Begini Cara Nabi Syuaib Mengatasi ‘Penyakit Kronis’ Kecurangan dalam Perdagangan

Nabi Syuaib diutus kepada kaum Madyan yang penduduknya terkenal dengan profesi dagang ulung. Hampir seluruh penduduknya sudah akrab dengan dunia perdagangan sejak dini. Namun demikian, penduduk Madyan juga dikenal sebagai penduduk yang gemar melakukan berbagai kecurangan dalam perdagangannya.

Bahkan terdapat kisah yang menyebutkan bahwa kaum Madyan adalah kaum yang pertama kali melakukan praktek monopoli. Dikisahkan, para penduduk Madyan mempunyai tradisi di mana mereka membeli gandum dan bahan-bahan pokok lainnya kemudian menimbunnya sampai masa harga melonjak.

Bahkan yang lebih parah dari melakukan monopoli, kaum Madyan juga memiliki suatu kebiasaan yang buruk. Di setiap pedagang, memiliki dua timbangan; timbangan yang pas dan normal untuk menakar barang-barang yang dibeli dan timbangan kedua adalah timbangan yang dikurangi dengan settingan sedemikian rupa untuk menimbang barang yang akan mereka jual.

Tidak hanya itu, di bawah ini akan diuraikan tiga bentuk kecurangan dalam perdagangan yang dilakukan oleh kaum Nabi Syuaib. Kecurangan yang diungkap di sini tentu saja bukan untuk ditiru, namun dijadikan sebagai refleksi dan pembelajaran bagi manusia di era modern seperti saat sekarang ini bahwa jangan sampai praktek kecurangan yang dilakukan oleh kaum Madyan yang belum tercerahkan itu terjadi hari ini.

Pertama, mencurangi orang lain.

Memperlakukan orang secara tidak adil dan tidak proporsional adalah bentuk nyata kecurangan. Praktek kecurangan inilah yang sering terjadi di kehidupan kaum Madyan. Maka, terkait perilaku ini, al-Qur’an menyebutkan dengan istilah “al-bakhs“. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nabi Syuaib ketika melarang kaumnya untuk tidak berlakucurang sebagaimana tercermin dalam QS. Hud ayat 85:

…وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

..Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Ibnu Arabi menjelaskan kata al-bakhs sebagai mengurangi segala sesuatu dari yang seharusnya, nanum tidak hanya terbatas pada timbangan, menipu, mencuri atau mengelabui juga termasuk dalam pengertian al-bakhs.

Menipu dan monopoli menjadi dua bentuk kecurangan yang acapkali dilakukan oleh kaum Madyan. Hal ini sejalan dengan karakter mereka, yakni gemar menumpuk harta dengan cara yang batil.

Kedua, mengurangi timbangan atau takaran

Dalam kitab-kitab tarikh karya ulama, seperti Qashash al-Anbiya karya Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ciri utama yang melekat pada kaum Madyan adalah kegemarannya mengurangi timbangan atau takaran.

Tentu saja mengurangi timbangan merupakan dosa yang sangat besar dalam ekonomi, karena dapat merugikan banyak orang. Dalam Islam, praktek semacam ini sungguh tidak dibenarkan.

Oleh karena itu, Nabi Syuaib diperintahkan oleh Allah untuk meluruskan perilaku menyimpang kaum Madyan ini. Hal ini sebagaimana terpatri dalam QS. al-A’raf ayat 85:

Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.

Dalam ayat lain, Hud ayat 84, secara tegas Allah berfirman bahwa Nabi Syuaib diutus untuk melakukan perubahan terhadap laku kaum Madyan, khususnya yang suka mengurangi timbangan. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ar-Razi, bahwa kebiasaan para Nabi setiap melihat kaumnya melakukan satu bentuk penyimpangan melebihi lainnya, maka disitulah dakwah yang ditekankan kepada para Nabi.

Ketiga, melakukan pungutan liar.

Pungutan liar merupakan penyakit kronis yang sudah lama menjangkiti di hampir semua bidang, terutama yang berkaitan dengan perdagangan dan sejenisnya. Bahkan kisah kaum Madyan ini semakin menyadarkan kepada kita bahwa pungutan liar memang penyakit lama yang harus disembuhkan.

Dalam QS. al-A’raf ayat 86, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya.

Ayat tersebut masih membahas tentang kisah Nabi Syuaid, tepatnya menggambarkan perilaku kaum Madyan kala itu. Lantas apa hubungannya dengan pungutan liar? Mari kita tujukan peratian kita pada ungkapan “ duduk di setiap jalan“.

Terkait kata tersebut, setidaknya ada tiga penafsiran yang berbeda-beda. Pertama, mengartikan kata “duduk di setiap jalan” sebagai ancaman dan menakut-nakuti orang yang akan menuju rumah Nabi Syuaib. Kedua, larangan untuk membegal dan merampok harta orang lain. Ketiga, melakukan pungutan liar.

Dari ketiga penafsiran di atas, penulis lebih condong pada kelompok ketiga, yang mengartikannya dengan pungutan liar. Ini sebagaimana pendapat Abullah Halim Umar, pakar ekonomi universitas al-Azhar.

Jadi, kala itu, praktek yang menjamur adalah pungutan liar setiap kali ada pedagang yang melintas di jalan. Senada dengan perilaku ini dan juga terjadi hari ini adalah sogokan, suap, korupsi dan lainnya.

Jika beberapa hari ini viral ada anggota KPPS yang kritis tentang dana Bimtek yang diduga kuat disunat oleh oknum tertentu, tentu kita patut sedih karena praktek kaum Madyan jaman Nabi Syuaib yang sudah terjadi ratusan ribu tahun lalu masih saja dipraktekkan hari ini.

Cara Nabi Syuaib Mengatasi Kecurangan

Tiga bentuk kecurangan secara garis besar di atas tidak membuat Nabi Syuaib berpangku tangan saja. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Nabi Syuaib dalam mengatasi persoalan tersebut.

Pertama, melarang dengan menggunakan argumentasi rasional dan mengaitkanya dengan keimanan kepada Allah SWT. Larangan tersebut adalah strategi Nabi Syuaib untuk melakukan dakwahnya.

Kedua, mengingatkan kaum Madyan akan nikmat-nikmat Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf ayat 86. Maksud cara ini adalah menyadarkan kepada kaum Madyan akan sebuah fakta bahwa uang dan kekayaan yang mereka kejar, bahkan sampai dengan cara yang curang, bukanlah tujuan yang harus dicapai dengan mengorbankan seluruh tenaga dan nyawa, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ketiga, mengingatkan akan adanya azab dari Allah SWT itu ada dan nyata. Bahkan, dalam konteks ini, Allah sudah berfirman bahwa terdapat kaum yang ditimpa azab karena terus ingkar kepada keesaan Allah SWT seperti kaum Nuh, Hud dan Saleh.

ISLAMKAFFAH

Percakapan Nabi Ketika Isra’ Mi’raj Berjumpa Allah

Ada peristiwa penting dalam ajaran Islam di penghujung bulan Rajab. Peristiwa ini adalah Isra’ Mi’raj. Suatu perjalanan terindah yang dilalui Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). 

Tidak ada manusia di muka bumi yang diberi nikmat bisa bertemu langsung dengan Zat Maha Kuasa, Allah ‘Azza wa Jalla. Isra’ wal Miraj menjadi momen paling berkesan bagi Rasulullah SAW . Tidak heran umat Islam di dunia ikut memperingati peristiwa ini setiap tanggal 27 Rajab yang tahun ini jatuh pada Kamis 08 Februari 2024. 

Percakapan Nabi Muhammad dan Allah dalam Isra’ Mi’raj

Isra’ Mi’raj memang bisa dilihat dengan kacamata akal dan pikiran manusia. Namun itulah keistimewaan Rasulullah SAW, berjumpa dan melihat Allah Ta’ala ketika Mik’raj, maka cara melihatnya pun harus menggunakan hati dan iman. Dimulai dari kebingungan Rasulullah SAW untuk bersalam kepada Allah Ta’ala, hingga Allah mewahyukan salam yang tepat dari hamba kepada-Nya yaitu:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ

Artinya :  Salam sejahtera yang penuh barokah dan salam sejahtera yang amat baik adalah milik Allah Ta’ala. 

Saat itu Allah menjawab: 

Artinya : Salam sejahtera, barokah dan rahmat Allah dilimpahkan kepadamu wahai Nabi Muhammad SAW. 

Tiga Makna Khusus Bacaan Tasyahud dalam Sholat

Hingga kinipun salam ini diabadikan dalam perintah sholat yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari perjalanan Isra Mi’raj. Pesan yang bisa dibaca dari bacaan Tasyahud ini adalah seorang hamba yang melakukan sholat sebenarnya adalah melakukan perjalanan menuju Allah dengan berbekal diri dengan 3 bentuk kebaikan. Pertama adalah hubungan baik dengan Allah. Kedua, hubungan baik dengan Rasulullah S AW. Ketiga, hubungan baik dengan sesama manusia.

