersebut menunjukkan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum dulu menanggalkan pakaian jenazah ketika memandikan jenazah.

Sedangkan menutup kemaluan jenazah, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain.” (HR. Muslim no. 338)

Selain itu, ketika memandikan jenazah, hendaklah di ruangan tertutup, baik itu berupa tenda atau ruangan tertentu. Dan hanya dihadiri oleh orang-orang yang memang membantu secara langsung proses memandikan jenazah, bukan hanya sekedar melihat-lihat. Artinya, proses memandikan jenazah tersebut tidak dijadikan tontonan oleh masyarakat.

Faedah kedua

Sempat terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam tata cara memandikan jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah pakaian beliau ditanggalkan (sebagaimana jenazah para sahabat yang lainnya) ataukah tidak. Hal ini sebagai bentuk pemuliaan para sahabat terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala pun menidurkan mereka dan mereka mendengar ada seseorang yang berbicara untuk memandikan jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan tetap memakai pakaiannya. Para sahabat pun kemudian bersepakat bahwa jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimandikan dalam keadaan tetap memakai pakaiannya. Sehingga, para sahabat menuangkan air pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga menggosok badan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di balik pakaian beliau. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Hal ini menunjukkan bawa jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu berbeda dengan jenazah yang lain. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa pakaian beliau tidak ditanggalkan ketika jenazahnya dimandikan. Ini termasuk kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tashilul Ilmam, 3: 25)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 258-259) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhi Al-Ahadits min Bulughil Maram (3: 24-25).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86594-hukum-melepaskan-pakaian-jenazah-ketika-dimandikan.html

Ya Allah, Kenapa Saya Dilahirkan di Indonesia?

Kenapa saya dilahirkan di Indonesia? Pada mulanya, saya pernah sangat berharap dilahirkan di zaman Rasulullah hidup. Zaman yang bisa bertemu dan  mendengar nasehat langsung dari baginda Rasulullah. Jika pun tidak sezaman Nabi, kenapa saya tidak dilahirkan di Makkah agar dekat dengan rumah suci Allah.

Namun, saya pun terpikir, apakah ketika saya hidup sezaman dengan Nabi saya seberuntung hari ini dapat mengimani Islam? Apakah saya juga seberuntung seperti saat ini  dilahirkan dalam keadaan normal dan dengan kasih orang tua yang memadai?

Jangan-jangan saya bukan termasuk golongan Abu Bakar yang mempercayai Islam pertama kali. Mungkin juga bukan termasuk golongan Ali bin Abi Thalib yang termasuk kelompok pemuda yang pertama mengimani Islam. Bagaimana jika saya justru masuk kelompok Abu Jahal yang justru menentang Islam saat itu.

Jika pun saya dilahirkan di Makkah yang dekat dengan rumah suci, akankah saya ditakdirkan menjadi orang shaleh dan senang bersungguh-sungguh seperti orang Indonesia saat ini yang bisa mengorbankan segalanya untuk pergi ke Makkah menunaikan Haji dan Umrah.

Saya pun mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang di luar kendali kita. Lahir dengan jenis kelamin tertentu, di zaman tertentu, di tempat tertentu dan dengan keimanan tertentu. Semua adalah hak Tuhan yang teramat jauh dari kontrol dan kehendak kita. Bahkan persoalan keimanan adalah rahmat dan hidayah Allah semata.

Tuhan mempunyai kehendak terbaik atas keragaman. Tuhan menciptakan keragaman dari hal kecil hingga besar. Tidak ada yang sama di bumi ini meskipun bentuknya bisa jadi sama persis. Ada yang berbeda dalam setiap makhluk yang diciptakan.

Saya memahami, benar sekali! Perbedaan itulah yang membuktikan Kuasa Tuhan. Tuhan mencetak manusia dalam bentuk yang sama, tetapi masing-masing memiliki sesuatu yang unik yang antar satu manusia berbeda.

Kita tidak bisa memilih atau menolak dilahirkan dalam jenis kelamin, suku, etnis, bangsa dan keyakinan tertentu. Semua adalah skenario Tuhan melalui hukum alamNya. Tidak ada yang bisa menentang apalagi bersikap sok kuasa melawannya.

Bukan perintah Tuhan agar kita saling memaksa harus sama, tetapi Tuhan menghendaki kalian harus saling mengenal dan memahami. Ya, saya lupa Tuhan telah memperingatkan hal itu melalui firmanNya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS : Al-Hujurat, 13).

Ternyata, tidak ada yang perlu disesali atas kehendak Tuhan. Hal di luar kendali kita tidak mungkin kita lawan. Jangankan keimanan orang lain yang di luar kehendak kita, bahkan keimanan kita setiap detik, jam, dan hari selalu berubah-rubah.

Mentalitas yang menyesali dan melawan kehendakNya hanya melahirkan pribadi yang arogan, merasa paling benar dan mungkin paling dekat dengan Tuhan. Pribadi yang obsesif yang hendak menjadikan semua di luar dirinya harus sama dengan dirinya.

Lalu, Saya kembali seolah diingatkan Tuhan setelah membaca firmanNya : Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS : Al-Maidah 48).

Ya, benar sekali! Akhirnya saya menemukan jawaban tegas dari Tuhan. Tuhan memang tidak hendak menjadikan kita satu umat. Setiap umat ada pedoman, norma dan petunjuk masing-masing. Tugas kita saling mengenal dan memahami, plus satu lagi saling berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Menyesal dilahirkan di Indonesia? Tidak! Saya justru mensyukuri nikmat Tuhan. Indonesia sudah sesuai dengan firmanNya yang menciptakan keragaman dan perbedaan. Di tanah air ini justru saya melihat bukti nyata kehendak Tuhan yang menciptakan keragaman.

Bayangkan beribu-ribu pulau, suku, etnis dan Bahasa bertebaran di bumi nusantara ini. Orang Jawa bertemu dengan bugis, Minangkabau berbaur dengan Madura, orang Papua bernyanyi bersama dengan orang Sunda. Dan beragam lintas pergaulan yang sekali lagi atas perintah Tuhan saling memahami dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Ya Allah, terima kasih telah melahirkan saya di bumi yang indah ini. Lahir di bagian bumi yang penuh warna keragaman. Tentunya, lahir dengan rahmat dan hidayahMu dalam keadaan Islam. Dan, saya selalu memohon untuk suatu saat mati dalam menggengam iman Islam.

ISLAMKAFFAH

(Video) Kurang Bersyukur, Warga Jepang Ini Habiskan Uang Ratusan Juta Ubah Penampilannya Jadi ‘Anjing’  

Seorang pria Jepang mengubah dirinya menjadi seekor anjing setelah membelanjakan lebih dari US$14.000 (Rp 200 juta) untuk pakaian yang dibuat secara khusus.

