Tafsir Al-Quran: Selamat dari Siksa Api Neraka

JANJI Allah tentang siksa api neraka bagi pelaku dosa dan janji Allah kepada orang-orang beriman yang akan selamat dari api neraka karena amal kebaikan diulas jelas dalam Al-Quran. Ulasan tafsir ini diambil dari Al-Quran Surat Al-Baqarah [2) ayat 80-82, sebagaimana di bawah ini;

وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً ۗ قُلْ اَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللّٰهِ عَهْدًا فَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ عَهْدَهٗٓ اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ۞ بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ  هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْن ۞ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ۞

“Dan mereka berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kamu mengatakan tentang Allah, sesuatu yang tidak kamu ketahui? Bukan demikian! Barangsiapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS: al-Baqarah [2]: 80-82)

Sebab turunnya ayat

Pada ayat sebelumnya sudah dijelaskan bahwa para pendeta (pemuka agama) dari ahlul kitab sering mengubah isi Taurat untuk kepentingan dunia. Pada ayat ini Allah menerangkan salah satu ajaran yang diselewengkan mereka yaitu masalah siksa api neraka.

Mereka mengatakan bahwa siksa api neraka tidak akan menimpa mereka kecuali hanya beberapa hari saja, kemudian setelah itu, mereka akan masuk surga. Para ulama berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat di atas :

Pertama, ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Kota Madinah orang orang Yahudi berkata, “Umur dunia ini 7000 tahun, Allah menyiksa manusia sesuai dengan umur dunia, setiap 1000 tahun umur dunia, Allah hanya menyiksa manusia satu hari di akhirat. Jadi, Allah hanya menyiksa manusia di neraka hanya selama tujuh hari. Maka turunlah ayat ini.

Kedua, orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Neraka Jahannam mempunyai dua sisi untuk melewatinya membutuhkan waktu 40 tahun sampai ujung Neraka Jahannam yang terdapat pohon Zaqqum (Syajarah az-Zaqqum). Setelah itu Neraka Jahannam akan hancur dan hilang.

Mereka akan melewati setiap harinya setara dengan jarak tempuh satu tahun sehingga mereka berada di Neraka Jahannam hanya 40 hari.

Ketiga, orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Allah bersumpah akan memasukkan mereka ke dalam api Neraka selama 40 hari sebanyak hari di mana mereka menyembah patung anak sapi. Perkataan orang-orang Yahudi di atas dibantah oleh Allah dalam firman-Nya :

“Katakanlah, “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.”  (QS: al-Baqarah {2} : 80).

Maksudnya wahai orang-orang Yahudi apakah kalian sudah mendapatkan jaminan dari Allah bahwa kalian tidak akan disiksa kecuali hanya beberapa hari saja? Artinya bahwa yang dikatakan orang-orang Yahudi ini tidak benar.

Maka Allah bertanya lagi kepada mereka :

اَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ ما لا تعلمون

“Ataukah kalian mengatakan tenyang Allah, sesuatu yabg tidak kalian ketahui?” (QS: al-Baqarah { 2 } : 80).

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka hanya mengira-ngira saja sesuatu yang ghaib, sesuatu yang tidak mereka ketahui.

Selamat dari siksa api neraka

Terus bagaimana cara agar diselamatkan dari api neraka dan masuk surga? Allah menjelaskan pada ayat berikutnya :

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ  هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْن ¤ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

“Bukan demikian! Barangsiapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.”  (QS: al-Baqarah { 2 } : 81-82).

Dua ayat di atas menunjukkan beberapa hal diantaranya :

Pertama: Orang yang akan masuk neraka telah terpenuhi dua hal :

-Dia mengerjakan dosa-dosa selama hidup di dunia. Dosa paling besar adalah syirik. Oleh karenanya para ulama menafsirkan.  سَيِّئَة pada ayat di atas adalah syirik, jadi perbuatan syirik penyebab utama seseorang masuk neraka dan mengalami siksa neraka.

Ini dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوْهُهُمْ فِى النَّارِۗ هَلْ تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan barangsiapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: an-Naml { 27 } : 90).

-Dosa-dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, bahkan sampai-sampai dosa-dosanya tersebut meliputi dirinya. Sedangkan dia mati dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala

Kedua: Orang-orang kafir yang masuk neraka akan kekal di dalamnya untuk selamanya.

Ketiga: Orang-orang yang masuk surga juga harus memenuhi dua syarat :

-Harus beriman kepada Allah dan Hari Akhir, termasuk beriman dengan rukun iman yang enam, iman tersebut harus mencakup: hati, lisan, dan anggota badan.