Pesan Buya Yahya Tentang 3 Pesan Kebaikan Bacaan Sholat

Buya Yahya, salah satu ulama ternama Indonesia dalam tausiyahnya pernah berpesan sholat merupakan ibadah yang digambarkan sebagai penghadapan khusus seorang hamba kepada Allah, akan tetapi justru di saat lagi khusuk-khusuknya kepada Allah, seorang hamba harus mengingat makhluk agung Rasulullah SAW di dalam sholatnya.

Ternyata tidak cukup hanya mengingat akan tetapi harus mengucapkan salam dengan salam yang seolah-olah berdialog langsung dengan Rasulullah SAW. Artinya, sebanyak apapun seseorang beribadah kepada Allah dengan sujud puasa dan haji yang tidak terhitung ternyata tidak ada maknanya jika tidak diiringi kecintaan kepada Rasulullah SAW dan banyak membaca sholawat untuknya. 

Pesan selanjutnya, yang sudah baik kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW saja ternyata belum dianggap benar seperti yang digambarkan dalam bacaan tasyahud. Yaitu jika seorang hamba dalam sholatnya berhenti pada salam kepada Rasulullah SAW dan tidak melanjutkannya maka penghadapannya kepada Allah pun tidak dianggap sah.

Maka demi kesempurnaan sholatnya, seorang hamba harus mengucapkan “Assalamu alaina wa’ala ’ibadillahish sholihin” (kesejahteraan semoga terlimpah kepada kami semua hamba Allah dan hamba-hambaNya yang saleh).

Maknanya ini adalah sebuah upaya menciptakan keindahan kepada sesama yang diikrarkan oleh seorang hamba disaat seorang hamba lagi khusuk menghadap kepada Allah. Hal itu menunjukkan begitu besarnya kewajiban kita kepada sesama manusia. Sehingga belum dianggap baik seorang hamba yang banyak sholat, puasa dan membaca sholawat kepada Rasulullah SAW jika belum bisa menjalin hubungan baik kepada orang tua, saudara, tetangga dan masyarakatnya.

Ketika kita hendak keluar dari sholat pun kita harus mengucapkan kalimat “Assalamualaikum” dan bukan zikir-zikir lainnya seperti Laailaaha illallah dan Subhanallah. Itu artinya kita diingatkan kembali bahwa setelah sholat kita akan berhadapan dengan sesama kita. 

Demikian semoga bermanfaat.

BINCANG SYRAIAH

Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin (Bag. 2)

Kembali melanjutkan risalah dari Syekh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili hafidzahullah, dalam tajuk “Keutamaan Menasihati Kaum Muslimin”. Kemudian, beliau melanjutkan dengan membawakan beberapa perkataan para ulama tentang pentingnya nasihat.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187H) berkata,

لَمْ يُدْرِكْ عِنْدَنَا مَنْ أَدْرَكَ بِكَثْرَةِ صِيَامٍ وَلَا صَلاَةٍ؛ وَإِنَّمَا أَدْرَكَ عِنْدَنَا بِسَخَاءِ الأَنْفُسِ، وَسَلاَمَةِ الصَّدْرِ، وَالنُّصْحِ لِلْأُمَّةِ

Di kalangan kami (karakter) seseorang tidak dikenal (sebagai orang yang mulia) dengan banyaknya puasa dan salat. Akan tetapi, kami mengenali (karakter) seseorang (sebagai orang yang mulia) dari jiwanya yang dermawan, hatinya yang selamat, dan senang menasihati umat.” (Lihat Sayrus Salafus Shalihin Li Qiwaamis Sunnah, hal. 1034)

Syekh Ibrahim hafidzahullah menjelaskan perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah di atas,

Kedermawanan

Yang dimaksud dengan سَخَاءُ الأَنْفُسِ (kedermawanan) adalah:

Pertama: Dermawan dengan hartanya. Ia memberikan hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.

Kedua: Dermawan dengan mencintai kebaikan untuk setiap muslim. Tidak hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Hati yang selamat

Selamatnya hati dari kotoran-kotorannya, berupa: hasad, dengki, riya’, dan lain sebagainya, merupakan kedudukan yang sangat agung. Betapa nikmatnya seseorang bangun dari tidurnya dalam keadaan hatinya suci dan bersih dari segala hal yang buruk. Simaklah sebuah kisah yang diceritakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang seorang sahabat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan di hadapan para sahabat lainnya bahwasanya ia adalah penghuni surga,

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : “يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ. فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى. فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ : “إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ” قَالَ : “نَعَمْ”قَالَ أَنَسٌ : وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا.

فَلَمَّا مَضَتْ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِهِ فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

فَقَالَ : “مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ”. قَالَ : فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي. فَقَالَ : “مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ”. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : “هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ”.

Anas bin Malik berkata, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu bercerita, ‘Aku tinggal bersama laki-laki tersebut selama tiga malam. Anehnya, aku tidak pernah temukan ia mengerjakan salat malam sama sekali. Hanya saja, jika ia bangun dari tidurnya dan beranjak dari ranjangnya, lalu berzikir kepada Allah ‘Azza Wajalla dan bertakbir sampai ia mendirikan salat fajar. Selain itu juga, saya tidak pernah mendengar dia berkata, kecuali yang baik-baik saja.

Maka, ketika berlalu tiga malam dan hampir-hampir saja saya menganggap sepele amalannya, saya berkata, ‘Wahai kawan, sebenarnya antara saya dengan ayahku sama sekali tidak ada percekcokan dan saling mendiamkan seperti yang telah saya katakan. Akan tetapi, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang dirimu tiga kali, ‘Akan muncul pada kalian seorang laki-laki penghuni surga.’ Lalu, kamulah yang muncul tiga kali tersebut.

Maka, saya ingin tinggal bersamamu agar dapat melihat apa saja yang kamu kerjakan hingga saya dapat mengikutinya. Namun, saya tidak pernah melihatmu mengerjakan amalan yang banyak. Lalu, amalan apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai mengatakan engkau ahli surga?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak ada amalan yang saya kerjakan, melainkan seperti apa yang telah kamu lihat.’ Maka, tatkala aku berpaling, laki-laki tersebut memanggilku dan berkata, ‘Tidak ada amalan yang saya kerjakan, melainkan seperti apa yang telah kamu lihat. Hanya saja, saya tidak pernah mendapatkan pada diriku, rasa ingin menipu terhadap siapa pun dari kaum muslimin, dan saya juga tidak pernah merasa iri dengki kepada seseorang atas kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada seseorang.’ Maka, Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Inilah amalan yang menjadikanmu sampai pada derajat yang tidak bisa kami lakukan.’” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no. 12697) [1])

Nyatanya, hati yang selamat dari kotoran-kotoran merupakan syarat untuk masuk ke dalam surga. Pantaslah, jika kedudukan hal tersebut bisa dikatakan hampir mengungguli amalan lainnya. Sebagaimana unggulnya Abu Bakr radiyallahu ‘anhu dari sahabat yang lainnya [2].

Senang menasihati umat

Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh menuturkan, “Dan senang menasihati umat.” Ini merupakan sifat yang mulia, ketika seseorang senang menasihati umat dengan tidak pandang bulu. Baik mereka yang notabenenya berusia kecil ataupun mereka yang sudah berusia dewasa.

Hamba yang paling dicintai Allah

Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [3] berkata,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ شِئْتُمْ لَأُقْسِمَنَّ لَكُمْ بِاللهِ أَنَّ أَحَبَّ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ الَّذِي يُحَبِّبُوْنَ الله إِلَى عِبَادِهِ وَيُحَبِّبُوْنَ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ بِالنَّصِيْحَةِ

Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya. Jika kalian ingin, saya akan bersumpah atas nama Allah di hadapan kalian. Bahwasanya hamba-hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang membuat Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya dan membuat hamba-hamba-Nya cinta kepada Allah. Dan mereka senantiasa berjalan di muka bumi dengan nasihat.” (Lihat Ghidza’ul Albab Fi Syarhi Mandzumatil Adab, 1: 47)

Dari hal di atas, terdapat tiga hal yang dapat menjadikan seorang hamba menjadi orang yang paling dicintai oleh Allah:

Pertama: Hamba Allah yang membuat Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya.

Kedua: Hamba Allah yang membuat hamba-hamba-Nya cinta kepada Allah.

Ketiga: Senantiasa dan senang untuk memberikan nasihat.