Pria itu menyebut dirinya Toco di saluran YouTube-nya, membagikan perjalanannya mewujudkan mimpinya menjadi ‘binatang’ dengan lebih dari 32.000 pelanggan saluran tersebut. Dia memamerkan dirinya yang baru dalam kostum binatang saat dia bermain di padang rumput dan berguling-guling di lantai tidak berubah seperti anjing.

Toco juga mengunggah video dirinya tampil dengan kostum anjing collie di depan umum untuk pertama kalinya.  Video tersebut mendapat banyak perhatian, mencapai lebih dari 1,7 juta penayangan.

Toco mengatakan dia melengkapi kostum itu dengan ikat pinggang khusus yang diikatkan di perutnya yang berbulu, tetapi mengaku gugup dan takut untuk tampil di depan umum.

“Apakah kamu ingat mimpimu sejak kecil? Kamu ingin menjadi pahlawan atau orang dengan kekuatan magis,” katanya melalui klip. “Saya ingat menulis di buku kelulusan sekolah dasar saya, saya ingin menjadi seekor anjing dan berjalan di luar,” katanya.

Toco juga menjawab beberapa pertanyaan dalam video yang diposting tahun lalu, mengakui bahwa dia selalu memiliki mimpi ‘kabur’ untuk menjadi binatang sejak dia masih kecil.

“Ketika saya memenuhi mimpi itu, akan seperti ini jadinya,” katanya.

Namun, kata pria itu, dia menyembunyikan minatnya dari sepengetahuan keluarga dan teman-temannya. “Saya jarang cerita ke orang terdekat karena saya takut mereka menganggap saya aneh.”

“Untuk alasan itu saya merasa nyaman untuk tidak menunjukkan diri saya yang sebenarnya di balik kostum ini,” katanya kepada portal Mirror.

Sementara itu, juru bicara perusahaan yang memproduksi kostum collie Toco, Zeppet, mengatakan butuh 40 hari untuk membuat kostum fesyen berbulu seharga US$14.161 (sekitar Rp 215 juta).

“Terinspirasi oleh anjing collie, kostum diproduksi seperti anjing sungguhan yang bisa berjalan dengan empat kaki,” katanya kepada news.com.au.

Unggahan aktivitas Toco rupanya menarik perhatian warganet. Banyak dari mereka berkomentar terhadapnya.

“Manusia ini makin  aneh, menantang kodrat sbg binatang. Manusia diciptakan Tuhan mahluk paling sempurna yg ini malah ingin jadi binatang,” ujar pemilik akun @D00lly di akun Tribun.

“Dikasih kesempurnaan malah kurang syukur,” ujar lainnya.

Bahkan ada yang menanggapi lebih sadir. “Perlu diperiksakan psikiater nih orang,” ujar pemilik akun @jefry47307.*

Tautan Video

HIDAYATULLAH

5 Tips Doa Mustajab dari Rasulullah 

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tips doa mustajab dari Rasulullah Saw. Di dalam satu hadist Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ada beberapa tips agar doa yang dipanjatkannya mudah dikabulkan oleh Allah Swt. hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah Ra;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إلا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِن الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تعْمَلُونَ عَلِيمٌ}. وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}. ‌ثُمَّ ‌ذَكَرَ ‌الرَّجُل ‌يُطِيلُ ‌السَّفَرَ، أَشْعَثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ. يَارَبِّ، يَارَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَام، وَمَلْبَسُهُ حَرَام، وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ، فَأنى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ”.

Artinya; “Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw bersabda; “Wahai Manusia sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali kepada yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman dengan apa yang juga diperintahkan kepada para rasul-Nya. Lalu Allah berfirman; ‘Wahai para Rasul makanlah dari yang baik-baik dan beramal shalehlah, sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang kalian lakukan. 

Dan Allah berfirman; ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau Rasulullah menyebutkan ada seseorang melakukan perjalanan dalam keadaan kumal dan berdebu sembari mengangkat kedua tangannya ke atas langit, seraya berkata Tuhanku, Tuhanku, padahal makanannya haram, minuman haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dengan yang haram. Lalu bagaimana doanya akan dikabulkan.” (HR. Imam Muslim).

Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah menyebutkan lima unsur yang memudahkan dikabulkannya doa. 

Pertama, Kondisi safar atau bepergian, ada hadits dari Abu Hurairah Ra bahwa rasulullah saw pernah bersabda; ‘Ada tiga bentuk doa yang pasti dikabulkan oleh Allah. Doa orang yang terdzolimi, doa orang yang bepergian, dan doa orang tua kepada anaknya. (HR. Imam Turmudzi). Mengapa safar menjadi alasan dikabulkannya doa? Karena pada kondisi safar rasa pasrah dan tawakkal kepada Allah yang dirasakan musafir sangatlah besar.

Kedua, Menampakkan kerendahan diri di hadapan Allah, hal ini digambarkan oleh Rasulullah Saw dengan kondisi orang yang berpakaian lusuh dan rambutnya berdebu.

Ketiga, Menengadahkan tangan ke langit. Hal ini dikuatkan dengan hadist Rasulullah “Sesungguhnya Allah Pemalu Yang Mulia, Malu bila seseorang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya dan kembali dengan sia-sia.” (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad).

Keempat, Meminta dengan sungguh-sungguh. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah Saw pada hadist di atas dengan orang yang merintih mengatakan Ya Rab Ya Rab

Kelima, Mengkonsumsi sesuatu dari yang halal-halal. Karena ketika ada sesuatu yang haram pada diri kita itulah yang justru akan menjadi penghambat dari dikabulkannya doa. Sebagaimana seseorang yang dikisahkan dalam hadist di atas bahwa ia telah memohon dengan sungguh-sungguh tapi apa yang dikonsumsi dan dipakainya dari sesuatu yang haram. Dan poin yang kelima ini menjadi kunci utama dari dikabulkannya doa oleh Allah Swt.

Demikian penjelasan mengenai tips mustajab dari Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Ibu Hamil Tidak Boleh Umrah?

Benarkah ibu hamil tidak boleh umrah? Animo untuk melaksanakan umrah terbilang tinggi di masyarakat Indonesia. Umrah digemari segala macam orang, baik laki-laki, perempuan, tua, maupun anak-anak. Jadi pertanyaan adalah bagaimana hukum melaksanakan umrah bagi ibu hamil dalam Islam? Apakah ada pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan?

Benarkah Ibu Hamil Tidak Boleh Umrah?

