Puasa dan Fitrah Manusia

Puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang), perang melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia

Oleh: Dr. Kholili Hasib

SEGALA jenis peribadatan (ubudiyah) sejatinya tidak lain bentuk khidmah seorang hamba (‘abd) kepada Allah Swt.

Manusia dalam pandangan agama Islam disebut ‘abd (hamba), yaitu istilah yang menunjukkan statusnya, keharusan tunduk kepada Tuhan. Karena Allah Swt adalah Tuhan Pemilik apa yang ada di alam. 

Termasuk ‘abd itu adalah milik Tuhan. Maka, kewajiban-kewajiban yang ditunaikan oleh ‘abd adalah khidmat. Sebagaimana seorang budak/hamba sahaya yang berkewajiban melayani tuannya.

Oleh sebab itu, seorang ‘abd harus menyadari sepenuhnya tentang status dirinya ini.  Seorang ‘abd tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Tetapi memiliki pertalian dengan sifat ketuhanan. Salah satu syarat seorang ‘abd untuk memiliki kesadaran yang sempurna adalah ia harus bersifat shidiq  (sungguh-sungguh).

Shidiq  itu tidak ada syak dan rayb (keraguan) dalam melaksanakan khidmat. Pengkhidmatan kepada Allah Swt hamba yang shidiq  tidak dipengaruhi oleh manusia lain atau alam.

Maka, ia tidak peduli celaan dan pujian manusia. Tidak terpikat oleh keindahan dunia. Hidup semata-mata berkhidmat.

Tetapi godaan paling sulit dalam berkhidmat secara shiddiq itu berasal dari jiwa manusia itu sendiri. Biang semua jenis kerusakan manusia itu tidak lain adalah hawa nafsu.

Syahwat sesungguhnya salah satu sifat basyariyah manusia. Justru syahwat diperlukan oleh manusia.

Syahwat  tidaklah dicela oleh agama, tetapi yang tercela adalah syahwat berlebihan melampaui batas. Syahwat yang melampaui batas itu oleh Imam al-Ghazali disebut hawa.

Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua sifat yang menjadi quwwah (potensi) jiwa. Pertama, potensi natiqah (berakal) dan kedua, potensi hewani. Dua potensi ini selalu bersaing untuk saling menguasai. Syahwat dinamakan hawa ketika potensi hewani berhasil menguasai potensi natiqah-nya.

Kesenangan (sa’adah) potensi hewani adalah makan, minum, istirahat, dan seks. Maka, ada syahwat makan, syahwat minum dan syahwat seks.

Kesesangan dan syahwat ini merupakan sifat basyariyah  manusia. Maka, agar kesenangan itu tidak menjadi hawa, maka syahwat itu harus dikendalikan.

Pengkhidmatan secara shiddiq memiliki pertalian erat dengan pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani. Semua bentuk khidmat  – yang dilakukan secara shiddiq – tidak lain agar potensi ini senantiasa di bawah kendali potensi natiqah.

Semua ubudiyah seorang ‘abd dilakukan secara ikhlas apabila syahwat itu dalam kendali penuh potensi natiqah. Akan tetapi, pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani itu memerlukan latihan, istilahnya riyadhatu an-nafs (oleh jiwa).

Salah satu jenis ibadah yang cukup lengkap mendidik jiwa dengan riyadhah, melatih syahwatnya adalah ibadah puasa. Secara bahasa, shoum (puasa) bermakna kaffu (menahan).

Secara istilah ibadah puasa itu mengandung fungsi yang strategis bagi jiwa. Kaffu itu berarti memiliki fungsi pengendalian atau pembebasan.

Jiwa yang baik adalah jiwa yang telah menjalani pembebasan dari sifat-sifat buruk hewani.  Imam al-Ghazali menjelaskan filosofi hakikat puasa, yaitu menahan perut, kelamin, mulut, telinga, tangan, mata, kali dan seluruh anggota tubuh.

Jadi bukan hanya menahan perut dan kelamin saja. Semua anggota tubuh dibebaskan dari hawa yang dikendalikan oleh potensi hewani itu dengan cara puasa.

Maka, kita harus memahami bahwa puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang). Peperangan untuk melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia. Maka, disinilah ada pertalian erat antara dzahir dan batin manusia.

Batin manusia (yaitu jiwa) dapat dibebaskan setelah dzahir manusia itu dikendalikan dengan baik. Ketika dzahir manusia di bawah kendali potensi natiqah maka batin manusia akan menjadi batin yang merdeka (bebas).

Dengan pemahaman ini, maka sejatinya orang beriman itu sejatinya orang yang bebas. Bukan orang yang terkekang atau terpenjara.

Sebaliknya orang kafir atau ahli maksiat sejatinya orang yang terpenjara, terkekang, dan tidak merdeka. Khidmat dengan bentuk-bentuk ubudiyah adalah kegiatan pembebasan. Bukan aktifitas yang terpenjara.

Maksiat dan inkar kepada hukum Tuhan justru merupakan kegiatan yang tidak bebas menjadikan jiwanya dipenjara.

Bagi orang kafir atau ahli maksiat, pengkhidmatan seorang ‘abd adalah kegiatan yang tidak bebas. Logika ini justru sesat.

Karena, pengkhidmatan itu bebas dari pengaruh kekuatan hawa nafsu.Sedangkan kekufuran dan kemaksiatan itu sedang dalam dekapan hawa nafsu.

Dalam kekufuran jiwa manusia dilarang-larang untuk tidak beribadah, dilarang untuk berakhlak mulya. Jadi dalam kekufuran banyak sekali larangan-larangan. Ironinya, larangan-larangan itu menyeret manusia menjadi berjiwa hewan.

Supaya manusia itu tidak berjiwa hewan, maka ia harus berjihad dan berriyadhah. Puasa ini membunuh sifat-sifat liar hewani penuh hawa, mencabut sifat-sifat buruk manusia agar jiwanya sadar hakikat dirinya yang suci yang pernah berjanji di “alam alastu” untuk beriman kepada Allah Swt.

Sebagaimana firman Allah Swt:

وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّكَ مِنۡۢ بَنِىۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُهُوۡرِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَ اَشۡهَدَهُمۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ‌ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ ؕ قَالُوۡا بَلٰى‌ ۛۚ شَهِدۡنَا ‌ۛۚ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِيۡنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS: Al-A’raf: 172).

Puasa bisa bermakna melatih hamba untuk menjadi yang fitri, yaitu jiwa yang mentaati undang-undang Allah Swt sesuai dengan tujuan dasar penciptaan manusia di muka bumi. Fitrah manusia bermakna sifat yang merujuk kepada perilaku yang bersesuaian dengan tujuan penciptaan.

