Ciri-ciri seseorang yang terkena istijrad dan menjadi budak dunia iman dan ibadahnya menurun, kesenangan/kekayaan melimpah, rasa takut pada Allah berkurang, kita perlu gagal agar tidak jadi budak dunia
Hidayatullah.com | TANYAKAN pada hati kita, apakah yang selama ini kita kerjakan termasuk bagian dari kebaikan ataukah bukan? Apakah dia termasuk bentuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya ataukah bukan? Atau justru perbuatan tersebut akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Maka tanyakanlah semua itu pada hati kita.
Kebaikan adalah apa saja yang dapat menenangkan hati kita dan menentramkan jiwa kita, sedangkan keburukan adalah apa saja yang membuatkan hati kita ragu dan tidak tenang. Rasulullah ﷺbersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu,
البر حسن الخلق , و الإثم ما حاك في نفسك و كرهت أن يطلع عليه الناس
“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim).
Dalam hadits Rasulullah ﷺyang lain,
عن وابصة بن معبد رضي الله عنه قال : أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم , فقال: جئت تسأل عن البر؟ قلت: نعم. قال: استفت قلبك. البر مااطمأن إليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك في النفس و تردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك.
Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata, “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab, benar. Kemudian beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad (4/227-228), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (22/147), dan Al Baihaqi dalam Dalaailun-nubuwwah (6/292)).
Yang dimaksud dengan al birru adalah kebaikan yang banyak. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak yang mulia adalah seseorang senang jiwanya, lapang dadanya, tentram hatinya, dan baik pergaulannya. Rasullullah ﷺbersabda, “Sesungguhnya kebaikan adalah akhlak yang baik.”
Maka jika seseorang mempunyai akhlak yang baik terhadap Allah Azza wa Jalla dan hamba Allah Azza wa Jalla maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, dadanya lapang terhadap Islam, hatinya menjadi tenang dengan iman, dan bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah).
Adapun dosa, maka Rasulullah ﷺtelah menjelaskan bahwa ia adalah, “Apa saja yang meragukan dalam hatimu.”
Ketika itu beliau berbicara kepada An-Nawwas bin Sam’an, salah seorang sahabat yang mulia. Tidak ada sesuatu yang meragukan dan tidak menenangkan jiwanya kecuali perbuatan dosa.
Oleh karena itulah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka untuk memperlihatkannya kepada orang lain.”
Sementara orang-orang fasik dan durhaka, maka perbuatan dosa tidaklah membuat keraguan dalam jiwa mereka, dan mereka juga tidak membenci untuk memperlihatkan perbuatan dosanya kepada orang lain.
Bahkan sebagian mereka merasa bangga dengan perbuatan dosa yang mereka lakukan. Allah Azza wa Jalla memberikannya istijrad.
Akan tetapi, sabda Rasulullah ﷺdi sini berbicara tentang seseorang yang lurus hatinya. Sesungguhnya orang yang lurus hatinya, jika dia ingin melakukan keburukan maka jiwanya akan ragu dan dia benci perbuatannya diketahui orang lain.
Oleh karena itu maka tolak ukur yang telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺberlaku untuk orang-orang yang baik dan lurus hatinya. (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah).
Sehubungan dengan hal ini, Allah Azza wa Jalla memberi isyarat bahwa ketakwaan itu dilakukan oleh hati manusia,
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44).
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145).
Ciri-ciri seseorang yang terkena istijrad dan menjadi budak dunia adalah keimamanan dan amal ibadahnya semakin menurun, namun kesenangan dan kekayaan makin melimpah, rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla semakin berkurang, tidak takut berbuat dosa.
Orang itu terus saja melakukan dosa, tidak mau menerima kebenaran dan nasehat yang datang untuknya, dan Allah Azza wa Jalla pun semakin membuka kesuksesan untuknya, bahkan semakin melimpah.
Siksa dan laknat yang diturunkan Allah Azza wa Jalla untuk orang yang mendapat istidraj bisa dalam berbagai macam bentuk, bisa jadi keberkahan umurnya dicabut sehingga tidak ada ketenangan hidup, selalu dirundung ketakutan, kegelisahan dan kesedihan.
Sesungguhnya hidup kita itu sangatlah sederhana,
الحياة بسيطة حقا، ولكن نحن نجعل الأمور معقدة
“Hidup itu sangat sederhana, kita saja yang membuatnya rumit.”
Untuk menjadi lebih bijaksana terkadang kita harus melewati masa-masa kegagalan, kehilangan, dan ditinggalkan. Itu lebih baik dari pada mendapat istijrad dan menjadi budak dunia.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa tawadhu’ dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla untuk meraih ridha-nya.Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab.*/Bagya Agung Prabowo, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)
HIDAYATULLAH