Dalam Islam, melaksanakan umrah hukumnya adalah sunnah. Ibadah ini dilakukan dengan mengunjungi Masjidil Haram di Mekah. Dalam pelaksanaan umrah,  melibatkan serangkaian ritual, termasuk thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (berlari-lari di antara bukit Shafa dan Marwah), serta tahallul (mencukur atau memotong rambut).

Terkait hukum umrah bagi wanita hamil, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan individu.

Prinsip dasar dalam Islam adalah menjaga kehidupan dan kesehatan diri sendiri serta orang lain. Oleh karena itu, jika melakukan ibadah berpotensi membahayakan kesehatan ibu hamil atau janin yang dikandungnya, Islam memberikan kelonggaran dan pertimbangan tertentu.

Dalam konteks umrah, mayoritas ulama sepakat bahwa ibu hamil diperbolehkan untuk menunda atau tidak melaksanakan umrah selama masa kehamilan jika ada potensi risiko terhadap kesehatan ibu atau janin. Meskipun umrah bukanlah kewajiban seperti haji, melainkan ibadah yang dianjurkan, tetapi kesehatan dan keselamatan ibu dan anak lebih diutamakan.

Seorang ibu hamil dapat memilih untuk menunda umrah sampai setelah melahirkan dan kondisinya memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Dalam banyak kasus, kesehatan dan kondisi ibu hamil akan lebih baik jika tidak terlibat dalam aktivitas fisik yang melelahkan seperti berjalan jauh, berdiri lama, atau terkena panas yang berlebihan.

Syekh Syauqi Alam Ibrahim, dari Dar Ifta Mesir memberikan penjelasan secara panjang lebar. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya perempuan atau ibu hamil diperbolehkan syariat menjalani umrah, akan tetapi dengan catatan, bahwa itu tidak sampai mengakibatkan mudharat bagi kandungan dan bayinya.

أداء العمرة للمرأة الحامل متوقف على مدى قدرتها واستطاعتها في القيام بهذه الشعيرة، فإن علمتْ مِن نفسها أنها قادرة على القيام بها دون أن يلحقها ولا جنينها أي ضرر، كان لها ذلك، وإن علمتْ مِن نفسها احتمال تضررها أو جنينها بمشقة السفر والمناسك، كان الأولى في حقها عدم أداء العمرة حتى تضع حملها وتستعيد صحتها ويزول احتمال تضررها، ويؤيد كلُّ هذا رأي الطبيب المختص، لا سيما وأن الأمر هنا لا يتعلق بها وحدها، وإنما يتعلق أيضًا بالجنين الذي تحمله في بطنها.

Artinya; Ibu hamil dapat melakukan umrah bergantung pada kemampuan dan kesiapannya dalam menjalankan ibadah ini. Jika ia yakin mampu melakukannya tanpa membahayakan dirinya atau janinnya, maka boleh dilakukan.

Namun, jika ia merasa ada risiko bagi kesehatannya atau janinnya karena kesulitan dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah, sebaiknya ia tidak melaksanakan umrah sampai ia melahirkan, pulih kesehatannya, dan hilang risiko yang ada. Pendapat dokter yang ahli sangat mendukung hal ini, terutama karena ini tidak hanya berhubungan dengan ibu hamil, tetapi juga dengan janin yang ada dalam kandungannya.

Terakhir, bagi ibu hamil yang ingin melaksanakan seyogianya melakukan konsultasi medis sebelum memutuskan untuk melakukan umrah. Sebaiknya ia berkonsultasi dengan tenaga medis atau dokter kandungan. Dokter akan dapat memberikan penilaian medis terkait apakah perjalanan dan aktivitas umrah aman bagi kondisi kesehatan ibu dan janin.

Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARAIAH

Doa Saat Cuaca Panas

Berikut ini doa saat cuaca panas. Persoalan cuaca panas dan kekeringan adalah fenomena alam yang dapat memberikan dampak signifikan pada lingkungan dan kehidupan manusia. Saat suhu meningkat dan hujan jarang turun, banyak tantangan muncul, mulai dari kekeringan hingga risiko kebakaran hutan.

Dalam keadaan cuaca panas, selain berlindung, sebagai umat muslim juga sebaiknya kita memanjatkan doa. Nah berikut ini ada doa saat cuaca panas yang bisa dibaca seorang muslim. Doa ini sebagaimana terdapat dalam Dar Ifta Mesir. Ini adalah doa saat cuaca panas;

اللهم أجرني من حَرِّ جهنم، أو اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ، ومن عذاب النار، ومن كلِّ عملٍ يقربنا إلى النار، وأصلح لنا شأننا بفضلك وكرمك يا عزيز يا غفَّار”

Allahumma ajirni min harri jahannam, allahumma ajirhu minannari, wa min ‘azabin nari, wa min kulli ‘amalin yuqarribuna ila nari, wa aslih lana syaknana bi fadlika wa karamika ya aziz ya ghaffar

Artinya; Ya Allah, berilah kami pahala dari panasnya neraka”, atau “Ya Allah, berilah kami pahala dari api neraka, dari siksa neraka, dan dari setiap perbuatan yang mendekatkan kami kepada neraka. Perbaikilah keadaan kami dengan karunia dan kemurahan-Mu, wahai Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Selain itu, ada juga doa yang bisa dibaca saat cuaca panas. Doa ini bisa dibaca sebagai upaya meminta pertolongan pada Allah;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذَا الْيَوْمِ، وَخَيْرِ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ وَالْعَطَشِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، وَسُوءِ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

Allahumma asaluka min khairi hadza al yaum, wa khaira ma ba’dahu, wa a’udzubika min syarri hadza al yaum wa syarri ma ba’dahu, allahumma inni a’udzubika minal ju’u, wa ‘athasy wa sui al kibari, wa sui fitnati al mahya wal mamat

Artinya: ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu segala kebaikan pada hari ini dan segala kebaikan yang akan datang setelahnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala keburukan pada hari ini dan segala keburukan yang akan datang setelahnya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa lapar, haus, buruknya usia tua, dan buruknya ujian kehidupan dan kematian.”

Doa ini mengandung permohonan kepada Allah untuk mendapatkan kebaikan dan perlindungan dari segala keburukan yang mungkin datang, terutama dalam menghadapi cuaca panas dan kondisi yang sulit.

BINCANG SYARIAH

Self-Healing Nabi Yusuf Menghadapi Masalah dan Cobaan

Self-healing merupakan istilah psikologi yang saat ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat modern, baik di media sosial instagram, twitter, whatsapp, podcast, youtube, dan telah menjadi trend baru dalam istilah psikologi. Kehidupan manusia yang kerap dihadapkan dengan berbagai gesekan, konflik, atau pun permasalahan hidup yang terus-menerus, jika tidak direspon dengan baik, maka akan menyebabkan gangguan kesehatan mental.