Jiwa dan pikiran yang Islami -yaitu yang bersih- selalu patuh dan tunduk kepada syariat Allah Swt, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran.

Jika seorang ‘abd percaya bahwa Allah Swt itu wujud, maka sangat mungkin ia percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Jika ia konsisten, ia akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah berdasarkan kesepakatan manusia tapi merujuk kepada kehendak Allah Swt dan Allah merupakan nilai tertinggi.

Karena itu, ia menjadi orang yang bertakwa dengan sebenarnya. Dalam al-Qur’an, manusia bertakwa itu manusia yang paling mulia (QS. 49:13).  Jadi, orang bertakwa itu adalah orang mukmin yang kondisi pikiran dan jiwanya merasakan kehadiran Allah Swt di mana saja ia berada. Wallahu a’lam bisshowab.*

Penulis adalah dosen UII Dalwa

HIDAYATULLAH

Ini 4 Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah

MENGAPA Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhususkan balasan puasa dari-Nya? Inilah bebeapa sebab pahala puasa dikhususkan oleh Allah SWT.

Diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”

Ketika semua amal untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya, maka para ulama berbeda pendapat dalam firman-Nya, “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Mengapa puasa dikhususkan?

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan sepuluh alasan dari perkataan para ulama yang menjelasakan makna hadits dan sebab pengkhususan puasa dengan keutamaan ini.

Alasan yang paling kuat adalah sebagai berikut;

1 Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah: Bahwa puasa tidak terkena riya sebagaimana (amalan) lainnya terkena riya

Al-Qurtuby rahimahullah berkata, “Ketika amalan-amalan yang lain dapat terserang penyakit riya, maka puasa tidak ada yang dapat mengetahui amalan tersebut kecuali Allah, maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya.

BACA JUGA: Hukum Shalat tapi Tidak Puasa Ramadan

Oleh karena itu dikatakan dalam hadits, ‘Meninggalkan syahwatnya karena diri-Ku.’ Ibnu Al-Jauzi rahimahullah berkata, ‘Semua ibadah terlihat amalannya. Dan sedikit sekali yang selamat dari godaan (yakni terkadang bercampur dengan sedikit riya) berbeda dengan puasa.

2. Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah: Maksud dari ungkapan ‘Aku yang akan membalasnya’

Adalah bahwa pengetahuan tentang kadar pahala dan pelipatan kebaikannya hanya Allah yang mengetahuinya. Al-Qurtuby rahimahullah berkata, ‘Artinya bahwa amalan-amalan telah terlihat kadar pahalanya untuk manusia. Bahwa ia akan dilipatgandakan dari sepuluh sampai tujuh ratus kali sampai sekehendak Allah kecuali puasa.

Puasa Nabi Daud, Halal dan Thayib, Makanan yang Diharamkan dalam Islam, Pola Makan Sehat, Batas Akhir Qadha Puasa Ramadhan, Rasulullah Makan Sebelum Lapar, Manfaat Puasa, Hukum Berpuasa Sunnah Seminggu sebelum Ramadhan, Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah
Foto: Pixabay

Maka Allah sendiri yang akan memberi pahala tanpa batasan. Hal ini dikuatkan dari periwayatan Muslim, 1151 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallalm bersabda:

( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ )

“Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” Yakni Aku akan memberikan pahala yang banyak tanpa menentukan kadarnya. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

3. Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah: Makna ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’

Maksudnya adalah bahwa dia termasuk ibadah yang paling Aku cintai dan paling mulia di sisi-Ku. Ibnu Abdul Bar berkata, “Cukuplah ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’ menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah rahdiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Nasai)

4. Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah: Penyandaran di sini adalah penyandaran kemuliaan dan keagungan

Sebagaimana diungkapkan ‘Baitullah (rumah Allah)’ meskipun semua rumah milik Allah. Az-Zain bin Munayyir berkata, “Pengkhususan pada teks keumuman seperti ini, tidak dapat difahami melainkan untuk pengagungan dan pemuliaan.”

Sejarah Puasa Daud, Keutamaan Berpuasa di Bulan Ramadhan, Hukum Puasa tapi Tidak Shalat, Qadha Puasa Ramadhan, Hukum Orang yang Tidak Puasa tanpa Alasan, Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah
Ilustrasi. Foto: Hotze Health & Wellness Center

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits yang agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa dari beberapa sisi;

1. Sesungguhnya Allah khususkan puasa untuk diri-Nya dari amalan-amalan lainnya

Hal itu karena keutamaannya di sisi-Nya, cintanya padanya dan tampak keikhlasan padanya untuk-Nya Subhanahu. Karena puasa merupakan rahasia seorang hamba dengan Tuhannya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allah.

Karena orang yang berpuasa, di tempat yang sepi mungkin baginya mengkonsumsi apa yang diharamkan oleh Allah, (akan tetapi) dia tidak mengkonsumsikannya. Karena dia mengetahui punya Tuhan yang melihat di tempat yang sunyi. Dan Dia telah mengharamkan hal itu. Maka dia tinggalkan karena takut akan siksa-Nya serta berharap pahala dari-Nya.

Maka, Allah berterimakasih akan keikhlasan ini dengan mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dibandingkan amalan-amalan lainnya.

Oleh karena itu (Allah) berfirman, “Dia meninggalkan syahwat dan makanannya karena diri-Ku”
Keistimewaan ini akan terlihat nanti di hari kiamat sebagaimana yang dikatakan oleh Sofyan bin Uyainah rahimahullah, “Ketika hari kiamat, Allah akan menghisab hamba-Nya. Dan mengembalikan tanggungan dari kezalimannya dari seluruh amalnya. Sampai ketika tidak tersisa kecuali puasa, maka Allah yang akan menanggung sisa kezaliman dan dia dimasukkan surga karena puasanya.”

2. Allah berfirman dalam puasa “Dan Aku yang akan membalasnya”

Pohon kurma Keutamaan Puasa Asyura, Manfaat Puasa Senin Kamis, Target Amalan Harian Ramadhan, Keistimewaan Ramadhan, Qadha Puasa, Keutamaan Ramadhan, Manfaat Buah Kurma, Manfaat Kurma buat Ibu Hamil, Manfaat Puasa, Hukum Berpuasa Sunnah Seminggu sebelum Ramadhan, Urutan Tata Cara Berbuka Puasa, Hadits Dhoif (Masalah) Keutamaan Ramadan, Sebab Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah
Foto: Pexels

Maka balasannya disandarkan kepada diri-Nya yang Mulia. Karena amalan-amalan saleh akan dilipatgandakan pahalanya dengan bilangan. Satu kebaikan dilipat gandakan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat.

Sementara puasa, maka Allah sandarkan pahalanya kepada diri-Nya tanpa ada kadar bilangan. Maka Dia Subhanahu adalah zat yang paling dermawan dan paling mulia. Pemberian sesuai dengan apa yang diberikannya. Maka pahala orang puasa sangat besar tanpa batas.