Wajib untuk menasihati manusia

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah (wafat th.198 H) berkata,

عَلَيْكَ بِالنُّصْحِ للهِ فِي خَلْقِهِ فَلَنْ تَلْقَاهُ بِعَمَلٍ أَفْضَلُ مِنْهُ

Wajib untukmu menasihati manusia untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Engkau tidak akan menemukan amalan yang lebih utama dari hal itu.” (Lihat At-Tauwbikh wa At Tanbih, hal. 23)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah (wafat th. 110 H) juga berkata,

مَا زَالَ للهِ تَعَالى نُصَحَاءُ، يَنْصَحُوْنَ للهِ فِي عِبَادِهِ، وَيَنْصَحُوْنَ لِعِبَادِ اللهِ فِي حَقِّ اللهِ، وَيَعْمَلُوْنَ للهِ تَعَالى فِي الأَرْضِ بِالنَّصِيْحَةَ، أُوْلَئِكَ خُلَفَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ

Allah Ta’ala senantiasa memiliki orang-orang yang senang menasihati. Mereka menasihati hamba-hamba Allah Ta’ala untuk beribadah kepada-Nya. Mereka menasihati hamba-hamba Allah untuk menunaikan hak Allah Ta’ala. Dan mereka menunaikan nasihat dengan penuh keikhlasan di muka bumi. Mereka adalah para khalifah Allah di muka bumi.” (Lihat Basha’ir Dzawit Tamyiz, 5: 67-68)

Syekh Ibrahim hafidzahullah menjelaskan maksud dari khalifah adalah Allah akan memberikan kepemimpinan kepadanya dengan menggantikan khalifah yang sebelumnya. Bukan makna khalifah di sini adalah menjadi “pengganti” Allah. Dan inilah makna dalam ayat-ayat Allah, seperti firman Allah Ta’ala ketika berfirman kepada para malaikat,

إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬‌ۖ

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Maksudnya adalah suatu kaum yang menggantikan kaum yang sebelumnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah: 30)

Agama adalah nasihat

An-Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata,

مَدَارُ الدِّيْنِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَحَادِيْثَ وَأَنَا أَقُوْلُ بَلْ مَدَارُهُ عَلَى حَدِيْث الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Para ulama berpendapat bahwa poros dasar agama ini berputar pada empat hadis, sedangkan saya berkata bahwa poros itu berputar pada satu hadis. Yaitu, sabda Nabi, ‘Agama adalah nasihat.‘” (Lihat Basha’ir Dzawit Tamyiz, 5: 64)

Demikianlah perkataan para ulama tentang betapa penting dan agungnya nasihat. Syekh Ibrahim hafidzahullah menuturkan dalam risalahnya, “Menasihati kaum muslimin tentunya dengan mencintai kebaikan untuk mereka, bersemangat dalam memberikan manfaat untuk mereka yang berkaitan dengan agama maupun dunia mereka, berusaha keras mendorong mereka untuk memperoleh pencapaian tersebut. Serta senang terhadap hal yang berhasil mereka peroleh dari kebaikan dan kenikmatan. Bersedih terhadap yang menimpa mereka dari keburukan dan petaka.”

[Bersambung]

***

Depok, 14 Rajab 1445/ 26 Januari 2024 

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Cet. Mu’assasah Ar-Risalah th. 2001, tahqiq Syu’aib Al Arnauth.

[2] Lihat di tulisan sebelumnya.

[3] Sebagian ada yang menyandarkan perkataan ini kepada sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu.

Sumber: https://muslim.or.id/91246-keutamaan-menasihati-kaum-muslimin-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Dengar Bacaan Al-Quran, Pemain Sepak Bola Belanda Davy Van Den Berg Masuk  Islam

Davy van den Berg bermain sepak bola di PSV sepanjang masa mudanya dan kemudian bermain sepak bola di FCUtrecht selama tiga setengah tahun menyatakan telah memeluk agama Islam.

Kemunculan berita ini terkuak setelah sebuah video menampilkan pemain PEC Zwolle ini sedang membaca Al-Quran di stadion PEC Zwolle yang kemudian viral.

Pesepakbola profesional berusia 23 tahun Davy van den Berg (kini mananya menjadi Dawood) telah masuk Islam. Kematian ibunya benar-benar menjungkirbalikkan hidupnya (saat itu berusia 15 tahun). Oleh karena itu, pesepakbola profesional asal PEC Zwolle tersebut telah masuk Islam. “Aku sudah lama membodohi diriku sendiri.” kata Davy pada Stentor.

Kematian Ibu

Pada tahun 2015, ketika Davy berusia 15 tahun, dia mengunjungi ibunya yang sakit di rumah sakit pada pagi hari. Dia telah batuk darah beberapa saat sebelumnya.

Pihak keluarga berasumsi tidak ada yang serius, sehingga Davy segera pulang setelah kunjungan tersebut untuk melanjutkan belajar. Ibunya mengucapkan semoga sukses dengan studinya dan mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada Davy.

Dia meninggal mendadak karena penyakit serius. Davy sendiri tidak pernah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya.

Perjalanan saya menuju Islam dimulai dengan rasa sakit karena kehilangan ibu saya, mendorong saya untuk mencari jawaban tentang kehidupan, kematian, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kematian ibunya bahkan menjungkirbalikkan kehidupan keluarganya. Ayahnya bekerja penuh waktu dan saudara perempuannya melakukan pekerjaan rumah tangga.

Dia banyak bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan tertentu dalam hidup seperti “apa yang akan terjadi setelah kehidupan?”

Kebetulan ia juga berhubungan dengan  banyak teman nya yang beragama Islam.Saya menghabiskan banyak waktu bersama mereka karena kami memiliki norma dan nilai yang sama.”

Pengaruh Teman Muslim

Pencariannya dimulai setelah kematian ibunya, yang meninggal ketika dia berumur lima belas tahun. “Saya tidak terlalu suka keluar rumah, saya tidak pernah merokok atau minum alkohol,” katanya kepada De Stentor.

Pada masa sulit itu, seorang teman Muslim memutar bacaan Al-Quran di mobilnya, dan hal itu sangat berkesan baginya. Tidak hanya itu, akibat bacaan Al-Quran inilah wasilah dia akhirnya tertarik Islam.

Setelah berbincang dengan temannya, Davy memutuskan untuk mati sebagai seorang Muslim . “Saya kemudian secara resmi pindah agama.”

Sejak saat itu, Davy mengaku menemukan kedamaian.  “Adikku bahkan mengunjungiku selama satu hari dalam minggu ini dan ikut berpuasa.”

Di PEC mereka hanya mengetahui bahwa Davy sudah Muslim. Terkadang ia juga shalat bersama dengan Muslim lainnya.

 “Saya semakin sering bertemu dengan orang-orang yang tidak melakukan hal tersebut, yang seringkali beragama Islam. Saya menghabiskan banyak waktu bersama mereka, bukan karena keyakinan mereka, namun karena kami memiliki norma dan nilai yang sama.”

Pada titik tertentu Van den Berg menyadari bahwa Islam sangat cocok untuknya. Dia membaca Al-Quran, sholat 5 kali sehari dan berpartisipasi dalam Ramadhan.

Namun dia tidak terlalu berani keluar, karena katanya takut dengan reaksi orang lain. Namun, setelah berbincang dengan temannya, ia memutuskan untuk tetap hidup sebagai seorang Muslim.

“Bagi saya, penting untuk meninggal sebagai seorang Muslim, itulah sebabnya saya memutuskan untuk pindah agama secara resmi dengan menyatakan bahwa saya beriman kepada Allah,” kata Van den Berg di De Stentor.

Dia mengatakan bahwa sekarang semua orang “sebenarnya menerima” bahwa dia adalah seorang Muslim. Dia juga berpartisipasi pada Ramadhan lalu.  

Van den Berg juga berpartisipasi dalam Ramadhan . “Kedengarannya gila, tapi terlalu berlebihan untuk memperkirakan betapa sulitnya Ramadhan,” yakinnya.

“Anda merasa cukup ringan, tapi itu menyenangkan saat berolahraga. Apalagi sedikit tidur, bangun malam untuk makan menjelang magrib bikin susah,’ ujarnya mengenang awal awal memulai Ramadhan.

Dia merasa sudah merasa sepenuhnya Muslim, tapi bagaimana mengungkapkannya? Tidak, itu tetap sulit untuk waktu yang lama.  “Saya membodohi diri sendiri untuk waktu yang lama. Saya memikirkan reaksi orang lain.”

Membagikan kabar kemusliman adalah hal tersulit bagi Davy, terutama pihak keluarga. “Awalnya, saya sholat dalam pengasingan. Sekarang, mereka menghormati pilihan saya, memahami dampak positif Islam terhadap hidup saya. Saya dengan bangga memeluk identitas Muslim saya, tidak takut mati, dan berdedikasi untuk melayani Tuhan Yang Maha Esa.”