-Dia harus beramal shalih yaitu amal yang diikhlaskan karena Allah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.

Keempat: Orang-orang beriman dan beramal shalih akan masuk ke dalam surga, kekal di dalamnya selamanya. Wallahu A’lam.*/ Tafsir An-Najah, diasuh Dr. Ahmad Zain An Najah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Doa Akhir Bulan Sya’ban dan Menjelang Masuk Bulan Ramadhan

Di antara amalan para ulama salaf di akhir bulan Sya’ban dan menjelang masuk bulan Ramadhan adalah memperbanyak membaca Al-Quran dan berdoa kepada Allah. Di antara doa akhir bulan Sya’ban yang sering dibaca, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ali Yamani berikut;

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ يَارَحِيْمُ يَارَحْمَنُ يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَلْهِمْناَ فِيْ أَمْرِنَا الصَّوَابَ وَيَسِّرْ لَنَا فِيْ كُلِّ مَسْأَلَةٍ جَوَاباً وَنَجِّنَا مِنْ كُلِّ أَلْوَانِ اْلعَذَابِ وَبَيِّضْ وُجُوْهَنَا يَوْمَ يَشْتَدُّ اْلحِسَابُ وَزَيِّنْ مَجْلِسَنَا بِخَيْرِ اْلأَصْحَابِ وَاجْعَلْ دُعَائَنَا دُعَاءً مُسْتَجَابًا. اَللًّهُمَّ أَبْعِدْ عَنَّا وَعَنْ أَحِبَّتِنَا مَتَاعِبَ الدُّنْيَا، وَلَا تَذُقْناَ طُعْمَ اْلحَزْنِ وَلَا دُمُوْعَ الضِّيْقِ. اَللَّهُمَّ بِحَجْمِ سَمَائِكَ أَرِحْ قُلُوْبَنَا وَأَسْعِدْنَا سَعَادَةً لاَ تَفْنَى.

وَأجْعَلْ قُبُوْرَهُم بَرْدًا وَسَلاَمًا. اَللَّهُمَّ آنِسْ مَيِّتَنَا فِيْ وَحْدَتِهِمْ وَفِيْ وَحْشَتِهِمْ وَفِيْ غُرْبَتِهِمْ وَافْرُشْ قُبُوْرَهُمْ مِنْ فِرَاشِ اْلجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Allohumma Barik lana fima baqiya min Sya’ban wa balligna ramadhana ya rahim ya rahman ya rabbal a’lamina. Allohumma alhimna fi amrina as shawaba wa yassir lana fi kulli masalatin jawabab wa najjina min kulli al wanin al a’zabi wa bayyidh wujuhana yauma yasytaddu al hisabu wa zayyin majlisana bi khorin al habi waj’al dua’ana du’aa mustajaban. 

allohumma ab’id a’nna wa an ahibbatina mata’iba ad dunya  wala tazuqqona thaa’mu al hizni wa la dumu’a ad dhoiq.   

Allohumma bihajmi samaika arih qulubana wa as’id saa’data la tafna. allohumma arham amwatana yantaziruna minna ad dua’a, wa agfirlahum wa nawwir quburohum waj a’l quburohum bardan wa salama. Allohumma anis mayyitana fi wahdatihim wa fi wahsyatihim wa fi gurbatihim min firasyin al jannati birahmatika ya arhama ar rahimin.  

Artinya; Ya Allah, berkahilah kami di sisa hari bulan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan, wahai Dzat Yang Maha Pengasih, wahai Dzat Yang Maha Penyayang, wahai Tuhan semesta alam. 

Ya Allah, berilah dalam urusan kami kebenaran, mudahkanlah dalam setiap masalah kami untuk menemukan solusi, selamatkanlah kami dari setiap macam-macam siksaan, putihkanlah wajah kami (dengan cahaya) di hari perhitungan yang sangat dahsyat, hiasilah majelis kami dengan sahabat-sahabat yang baik, dan jadikanlah doa kami sebagai doa yang terkabul. 

Ya Allah, jauhkanlah kami dan orang-orang yang kami cintai dari segala penderitaan dunia, dan janganlah Engkau mencicipkan pada kami rasa sedih dan air mata kesempitan. Ya Allah, dengan ukuran langit-Mu, maka tenangkanlah hati kami dan berilah kami kebahagian yang tidak binasa.

Ya Allah, kasihanilah para leluhur kami yang telah mati yang mana mereka senantiasa menunggu doa dari kami, ampunilah mereka, berilah cahaya kuburan mereka, dan jadikanlah kuburan mereka sejuk dan selamat. 