Puasa adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari yang diharamkan Allah dan sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan dari lapar, haus dan lemahnya badan serta jiwa. Maka terkumpul di dalamnya tiga macam kesabaran.

Maka layak orang puasa termasuk golongan orang-orang sabar. Sementara Allah telah berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). Wallahu’alam. []

Sumber: Majalis Syahru Ramadan, hal. 13, Islamqa.

ISLAMPOS

Teks Khotbah Jumat: Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, tidak bosan-bosannya khatib mengingatkan diri khatib pribadi dan jemaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Terlebih lagi ketika kita berada di bulan Ramadan yang mulia ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أتاكم شَهرُ رَمَضَانَ ، شهرٌ مبارَكٌ ، فَرَضَ اللهُ عليكم صِيَامَه ، تُفْتَحُ فِيه أبْوَابُ الجنَّةِ ، و تُغلَق فيه أبوابُ الجَحِيم ، وتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشياطينِ ، وفيه ليلةٌ هي خيرٌ من ألف شهرٍ ، من حُرِمَ خيرَها فقد حُرِمَ

Bulan Ramadan telah datang kepada kalian. Bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan puasa kepada kalian di dalamnya. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Dan para setan yang durhaka dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa terhalangi dari kebaikannya (Ramadan), maka ia telah terhalangi (dari kebaikan).” (HR. An-Nasa’i no. 2105, disahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i)

Bulan Ramadan adalah salah satu nikmat dan karunia terbesar yang Allah Ta’ala berikan kepada umat ini. Pada bulan ini seorang muslim dimudahkan sekali untuk mendapatkan pahala yang banyak dengan melakukan amalan yang mudah dan tergolong ringan.

Pada bulan ini pula, Allah Ta’ala hamparkan sebab-sebab yang akan membantu seseorang mengerjakan amal saleh secara sempurna, dari kewajiban menjalankan puasa di dalamnya, anjuran memperbanyak membaca Al-Qur’an, syariat salat tarawih berjemaah yang pahalanya setara dengan salat sepanjang malam dan beberapa sebab kemudahan lainnya.

Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala.

Keistimewaan Ramadan lainnya adalah terbukanya pintu ampunan Allah yang sangat luas kepada hamba-Nya. Siapa saja yang Allah Ta’ala berikan kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan, maka ia telah mendapatkan kesempatan dan peluang emas mendapatkan ampunan Allah Ta’ala yang luasnya melebihi langit dan bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إلى الجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إلى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ ما بيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الكَبَائِرَ.

“Di antara salat yang lima waktu, di antara Jumat yang satu menuju Jumat lainnya, di antara Ramadan yang satu menuju Ramadan lainnya, kesemuanya itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)

Di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, bahwa siapa pun dari umatnya yang mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan, menjalankan ibadah-ibadah di dalamnya sesuai dengan syarat dan rukun yang ada, lalu juga menghindarkan diri dari melakukan dosa-dosa besar, maka insyaAllah ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kecil yang telah ia lakukan.

Adapun dosa besar, maka puasa, salat dan ibadah lainnya tidak cukup untuk menebusnya. Seorang hamba perlu bertobat terlebih dahulu dan benar-benar melepaskan diri dari dosa tersebut untuk kemudian mendapatkan ampunan Allah Ta’ala atas dosa-dosa besarnya tersebut.

Sungguh Ramadan adalah kesempatan yang sangat mulia, sebuah peluang bagi hamba-hamba Allah yang penuh dosa ini untuk mendapatkan ampunan dari-Nya. Lihatlah bagaimana para sahabat sangat berharap untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan yang mulia ini. Mualla’ bin Fadhl rahimahullah berkata,

كَانوُا يدَعُون اللَهَ تعالى سِتَّة أَشْهُرٍ أَن يُبَلِّغَهُم رَمَضَان ، ويَدْعُونَهُ سِتة أشهر أن يَتَقَبَّل منهم

“Dahulu para salaf berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar Allah mengantarkan mereka bisa mendapati bulan Ramadan, kemudian mereka berdoa kembali selama 6 bulan agar Allah menerima amal-amal mereka (selama Ramadan).” (Lathâ’if Al-Ma’ârif, hal. 148)

Jemaah Jumat yang berbahagia.

Di dalam hadis-hadis sahih yang lain, Nabi menyebutkan secara jelas beberapa amalan yang jika dilakukan seorang hamba di bulan Ramadan, maka akan mendatangkan ampunan Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِه

“Barangsiapa berdiri salat (tarawih) dalam bulan Ramadan karena didorong keimanan dan keinginan memperoleh keridaan Allah, maka diampunkanlah untuknya dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

مَن صامَ رَمَضانَ إيمانًا واحْتِسابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ، ومَن قامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمانًا واحْتِسابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 2014 dan Muslim no. 760)

Jika kita perhatikan dengan seksama kedua hadis tersebut, akan kita dapati bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua syarat mutlak yang harus dipenuhi seorang hamba agar amalannya tersebut bisa mendatangkan ampunan Allah Ta’ala.

Syarat yang pertama adalah mengerjakannya dalam kondisi keimanan. Para ulama menjelaskan bahwa seorang hamba saat mengerjakan amalan amalan yang disebutkan di dalam hadis seharusnya diiringi dengan keyakinan bahwa amalan tersebut merupakan perintah dari Allah Ta’ala. Puasa kita di bulan Ramadan, salat tarawih kita di malam harinya, dan bangunnya kita pada malam lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, kesemuanya itu kita kerjakan murni atas dasar keikhlasan serta ketundukan dan ketaatan terhadap perintah Allah Ta’ala.

Jangan sampai tujuan kita dari mengerjakan semua amalan tersebut hanya karena ingin ikut-ikutan saja atau mengerjakannya karena ingin dipandang alim dan saleh oleh orang lain atau mengerjakannya karena malu dengan teman ataupun saudara.

Syarat yang kedua yang disebutkan di dalam hadis tersebut, seharusnya seorang hamba mengerjakannya dalam kondisi berharap akan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Berharap bahwa amalannya tersebut dapat menjadi pemberat timbangannya di akhirat kelak.

Saat kedua syarat ini bisa terpenuhi, maka insyaAllah kita akan menjadi salah satu hamba-Nya yang beruntung mendapatkan ampunan di bulan Ramadan yang mulia ini.