Pemain Bola Belanda Davy Van Den Berg membaca Al-Quran

Bacaan Al-Quran

Kemusliman Davy terungkap di publik setelah sebuah rekaman yang menampilkannya membaca Al-Quran dibagikan di media sosial. Dalam video tersebut, pesepakbola berusia 22 tahun itu melantunkan ayat Surah An-Nazi’at (79) Al-Quran dengan suara merdu.

Nampaknya, hanya beberapa bulan ia memeluk Islam, Davy telah menghafal sejumlah ayat Al-Quran. Video  ini  membuat para penggiat media sosial terkesan.

Lahir pada bulan Februari 2000, Davy adalah pesepakbola profesional Belanda yang bermain sebagai gelandang untuk klub Eerste Divisie PEC Zwolle.

Davy van den Berg memulai karir bermainnya di PSV Eindhoven saat remaja pada tahun 2008. Pada tahun 2019 ia pergi ke Utrecht II bermain sebagai gelandang.

Dia saat ini bermain di PEC Zwolle, setelah menandatangani kontrak dua tahun dengan tim tersebut musim panas lalu.*

HIDAYATULLAH

Nama-nama 313 Nabi Menurut Syaikh Nawawi Al Bantani

Dalam Islam, terdapat banyak sekali nabi dan rasul yang diutus Allah SWT untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia. Namun, ada 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Di samping itu, ada nama-nama Nabi lain dalam Islam, Syekh Nawawi menyebutnya hingga 313 orang jumlahnya

Salah satu kewajiban umat Islam adalah meyakini 6 hal yang disebut dengan rukun iman. Syekh Thahir Al Jazairi di dalam kitabnya Jawahirul Kalamiyah Fi Idhahil A’qidah Al Islamiyyah menjelaskan perihal rukun iman yang berjumlah 6, salah satunya mengimani nama-nama Nabi, yang 25 orang. Simak penjelasan sebagai berikut:

 اَرْكَانُ الْعَقِيْدَةِ الْاِسْلاَمِيَّةِ سِتَّةُ اَشْيَاءَ: وَهِيَ الْاِيْمَانُ بِاللهِ تَعَالَى، وَالْاِيْمَانُ بِمَلاَئِكَتِهِ، وَالْاِيْمَانُ بِكُتُبِهِ، وَالْاِيْمَانُ بِرُسُلِهِ، وَالْاِيْمَانُ بِالْيَوْمِ الْاَخِرِ، وَالْاِيْمَانُ بِالْقَدَرِ.

Artinya:”Rukun rukun aqidah Islamiyah (rukun iman) itu ada enam, yakni iman kepada Allah Swt., iman kepada malaikat-malaikatNya, iman kepada kitab-kitabNya, iman kepada rasul-rasulNya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada takdir (yang baik maupun yang buruk).”

Dengan demikian, salah satu rukun iman yang 6 di atas adalah iman kepada utusan (rasul) Allah Swt. Mengenai jumlah keseluruhan rasul menurut Syaikh Nawawi Al Bantani ada 313, namun yang wajib kita hafal hanyalah 25 saja. Nah, berikut penjelasan nama-nama rasul dan nabi Allah Swt yang berjumlah 313 tersebut.

Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Atssamarul Yani’ah Fi Riyadhil Badi’ah halaman 10 menjelaskan perihal nama-nama rasul dan nabi Allah Swt yang berjumlah 313 sebagai berikut:

والمشهور ان المرسلين ثلاثمائة وثلاثا عشر كما في حديث ابي ذر وهاهي اسماؤهم على ماروى عن انس : ادم , شيث, انوش, قيناق, مهيائيل, اختوخ, ادريس, متوشلخ, نوح, هود, عبهف, مرداريم, شارع, صالح, ارفخشذ, صفوان, حنظلة, لوط, عصان, ابراهيم, اسمعيل, اسحق, يعقوب, يوسف, شمائيل, شعيب, موسى, لوطان, يعوا, هرون, كليل, يوشع, دانيال, بونش, بليا, ارميا, يونس, الياس, سليمان, داود, اليسع, ايوب, اوس, ذانين, الهميع, ثابت, غابر, هميلان, ذوالكفل, عزير, عزقلان, عزان, الوون, زاين, عازم, هريد, شاذن, سعد, غالب, شماس, شمعون, فياض, قضا, سارم, عيناض, سايم, عوضون, بيوزر, كزول, باسل, باسان, لاخين, غلضات, رسوغ, رشعين, المون, لوغ,برسوا, الاظيم, رشاد, شريب, هيبل, ميلان, عمران, هرييب, جريت, شماع, صريخ, سفان, قبيل, ضعضع, عيصون, عيصف, صديف, برواء,حاصيم, هيان, عاصم, وجان, مصداع, عاريس, شرحبيل, خربيل, حزقيل, اشموئيل, غمصان, كببر, سباط, عباد بثلخ, ريهان, عمدان, مرقان, حنان, لوحنا, ولام, بعيول, بصاص, هبان, افليق, قازيم, نصير, اوريس, مضعس, جذيمة, شروحيل, معنائيل, مدرك, حارم, بارغ هرميل, جابد, زرقان, اصفون, برجاج, ناوى, هزرابن اشبيل, عطاف, مهيل, زنجيل, شمطان, القوم, حوبلد, صالح, سانوخ, راميل, زاميل, قاسم, باييل, بازل, كبلان, باتر, حاجم, جاوح, جامر, حاجن, راسل, واسم, رادن, سادم, شوشا, جازان, صاحد, صحبان, كلوان, صاعد,غفران, غاير, لاحون, بلدخ, هيدان, لاوى, هيراء, ناصى, حانك, حافيخ, كاشيخ, لافث, نايم, حاشم, هجام, ميزاد,اسيمان, رحيلا, لاطف, برطفون, ابان, عورائض, مهمتصر, عانين, نماخ, هندويل, مبصل, مضعتام, طميل, طابيح, مهمم حجرم, عدون, منبد, بارون, روان, معبن, مزاحم, يانيد, لامى, فردان,جابر, سالوم, عيص, هربان, جابوك, عابوج, مينات, قانوح, دربان, صاخم, حارض, حراض, حرقيا, نعمان, ازميل, مزحم, ميداس, يانوح, يونس, ساسان, فريم, فريوش, صحيب, ركن, عامر, سحنق, زاخون, حينيم, عياب, صباح, عرفون, مخلاد, مرحم, صانيد, غالب, عبدالله, ادرزين, عدسار, زهران, بايع, نظير, هورين, كايواشيم, فتوان, عابون, رباخ, صابح, مسلون, حجان, روبال, رابون, معيلا, سايعان, ارجيل, بيغين, متضح, رحين, محراس, ساخين, حرفان, مهمون, حوضان, البؤن, وعد, رخيول, بيغان, بتيحور, حوظبان, عامل, زحرام, عيس, صبيح, يطبع, جارح, صهيب, صبحان, كلمان, يوخى, سميون, عرضون, حوحر, يلبق, بارع, عائيل, كنعان, حفدون, حسمان, يسمع, عرفور, عرمين, فضحان, صفا, شمعون, رصاص, اقلبون, شاخم, خائيل, احيال, هياج, زكريا, يحيى, جرجيس, عيسى بن مريم, محمد صلى الله عليه وسلم عليهم اجمعين .

Artinya:“Dan menurut pendapat yang masyhur, sesungguhnya para Rasul itu berjumlah 313, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dzar Ra. Dan inilah nama-nama Rasul atau nabi itu seperti yang diriwayatkan dari sahabat Anas Ra: 1. Adam As. 2. Tsits As. 3. Anuwsy As. 4. Qiynaaq As. 5. Mahyaa’iyl As. 6. Akhnuwkh As. 7. Idris As. 8. Mutawatsilakh As 9. Nuh As. 10. Hud As. 11. Abhaf As. 12. Murdaaziyman As. 13. Tsari’ As. 14. Sholeh As. 15. Arfakhtsyad As.

16. Shofwaan As. 17. Handholah As. 18. Luth As. 19. Ishoon As. 20. Ibrahim As. 21. Isma’il As. 22. Ishaq As. 23. Ya’qub As. 24. Yusuf As. 25. Tsama’il As. 26. Su’aib As. 27. Musa As. 28. Luthoon As. 29. Ya’wa As. 30. Harun As.

31. Kaylun As. 32. Yusya’ As. 33. Daaniyaal As. 34. Bunasy As. 35. Balyaa As. 36. Armiyaa As. 37. Yunus As. 38. Ilyas As. 39. Sulaiman As. 40. Daud As. 41. Ilyasa’ As. 42. Ayub As. 43. Aus As. 44. Dzanin As. 45. Alhami’ As.