Salah satu upaya untuk menyembuhkan gangguan kesehatan mental ialah dengan melakukan self-healing. Self-healing merupakan salah satu metode yang secara harfiah mengandung makna penyembuhan diri, dan proses penyembuhan atau pengobatan.

Dalam Islam bentuk kesedihan atau hal yang tidak menyenangkan termasuk ke dalam ujian yang akan dihadapi setiap manusia yang mengaku beriman kepada Allah Swt. Sebagaimana dalam firman-Nya: Qs. al-„Ankabūt/ 29: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?”.

Kitab suci al-Qur’an menyampaikan pesan langit dengan berbagai macam bentuk. Salah satu di antara bentuk penyampaian petunjuk dalam bentuk kisah-kisah. Diantara berbagai kisah dalam al-Qur’an, ada satu kisah yang disampaikan secara lengkap dan terperinci dalam satu surah. Yakni surah Yusuf yang mengisahkan Nabi Yusuf as. dan keluarga. Kisah ini tergolong min anbâal-rusûl. Yakni kisah para rasul untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang beriman.

Kisah Nabi Yusuf as. telah direkam dalam al-Qur’an sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. Penelitian yang diteliti oleh Maimunah dengan judul “Konflik Psikologis Kisah Yusuf dalam Al-Qur’an menjadi landasan awal peneliti untuk mengembangkan dan menemukan solusi dari konflik dalam kisah tersebut.

Dalam kisah Nabi Yusuf as. terdapat gambaran penyakit mental. Maka diperlukan pendekatan secara kontekstual baik dari segi pengendalian diri atau penyembuhan diri (self-healing) yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as. dan para tokoh didalamnya.

Berdasarkan hal diatas, maka penulis tertarik untuk membahas konteks self-healing yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as. Di dalam surah Yusuf, tentunya tidak semua ayat mengandung konsep self-healing, hanya memuat beberapa ayat yang menunjukkan sikap Nabi Yusuf as dalam menghadapi penderitaan.

Pengertian Self-Healing

Secara harfiah self-healing mengandung makna penyembuhan diri. Self-healing adalah sebuah tahap untuk melakukan proses pemulihan diri dari berbagai luka batin, seperti ketakutan, emosi yang tidak stabil, stress, depresi, kehilangan semangat hidup, kecenderungan berputus asa, dan berbagai gangguan psikologis lainnya. Proses self-healing ini melibatkan peran diri sendiri secara masif dalam menyembuhkan luka batin. Dengan dorongan insting dan kemauan diri sendiri. Bisa dikatakan bahwa metode self-healing ini merubah keadaan dari yang negatif menjadi positif.yang umumnya dialami oleh orang-orang secara psikologis.

Self-healing juga salah satu metode penyembuhan gangguan mental tanpa obat-obatan, namun penyembuhan ini melalui proses peleburan emosi dan perasaan individu yang selama ini telah terpendam di dalam tubuh, dan bisa muncul suatu waktu. Sehingga diperlukan adanya usaha individu untuk menghilangkan emosi yang dirasakan dalam diri ketika mengingat atau tersentuh dengan hal-hal yang menyakitkan batin.

Tujuan dan Manfaat Self-Healing

Self-healing sebagai bentuk usaha dalam pemulihan memiliki tujuan untuk menciptakan hidup yang lebih nyaman dengan diri sendiri dan menjadi diri sendiri dalam menghadapi berbagai konflik dan masalah di masa depan. Metode ini bertujuan untuk mengurangi rasa stress, takut, hingga depresi akibat gangguan mental salah satu tujuan paling penting dari self-healing. Tujuan lain dari self-healing adalah sebagai upaya untuk melatih diri dalam mengelolah emosi negatif yang bisa datang kapan saja tanpa diduga, untuk mereduksi stress yang dialami setiap individu, dan membantu individu untuk keluar dari belenggu tekanan, luka batin, yang belum dilepaskan dari dalam pikiran.

Manfaat Self-Healing Bagi individu yang mengalami berbagai gangguan mental, seperti stres, depresi, ketakutan, dan kecemasan akibat luka batin atau trauma masa lalu yang memenuhi ruang pikiran dan kesadaran diri, hingga mengakibatkan kelelahan yang berkepanjangan, maka cara terbaik untuk memulihkan diri adalah dengan self-healing. Metode self-healing salah satu solusi yang sangat bermanfaat untuk membantu individu menyelesaikan gangguan mental, serta keseimbangan diri menghadapi kondisi mental negatif. Proses self-healing bermanfaat dalam mempercepat pemulihan psikologis yang dialami individu dengan berbagai teknik dan tahapan-tahapan pemulihan.

Kisah Yusuf AS dan Self-Healing

Pertama, Self-Healing Nabi Yusuf As Terhadap Saudaranya

Penafsiran tentang pemaknaan konteks Self-healing yang dilakukan Nabi Yusuf As. ketika dijerumuskan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam Qs. Yūsuf/ 12:15, “Maka, ketika mereka membawanya serta sepakat memasukkannya ke dasar sumur, (mereka pun melaksanakan kesepakatan itu). Kami mewahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan mereka ini, sedang mereka tidak menyadarinya”

Pemaknaan secara kontekstual ditinjau dari psikologi mengenai konsep self-healing (penyembuhan diri) yang tercermin dari sikap Nabi Yusuf yaitu Penerimaan Diri (Self-Compassion). Self-compassion adalah kemampuan untuk memahami keadaan emosi dalam diri, respon emosi atas penderitaan yang dialami, dan disertai keinginan untuk menolong diri. Self-compassion merupakan bagian dari maca-macam self-healing dalam menyembuhkan luka penderitaan, ketidaknyamanan, peristiwa buruk, dan selalu berupaya membebaskan diri dari duka yang berlarut.

Sikap yang tercermin dari Nabi Yusuf terhadap saudara-saudaranya secara konteks menurut pengamatan peneliti adalah adanya upaya self-compassion atau dalam bahasa lainya ridha. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Nabi Yusuf As. yang tidak mengeluh, menangis setelah ditinggal seorang diri di dasar sumur. Beliau tetap tenang menerima dan merangkul kesedihan atau kerapuhan itu sendiri. Kasih sayang Allah Swt. selalu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Allah tidak akan meninggalkan orang yang berbuat baik.