Ya Allah, hiburlah para leluhur kami yang telah mati di dalam kesendirian mereka, di dalam kerisauan mereka, dan di dalam keasingan mereka. Berilah kuburan mereka dengan permadani surga dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih. 

Demikian bacaan doa akhir Sya’ban, dan menyambut bulan  Ramadhan. Semoga kita semua termasuk orang yang akan mendapatkan kemuliaan Sya’ban, serta termasuk orang yang diampuni di Bulan Ramadhan.

BINCANG SYARIAH

Rabithah: Ramadhan 1443 H Momentum Bangkit Jasmani Rohani

Rabithah ajak umat Islam sambut Ramadhan dengan penuh syukur dan taat

Organisasi habaib se-Indonesia Rabithah Alawiyah menyampaikan, Ramadhan 1443 H menjadi momentum bangsa Indonesia bangkit secara jasmani dan rohani. 

Rabithah pun mengajak pada seluruh umat Islam agar memanfaatkan semaksimal mungkin Ramadhan kali ini dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT sekaligus berbuat baik kepada sesama.  

Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Taufiq Assegaf, menyambut baik keputusan pemerintah yang telah membolehkan kegiatan ibadah Ramadhan berlangsung di masjid-masjid. 

Menurut Habib Taufiq, kesempatan untuk kembali dapat beribadah secara berjamaah di masjid akan menjadi sarana terbaik untuk bangkit pascapandemi. 

“Keputusan pemerintah yang mengizinkan kegiatan ibadah Ramadhan di masjid adalah momentum untuk meningkatkan kualitas rohani sekaligus jasmani. Karena rohani yang baik akan mendukung pula jasmani yang baik pula,” tutur Habib Taufiq dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (31/3/2022). 

Habib Taufiq juga meminta umat menjadikan pengalaman pascapandemi lalu sebagai muhasabah. Adanya pembatasan fisik selama pandemi lalu membuktikan manusia pada dasarnya tak memiliki banyak kuasa. 

“Pandemi kemarin jadi pelajaran bahwa virus yang tidak terlihat oleh pandengan mata saja, begitu besar dampaknya bagi kehidupan manusia. Bagi orang beriman, ini adalah bukti bahwa manusia itu sejatinya tidak memiliki daya apa-apa kecuali atas rahmat Allah,” ujar Habib Taufiq. 

Karena itu, atas rahmat Allah pula kini umat Islam dapat kembali melaksanakan kegiatan ibadah Ramadhan di masjid seperti sedia kala. “Manfaatkan rahmat Allah ini dengan bersyukur. Caranya adalah dengan selalu memakmurkan masjid untuk beribadah,” ujar Habib Taufiq. 

Habib Taufiq menilai, masjid selalu memberi manfaat untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hidupnya masjid juga akan menghidupkan sendi kegiatan masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, dan budaya. 

“Masjid tak sekadar menjadi pusat ibadah, melainkan juga menjadi pusat budaya, sosial, dan ekonomi. Dengan memakmurkan masjid kita tak hanya memperkuat hubungan kepada Allah tetapi juga kepada sesama,” ucap Habib Taufiq.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Infografis Niat Sholat Tarawih

– Sholat tarawih secara umum dilakukan dua rakaat-dua rakaat dengan satu salam, sama saja dengan sholat sunnah lainnya.

– Sholat tarawih disebut juga qiyaamu Ramadhan.

– Bilangan rakaat yang pernah dilakukan Nabi Muhammad delapan rakaat.

– Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat.

– Setelah tarawih hendaknya diteruskan dengan sholat witir, minimal satu rakaat.

Niat sholat tarawih untuk imam

اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً إِمَامًا ِللهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarawihi rak’ataini mustaqbilal qiblata adaan imaman lillahi ta’la.

“Saya niat sholat sunnah tarawih dua rakaat dengan menghadap kiblat secara langsung sebagai imam karena Allah SWT.”

Niat sholat tarawih untuk makmum

اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarawihi rak’ataini mustaqbilal qiblata adaan ma’muman lillahi ta’la.

“Saya niat sholat sunnah tarawih dua rakaat dengan menghadap kiblat secara langsung sebagai imam karena Allah SWT.”