Wallahu a’lam bisshawab

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Baca Juga: Hamba, di antara Dosa dan Ampunan

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ للَّهِ عندَ كلِّ فِطرٍ عُتَقَاءَ وذلِك في كلِّ ليلةٍ

“Sesungguhnya Allah pada setiap waktu berbuka akan membebaskan orang-orang (dari api neraka) dan itu (terjadi) di setiap malam.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah no. 1340)

Sungguh di bulan Ramadan ini, orang yang Allah Ta’ala merdekakan dari api neraka sangatlah banyak. Kemuliaan yang sangat besar bagi setiap hamba yang sejatinya penuh dengan dosa dan kemaksiatan. Keutamaan ampunan ini juga nampak pada amalan utama yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan pada malam lailatul qadar. Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يا نَبيَّ اللهِ، أرأيتَ إنْ وافَقتُ لَيلةَ القَدرِ ما أقولُ؟ قال: تَقولينَ: اللَّهمَّاإنَّكَ عَفوٌّ تُحِبُّ العَفوَ فاعْفُ عَنِّي.

“Wahai Nabi Allah, apa pendapatmu jika aku bertepatan dengan lailatul qadar, apa yang aku katakan? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, ‘Engkau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau menyukai perbuatan maaf, maka maafkanlah aku.”” (HR. Tirmidzi no. 3513, Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7712, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad no. 26215)

Mari manfaatkan keutamaan ini untuk menjadi salah satu hamba Allah yang beruntung mendapatkan ampunan Allah di bulan yang mulia ini. Perbaiki niat puasa kita, usahakanlah untuk tidak pernah putus dan bolong dalam melaksanakan tarawih, dan berusahalah untuk bisa mendapatkan malam lailatul qadar serta menghidupkannya dengan memperbanyak tobat dan berdoa.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Ingatlah selalu firman Allah Ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. At-Tahrim: 8)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan makna taubat nasuha,

هِيَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ نَادِمًا عَلَى مَا مَضَى؛ مُجْمِعًا عَلَى أَلَّا يَعُودَ فِيهِ

“(Taubat nasuha) adalah ketika seorang hamba menyesal atas apa yang dilakukannya di masa lalu, bertekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatannya.” (Tafsir Al-Baghawi, 8: 169)

Ya Allah, Yang Maha Pengampun, ampunilah kami di bulan Ramadan yang mulia ini, jadikanlah kami salah satu hamba-Mu yang mendapatkan kemuliaan berupa keselamatan dari neraka-Mu. Ya Allah berikanlah kami kekuatan dan keistikamahan di dalam menjalankan kebaikan, karuniakanlah kepada kami rasa senang dan nikmat dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu di bulan Ramadan yang mulia ini dan di bulan-bulan selanjutnya.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Baca Juga: Antara Dosa yang Diampuni dan Tidak Diampuni

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83954-mendapatkan-ampunan-di-bulan-ramadan.html

Onani Tidak Keluar Mani, Bagaimana Hukum Puasa Saya?

TANYA: Saya seorang pemuda, punya kebiasaan buruk. Saya sering onani, bahkan ketika bulan puasa. Namun, khusus di bulan ini, saya melakukannya tanpa mengeluarkan air mani. Apa hukum puasa saya, dan bagaimana saya dapat menghapus dosa tersebut? Saya tidak mengetahui jumlah hari saya melakukan perbuatan tersebut.

JAWAB: Kami kutip dari islamqa.ca., ketahuilah bahwa perbuatan onani diharamkan berdasarkan syariat, sebagaimana ditunjukkan dalam Kitabullah Ta’ala dan sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana perbuatan tersebut dianggap buruk baik secara fitrah maupun akal. Tidak layak seorang muslim mendekati perbuatan ini.

Kemudian ketahuilah, maksiat mendatangkan penderitaan bagi seseorang, baik cepat, di dunia, atau lambat, di akhirat, jika orang tersebut tidak bertaubat dan mencari rahmat Allah.

Adapun hukum dari masalah yang dinyatakan dalam pertanyaan, yaitu apabila dia melakukan masturbasi dan tidak keluar mani dengan sebab apapun, maka puasanya tetap sah berdasarkan pendapat shahih dari beberapa pendapat para ulama. Karena standar dalam masalah ini adalah keluarnya mani. Jika dia keluar, maka batallah puasanya dan dia wajib qadha, jika tidak keluar, maka puasanya tidak batal. Akan tetapi anda diharuskan bertaubat ketika itu kepada Allah Azza wa Jalla serta istighfar karena menyiar-nyiakan puasa dengan perbuatan semacam ini.

Boleh jadi, mani akan keluar setelah beberapa lama Anda berupaya menahannya. Maka jika keluar, ketika itu puasa anda batal dan anda harus qadha. Jika Anda tidak mengetahui jumlah hari puasa Anda batal, maka kira-kiralah dengan teliti hingga Anda mencapai dugaan terkuat, lalu dengan sejumlah hari itu Anda melakukan qadha.

Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam Syarh Zadul Mustaqni, “Mungkinkah mani berpindah tanpa keluar (dari kemaluan)?” Ya, mungkin, hal itu dengan melemasnya syahwat setelah mani berpindah dengan sesuatu sebab, sehingga mani tidak keluar.”

Mereka mencontohkan dengan contoh lain; Misalnya dia memegan kemaluannya agar mani tidak keluar. Meskipun contoh yang dikemukakan para ahli fiqih ini sangat berbahaya, namun mereka hanya hendak memberikan contoh, tanpa pertimbangan bahaya atau tidak bahaya. Akan tetapi, kemungkinan besar, kondisi seperti ini seseorang tetap akan keluar maninya apabila kemaluannya dilepas.

Sebagian ulama berpendapat, tidak wajib mandi dengan perpindahan air mani, dan ini merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam. Inilah yang benar. Dalilnya adalah sebagai berikut;

1- Hadits Ummu Salamah, di dalamnyat terdapat (sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), “Ya, jika dia melihat mani.” Beliau tidak mengatakan, “Jika dia merasakan ada perpindahan mani. Seandainya perpindahan mani menyebabkan wajib mandi, niscaya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya, karena terdapat kebutuhan untuk menjelaskannya.

2- Hadits Abu Saad Al-Khudry, “Sesungguhnya air (mandi janabat) adalah karena air (keluar mani).” Sedangkan dalam kondisi seperti ini (perpindahan mani) tidak terdapat mani. Hadits ini menunjukkan bahwa jika tidak ada air (keluar mani), maka tidak ada air (kewajiban mandi).

3- Asalnya adalah tetapnya suci dan tidak ada kewajiban mandi. Kedudukan asal ini tidak dapat dialihkan kecuali dengan dalil.

(Asy-Syarhul Mumti’, 1/280, lihat Al-Furu, 1/197, Al-Mabsuth, 1/67, Al-Mughni, 1/128, Al-Majmu, 2/159. Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, 4/99)

Wallahua’lam. []

ISLAMPOS

Polda Metro Jaya Usut Dugaan Penipuan Umroh, Puluhan Jamaah Terlantar di Arab Saudi

Kasus dugaan penipuan umroh kembali terulang.

Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengungkap kasus penipuan umroh dengan korban diduga mencapai ratusan orang. Akibatnya para jamaah yang menjadi korban penipuan travel umroh tersebut terlantar di Arab Saudi tidak bisa pulang ke Indonesia.

“Jadi korban ini mengadu ke Konjen di Arab Saudi, aduan itu kemudian disampaikan ke Kemenag dan akhirnya sampai ke kita,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi kepada awak media, Senin (27/3/2023).

Kemudian setelah menerima laporan dari Kementerian Agama (Kemenag), kata Hengki, pihaknya langsung melakukan penyelidikan dan mengungkap kasus penipuan travel umroh tersebut. Disebutnya para korban merupakan jamaah dari PT Naila Safaah Wisata Mandiri.

“Jumlah korban sejauh ini dari data yang kita dapat ada sekitar ratusan orang,” ungkap Hengki.

Lebih lanjut, kata Hengki, dari dokumen yang didapat, salah satu korban bernama Abdus dan 63 orang lain dijadwalkan pulang ke Indonesia pada tanggal 18 September 2022 silam. Ketika itu dijadwalkan mereka berangkat dari bandara sekitar pukul 17.50 dan sudah tiba di Bandara setempat sekira pukul 15.00 waktu setempat. Namun mereka batal dipulangkan dengan dalih visa bermasalah.

“Puluhan jamaah umroh tersebut lantas dibawa ke hotel Prima dan diinapkan selama tiga hari di sana. Setelahnya, mereka dipindahkan ke Hotel Pakons Prime sampai waktu pemulangan pada 29 September 2022,” jelas Hengki. 

Menurut Hengki, dari total 64 jemaah, tidak semuanya bisa dipulangkan. Sebanyak 16 jemaah lain masih harus menunggu kepulangannya. Salah satunya adalah Abdus. Kata Hengki, menurut keterangan dari salah satu korban bernama Abdus, para korban luntang-lantung selama sembilan hari di Mekkah tanpa ada kabar dari travel umroh tersebut.

“Saya Abdus salah satu korban PT Naila Safaah dan mewakili 16 jemaah lainnya atas keterlambatan pulang ke tanah air selama kurang lebih 8 hari di Makkah kami berkirim surat ke KJRI baru ada tanggapan sehingga kami dipulangkan,” jelas Abdus.

Selanjutnya Abdus berharap pihak kepolisian dapat mengusut kasus penipuan ibadah umrah ini sampai ke akar-akarnya. Sehingga dengan terungkapnya kasus ini,  Abdus berharap agar tidak ada lagi travel umrah nakal yang merugikan masyarakat, khususnya PT Naila Safaah Wisata Mandiri.

“Kami berharap kepada pihak kepolisian agar betul-betul travel-travel yang nakal khususnya PT Naila sehingga tidak ada lagi korban-korban berikutnya,” harap Abdus. 

IHRAM

Perhatikan Lima Aturan Ini Sebelum Lakukan Umroh Ramadhan

Umroh di bulan Ramadhan merupakan salah satu ibadah yang disebut-sebut memiliki nilai setara dengan berhaji. Di momen ini, banyak Muslim dari dalam dan luar Kerajaan Saudi berbondon-bondong ingin mengunjungi Masjidil Haram di Makkah.

Untuk mengatasi kepadatan dan keramaian di lokasi, otoritas terkait di Saudi menetapkan sejumlah aturan baru. Harapannya, hal ini bisa menjaga kenyamanan dan keamanan jamaah selama melaksanakan ibadah.

Dilansir di Gulf News, Rabu (29/3/2023), berikut ini lima aturan yang harus diperhatikan sebelum menjalankan umrah Ramadhan.

1. Satu umroh di Ramadhan

Kerajaan Arab Saudi baru saja mengeluarkan kebijakan umroh satu kali selama Ramadhan kali ini. Aturan ini disampaikan oleh Kementerian Haji dan Umroh, dengan tujuan untuk menghindari kepadatan di lokasi tawaf dan sa’i.

“Para peziarah yang kami sayangi, melakukan umroh sekali selama Ramadhan sangat berkontribusi memberikan para peziarah lain kesempatan untuk melakukan ritual mereka dengan mudah dan nyaman,” tulis Kementerian Haji dalam akun Twitter mereka.

2. Hindari waktu sibuk

Kementerian Haji selanjutnya menginformasikan kepada para peziarah, bahwa jumlah umat Muslim sepanjang Ramadhan berada di tingat tertinggi. Karena itu, mereka menyarankan agar jamaah menghindari daerah yang ramai di waktu puncak atau sibuk, dengan harapan mereka dapat memiliki pengalaman umrah yang lebih menyenangkan.

3. Lakukan pemesanan waktu umroh

Selain mengimbau satu kali umrah dan menghindari waktu-waktu yang padat, Kerajaan juga mengajak jamaah untuk melakukan pemesanan umrah melalui aplikasi Nusuk.

“Untuk melakukan umroh dengan mudah dan nyaman, silakan pesan waktu umrah Anda melalui aplikasi Nusuk atau Tawakkalna, dan mematuhi waktu yang ditentukan,” tulis Kementerian Haji dalam cuitannya.

Aplikasi ‘Nusuk’, yang tersedia untuk perangkat Apple dan Android, merupakan bagian dari ‘Panduan Resmi untuk Mekah dan Medina’. Di dalamnya terdapat informasi bagi para peziarah tentang persyaratan imigrasi, paket kelompok umrah, ritual yang perlu diikuti selama umrah, hingga perincian tentang berbagai Situs di dalam Makkah dan Madinah yang dapat dikunjungi umat Muslim.

Sebelum tiba di Masjidil Haram di Makkah, peziarah diharuskan memesan izin umroh dari tanggal yang tersedia di aplikasi Nusuk.

4. Patuhi waktu sesuai izin yang berlaku

Setelah memesan tanggal dan waktu untuk pelaksanaan umroh, Kementerian Haji meminta jamaah untuk memastikan telah merencanakan ziarah yang sesuai. Mereka mendesak para peziarah mematuhi tanggal dan waktu yang ditentukan dalam izin umrah mereka.

5. Ikuti tiga etika fotografi

“Di dua masjid suci, kami mempertimbangkan kesucian tempat itu, jadi kami memiliki etiket fotografi dan kami ingin menjaga hak -hak orang lain,” tulis kementerian pada 25 Maret, melalui akun Twitter resminya, @hajministry.