46. Tsabits As. 47. Ghobir As. 48. Hamilan As. 49. Dzulkifli As. 50. Uzair As. 51. Azkolan As. 52. Izan As. 53. Alwun As. 54. Zayin As. 55. Aazim As. 56. Harbad As. 57. Syadzun As. 58. Sa’ad As. 59. Gholib As. 60. Syamaas As. 61. Syam’un As. 62. Fiyaadh As. 63. Qidhon As. 64. Saarom As. 65. Ghinadh As.

66. Saanim As. 67. Ardhun As. 68. Babuzir As. 69. Kazkol As. 70. Baasil As. 71. Baasan As. 72. Lakhin As. 73. Ilshots As.74. Rasugh As. 75. Rusy’in As. 76. Alamun As. 77. Lawqhun As. 78. Barsuwa As.79. Al-‘Adzim As. 80. Ratsaad As. 81. Syarib As. 82. Habil As. 83. Mublan As. 84. Imron As. 85. Harib As. 86. Jurits As. 87. Tsima’ As. 88. Dhorikh As. 89. Sifaan As. 90. Qubayl As. 91. Dhofdho As. 92. Ishoon As. 93. Ishof As. 94. Shodif As. 95. Barwa’ As. 96. Haashiim As. 97. Hiyaan As. 98. Aashim As. 99. Wijaan As. 100. Mishda’ As.

101. Aaris As. 102. Syarhabil As. 103. Harbiil As. 104. Hazqiil As. 105. Asymu’il As. 106. Imshon As. 107. Kabiir As. 108. Saabath As. 109. Ibaad As. 110. Basylakh As. 111. Rihaan As. 112. Imdan As. 113. Mirqoon As. 114. Hanaan As. 115. Lawhaan As.116. Walum As. 117. Ba’yul As. 118. Bishosh As. 119. Hibaan As. 120. Afliq As.

121. Qoozim As. 122. Ludhoyr As. 123. Wariisa As. 124. Midh’as As. 125. Hudzamah As. 126. Syarwahil As. 127. Ma’n’il As. 128. Mudrik As. 129. Hariim As. 130. Baarigh As. 131. Harmiil As. 132. Jaabadz As. 133. Dzarqon As. 134. Ushfun As. 135. Barjaaj As. 136. Naawi As. 137. Hazruyiin As. 138. Isybiil As. 139. Ithoof As. 140. Mahiil As. 141. Zanjiil As. 142. Tsamithon As. 143. Alqowm As. 144. Hawbalad As. 145. Solih As.

146. Saanukh As. 147. Raamiil As. 148. Zaamiil As. 149. Qoosim As. 150. Baayil As. 151. Yaazil As. 152. Kablaan As. 153. Baatir As. 154. Haajim As. 155. Jaawih As. 156. Jaamir As. 157. Haajin As. 158. Raasil As. 159. Waasim As. 160. Raadan As. 161. Saadim As. 162. Syu’tsan As. 163. Jaazaan As. 164. Shoohid As. 165. Shohban As.

166. Kalwan As. 167. Shoo’id As. 168. Ghifron As. 169. Ghooyir As. 170. Lahuun As. 171. Baldakh As. 172. Haydaan As. 173. Lawii As. 174. Habro’a As. 175. Naashii As. 176. Haafik As. 177. Khoofikh As. 178. Kaashikh As. 179. Laafats As. 180. Naayim As. 181. Haasyim As. 182. Hajaam As. 183. Miyzad As. 184. Isyamaan As. 185. Rahiilan As. 186. Lathif As. 187. Barthofun As. 188. A’ban As. 189. Awroidh As. 190. Muhmuthshir As.

191. Aaniin As. 192. Namakh As. 193. Hunudwal As. 194. Mibshol As. 195. Mudh’ataam As. 196. Thomil As. 197. Thoobikh As. 198. Muhmam As. 199. Hajrom As. 200. Adawan As. 201. Munbidz As. 202. Baarun As. 203. Raawan As. 204. Mu’biin As. 205. Muzaahiim As. 206. Yaniidz As. 207. Lamii As. 208. Firdaan As. 209. Jaabir As. 210. Saalum As. 211. Asyh As. 212. Harooban As. 213. Jaabuk As. 214. Aabuj As. 215. Miynats As.

216. Qoonukh As. 217. Dirbaan As. 218. Shokhim As. 219. Haaridh As. 220. Haarodh As. 221. Harqiil As. 222. Nu’man As. 223. Azmiil As. 224. Murohhim As. 225. Midaas As. 226. Yanuuh As. 227. Yunus As. 228. Saasaan As. 229. Furyum As. 230. Farbusy As. 231. Shohib As. 232. Ruknu As. 233. Aamir As. 234. Sahnaq As. 235. Zakhun As. 236. Hiinyam As. 237. Iyaab As. 238. Shibah As. 239. Arofun As. 240. Mikhlad As. 241. Marhum As. 242. Shonid As. 243. Gholib As. 244. Abdullah As. 245. Adruzin As. 246. Idasaan As. 247. Zahron As. 248. Bayi’ As. 249. Nudzoyr As. 250. Hawziban As.

251. Kaayiwuasyim As. 252. Fatwan As. 253. Aabun As. 254. Rabakh As. 255. Shoobih As. 256. Musalun As. 257. Hijaan As. 258. Rawbal As. 259. Rabuun As. 260. Mu’iilan As. 261. Saabi’an As. 262. Arjiil As. 263. Bayaghiin As. 264. Mutadhih As. 265. Rahiin As. 266. Mihros As. 267. Saahin As. 268. Hirfaan As. 269. Mahmuun As. 270. Hawdhoon As. 271. Alba’uts As. 272. Wa’id As. 273. Rahbul As. 274. Biyghon As. 275. Batiihun As. 276. Hathobaan As. 277. Aamil As. 278. Zahirom As. 279. Iysaa As. 280. Shobiyh As.

281. Yathbu’ As. 282. Jaarih As. 283. Shohiyb As. 284. Shihats As. 285. Kalamaan As. 286. Bawumii As. 287. Syumyawun As. 288. Arodhun As. 289. Hawkhor As. 290. Yaliyq As. 291. Bari’ As. 292. Aa’iil As. 293. Kan’aan As. 294. Hifdun As. 295. Hismaan As. 296. Yasma’ As. 297. Arifur As. 298. Aromin As. 299. Fadh’an As. 300. Fadhhan As. 301. Shoqhoon As. 302. Syam’un As. 303. Rishosh As. 304. Aqlibuun As. 305. Saakhim As. 306. Khoo’iil As. 307. Ikhyaal As. 308. Hiyaaj As. 309. Zakariya As. 310. Yahya As. 311. Jurhas As. 312. Isa As. 313. Muhammad Saw.

Syaikh Nawawi Al Bantani juga menjelaskan bahwa nama-nama nabi Allah Swt, jika ditulis dan diletakkan di rumah atau dibaca dengan tujuan mengagungkan nama nama tersebut. Serta mengharap keberkahan, maka Allah Swt akan mempermudah segala urusan baik di dunia maupun di akhirat. Penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

فمن كتب اسمائهم ووضعهم فى بيته او قراها اوحملها تعظيما لهم وتكريما لذواتهم واحتراما لنبوتهم واستمدادا من هممهم العالية واستغاثة بارواحهم المقدسة سهل عليه امورالدنيا والاخرة وفتح عليه ابواب الخيرات ونزول الرحمة والبركات ودفع عنه الشرور , وقال صلى الله عليه وسلم حياتهم ومماتهم سواء فهم متصرفون في الارض والسماء.

Artinya:“Barangsiapa yang menulis nama-nama Rasul dan nabi dan meletakkannya di rumah atau membacanya atau membawanya dengan mengagungkan mereka, memuliakan keberadaan mereka, menghormati kenabian mereka, berharap dari keinginan mereka yang tinggi dan beristighatsah dengan ruh-ruh mereka yang suci, maka akan dimudahkan oleh Allah Swt segala urusan di dunia dan akhirat.

Dan akan dibukakan pintu-pintu kebaikan dan diturunkan rahmat, keberkahan serta menolak segala kejelekan. Rasulullah Saw. bersabda: “Hidup dan matinya mereka (para rasul) itu sama saja, tetap beraktivitas (hidup) di bumi dan di langit.”

Demikian penjelasan nama-nama rasul dan nabi Allah Swt menurut Syekh Nawawi Al Bantani, semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Fikih Wakaf (Bag. 3): Urgensi Mencatat Wakaf, Rukun, dan Syarat Wakaf

Merujuk dari situs siwak.kemenag.go.id yang dikelola oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah tanah wakaf yang berada di Indonesia mencapai 440.512 titik lokasi, yang luas keseluruhan areanya mencapai 57.263,69 Ha. Tentu saja, ini bukanlah angka yang kecil.