Pengolah: Ani Nursalikah

Sumber: Artikel Republika.co.id

Beginilah Dzikir Ketika Melihat Hilal

Dalam beberapa hari ke depan, umat islam akan bertemu dengan bulan yang dinanti yakni bulan suci Ramadhan. Dan hendaknya ketika seseorang melihat hilal, dia membaca dzikir yang telah dicontohkan.  Dikutip dari buku Fikih Puasa untuk Anak oleh Muhammad Abduh Tuasikal, berikut Dzikir yang dibaca ketika melihat hilal,   اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ علَيْنَا بِالْيُمْنِ والإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ والإِسْلامِ، رَبِّي ورَبُّكَ اللَّه  

“ALLAHUMMA AHLIL-HU ‘ALAYNAA BIL-YUMNI WAL IIMAANI WAS SALAAMATI WAL ISLAAMI. ROBBII WA ROBBUKALLAH.  

Artinya: Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu–wahai bulan sabit–adalah Allah).” (HR. Ahmad, 1:162; Tirmidzi, no. 3451; dan Ad-Darimi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)   Adapun Ramadan adalah bulan diturunkannya Alquran dan kitab suci lainnya yang Allah turunkan. Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Karenanya umat bersemangat melakukan kebaikan di bulan Ramadan, sedangkan maksiat berkurang.  

Selain itu, ada malam penuh kemuliaan di bulan Ramadan yaitu lailatul qadar. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah pada seribu bulan lainnya.   Bulan Ramadan juga bulan penuh rahmat, ampunan, dan banyak yang dibebaskan dari neraka. Doa di bulan Ramadan mudah dikabulkan.   #Rossi Handayani 

IHRAM

Fikih Nikah (Bag. 9)

Talak Ditinjau dari Waktu Terjadinya

Ditinjau dari segi waktu terjadinya, talak terbagi menjadi tiga, yaitu: talak munjaz, talak mudhaf, dan talak mu’allaq.

Pertama, talak munjaz

Yaitu yang diniatkan oleh pengucapnya agar talaknya jatuh saat itu juga. Contohnya ucapan suami kepada istrinya, “Anti Thaaliq.” (Engkau tertalak) dan yang semisalnya.

Hukumnya:

Talak tersebut jatuh sejak suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.

Kedua, talak mudhaf

Yaitu yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Contohnya adalah ucapan suami kepada istrinya, “Tanggal 30 bulan depan kamu tertalak.”

Hukumnya:

Pendapat mayoritas ulama adalah talak ini terlaksana saat waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga, istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.

Ketiga, talak mu’allaq

Yaitu talak yang diucapkan suami kepada istrinya dan diiringi dengan syarat. Contohnya adalah ucapan suami kepada istri, “Jika engkau pergi meninggalkan rumah, maka engkau tertalak.”

Hukumnya:

Ada dua kemungkinan dari niat suami ketika mengucapkannya:

  1. Niat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri mengerjakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut, maka talak terjadi.
  2. Hanya bermaksud memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang disyaratkan dan bukan dalam rangka menalak. Maka, hukumnya sebagaimana sumpah. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa. Namun, jika syaratnya tersebut terpenuhi, yaitu istri melanggar apa yang disampaikan suaminya, maka suami wajib membayar kafarat. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

Talak Ditinjau dari Boleh Atau Tidaknya Rujuk

Ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj’i dan talak ba’in. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Pertama, talak raj’i

Yaitu talak yang dilakukan suami terhadap istri yang telah dipergaulinya, tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri (bukan karena gugat cerai dari istri), dan belum didahului talak sama sekali (talak pertama) atau baru didahului talak satu kali (talak kedua).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (QS. Al-Baqarah: 229)

Hukum-hukum yang terkait adalah sebagai berikut:

  1. Seorang wanita yang mendapat talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa idah(menunggu).
  2. Jika salah satu dari keduanya meninggal, baik suami maupun istri, dan belum habis masa idahnya, maka yang ditinggalkan berhak mendapatkan warisan yang meninggal karena keduanya masih berstatus sebagai suami istri.
  3. Suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja dia berkehendak selama istri masih di dalam masa idahnya, serta tidak disyaratkan adanya keridaan istri atau izin dari walinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُـطَلًّـقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)

Kedua, talak ba’in

Yaitu talak yang seorang suami sudah tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya kembali. Talak ini terbagi menjadi dua bagian:

  1. Talak ba’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan: (1) Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj’i hingga masa idah. (2)  Suami menalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru). (3) Cerai yang terjadi karena gugatan/ permintaan dari istri (khulu’).
  2. Talak ba’in kubra, yaitu talak yang mana mantan suami itu sudah tidak memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak. Syarat lainnya, laki-laki lain tersebut juga telah mencampurinya secara hakiki, kemudian mantan istrinya itu berpisah dengan laki-laki tersebut baik karena suaminya meninggal atau karena cerai, dan setelah habis masa idah mantan istrinya tersebut, maka baru ia dibolehkan untuk menikahi mantan istrinya tersebut. Namun, harus dengan akad baru, mahar baru dan tentu saja dengan keridaan mantan istrinya tersebut.