Di bawah ini adalah tiga aturan yang harus diingat ketika mengambil gambar di Masjidil Haram Makkah maupun Masjid Nabawi di Madinah:

1. Jangan mengganggu ibadah;

2. Jangan mengambil foto atau video orang lain tanpa izin mereka; dan

3. Jangan berhenti untuk mengambil gambar atau video dan menyebabkan kemacetan.  

Sumber:

https://gulfnews.com/living-in-uae/ask-us/ramadan-2023-only-one-umrah-during-ramadan-three-etiquettes-of-photography-and-other-rules-to-follow-1.1680011495291

IHRAM

4 Hal yang Merusak Pahala Puasa Menurut Hadis Rasulullah

Berikut ini 4 hal yang merusak pahala puasa. Pada sebuah hadis yang bersumber dari Imam Muslim, Nabi menjelaskan tentang keutamaan bulan suci Ramadhan. Orang-orang yang melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan dengan ikhlas dan penuh pengharapan, niscaya segala dosa dan kesalahannya akan diampuni oleh Allah SWT.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ وَافَقَ رَمَضَانَ بِصِيَامِهِ وَقِيَامِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah SAW  bersabda: “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan barang siapa melaksanakan shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan barang siapa berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka akan dihitung seakan-akan dia telah berpuasa selama setahun.”

Kemudian beliau bersabda: “Dan barang siapa berjumpa dengan bulan Ramadhan dengan berpuasa dan beribadah di dalamnya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Akan tetapi dalam hadis lain, Nabi juga mengingatkan dalam sabda, bahwa banyak sekali orang yang berpuasa Ramadhan, akan tetapi tidak mendapatkan pahala puasa, melainkan hanya menahan lapar dan haus saja. Alangkah celakanya, orang yang susah-susah puasa, akan tetapi tidak memperoleh apapun dari pahala puasanya.

  كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

4 Hal yang Merusak Pahala Puasa

Lantas, perkara  apa yang merusak pahala puasa? Berikut 5  perkara yang merusak pahala puasa yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad.

Pertama, berkata bohong. Dalam Islam, seseorang yang suka berkata dusta, maka ia tidak akan mendapatkan pahala puasa, hanya sekadar menahan rasa lapar dan dahaga semata. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis bersumber dari Imam Bukhari yang menjelaskan faktor yang dapat mengurangi pahala puasa;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، مَنْ لَمْ يَدعْ قَوْلَ الزُّورِ والعمَلَ بِهِ فلَيْسَ للَّهِ حَاجةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعامَهُ وشَرَابهُ

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalan dusta serta kebodohan maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)

Kedua, Menggunjing orang lain. Tindakan tersebut masuk juga pada perkara yang mengurangi dan merusak pahala puasa.  Penjelasan ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya;

  خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

Artinya: “Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

Ketiga, mengadu domba sesama manusia. Dalam sebuah hadis Nabi mengatakan bahwa yang menyebabkan rusak dan hilangnya pahala puasa ialah mengadu domba, ghibah, dan berdusta pada orang lain. Seyogianya orang beriman meninggalkan hal tersebut saat puasa.

  خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْغِيبَةُ وَالنَّمِيمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْقُبْلَةُ وَالْيَمِينُ الْفَاجِرَةُ

Artinya, “Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa, yaitu: ghibah, mengadu domba, berdusta, ciuman, dan sumpah palsu.”

Keempat, mengumpat dan berkata-kata kasar. Perkara ini termasuk hal yang membatalkan pahala puasa. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab berikut;

قال النووي في كتابه “المجموع” : “ويحصل الفساد في الصوم بالشتم والقذف والشحناء والبغضاء وما أشبه ذلك”.

Artinya: Imam Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’” berkata, “Puasa dapat rusak karena mengumpat, mencela, memaki, bermusuhan, dan sejenisnya,” [Imam Nawawi Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6 halaman 355].

Demikian penjelasan 4 Hal yang merusak pahala puasa menurut Hadis Rasulullah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kapan Puasa Mulai Diwajibkan? Ini Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan

KAPAN Ramadhan dimulai dalam sejarah Islam? Bagaimana sejarah dan asal-usul bulan Ramadhan sebenarnya?

Wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, terjadi selama 23 tahun. Dan bahwa ajaran-ajaran shaum atau puasa (dan kemudian Ramadhan) diturunkan pada paruh kedua dari periode waktu tersebut, tepatnya sekitar tahun 622 Masehi.

Pada masa ini, Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat tinggal di Madinah setelah mereka menghadapi penganiayaan sengit di Mekkah ketika mereka mencoba menyebarkan firman Allah SWT.

Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan: Cuaca yang Panas

Pada saat itu, cuaca sangat panas, dan hal ini mempengaruhi nama Ramadhan ketika pertama kali diturunkan.

Ramadhan berarti ‘panas yang membakar’ dalam syair yang merujuk pada waktu saat pertama kali diturunkan, dan waktu dalam setahun ini berpasangan dengan Lailatul Qadar, yang terjadi sekitar 12 tahun sebelumnya.

Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan: Ajaran-ajaran Ramadhan

Seperti yang telah disebutkan, Ramadhan diperingati untuk menghormati rukun Islam yang keempat, yang dikenal dengan nama shaum. Sesuai dengan sejarah puasa Ramadhan, ada beberapa alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa, antara lain:

Surah Luqman afsir Surat An-Naba, Target Amalan Harian Ramadhan, Untuk menunjukkan perannya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam di seluruh dunia,, Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan
Foto: Freepik

1- Untuk menunjukkan pengendalian diri dan menahan diri
2- Untuk membersihkan jiwa dan badan mereka
3- Untuk mengingatkan bahwa banyak orang kelaparan setiap hari
4- Untuk lebih berbelas kasih dan bersyukur atas apa yang mereka miliki
5- Untuk memperkuat ikatan mereka dengan Allah SWT

Waktu yang dihabiskan untuk tidak makan selama bulan Ramadhan sebaiknya digunakan untuk membaca Al Qur’an dan shalat. Dengan menggabungkan lima ajaran Ramadhan di atas, orang-orang akan dapat menjadi Muslim yang lebih baik dan menjadi anggota masyarakat yang lebih baik.

Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan: Persyaratan Ramadhan

Meskipun Ramadhan adalah bagian penting dari Islam, menjaga kesehatan adalah hal yang sangat penting, dan karena itu, tidak semua orang dapat berpantang makan dan minum di siang hari.

Mereka yang berusia pra-pubertas dan sedang dalam masa pertumbuhan, orang tua dan lemah, sakit dan sedang dalam pengobatan, hamil, menyusui, haid, atau sedang dalam perjalanan tidak diwajibkan untuk berpuasa (sebagai gantinya, mereka harus membayar fidyah), tetapi ada beberapa persyaratan Ramadhan yang harus mereka patuhi.

Selain tidak makan antara matahari terbit dan terbenam, umat Islam juga harus menahan diri dari semua pikiran dan aktivitas yang tidak bersih, termasuk mengumpat, bergosip, berdebat, berkelahi, dan melakukan hubungan seksual suami istri.