Allah tidak meninggalkan orang yang terzalimi sehingga Dia akan menolongnya dan tidak pula orang yang tersakiti sehingga Dia akan menentramkan hatinya dan membuatnya menjadi tenang, Allah memberi kabar gembira kepada Nabi Yusuf As. dengan keselamatan dan mengilhamkan kepadanya bahwa ia akan tertolong dari segala kesulitan dan dari kejahatan saudara-saudaranya.

Bila dibayangkan posisi Nabi Yusuf As. ketika ia dijerumuskan ke dalam sumur dengan kasar dan penuh rasa benci, di tengah malam yang gelap, keadaan genting, dipenuhi ketakutan yang merasuki jiwa, tentu halini menimbulkan luka (kekecewaan, kesedihan) yang mendalam secara mental (sisi manusiawi). Peristiwa ini menggambarkan kondisi yang dialami Nabi Yusuf As. saat berada di titik lemah. Beliau melakukan selfcompassion dengan menerima perbuatan saudara-saudaranya tanpa melakukan perlawanan. Maka manfaat baik dari self-compassion adalah munculnya pola pikir kepedulian yang baik terhadap sesama, dengan suka rela membantu orang-orang di sekitarnya.

Setiap usaha yang dilakukan dalam membantu sesama, disadari atau tidak orang-orang yang melakukan self-compassion tersebut merasakan kebahagiaan yang tak terhingga dari dalam diri. Belajar berdamai dengan diri sendiri dalam keadaan apapun, sikap inilah yang tergambar dari Nabi Yusuf As. Ia sama sekali tidak membenci saudara-saudaranya yang telah berlaku kasar terhadapnya. Di tengah kesepian dan ketakutan yang dihadapinya di dasar sumur, ia menyadari seutuhnya bahwa ia tidak sendirian, ia bersama Allah Swt. yang senantiasa menemani dan memberi pertolongan kepadanya. Ia berhasil menyembuhkan lukanya sendiri dengan cara menerima dan berdamai dengan apa yang sedang terjadi (self-compassion).

Memang tidak mudah untuk menghalau rasa tidak suka terhadap seseorang. Kedengkian yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf as. menimbulkan kelelahan hati, pikiran, dan kebencian yang besar. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap yang dilakukan Nabi Yusuf as. terhadap mereka. Berbagai penderitaan, penghinaan, kezaliman yang dialami Nabi Yusuf as., tidak mengurangi sedikit pun nilai kehormatan dalam dirinya. Dalam keadaan tak berdaya pun Nabi Yusuf tidak berontak dan berusaha menerima dengan lapang dada segala perlakuan buruk saudarasaudaranya.

Kedua, Self-Healing Nabi Yusuf As Menghadapi Fitnah Wanita

Analisis tentang sikap Nabi Yusuf As. menghadapi keadaan yang buruk ancaman penjara atau memenuhi ajakan istri al-„Aziz dan para wanita yang menaruh hati karena ketampanannya, akhirnya ia memilih di penjara dalam Qs. Yūsuf/ 12: 33: “(Yusuf) berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika Engkau tidak menghindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang-orang yang bodoh.”

Pemaknaan secara kontekstual yang digambarkan al-Qur’an mengenai konsep self-healing (penyembuhan diri) yang tercermin dari sikap Nabi Yusuf as. Sikap yang diambil Nabi Yusuf as adalah Mindfulness, dengan dzikrullāh (Mengingat Allah.

Ditinjau dari analisis psikologi, keadaan buruk yang dialami Nabi Yusuf as. mengakibatkan emosi kesedihan. Setelah Nabi Yusuf as. terbukti tidak bersalah, kabar miring terhadap istri raja kian menggema. Hingga penentuan penjara dilakukan kepada Nabi Yusuf as, atas dasar keinginan orang-orang zalim yang berusaha menutupi kesalahan istri raja. Self-healing dari sikap Nabi Yusuf as. secara psikologi bila dimaknai secara kontekstual adalah melakukan mindfulness dengan zikir (Mengingat Allah).

Mindfulness adalah sebuah usaha kesadaran penuh, mengelola pikiran, perasaan, dan lingkungan untuk menghubungkan titik-titik yang ada dalam pikiran. Artinya segala fokus dan kesadaran kita melibatkan Allah dan memasrahkan segalanya kepada Allah. Bila sedang menghadapi pergulatan emosi, segera mengingat Allah Swt, dengan menyebut asma-Nya dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dalam Islam mindfulness adalah kesadaran untuk segera mengingat Allah dengan berdzikir atau berdoa kepadanya.

Sikap pasrah dan rela, dengan ketentuan Allah Swt. Dapat dibuktikan dari pemaknaan konteks Nabi Yusuf as. ketika memohon perlindungan kepada Allah Swt. dengan penuh kesadaran. Sehingga menghadirkan ketenangan dalam hatinya. Kemudian melanjutkan doanya bahwa Allah dan rasulnya lebih ia ia cintai dan mengharap ridha-Nya, daripada melakukan kedurhakaan kepada-Nya.

Nabi Yusuf As. memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari tipu daya dan perangkap mereka. Nabi Yusuf As. menyadari akan kelemahannya menghadapi menghadapi bujuk rayu yang terus menerus, yang dapat mengakibatkan ia terjerumus dalam kemaksiatan. Berdoa adalah cara yang dilakukan Nabi Yusuf as. sehingga ia berhasil diselamatkan dari ketidakberdayaan.

ISLAMKAFFAH

Hukum Over Kredit dalam Islam, Bolehkah?

Para ulama yang melarang pengalihan utang pada makanan beralasan bahwa hal itu berarti menjual makanan yang belum dimiliki secara penuh.

Bermuamalah dengan cara mencicil cukup populer di Indonesia. Banyak pembelian kenda raan, rumah, hing ga masih barang elektronik yang dibeli lewat kredit. Di dalam Alquran pun tertera jelas tentang bagaimana ketentuan jual beli tidak secara tunai. “Hai orang-orang yang beriman, apabila ka mu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentu kan, hendaklah kamu menulis kannya.” (QS al-Baqarah: 282).

Transaksi jual beli secara kre dit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ‘adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan me nyepakati batas waktu dan harga barang). Transaksi tersebut pun harus bebas dari unsur riba. Meski demikian, adakalanya seorang yang tak sanggup membayar cicilan kemudian mengalihkannya kepada orang lain. Tak hanya cicilan, pinjam meminjam uang yang dibenarkan syara’ pun terkadang mengalami pengalihan.

Contoh kasus, yakni si A memberi pinjaman kepada si B, sedangkan si B masih punya piutang kepada si C. Begitu si B tidak mampu membayar utangnya kepada si A, ia mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C dianggap selesai.