Talak Dengan Niatan Bercanda, Apakah Dianggap?

Imam Ibnu Qudamah di dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan,

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak dalam keadaan bercanda itu terjadi dan dianggap.”

Hal ini juga berdasarkan hadis nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح، والطلاق والرجعة

“Ada tiga perkara baik dilakukan dengan serius atau dengan main-main hukumnya tetap berlaku: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Abu Dawud no. 2194, Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039)

Bagaimana Hukumnya Jika Suami Sudah Meniatkan Cerai, Namun Belum Mengucapkannya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa suami yang meniatkan talak, namun belum mengucapkannya maka talaknya tidak dianggap. (Al-Mughni: 8/263)

Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

إن الله تجاوز عن أُمَّتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

Sesungguhnya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.(HR. Bukhari no. 5270)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

Seseorang datang bertanya kepada Al-Hasan dan dia berkata, “Aku telah menalak istriku, namun hanya dalam hati saja.” Al-Hasan bertanya, “Apakah kamu mengatakan sesuatu dari mulutmu?” Orang tersebut menjawab, “Tidak.” Al-Hasan berkata, “Maka, itu bukanlah talak.” (Musannaf Abdurrazzaq: 6/412).

Menceraikan Istri dalam Keadaan Mabuk, Apakah Dianggap?

Telah kita ketahui bahwa talaknya orang yang belum dewasa, orang gila, dan orang yang dalam kondisi tidur tidaklah terjadi dan tidak dianggap. Berdasarkan sabda nabi,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Tirmidzi no. 1423, Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no.  7346 dan Ahmad no. 956)

Lalu, bagaimana dengan orang yang dalam keadaan mabuk, apakah talaknya dianggap?

Imam As-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Nailul Authaar menyebutkan,

“Orang yang mabuk sehingga ia hilang ingatan, maka talaknya tidak dihukumi (tidak sah) karena tidak adanya otoritas dan alasan yang menjadi dasar penetapan hukum baginya (akal). Dan syariat juga telah menetapkan hukuman bagi para pemabuk, maka tidak boleh bagi kita untuk melewati batas lalu mengatakan, ‘Talaknya terjadi sebagai hukuman atas mabuknya.’ sehingga terkumpul baginya dua hukuman.”

Hal ini juga merupakan pendapat Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, serta Imam Ibnul Qayyim.

Beberapa dalilnya adalah:

  1. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan perkataan orang yang dalam keadaan mabuk tidak dianggap dan tidak ada harganya karena ia tidak mengetahui apa yang diucapkannya.

  1. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata,

ليس لمجنون ولا لسكران طلاق

 “Tidak ada talak bagi orang gila dan orang mabuk”. (Musannaf Ibnu Abi Syaibah: 4/24).

Wallahu a’lam bisshowaab.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber:

  1. Kifayatul Akhyar Fii Syarhi Matni Abi Syuja’ karya Imam Taqiyuddin Al-Husaini.
  2. Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
  3. Nailul Authaar karya Imam As-Syaukaani.

Sumber: https://muslim.or.id/73512-fikih-nikah-bag-9.html

Telaah Hadis 73 Golongan dalam Islam

Saat menelisik hadis tentang 73 golongan dalam Islam, kita akan menemukan beberapa fakta yang agaknya selama ini belum diketahui khalayak muslim. Pertama, banyak sekali ulama yang meriwayatkan hadis ini dan jalur periwayatannya (tharîq)berbeda-beda. Kedua, berbagai riwayat hadis tersebut berbeda-beda dalam menggunakan redaksi lafaz. Tidak hanya berbeda, bahkan ada riwayat yang saling bertolak belakang redaksi lafaznya. Ketiga, sebab dua hal tersebut pada akhirnya ulama berbeda-beda pendapat tentang kesahihan hadis 73 golongan dalam Islam.

Saat diundang ke stasiun televisi Mesir CBC Egypt, Syekh Ali Jum’ah yang merupakan sosok Mufti Besar Mesir di tahun 2003-2013, Dewan Ulama al-Azhar Mesir, juga salah satu cendekiawan muslim terkemuka di Mesir saat ini, menuturkan bahwa para ulama hadis menyebutkan ada persoalan idrâj dalam hadis ini. Idrâj sendiri merupakan istilah dalam ilmu hadis yang merujuk pada tambahan lafaz yang diyakini berasal dari si perawi hadis sebagai bentuk penjelasan dari lafaz atau makna hadis. Oleh karenanya, dalam persoalan hadis 73 golongan dalam Islam ini kita perlu memahaminya dengan cermat sehingga tidak menginterpretasikan hadis ini ke makna yang tidak dimaksudkan.