Target Amalan Harian Ramadhan, Ramadhan bulan syukur, Amalan di Akhir Ramadhan, Hari Raya, Yang Dilakukan oleh Seorang Muslim di Bulan Ramadhan:, Sejarah dan Asal-Usul Bulan Ramadhan
Foto: Freepic

Hal ini juga merupakan persyaratan bagi semua Muslim yang memiliki makanan yang melebihi kemampuan mereka untuk melakukan pembayaran amal yang disebut fitrah.

Secara historis, orang-orang akan mengukur apakah mereka memiliki makanan yang melebihi kemampuan mereka sebesar ‘1 Sa’. Ini setara dengan sekitar 3 kg makanan pokok seperti gandum. Hal ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, tepat di awal sejarah Ramadhan, di mana orang-orang yang memiliki makanan di luar kemampuannya akan menyumbangkan satu ‘Sa kepada mereka yang tidak memiliki makanan. []

SUMBER: MASLAHA

Fatwa Ulama: Kesalahan yang Dijumpai pada Saat Salat Tarawih

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatusy syaikh, kami ingin Anda menyebutkan sebagian kesalahan yang terjadi pada saat salat tarawih?

Jawaban:

Sebelumnya telah kita sebutkan bahwa terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sebagian imam, dan demikian juga terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh selain imam.

Adapun kesalahan imam, banyak di antara imam yang terlalu cepat memimpin salat tarawih, sampai-sampai makmum di belakangnya tidak mungkin salat dengan tumakninah. Sehingga hal itu menyusahkan orang-orang tua, orang-orang yang fisiknya lemah, orang-orang yang agak sakit, dan semacamnya. Perbuatan semacam ini menyelisihi amanah yang dibebankan kepada mereka. Imam adalah orang yang mendapatkan amanah, sehingga wajib untuk melakukan perkara yang paling afdal (paling utama) bagi makmumnya. Berbeda halnya jika dia salat sendiri, maka dia bebas. Jika dia mau, dia bisa mempercepat salat tanpa meninggalkan tumakninah. Dan jika dia mau, dia bisa memperlama salat. Akan tetapi, jika menjadi imam, dia wajib untuk mengikuti mana yang paling afdal untuk makmumnya.  Sebagian ulama menegaskan bahwa imam dimakruhkan mempercepat salat yang menyebabkan semua atau sebagian makmum tidak bisa melaksanakan sunah salat. Lalu, bagaimana lagi jika ada imam yang mempercepat salat sehingga menyebabkan makmum tidak bisa melaksanakan wajib salat seperti tumakninah dan mutaba’ah (mengikuti imam).

BACA JUGA: Tidak Sah Shalat Tarawih yang Ngebut dan Tidak Tuma’ninah

Demikian pula, sebagian imam memimpin salat tarawih dengan tata cara seperti salat witir yang terkadang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu salat witir lima rakaat sekaligus, dan tidak duduk tasyahud kecuali di rakaat terahir. Atau salat witir tujuh rakaat sekaligus, dan tidak duduk tasyahud, kecuali di rakaat terakhir. Atau salat witir sembilan rakaat, duduk tasyahud di rakaat ke delapan, kemudian berdiri untuk menyelesaikan rakaat terakhir.

Sebagian imam melakukan hal semacam itu (ketika memimpin salat tarawih, pent.). Yang demikian ini, aku tidak mengetahui contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menjadi imam. Beliau melakukan hal itu hanyalah ketika salat di rumah. Tata cara semacam ini, meskipun memiliki dalil dari sunah, (yaitu seseorang salat witir lima rakaat atau tujuh rakaat dan tidak duduk tasyahud, kecuali di rakaat terakhir, atau salat witir sembilan rakaat dengan duduk di rakaat ke delapan, kemudian tasyahud dan tidak salam, kemudian berdiri lagi untuk menyelesaikan rakaat ke sembilan, duduk tasyahud, dan baru salam). Akan tetapi, jika hal ini dipraktekkan oleh imam salat tarawih di bulan Ramadan, bisa membuat jemaah menjadi bingung karena niat awal makmum adalah salat dua rakaat-dua rakaat. Kemudian sebagian jemaah juga terkadang memiliki keperluan ketika imam salat dua rakaat atau empat rakaat lalu salam, misalnya ingin buang air kecil, atau keperluan lainnya. Sehingga tentu akan memberatkan mereka apabila imam salat lima, tujuh, atau sembilan rakaat sekaligus.

BACA JUGA: Rajin Shalat Tarawih Tapi Tidak Shalat Wajib Berjamaah di Masjid

Apabila imam ingin menjelaskan sunah tersebut, maka kami katakan kepada mereka, “Jelaskanlah sunah dengan perkataan.” Katakanlah (jelaskanlah) kepada para jemaah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat witir lima rakaat atau tujuh rakaat sekaligus, dan beliau tidaklah duduk tasyahud, kecuali di rakaat terakhir. Atau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam salat witir sembilan rakaat, beliau tidaklah duduk kecuali di rakaat ke delapan, kemudian duduk tasyahud (di rakaat kesembilan), lalu salam. Akan tetapi, hendaknya imam salat tarawih tidak mempraktikkan tata cara semacam ini bersama jemaah yang belum memiliki ilmu terkait hal tersebut. Atau jemaah tersebut sudah terbiasa melakukan salat tarawih (dua rakaat-dua rakaat), lalu tata cara tersebut membuat bingung dan memberatkan mereka. Sesungguhnya sampai sekarang ini, aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat witir mengimami para sahabatnya dengan tata cara semacam itu. Beliau hanyalah mempraktikkan tata cara tersebut ketika beliau salat di rumah.

Adapun kesalahan yang dilakukan oleh selain imam ketika salat tarawih adalah sebagian jemaah itu memutus-mutus salat tarawihnya. Mereka salat di masjid pertama mendapatkan satu atau dua kali salam, kemudian dilanjutkan di masjid lain semacam itu juga. Sehingga dia pun menyia-nyiakan waktu, dan terlewat dari mendapatkan pahala yang besar yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Barangsiapa berdiri (salat) bersama imam sampai selesai, dituliskan untuknya pahala salat semalam penuh.” (HR. An-Nasa’i no. 1605, Tirmidzi no. 806, dan Ibnu Majah no. 1327. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam AlIrwa’, no. 447)

Demikian pula, sebagian makmum berbuat kesalahan dalam hal mengikuti (mutaba’ah) imam dengan mendahului gerakan imam. Terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ، أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ

Tidakkah salah seorang dari kalian takut, atau apakah salah seorang dari kalian tidak takut, jika dia mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan menjadikan kepalanya seperti kepala keledai, atau Allah akan menjadikan rupanya seperti bentuk keledai?” (HR. Bukhari no. 691 dan Muslim no. 427)

***

@Rumah Kasongan, 1 Ramadan 1444/ 23 Maret 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadaat, hal. 287-290, pertanyaan no. 181.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83964-kesalahan-saat-tarawih.html

Inilah Tradisi Ramadhan Para Khalifah

Para pemimpin Muslim memuliakan bulan Ramadhan dengan berbagai aktivitas. Apa contohnya?