Berdasarkan beberapa sumber lainnya, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tanah wakaf terbanyak di dunia. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia di dalam bersedekah dan mewakafkan hartanya di jalan Allah Ta’ala.

Sayangnya, tingginya minat tersebut belum dibarengi dengan pemahaman yang baik akan fikih wakaf itu sendiri. Merujuk dari situs yang sama, tanah wakaf yang sudah diurus sertifikatnya baru mencapai 57,42% dari total keseluruhan tanah wakaf yang ada. Jumlah tanah wakaf yang ada tersebut tidak seimbang dengan jumlah nadzir (pengelola wakaf) yang mendaftarkan tanah wakaf kepada pihak yang berwenang.

Tidak jarang, di kemudian hari, muncul sengketa tanah dan perselisihan antara nadzir dengan keluarga waqif (orang yang mewakafkan), bahkan antara nadzir (badan pengelola) itu sendiri. Hal itu dikarenakan lemahnya kesadaran untuk mencatat dan mengurus bukti sertifikat wakaf saat orang yang mewakafkannya tersebut masih hidup, atau dikarenakan saling lempar tanggung jawab hingga menyebabkan pengurusan sertifikat menjadi tertunda.

Urgensi mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf

Wakaf merupakan salah satu bentuk akad yang diizinkan dan dianjurkan oleh syariat Islam. Sedangkan di dalam syariat kita, terdapat anjuran untuk melakukan pencatatan terhadap setiap akad yang kita lakukan. Hal ini guna menghindari adanya perselisihan dan pertikaian di kemudian hari. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Al-Imam As-Sa’di rahimahullah tatkala menyebutkan faedah-faedah dari ayat tersebut mengatakan,

“Disyariatkan dan dianjurkan untuk mendokumentasikan setiap hak-hak yang kita miliki. Baik itu yang berupa gadai, jaminan (ataupun akad lainnya) dengan sesuatu yang memudahkan dan mengakomodasi seorang hamba untuk mendapatkan haknya. Baik itu nantinya dipergunakan untuk melakukan kebaikan ataupun sebaliknya. Begitu pula, apakah orang tersebut akan amanah ataupun berkhianat. Betapa banyak dokumentasi akad yang pada akhirnya menyelamatkan hak-hak seorang hamba serta menyelesaikan perseteruan yang ada.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Beliau juga mengatakan,

“Allah memerintahkan untuk mencatat (dokumentasi utang) piutang. Perkara yang satu ini terkadang menjadi wajib. Yaitu, apabila dalam hal yang mewajibkan memelihara hak (orang lain). Seperti: seorang hamba yang wajib atasnya perwalian atas harta anak yatim, harta wakaf, perwakilan, dan amanah.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 961)

Seseorang yang mewakafkan hartanya hendaknya mencatatkan secara resmi objek yang diwakafkannya tersebut. Atau bagi pihak nadzir (pihak yang ditunjuk untuk mengelola sebuah objek wakaf) hendaknya membantu menguruskan hal tersebut kepada pihak berwenang. Sehingga, di kemudian hari tidak muncul perseteruan dan perselisihan terkait objek wakaf tersebut.

Pencatatan dan dokumentasi perbuatan wakaf ini juga telah diatur oleh pemerintah kita. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di antara yang disebutkan adalah,

“Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan.” (Wakaf Kontemporer, karya Dr. Fahruroji, Lc., MA., hal. 2)

Pemerintah, yang dalam hal ini menjadi pemimpin kita, telah mewajibkan setiap individu yang ingin mewakafkan hartanya untuk melakukan pencatatan dan pendaftaran ke lembaga hukum terkait serta mengumumkannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menaati aturan tersebut sehingga tidak muncul keburukan-keburukan di kemudian hari.

Rukun-rukun wakaf

Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf.

Pertama, orang yang berwakaf (Al-Waqif).

Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf).

Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok tertentu atau lembaga berwenang tertentu.

Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim setelah adanya ikrar wakaf. Dan lafaz ikrar wakaf ada yang bersifat eksplisit (tersurat) dan ada juga yang implisit (tersirat).

Contoh lafaz yang eksplisit adalah,

“Aku wakafkan hartaku.”;

“Aku tahan hartaku.”;

atau

“Aku hibahkan dan alirkan manfaatnya.”

Dengan ucapan-ucapan semacam ini, maka harta yang disebutkan tersebut otomatis berubah menjadi harta wakaf tanpa perlu ada indikasi lainnya.

Adapun contoh lafaz ikrar yang implisit (tersirat) adalah ucapan seseorang,

“Aku sedekahkan hartaku.”;

“Aku haramkan bagi diriku harta tersebut.”;

atau

“Aku jadikan hartaku lenggang dan abadi.”

Lafaz-lafaz semacam ini menjadikan harta milik pribadi menjadi wakaf apabila disertai dengan niat atau adanya indikasi bahwa dirinya memang meniatkan wakaf. Seperti tambahan ucapannya,

“Sedekah yang diwakafkan.”

atau

“Harta yang disedekahkan tidak boleh diperjualbelikan.”

Sebagaimana juga, indikasi-indikasi tersebut diiringi dengan tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya berniat untuk mewakafkan hartanya. Seperti: membangun masjid lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya.

Syarat-syarat wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat:

Pertama: Wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga, tidak sah wakafnya seorang anak kecil, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga, transaksi harta lainnya yang mereka lakukan.

Kedua: Wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan, serta dimanfaatkan, sedangkan wujud benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya.

Ketiga: Wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat. Baik wakafnya tersebut dari seorang muslim maupun ahli dzimmah.

Keempat: Penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila merujuk pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.”

Kelima: Hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Jika wakafnya diiringi dengan syarat tertentu atau dibatasi dengan durasi tertentu, maka tidak sah. Hanya saja apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf.

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91242-fikih-wakaf-bag-3-urgensi-mencatat-wakaf-rukun-dan-syarat-wakaf.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Membaca Narasi di Balik Dukungan Abu Bakar Baasyir dalam Pemilu

Viral dukungan Abu Bakar Ba’asyir, mantan narapidana terorisme, terhadap salah satu pasangan kontestan calon presiden pada Pilpres 2024. Rekaman yang diunggah oleh akun Tiktok @aniesvisioner dibenarkan pula oleh putra Ba’asyir, Abdul Rohim. Hal menarik dari dukungan itu adalah persoalan narasinya.

Menyatakan keberpihakan terhadap salah satu pasangan Pilpres tentu adalah hak semua warga negara dalam kebebasan berpolitik. Namun, apa yang ingin saya urai adalah materi atau narasi yang diungkapkan Ba’asyir terkait dukungan tersebut. Mari kita simak secara lengkap pernyataan tersebut :

“Pilpres itu bukan ideologi tapi adalah alat, maka kalau memang tujuan kita ikut pilpres untuk membela Islam itu boleh. Jadi, kita perlu mengikut pilpres ini untuk membela Islam, caranya memilih presiden yang paham Islam. Calon kita yang paham Islam hanya satu yaitu yang nomor satu namanya Anies Baswedan, itu yang wajib kita pilih. Karena nanti kalau dia terpilih, ditakdirkan menjadi presiden, insyaallah banyak menguntungkan Islam, dia akan berusaha untuk mengatur negara ini dengan hukum-hukum Islam semampunya. Itu lah, saya berpendapat kita harus mengikuti pilpres ini, tapi tujuan kita untuk Islam, bukan untuk mengikuti Undang-Undang negara. Tujuannya memanfaatkan pilpres untuk kepentingan Islam, Yang paling paham Islam yaitu capres nomor satu. Jadi agar supaya semua umat Islam diberitahu itu jangan sampai tidak memilih, harus memilih. Tapi nomor satu yang harus dipilih, jangan yang lain. Tujuannya untuk kepentingan Islam, tujuan kita untuk membela Islam supaya tetap terawat dengan baik”

Secara eksplisit terlepas dari Baasyir sudah sering mengikuti upaca bendera dan kegiatan positif lainnya, tetapi ada narasi yang sebenarnya masih ambigu. Argumen yang disampaikan Ba’asyir masih tercermin kokohnya Ba’asyir sebagai tokoh islamisme yang tak tergoyahkan. Islamisme di sini, diartikan sebagai menjadikan Islam sebagai ideologi politik dengan tujuan meraih kekuasaan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.

Ba’asyir menempatkan Pemilu sebagai alat, bukan ideologi karena menurutnya tujuan sebenarnya adalah membela Islam. Islam adalah ideologi politik yang sebenarnya. Mengikuti Pemilu bukan persoalan mengikuti kepada Undang-undang negara, tetapi untuk membela kepentingan politik Islam.