Bunyi awal hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan tersebut adalah sebagai berikut.

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً

“Ketahuilah, sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab terbagi menjadi 72 kelompok.”

Hadis ini ingin menegaskan bahwa umat agama samawi sebelum Islam terpecah menjadi 72 kelompok. Menurut Syekh Ali Jum’ah, hal ini adalah sebuah fenomena yang wajar. Kita tahu bahwa masing-masing umat dianugrahi kitab suci oleh Allah SWT; kaum Yahudi berupa Taurat dan kaum Nasrani berupa Injil. Lantas mereka memiliki pemahaman ataupun penafsiran yang berbeda-beda terhadap ayat per ayat dari kitab suci mereka tersebut. Hal ini dikatakan wajar sebab manusia pun diciptakan oleh Allah SWT. dengan daya pikir yang berbeda beda. Serta kondisi sosial setiap penganut yang berbeda-beda pada akhirnya menuntut setiap kelompok untuk menginterpretasikan kitab suci sesuai dengan konteks sosial di wilayahnya.

Syekh Ali Jum’ah mengungkapkan bahwa hadis di atas adalah redaksi yang benar-benar asli dan telah terbukti kesahihannya. Adapun redaksi hadis setelahnya masuk dalam persoalan idrâj di kalangan ulama hadis. Sehingga masih banyak pertentangan di antara ulama akan kesahihan bunyi hadis setelahnya. Berikut bunyi lanjutan hadis di atas.

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, sedangkan Kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan.”

Sebagaimana yang telah saya ulas di atas, perpecahan tersebut dilatarbelakangi perbedaan penafsiran setiap kelompok terhadap kitab suci mereka. Begitu pun yang terjadi kepada kaum Yahudi yang terbagi menjadi 71 golongan. Kemudian, alasan mengapa kaum Nasrani terbagi menjadi 72 golongan adalah sebab 71 golongan orang Yahudi tersebut pada akhirnya masuk ke Nasrani saat Nabi Musa AS. diutus. Sehingga jumlah kelompok Nasrani sama persis sebagaimana 71 kelompok kaum Yahudi. Dan ditambah satu kelompok yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Isa AS. secara murni. 

Adapun Syekh Ali Jum’ah sendiri mengamini pendapat yang menegaskan bahwa redaksi hadis kedua ini merupakan tambahan lafaz yang berasal dari perawi hadis sebagai penjelas redaksi hadis pertama. Demikian juga bunyi hadis setelahnya. Yakni,

وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة

“Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok.”

Apalagi pada lafaz كلها في النار إلا واحدة, menurut keterangan Imam Syaukani, jumhur ulama hadis telah memverifikasi kedhaifan redaksi tersebut. Bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa redaksi tersebut merupakan hadis maudhu’. Adapun dalam kitab al-Tafriqah bayn al-Îman wa al-Zindiqah, Imam al-Ghazali justru mencatat hadis tersebut dengan redaksi كلها في الجتة إلا فرقة.

Di akhir siarannya tersebut, Syekh Ali Jum’ah mengingatkan terkait hadis 73 golongan umat Islam dan yang selamat hanya satu golongan, jika ada muballigh yang mengatakan hadis tersebut sahih, maka yang dimaksud adalah penggalan pertama hadis yang berbunyi أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً. Sedangkan redaksi setelahnya masih banyak pertentangan di antara ulama hadis. Adapun Syekh Ali Jum’ah sendiri mengamini pendapat yang mengatakan bahwa redaksi hadis setelahnya adalah penjelasan dari perawi hadis tentang teks asli hadis ini.

(Sumber: Siaran Syekh Ali Jum’ah di stasiun televisi Mesir CBC Egypt)

BINCANG MUSLIMAH

Ingin Qadha Puasa Selama 7 Hari Berturut-turut, Apakah Cukup Niat Puasa di Malam Pertama Saja?

Di antara perkara yang terkadang ditanyakan oleh sebagian masyarakat adalah mengenai hukum niat berpuasa di malam pertama saja ketika hendak qadha puasa secara berturut-turut.

Misalnya, seseorang hendak melakukan qadha puasa Ramadhan selama 7 hari secara berturut-turut, apakah cukup baginya berniat melakukan puasa qadha di malam pertama saja?