BAGI umat Islam, kehadiran bulan Ramadhan merupakan anugerah. Hal itu dikarenakan banyaknya keutamaan di dalam bulan turunnya Al-Quran tersebut.

Sangat layak jika kaum Muslimin menyambut datangnya bulan mulia itu dengan penuh suka-cita. Juga mengisinya dengan aktivitas yang mulia.

Hal ini dilakukan mulai dari rakyat jelata, hingga para penmimpinnya.  Para pemimpin Muslim yang bertanggung jawab atas terjaganya ajaran agama  menyambut bulan mulia dengan berbagai macam aktivitas.

Bagi mereka, Ramadhan adalah bulan yang harus diberi prioritas perhatian.

Kajian Keilmuan

Salah satu kegiatan di istana yang semarak di bulan Ramadhan adalah kajian ilmu-ilmu keislaman. Hal ini misalnya digalakkan oleh Khalifah al-Qadir Billah, salah satu penguasa di era Bani Abbasiyah.

Khalifah al Qadir Billah dikenal sebagai pemimpin yang mencintai ilmu. Dalam fiqih, al Qadir yang bermazhab Asy-Syafi’i berguru kepada seorang ulama besar di masanya, Abu Bisyr Ahmad al-Harawi. (Styar A’lam An-Nubala’, 15/ 127).

Tidak cuma berguru

Khalifah al-Qadir Billah juga manpu menghasilkan beberapa karya. Di antaranya adalah kitab yang berisi tentang berita wafatnya Rasulullah ﷺ.

Khalifah juga menulis kitab bantahan terhadap kaum Mu’tazilah serta kitab yang menerangkan perselisihan antara Abdul Azizi dan Bisyr al-Marisi. Ketiga kitab tersebut biasa dibacakan oleh Abu al-Hasan bin al-Hajib di hadapan para ulama dan para qadhi di istana Kekhalifahan Baghdad ketika bulan Ramadhan. (Tarikh

Islam, 28/ 268).

Kitab-kitab itu juga dibaca di Istana Malik al-Asyraf yang berada di Syam. Kala itu yang menjadi penasihat istana adalah Syeikh Syamsuddin, yang merupakan cucu dari Ibnu al-Jauzi.

Nasihat-nasihat Syeikh Syamsuddin memang amat dirindukan oleh umat ketika itu. Bahkan ketika ia menyampaikan nasihat di atas mimbar, jamaah yang hadir akan terbawa suasana hingga menangis tersedu-sedu dan berdiri dari majelis dengan mata sembab.

Majelis tersebut biasanya digelar setiap hari Sabtu di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan.  Suatu saat, Syeikh Syamsuddin masuk ke istana Malik al-Asyraf kemudian memintanya untuk membaca kitab Maqasid ash-Shalat karya Imam Izuddin bin Abdissalam.

Kitab itu dibaca hingga selesai dan ia pun memujinya. Syeikh Syamsuddin kemudian menyampaikan kepada khalayak agar kitab tersebut dijadikan bahan bacaan.  Setelah itu, kitab Maqashid ash-Shalat pun tersebar dan banyak disalin. (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, 8/239).

Sya’ban bin Husain Qalawun yang berkuasa di Mesir juga menginisiasi pembacaan kitab selama bulan Ramadhan.  Misalnya yang dibaca adalah

Shahih al-Bukhari, dimulai pada bulan Rajab, berlanjut hingga Sya’ban, diakhiri di bulan Ramadhan. Pembacaan kitab hadits yang masyhur itu juga dihadiri oleh sultan, para ulama, serta para pejabat tings pemerintahan di kala itu. (an

Nujum az-Zahirah, 14/267).

Pambacaan Shahih al-Bukhari dilaksanakan di istana yang berada di dalam

Qal’ah Jabal (Benteng Gunung Bangunan ini sebelumnya dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi di puncak Gunung Muqaththam. (Tarikh al- Khulafa, hal 430).

Tradisi di Istana Utsmaniyah

Di masa Daulah Utsmaniyah, tibanya bulan Ramadhan disambut oleh istana dengan berbagai macam kegiatan mulia.  Sultan yang berkuasa kala itu mengundang para duta besar negara-negara lainnya ke istana dalam rangka menyampaikan ucapan selamat atas datangnya bulan mulia.

Pihak istana juga mengundang masyarakat, baik yang Muslim mapun yang bukan, untuk berbuka puasa bersama di istana.  Diharapkan dengan langkah

Di istana Utsmaniyah juga didirikan shalat tarawih yang dihadiri oleh sultan.

Sedangkan di waktu akhir Ramadhan, maka sultan, para menteri, serta para pejabat tinggi pemerintahan menghadiri shalat tarawih di Masjid Aya Shofiyah. Pihak istana juga memerintahkan agar dipasang lampu-lampu berbagai warna di jalanan-jalan untuk menyemarakkan suasana Ramadhan.

Di masa berkuasanya Sultan Musthafa III, diadakan tradisi baru semasa bulan

Ramadhan, yakni pembacaan kitab tafsir karya lmam al-Baidhawi yang dikuti oleh sultan. Tatsir yang satu ini merupakan kitab yang dipandang istimewa oleh para penganut Mazhab Hanafi, yang merupakan mazhab fiqih resmi

Utsmaniyah saat itu.

Tradisi pembacaan tafsir al-Baldhawi ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203). Pembacaan tafsir tidak mesti berurutan sesual urutan surat-surat pada mushaf. Pada tahun 1785 M, pembacaan tafsir dimulai dari Surat al-Fatihah.

Sedangkan pada tahun 1755 M, pembacaan dimulai dari Surat al- Isra’ hingga berlangsung sampai Ramadhan tahun 1778. Sedangkan pada Ramadhan tahun 1779-1784, dibaca Surat al-Fath. (Madzhahir al-Hadharah min ats-T’saqafah al-Utsmaniyah, hal 88).

Bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan bagi sultan untuk bertemu rakyat secara langsung dalam jamuan buka puasa bersama. Sebagai timbal balik, hadirin kemudian mendoakan kebaikan untuk sultan. Tradisi ini disebut sebagai masabih murjaniyah.

Adapun para menteri dan pejabat lainnya, mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadhan.Masyarakat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya.

Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan Al-Qur an yang merdu. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203, 204).*/Thoriq, Suara Hidayatultah

HIDAYATULLAH