Sangat jelas bagaimana Ba’asyir masih menempatkan Undang-undang bukan sebagai pedoman dalam berperilaku sebagai warga negara, tetapi yang paling pokok adalah tujuan politik agama. Corak pemikiran ini seolah terus memposisikan pertentangan antara ajaran agama dan peraturan dan perundang-undangan.

Sebagai warga negara yang muslim tentu kita memahami ketundukan dan ketaatan kepada peraturan dan perundang-undangan adalah bagian dari manifestasi ketaatan kepada ulil amri. Ketaatan kepada aturan bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam karena itu menjadi bagian dari sikap umat beragama.

Pemikiran yang menolak ketundukan dan ketaatan terhadap pemimpin dan aturan yang ada, tentu bukan bagian dari cara berpikir yang islami. Kecuali jika masih tersimpan dalam hatinya bahwa pemimpin dan peraturan yang adalah sistem kafir.

Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana klaim monopoli kebenaran yang kerap menjadi karakter kelompok islamisme. Ba’asyir mengatakan hanya pasangan tertentu yang benar-benar memahami Islam. Klaim ini menjadi corak klasik dari pemikiran islamisme yang menganggap hanya kelompoknya yang memahami Islam, yang paling islami dan paling membela Islam.

Istilah yang paling paham Islam sejatinya mencerminkan klaim kebenaran yang sangat halus untuk tidak mengatakan yang paling Islam di antara calon yang lain. Ukuran klaim “paling” dalam berislam tentu saja sangat subyektif dan kerap bisa menyesatkan yang bisa menimbulkan salah tafsir dan pemahaman bahwa yang lain tidak islami dan kurang berislam.

Karena itulah, saya melihat pemikiran Ba’asyir sebagai tokoh yang terus menyuarakan gerakan islamisme yang kuat. Gerakan Islamisme sangat beragam ada yang tetap menggunakan kekerasan seperti kelompok yang disebut jihadis, ada yang memilih jalur partai politik dan gagasan, ada yang secara persuasif menggunakan jalur dakwah dan pendidikan. Intinya dalam gerakan ini adalah menjadi Islam sebagai ideologi yang diterapkan sebagai sistem dalam negara.

Dengan subtansi pemikiran yang sama, visi politik gerakan islamisme dengan segala varian gerakannya di Indonesia bukan tidak mungkin memiliki pilihan yang sama dalam Pilpres nantinya. Mereka menunggangi politik Pemilu untuk mengokohkan kepentingan ideologisasi Islam. Mereka akan menunggangi calon tertentu yang dianggap memiliki visi yang sama atau setidaknya tidak merugikan eksistensi mereka pasca Pemilu.

Persoalan yang harus kita luruskan adalah apakah dalam konteks negara Pancasila Pemilu akan menjadi ajang kepentingan kelompok tertentu berdasarkan segmentasi agama. Seolah Pemilu adalah ajang pembelahan warga negara berdasarkan agama tertentu. Kemenangan paslon tertentu akan menjadi kemenangan agama, dan tentu saja kekalahan umat yang lain. Apakah Pilpres nantinya hanya diproyeksikan hanya membawa keuntungan untuk umat tertentu saja?

Kita memaknai Pemilu bukan sekedar meraih keuntungan untuk umat tertentu, tetapi pesta demokrasi yang membawa mashlahah ammah. Kita memaknai Pemilu sebagai ruang untuk suksesi kepemimpinan dalam menyejahterakan rakyat yang tidak melihat warna agamanya. Semua warga negara harus meraih kemenangan atas terselenggaranya Pemilu ke depan.

ISLAMKAFFAH

Syahwat Kekuasaan

Jangan memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya.

Oleh AUNUR ROFIQ

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan kepada manusia maupun Allah SWT. Suatu amanah dapat dijalankan dengan baik, jika yang menerima amanah mendapatkannya dengan penuh kesadaran akan tugas dan tanggung jawab.

Hal ini sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik.” (HR Muslim).

Abu Dzar adalah sahabat yang sangat rajin beribadah, tetapi Rasulullah SAW tidak memberikan apa pun jabatan kepemimpinan kepadanya. Sebab, seorang pemimpin bukankah harus mempunyai keberanian dalam kepemimpinannya.

Abu Dzar adalah sahabat yang sangat rajin beribadah, tetapi Rasulullah SAW tidak memberikan apa pun jabatan kepemimpinan kepadanya.

Sedangkan Abu Dzar walaupun rajin beribadah, tetapi lemah dalam sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin seperti keberanian dan sebagainya. Seorang pemimpin mempunyai syarat yang lebih dari seorang pekerja, pegawai, dan orang biasa.

Penerima amanah hendaknya menyadari kemampuan dirinya untuk memimpin. Jadi untuk mendapatkan amanah itu bukan dengan nafsu, apalagi dirinya ada kelemahan yang fatal. Keberanian saja tidaklah cukup dan yang paling penting bahwa “dirinya bersih” dari kesalahan yang sifatnya memperkaya diri maupun kelompoknya.

Di samping itu ada syarat yang harus yang dipenuhi, yaitu tidak mudah terpengaruh oleh hawa nafsu, baik nafsu dunia, nafsu kekayaan, nafsu kekuasaan, dan lainnya. Sebab, jika seseorang mempunyai syarat kepemimpinan zahir, seperti keilmuan, keberanian, tetapi tidak mempunyai syarat batin, maka kepemimpinan tersebut akan dipakai untuk mencari nafsu keserakahan, baik nafsu kekayaan ataupun kekuasaan.

Oleh sebab itu, sejak dini, Rasulullah SAW mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sebab, pemimpin yang dapat menjalankan tugas dengan baik adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan mereka yang mendapatkannya dengan nafsu dan emosi.

Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Abdurahman bin Samrah, “Wahai Abdurahman bin Samrah, janganlah engkau meminta kekuasaan, sebab jika engkau diberikan tanpa meminta, maka engkau akan ditolong (Allah SWT) dalam menjalankannya, tetapi jika engkau meminta kekuasaan tersebut (dengan nafsu), maka engkau telah menjadi wakil (hawa nafsu).” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Rasulullah SAW mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sebab, pemimpin yang dapat menjalankan tugas dengan baik adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Peringatan Rasulullah SAW ini bermakna bahwa memilih seorang pemimpin jangan karena janji kampanye yang dilakukannya, tetapi karena melihat niat ingin melayani dan kepribadian (akhlak) yang tercermin dari perbuatannya selama ini. Sebab jika seseorang telah memulai kepemimpinan dengan nafsu, maka akhirnya kepemimpinan itu akan dijalankan dengan nafsunya dan tentu bukan menjalankan amanah.

Kekuasaan jika diibaratkan, seperti makanan dan minuman. Kekuasaan merupakan perkara halal yang dibutuhkan, bahkan merupakan sebuah keharusan. Karena tanpa kekuasaan, sulit membayangkan kehidupan umat manusia bisa bertumbuh secara sehat dan kuat.

Kekuasaan itu terasa nikmat, aromanya menggoda selera orang yang berada di dekatnya. Tampilannya memikat mata orang yang melihatnya. Siapa pun yang menyantap akan terbuai oleh kenikmatan dan kelezatannya. Dan ketika sudah terbuai, tak jarang orang yang ingin menambah (bahasa Jawa “tanduk”) sembari melupakan batasan yang ada.

Tahukah bahwa pemberi kekuasaan itu merupakan ranah Sang Pencipta. Kepemimpinan dan kekuasaan adalah milik Allah SWT semata. Dia memberikan kepemimpinan dan kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Pada saatnya kepemimpinan dan kekuasaan itu akan diminta kembali.

Kepemimpinan dan kekuasaan adalah milik Allah SWT semata. Dia memberikan kepemimpinan dan kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Pada saatnya kepemimpinan dan kekuasaan itu akan diminta kembali.

Sebagaimana dalam firman-Nya surah Ali Imran ayat 26, “Katakanlah, ‘Ya Allah Pemilik Kerajaan, Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (kekuasaan) dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Hanya di tangan-Mu segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Jadi jelas bahwa siapa yang akan menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan adalah atas kehendak-Nya, bukan kemauan manusia yang berambisi. Ikhtiar dengan niat menjadi pemimpin yang amanah dan melayani masyarakat jadikanlah modal awal. Janganlah kalah dengan pesona dunia yang menggoda keimanan para pemimpin untuk menjadikan tujuannya.

Maka hindari dan jangan termasuk orang yang sia-sia perbuatannya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Kahfi ayat 104, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”

Jauhi dan hindari berbuat khianat, jika sudah berjanji, penuhilah janji itu. Jika terasa berat memenuhi janjinya, maka janganlah mudah berjanji. Ada yang menyebut dalam politik, janji itu biasa untuk dilanggar. Namun sebagai orang beriman, maka penuhilah janjimu.