Menurut para ulama, di antara syarat sah puasa wajib, termasuk Ramadhan, adalah melakukan niat setiap malam, dan tidak cukup hanya melakukan niat di malam pertama saja. Niat puasa wajib harus dilakukan setiap malam, baik puasa wajib tersebut berupa ada’ maupun qadha.

Oleh karena itu, jika seseorang hendak melakukan qadha puasa Ramadhan, maka dia wajib melakukan niat puasa setiap malam, baik dia hendak melakukan qadha puasa Ramadhan tersebut secara berturut-turut atau tidak.

Jika di malam tertentu dia tidak melakukan niat, atau hanya mencukupkan pada niat malam pertama saja, maka qadha puasanya dinilai tidak sah.

Ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berikut;

تبييت النية من الليل شرط لكل صوم واجب على الراجح من قولي أهل العلم ، قضاءً كان ذلك الصيام أو أداءً. ويدل على ذلك قول النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ. وفي لفظ للنسائي: مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

وذهب جمهور الفقهاء إلى أنه تجب النية لكل يوم ، ولا تجزئ النية أول شهر رمضان ، أو أول الصوم المتتابع لجميع الأيام .وذهب المالكية إلى أن نية واحدة تكفي في الصوم الواجب تتابعه كرمضان ، أما الصوم الذي لا يجب فيه التتابع كالقضاء فلا بد من نية مستقلة لكل يوم

Melakukan niat di waktu malam bagi tiap-tiap puasa adalah wajib menurut pendapat yang unggul dari kalangan para ulama, baik puasa tersebut berupa qadha maupun ada’. Ini berdasarkan hadis Nabi Saw;

Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya. Di dalam hadis riwayat Imam Al-Nasa-i disebutkan; Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari, maka tidak ada puasa baginya.

Kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa wajib berniat puasa untuk tiap hari puasa, dan tidak cukup berniat di awal Ramadhan, dan di awal puasa yang berturut-turut untuk semua hari.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa satu niat saja cukup di dalam puasa yang wajib dilakukan berturut-turut seperti puasa Ramadhan. Adapun puasa yang tidak wajib berturut-turut, seperti puasa qadha, maka harus berniat satu persatu untuk setiap hari puasa. 

BINCANG SYARIAH

Saat Sholat Kaki Bergerak, Batalkah?

Syekh Mahmud Salaby, anggota Lembaga Fatwa Mesir, seperti dilansir Masrawy,mengatakan bahwa seseorang itu dituntut untuk fokus dan khusyuk dalam sholat, dan tidak melakukan gerakan-gerakan  seperti orang yang tidak sholat. 

Syekh Mahmud Salaby mejelaskan bahwa para ulama mengatakan mengatakan banyak bergerak dalam sholat akan membatalkan sholat. Sebagian ulama berpendapat bahwa sholat menjadi batal dengan tiga kali gerakan secara berturut-turut. 

Dan sebagian ulama berpendapat bahwa batal sholatnya seseorang karena gerakan-gerakan yang menjadikan orang yang sholat itu bila dilihat oleh orang lain menyangkanya bahwa dia sedang tidak sholat.  

Akan tetapi Syekh Mahmud Salaby mengatakan apabila orang yang sholat itu tidak mampu mengendalikannya (maksudnya ada bagian tubuh bergerak diluar kontrol karena gangguan syaraf seperti Tardive dyskinesia) maka sholatnya tetap sah.  

IHRAM

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan tiga keindahan bahasa dalam Al-Fatihah, diantaranya:

1. Keindahan maknanya

2. Keindahan akar bahasanya

3. Keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Pada tulisan ini kami akan melanjutkan penjelasan delapan keindahan Al-Qur’an.

Keempat, bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata (Al-Mubaalaghah fits Tsanaa’)

Diantara mutiara keindahan bahasa dalam Al-Fatihah adalah terdapat bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata.

Hal ini didapatkan dengan menerjemahkan alif lam  pada {ٱلۡحَمۡدُ} sebagai alif lam lilistighraaq. Sehingga kita dapat mengartikannya sebagai alif lam yang memiliki cakupan menyeluruh dan meliputi segala bentuk pujian serta syukur yang sempurna dari semua aspek.

Semua pujian dan syukur yang sempurna dikhususkan hanya untuk Allah Ta’ala. Hal tersebut merupakan hak Allah Ta’ala karena hanya Allah Ta’ala yang berhak mendapatkannya. Keistimewaan dan hak Allah Ta’ala ini didapatkan dari makna huruf lam yang ada pada {لِلَّهِ}. Lam disini adalah lilistihqaq wal ikhtishash [1] yang menunjukkan makna hak dan pengkhususan.