Lantas, muncul pertanyaan mengenai pengalihan kredit atau over kredit dari satu debitur kepada calon debitur lain, apakah sah dalam Islam? Over kredit dalam Islam disebut dengan bahasa hawalah. Istilah ini bermakna pengalihan utang. Berdasarkan sabda Nabi SAW, hawalah termasuk transaksi muamalah yang sah di mata syara’.

“Penangguhan orang kaya itu zalim. Jika salah seorang kalian dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia mau menerima pengalihan itu.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah se orang di antara kalian mengalih kan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang di minta membayar utang) itu mampu membayarnya.” (HR Ahmad dan Albaihaqi).

Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah se orang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang di minta membayar utang) itu mampu membayarnya

HR AHMAD DAN ALBAIHAQI

Pengalihan utang mengha rus kan keberadaan orang yang meng alihkan utang (muhil), orang yang utangnya dialihkan (muhal), dan orang yang kepadanya utang dialihkan (muhal’alaih). Muhil adalah debitor, muhal adalah kre ditor, dan muhal’alaih adalah orang yang akan membayar utang.

Dikutip dari kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, para ulama menganggap hawalah me rupakan bagian dari muamalah. Mereka mempertimbangkan bah wa persetujuan kedua belah pihak diperlukan. Meski demikian, ada ulama yang berpendapat ti dak perlunya persetujuan orang yang menerima pengalihan utang berikut persetujuan orang yang dialihkan utangnya. Para ulama ini memandang jika kapasitas orang yang menerima pengalihan utang terhadap orang yang di alihkan piutangnya, sama seperti kapasitas orang yang dialihkan piutangnya terhadap debitur atau orang yang berutang pada orang lain. Dalil hadis, “…. hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang diminta membayar utang) itu mampu membayarnya,” menjadi sandaran jika persetujuan tak diperlukan.

Menurut Imam Malik, pengalihan utang harus memenuhi tiga syarat. Pertama, status utang orang yang dialihkan sudah jatuh tempo. Jika utang itu belum jatuh tempo, sama dengan menjual utang dengan utang. Menurut hu kum syara’, penjualan tersebut ti dak diperbolehkan. Kedua, be saran dan sifat utang yang dialihkan harus sama dengan utang baru. Jika ada salah satunya yang tidak sama, statusnya sama de ngan menjual utang, bukan ha walah. Karena itu, menurut Imam Malik, muamalah ini tidak berarti keluar dari rukhshah atau kemurahan dalam jual beli. Jika sudah masuk dalam jual beli, ada unsur praktik menjual utang dengan utang. Ketiga, utangnya bukan be rupa makanan dari pemesanan atau salam.

Secara garis besar, para ulama menyepakati jika tanggungan utang pada penerima pengalihan harus sejenis dengan tanggungan utang yang ada pada orang yang mengalihkan utang, baik besaran maupun sifatnya. Akan tetapi, se bagian ulama yang membolehkan pengalihan utang tersebut hanya pada emas dan dirham, bukan ma kanan. Para ulama yang me larang pengalihan utang pada makanan beralasan bahwa hal itu berarti menjual makanan yang belum dimiliki secara penuh.

Mayoritas ulama berpendapat jika hukum hawalah kebalikan dari hukum kafalah. Dalam hal, kalau orang yang menerima peng alihan utang mengalami pailit ma ka kreditur tidak boleh me nagih kepada orang yang meng alihkan utang. Menurut Imam Ma lik dan murid-muridnya, dikecualikan jika orang yang meng alihkan utang melakukan peni pu an atau kecurangan. Contoh nya, ia mengalihkannya kepada orang miskin.

Sementara itu, Imam Abu Ha nifah berpendapat, kreditur boleh menagih kepada orang yang me nerima pengalihan utang kalau orang tersebut meninggal dunia dalam keadaan pailit. Kondisi lainnya, orang tersebut menyang kal pengalihan utang sekalipun tidak mempunyai saksi. Walla hu’alam.

Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat

Bersuci dan salat adalah dua syariat yang wajib dilaksanakan baik oleh laki-laki ataupun perempuan muslim yang sudah mencapai usia dewasa (balig) dan memiliki akal. Kewajiban tersebut tidak gugur, meskipun pribadi muslim tersebut sedang dalam kondisi sakit. Hanya saja, dengan indahnya syariat Islam yang mulia ini, ada beberapa keringanan (rukhshah) dan kemudahan yang dapat dilakukan oleh mereka yang sedang sakit ketika hendak bersuci atau melaksanakan salat. Semua itu dimulai dari identitas agama Islam yang mudah dan memudahkan pemeluknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama Islam itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39)

Dalam ilmu fikih juga terdapat satu kaidah utama yang berbunyi,

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر

“Kesulitan itu akan membawa kemudahan.”

Kita ketahui bersama bahwa sakit merupakan kondisi yang mengakibatkan rasa sulit dan susah bagi penderitanya. Oleh karena itu, di dalam perkara bersuci dan salat, Islam memberikan beberapa rukhshah (kemudahan dan keringanan) bagi mereka yang sedang sakit pada beberapa keadaan. Di antaranya:

Keringanan dalam bersuci

Pertama: Saat tidak mampu menggunakan air untuk bersuci dari hadas besar maupun kecil, maka diperbolehkan tayamum untuk menggantikan keduanya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Kapan saja orang yang sakit diperbolehkan bertayamum?

Pertama, saat khawatir timbulnya bahaya ketika menggunakan air.

Kedua, khawatir bertambahnya rasa sakit karena penggunaan air.

Dan yang terakhir, khawatir jika menggunakan air, maka akan memperlama sakit yang dideritanya. Atau timbulnya rasa sakit yang tidak tertahankan jika ia menggunakan air.

Pada keadaan-keadaan di atas, sangat disarankan untuk bertayamum sebagai pengganti bersuci dengan air baik ketika safar maupun ketika mukim (tidak safar).

Adapun rasa sakit atau luka yang tidak membuat penderitanya khawatir terhadap penggunaan air, seperti sakit kepala (pusing) atau dia bisa menggunakan air hangat, atau penyakitnya tersebut tidak membuatnya harus meninggalkan penggunaan air, maka ia tidak diperbolehkan untuk bertayamum. Mengapa? Karena tayamum diperbolehkan dengan tujuan untuk menjauhkan bahaya dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penggunaan air. Sedangkan pada kasus di atas, orang yang sakit tersebut, sama sekali tidak merasakan kesulitan yang menjadi penyebab diperbolehkannya tayamum.

Kedua: Saat tidak bisa mencuci atau mengusap langsung pada anggota tubuh yang diwajibkan untuk dicuci atau dibasuh, diperbolehkan untuk mengusap pada gips atau perban luka saja, baik bersuci untuk hadas besar maupun untuk hadas kecil.

Diperbolehkan bagi orang yang sakit dan memiliki luka perban ataupun gips untuk mengusap gips atau perbannya. Yaitu, tatkala ia tidak bisa dan tidak dimungkinkan untuk mencuci langsung bagian anggota tubuh yang sedang diperban atau digips tersebut. Baik lukanya tersebut karena patah tulang, atau adanya luka sayatan, ataupun karena sebab lainnya. Hal ini diperbolehkan manakala ia takut bertambahnya rasa sakit jika ia langsung mengusap pada lukanya, atau bertambah lamanya pemulihan, atau timbulnya rasa sakit yang tak tertahankan, atau timbulnya rasa sakit baru apabila ia langsung mengusap pada luka tersebut.

Dalil yang menyebutkan bolehnya mengusap perban, gips, dan yang semisalnya ketika bersuci adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan,

“Kami keluar untuk bersafar. Kemudian salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian orang tersebut mimpi basah, lalu orang tersebut bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapati keringanan bagiku untuk melakukan tayamum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu sementara kamu mampu untuk menggunakan air.’ Kemudian orang tersebut mandi, lalu meninggal.

Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau diberi tahu tentang hal ini, maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak mau bertanya jika mereka tidak tahu. Sesungguhnya obat tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum dan menutup lukanya tersebut dengan potongan kain, kemudian dia mengusap di atasnya.” (HR. Abu Dawud no. 33, Ad-Daruqutni 1: 189, dan Al-Baihaqi no. 1115)

Keringanan dalam salat

Adapun keringanan bagi orang yang sakit dalam bab salat, maka terdapat dalam beberapa hal:

Pertama: Bolehnya salat tidak menghadap kiblat ketika tidak mampu atau ketika tidak ada yang membantunya untuk menghadapkannya ke arah kiblat.

Hukum asalnya, orang yang sakit tetap harus menghadap kiblat ketika salat. Hanya saja ketika ia sudah tidak mampu bergerak untuk menghadap ke arahnya dan tidak ada orang lain yang bisa membantunya untuk menghadap ke kiblat, maka ia diperbolehkan untuk salat ke arah yang sesuai dengan kondisi dan posisinya ketika itu. Boleh baginya untuk menghadap ke arah manapun yang mudah bagi dirinya.

Hal ini sejalan dengan kaidah,

الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ , فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ , وَلاَ مُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ

“Pelaksanaan kewajiban berkaitan erat dengan kemampuan. Oleh karenanya, kewajiban melaksanakan sesuatu menjadi gugur jika seseorang tidak mampu melaksanakannya. Dan sesuatu yang dilarang (diharamkan) menjadi boleh dalam kondisi darurat.”

Kedua: Boleh salat sambil duduk atau menyesuaikan kemampuannya (seperti salat dalam posisi berbaring menyamping) ketika tidak mampu lagi duduk pada salat wajib.

Imran bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhu suatu ketika terkena penyakit wasir, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perihal tata cara salatnya. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ 

“Salatlah dengan berdiri! Jika kamu tidak bisa, maka duduklah! Dan jika tidak bisa, maka salatlah dengan berbaring.” (HR. Bukhari no. 1117)

Orang yang sakit, tatkala sudah tidak mampu lagi berdiri total di dalam salatnya, atau dengan ia berdiri maka akan memberatkannya dan menyusahkannya, atau dengan berdiri maka akan menjadikan sakitnya semakin parah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan salat dengan posisi menyesuaikan kemampuannya, baik salat sembari duduk di atas lantai, tidur dalam posisi menyamping, atau dengan posisi telentang, namun kakinya tetap menghadap kiblat.

Jika cara-cara di atas tidak mampu juga untuk dilakukan, maka ia boleh salat dengan cara apapun yang ia bisa dan sanggupi.

Ketiga: Membuat isyarat dengan kepala saat tidak mampu ruku’ atau sujud.

Orang yang sakit, apabila ia mampu berdiri pada salat wajib, namun ia tidak mampu ruku’ maupun sujud, maka ia tetap harus salat sembari berdiri. Karena kewajiban berdiri tidak gugur dari dirinya selama ia mampu melakukannya.

Barulah ketika sudah sampai pada posisi ruku’, ia membuat isyarat anggukan dengan kepalanya, kemudian duduk dan memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti sujud dalam kondisi duduk tersebut semampunya.

Adapun orang sakit yang sudah tidak mampu berdiri, maka ia salat sembari duduk. Jika ia tidak mampu ruku’ dan sujud, maka ia memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti keduanya. Untuk posisi sujud, maka isyarat kepalanya harus lebih rendah dari posisi ruku’. Berdasarkan kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang salat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut tetap mengambil benda berupa kayu untuk salat beralaskan dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam pun mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu, Nabi bersabda, ‘Salatlah di atas tanah jika kamu mampu! Jika tidak mampu, maka salatlah dengan isyarat! Jadikan posisi sujudmu lebih rendah dari rukukmu.“ (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 2: 306)

Jika tidak mampu juga untuk duduk, maka ia salat dengan posisi berbaring menyamping. Jika tidak mampu juga, maka ia salat dengan posisi berbaring telentang sedangkan posisi kakinya menghadap ke arah kiblat dan ia membuat isyarat juga untuk melakukan ruku’ dan sujudnya.

Saat orang yang sakit tersebut sudah tidak bisa lagi membuat isyarat dengan kepalanya, namun ia masih bisa membaca doa-doa dalam salat, maka doa-doa tersebut tetap wajib dibaca dan tidak gugur hukumnya darinya menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ia masih mampu melakukan bacaan doa-doa tersebut dan yang gugur darinya hanya gerakannya saja, karena ketidakmampuannya di dalam melaksanakan hal tersebut.

Keempat: Meninggalkan salat Jumat dan salat jemaah saat sakit parah.

Orang yang sakit, namun masih mampu untuk berangkat ke masjid, maka ia wajib untuk melaksanakan salatnya secara berjemaah menurut pendapat yang lebih kuat. Salat berjemaah dengan berdiri jika ia masih mampu atau menyesuaikan kondisi kesehatan dirinya. Yang jelas tetap harus berjemaah.

Adapun jika ia benar-benar tidak mampu berangkat ke masjid, maka ia salat berjemaah di tempatnya sendiri. Jika tidak mampu berjemaah, maka ia mendapatkan keringanan untuk salat sendirian.