Disamping itu, {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} adalah kalimat yang diawali isim (jumlah ismiyyah) yang menunjukkan faedah pujian yang sempurna dan dilakukan secara terus-menerus untuk Allah Ta’ala semata [2].

Kelima, terdapat berbagai kandungan seruan (talwiinul khithaab)

Pada {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} zhahir-nya adalah kalimat berita bahwa Allah Tabaraka wa ta’ala memuji diri-Nya. Namun, maksud  {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} sebenarnya adalah perintah kepada hamba-Nya untuk mengucapkan {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ}. Hal itu dikarenakan dalam berita {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} terkandung pengajaran untuk hamba Allah Ta’ala agar mereka memuji-Nya.

Keenam, rahasia pengkhususan kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

“Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

Allah adalah pemilik segala sesuatu, termasuk hari-hari di dalamnya. Namun, di dalam Al-Fatihah dikhususkan bahwa Allah adalah pemilik hari pembalasan. Rahasianya ada beberapa kemungkinan berikut ini:

Pertama, untuk mengagungkan hari tersebut dan menampakkan kengeriannya.

Kedua, menampakkan hanya Allah yang maha memiliki dengan kepemilikan yang hakiki. Pada hari pembalasan itu tidak ada lagi perbedaan antara kepemilikan raja dan rakyat biasa. Seluruh kepemilikan makhluk sirna. Yang tersisa di sana adalah iman dan amal saleh.

Ketujuh, faedah sifat lafaz “Allah” (At-Taqyiid bin Na’ti)

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

“(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam (3) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (4) Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 2-4).

Kandungan beberapa ayat ini menunjukkan bahwa Allah disifati dengan empat sifat, yaitu:

Pertama, tuhan yang memelihara seluruh alam;

Kedua, tuhan yang Maha Pengasih;

Ketiga, tuhan yang Maha Penyayang; dan

Keempat, pemilik hari pembalasan.

Kedelapan, pendahuluan dan pengakhiran (At-Taqdiim wat Ta’khiir)

Dalam ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين} terdapat pendahuluan sesuatu yang pada asalnya di akhirkan.

Susunan {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} pada asalnya adalah {نعبدك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نعبد}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَعْبُدُ}.

Demikian pula {إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} pada asalnya adalah {نستعين بك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نستعين}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَسْتَعِينُ}. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan dan pengkhususan yang diterjemahkan sebagai, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah” dan “Hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu meniadakan sesembahan selain Allah (nafi’) dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah (itsbat). Inilah hakikat tauhid.

Hanya kepada Allah Ta’ala seluruh peribadatan ditujukan. Tidak boleh mempersembahkan apa pun ibadah kepada selain-Nya. Begitu juga halnya isti’anah (memohon pertolongan) yang termasuk ibadah. Oleh karena itu, wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala saja.

Disamping terdapat faedah pembatasan dan pengkhususan, dalam ayat ini juga terdapat faedah pengagungan dan perhatian besar. Biasanya bangsa Arab itu mendahulukan sesuatu yang terpenting sehingga layak diagungkan dan diperhatikan dengan sebesar-besarnya.

Kesembilan, rahasia pendahuluan ibadah daripada isti’anah

Dalam {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Faedanya antara lain:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah.

Kedua, mendahulukan hak Allah (mendapatkan persembahan ibadah) daripada hak makhluk.

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah).

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada ibdah khusus (isti’anah billah).

Kesepuluh, rahasia pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ini terdapat dua kata kerja yang berbeda sehingga masing-masing membutuhkan penegasan dan perhatian. Pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat ini mengandung dua faedah, yaitu:

Pertama, penegasan kekhususan Allah atas hak-Nya disembah dan hak-Nya tempat meminta pertolongan (isti’anah).

Kedua, kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah dan menyeru kepada-Nya dengan mengulangnya hingga dua kali.

Kesebelas, rahasia penyebutan kata kami pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} disebutkannya kata kami. Konteks kalimat ini adalah menampakkan penghambaan dan rasa butuh kepada Allah Ta’ala. Selain itu, ayat ini menampakkan pengakuan bahwa diri seorang hamba membutuhkan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah-Nya. Tentulah dalam kondisi ini yang cocok seorang hamba menyatakan kami daripada saya.

Lebih cocok seorang hamba menyatakan bahwa, “Kami, seluruh makhluk adalah hamba-Mu & ciptaan-Mu, kami semua menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”. Tidaklah pantas seorang hamba dalam kondisi ini mengatakan, “Hanya saya saja hamba-Mu dan ciptaan-Mu, saya menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73267-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-2.html