Dalilnya adalah ketika Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam sakit parah, beliau tidak salat di masjid padahal beliau adalah imam kaum muslimin. Lalu, beliau memerintahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menggantikannya sebagai imam.

Kelima: Menjamak salat ketika mendapati rasa berat dan susah.

Sakit parah yang membuat penderitanya merasa susah dan berat untuk melaksanakan setiap salat pada waktunya merupakan salah satu uzur yang memperbolehkan seorang muslim untuk menjamak antara dua salat, baik antara zuhur dengan asar atau magrib dengan isya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Sebab diperbolehkannya jamak adalah rasa susah dan berat. Sedangkan sakit merupakan kondisi yang menyebabkan rasa susah pada diri seorang hamba. Oleh karenanya, para ulama memperbolehkan jamak bagi orang yang sakit apabila ia mendapati kesulitan dan kesusahan untuk melaksanakan setiap salat pada waktu aslinya.

Ada dua catatan penting terkait menjamak salat ini:

Catatan pertama: Untuk menjamak salat karena sakit atau sebab lainnya, tidak disyaratkan adanya uzur (sebab) yang memperbolehkan jamak tersebut pada permulaan salat pertama (zuhur atau magrib). Jika semisal dia telah menyelesaikan salat pertamanya (zuhur atau magrib), lalu uzurnya (sebab) tersebut baru muncul, dia tetap diperbolehkan untuk menjamak salat pertamanya tersebut dengan salat yang berikutnya (asar atau isya).

Begitu pula, tidak disyaratkan bertahannya uzur (sebab) sampai berakhirnya salat yang kedua (asar atau isya). Contohnya: Seseorang yang menggabungkan dan menjamak salat zuhur dan asar karena sakit. Dan pada salat yang kedua penyakitnya terangkat darinya dan ia sembuh, maka hukum jamak salatnya tidak batal dan tetap terhitung sah. Di dalam jamak salat tidak disyaratkan berkelanjutan dan bertahannya uzur yang membolehkan jamak hingga berakhirnya salat yang kedua.

Catatan kedua:  Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah salat Jumat tidak boleh digabungkan dan dijamak dengan salat asar dengan cara jamak ta’khir (dilakukan di waktu salat asar). Hal ini dikarenakan salat Jumat merupakan syariat salat tersendiri, memiliki syarat-syarat tertentu dan tata cara yang berbeda. Berbeda pula rukun-rukunnya dan pahalanya dengan salat lima waktu lainnya.

Adapun jika dilakukan dengan cara jamak taqdim, maka sebagian ulama membolehkannya, seperti dalam mazhab Syafi’iyyah misalnya.

Walaupun yang lebih aman (wallahu a’lam bisshawab) hendaknya tidak menjamak salat Jumat dengan salat asar secara mutlak, baik dengan di-taqdim maupun di-ta’khir. Karena jika melihat hadis-hadis yang menyebutkan perkara jamak salat, maka yang disebutkan hanyalah menjamak antara zuhur dan asar dan tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menggabungkan salat asar dengan salat Jumat. Sehingga tidak benar apabila salat Jumat dikiaskan dan disamakan dengan salat zuhur.

Oleh karena itu, orang yang sakit apabila berada di hari Jumat dan ingin menjamak antara salat zuhur dan salat asar, hendaknya ia tidak ikut hadir dalam salat Jumat. Dan sebagai gantinya, ia melaksanakan salat zuhur lalu menjamaknya dengan salat asar.

Atau jika ia berpegang dengan mazhab Syafi’iyyah yang membolehkan jamak antara salat Jumat dengan salat asar dan tetap ingin menghadiri salat Jumat serta menjamak salatnya, maka ia harus menjamak salat Jumatnya tersebut secara jamak taqdim dan tidak boleh menjamaknya secara jamak ta’khir.

Wallahu a’lam bishawwab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86534-keringanan-syariat-bagi-orang-yang-sakit-dalam-bersuci-dan-salat.html

Mencumbui Istri Saat Haid, Bolehkah?

Mencumbui istri yang sedang mengalami menstruasi, atau yang dikenal sebagai haid, telah menjadi topik yang diperdebatkan dalam berbagai perspektif dan konteks. Dalam artikel ini, kita akan menggali batasan mencumbui istri saat haid dari sudut pandang agama Islam.

Dalam Islam, bahwa hubungan seksual harus dihindari selama periode haid. Pendekatan ini didasarkan firman Allah dalam Al-Quran bahwa perempuan haid dilarang untuk berhubungan intim dengan suaminya, sebagaimana dalam QS al-Baqarah ayat 222;

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ

Artinya; Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran. Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid).

Namun larangan tersebut bukan berarti seorang suami tidak boleh mencumbui istri saat haid. Karena larangan hubungan badan yang disepakati oleh para ulama di atas adalah apabila terjadi jima’ dalam arti yang sesungguhnya, yaitu terjadinya dukhul atau penetrasi. Sebagaimana hadis Rasulullah:

وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Dari Aisyah RA beliau berkata : Rasululullah menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid.” (Muttafaq Alaih)

Jika demikian, adakah batasan suami saat mencumbui istri ketika haid? Batasan-batasan yang diungkapkan oleh beberapa mazhab itu berbeda-beda. Mazhab Hanafi memperbolehkan suami mencumbui istri ketika haid, dengan syarat memakai penghalang seperti sarung, kain, atau sejenisnya.

Suami pun boleh memegang bagian-bagian antara lutut dan pusar namun suami tidak boleh melihatnya. Pada intinya, mazhab Hanafi memperbolehkan cumbu secara tidak langsung dan tidak boleh melihat. Keterangan yang demikian tertulis dalam kitab Hasyiah Ibn Abdin karya Ibn Abdin.

Pendapat Imam Syafi’i sedikit mirip dengan pendapat di atas, Sebagaimana Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitab al Majmu Syarh al Muhaddzzab bahwa ketika seorang istri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja yang diinginkan.

Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung. Yang membedakan hanyalah mazhab ini membolehkan suami untuk melihat bagian-bagian antara pusar dan lutut, dengan atau tanpa syahwat.

Adapun pendapat Imam Malik menyatakan bahwa seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat isterinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut, walaupun dengan syahwat. Keterangan madzhab Imam Malik ini dijelaskan oleh ad Dasuqi dalam kitab Hasyiah ad Dasuqi

Dan yang terakhir adalah pendapat Imam Hambali. Dalam kitab Kasyaf al Qinna disebutkan bahwa madzhab ini  membolehkan suami mencumbui isterinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia inginkan. Syaratnya adalah tidak sampai terjadi jima’ yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi).

Dengan demikian seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

*Tulisan ini telah di Bincangmuslimah.com