Negeri ini akan membuka pendaftaran calon presiden dan wakilnya pada 19 Oktober 2023 sampai 25 November 2023. Tentu hari-hari ini dan ke depan akan ramai pemberitaan tentang capres dan pasangannya.

Wahai, para calon pemimpin, tunjukkanlah keluhuran budimu, bukan ambisimu. Kabarkan pada masyarakat bahwa tujuanmu bukan untuk ketenaran melainkan bekerja melayani masyarakat.

Hiduplah dengan sederhana karena kesederhanaan ini akan menghalangimu dari keserakahan. Dan ingatlah duduk sebagai pemimpin akan melenakan sehingga lupa berdiri.

Allah SWT selalu mempergilirkan kekuasaan karena setiap kekuasaan ada pemimpin dan ada batasnya.

“Ya Allah, berikanlah kebeningan hati bagi para calon pemimpin agar tidak buta mata hatinya, berikanlah pertolongan dalam menjalankan amanah bagi pemimpin yang tidak meminta. Berilah petunjuk bagi masyarakat agar bisa memilih pemimpin yang berakhlak mulia serta teguhkan hatinya untuk tidak saling membenci jika terjadi perbedaan.”

REPUBLIKA

Empat Permohonan Penduduk Neraka

Allah Ta’ala telah mempersiapkan dan menjanjikan untuk orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebuah ganjaran yang sangat indah berupa surga-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَا

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya.”(QS. At-Taubah: 72)

Allah Ta’ala juga telah menjanjikan bagi orang-orang kafir dan munafik sebuah azab serta siksaan yang pedih berupa neraka-Nya. Di antara dalilnya Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَن تُغۡنِىَ عَنۡهُمۡ أَمۡوَٲلُهُمۡ وَلَآ أَوۡلَـٰدُهُم مِّنَ ٱللَّهِ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمۡ وَقُودُ ٱلنَّارِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah pada mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.” (QS. Ali Imran: 10)

Sehingga, telah jelas balasan bagi orang-orang beriman dan telah jelas pula balasan bagi orang-orang kafir. Surga bagi mereka yang beriman dan neraka bagi mereka yang kafir kepada Allah dan berbuat berdosa. Dan semuanya telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ ‌يُقَرِّبُكُمْ ‌إِلَى ‌الجَنَّةِ إِلَّا قَدْ أّمَرْتُكُمْ بِهِ وَلَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلَّا قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

Sesungguhnya tidak satu hal pun yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian untuk mengerjakannya. Dan tidak ada satu pun yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan aku telah melarang hal itu.” (Lihat Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah no. 2866)

Sebagai hamba-Nya, menjauhkan diri dari neraka menjadi hal yang harus kita usahakan. Di dalam Al-Qur’an, terdapat pelajaran yang amat berharga. Di dalam Al-Qur’an, setidaknya Allah Ta’ala menyebutkan empat permohonan penduduk neraka. Simaklah firman-firman Allah Ta’ala tentang permohonan mereka.

Pertama

رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا مِنۡہَا فَإِنۡ عُدۡنَا فَإِنَّا ظَـٰلِمُونَ  قَالَ ٱخۡسَـُٔواْ فِيہَا وَلَا تُكَلِّمُونِ

Ya Rabb kami, keluarkanlah kami daripadanya (neraka) (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Allah berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (QS. Al-Mu’minun: 107-108)

Di dalam ayat ini, penduduk neraka meminta dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dikeluarkan dari neraka. Karena saking beratnya siksa dan azab neraka. Dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang azab penduduk neraka yang paling ringan.

إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَنْتَعِلُ بِنَعْلَيْنِ مِنْ نَارٍ ‌يَغْلِي ‌دِمَاغُهُ مِنْ حَرَارَةِ نَعْلَيْهِ

Sesungguhnya azab yang paling rendah dari penduduk neraka adalah seseorang memakai kedua sandalnya dari neraka. Otaknya pun melepuh karena panasnya kedua sandalnya.” (HR. Muslim no. 361)

Sehingga, pantaslah mereka meminta kepada Allah Ta’ala agar dikeluarkan dari neraka. Karena saking dahsyatnya azab neraka. Akan tetapi, Allah menjawab permohonan mereka dengan firman-Nya,

ٱخۡسَـُٔواْ فِيہَا وَلَا تُكَلِّمُونِ

Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (QS. Al-Mu’minun: 108)

Kedua

وَنَادَوۡاْ يَـٰمَـٰلِكُ لِيَقۡضِ عَلَيۡنَا رَبُّكَ‌ۖ قَالَ إِنَّكُم مَّـٰكِثُونَ  لَقَدۡ جِئۡنَـٰكُم بِٱلۡحَقِّ وَلَـٰكِنَّ أَكۡثَرَكُمۡ لِلۡحَقِّ كَـٰرِهُونَ

Mereka berseru, ‘Hai (Malaikat) Malik, biarlah Rabbmu membunuh kami saja.’ Dia menjawab, ‘Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).’ Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu, tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Az-Zukhruf: 77-78)

Inilah permohonan kedua penduduk neraka. Setelah mereka memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari neraka dan permohonan mereka tertolak, mereka pun mencoba untuk meminta kepada Malaikat Malik, agar Allah mematikan mereka dan tidak lagi merasakan azab yang pedih. Namun, jawaban dari Malaikat Malik justru mengecewakan dan menyakitkan mereka.

إِنَّكُم مَّـٰكِثُونَ

Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (QS. Az-Zukhruf: 77)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Malaikat Malik menjawab permintaan mereka setelah seribu tahun lamanya.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayil Qur’an karya Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari, 21: 645)

Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan

Ketiga

وَقَالَ ٱلَّذِينَ فِى ٱلنَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ يُخَفِّفۡ عَنَّا يَوۡمً۬ا مِّنَ ٱلۡعَذَابِ قَالُوٓاْ أَوَلَمۡ تَكُ تَأۡتِيكُمۡ رُسُلُڪُم بِٱلۡبَيِّنَـٰتِۖ قَالُواْ بَلَىٰۚ قَالُواْ فَٱدۡعُواْۗ وَمَا دُعَـٰٓؤُاْ ٱلۡڪَـٰفِرِينَ إِلَّا فِى ضَلَـٰلٍ

Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu supaya Dia meringankan azab dari kami sehari saja.’ Penjaga Jahanam berkata, ‘Apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?’ Mereka menjawab, ‘Benar, sudah datang.’ Penjaga-penjaga Jahanam berkata, ‘Berdoalah kamu.’ Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.” (QS. Ghafir: 49-50)

Permintaan ketiga, penduduk neraka meminta kepada penjaga Jahanam agar Allah Ta’ala meringankan azab mereka sehari saja. Mirisnya, permintaan itu pun juga tertolak. Betapa tersiksanya mereka, para penduduk neraka. Allah Ta’ala berfirman menceritakan siksaan yang akan mereka peroleh kelak di neraka,

لَّا يَذُوقُونَ فِيہَا بَرۡدً۬ا وَلَا شَرَابًا إِلَّا حَمِيمً۬ا وَغَسَّاقً۬ا

Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah.” (QS. An-Naba: 24-25)

وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٍ۬ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِى ٱلۡوُجُوهَ‌ۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا

Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi: 29)

Keempat

Setelah mereka merasakan azab di atas, mereka pun melihat penduduk surga yang penuh akan kenikmatan. Segala sesuatu yang penduduk surga inginkan, mereka dapatkan. Allah Ta’ala berfirman,

يُطَافُ عَلَيۡہِم بِصِحَافٍ۬ مِّن ذَهَبٍ۬ وَأَكۡوَابٍ۬‌ۖ وَفِيهَا مَا تَشۡتَهِيهِ ٱلۡأَنفُسُ وَتَلَذُّ ٱلۡأَعۡيُنُ‌ۖ وَأَنتُمۡ فِيهَا خَـٰلِدُونَ

Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala. Dan di dalam surga itu, terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf: 71)

Penduduk neraka pun ingin mendapatkan seperti yang penduduk surga inginkan, sehingga penduduk neraka menyeru dan meminta kepada penduduk surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَادَىٰٓ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ أَصۡحَـٰبَ ٱلۡجَنَّةِ أَنۡ أَفِيضُواْ عَلَيۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ أَوۡ مِمَّا رَزَقَڪُمُ ٱللَّهُ‌ۚ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ

Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, ‘Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.’ Mereka (penghuni surga) menjawab, ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.’” (QS. Al-A’raf: 50)

Seluruh permohonan dan permintaan penghuni neraka tertolak. Hal ini bisa menjadi pelajaran untuk kita. Terutama bagi orang-orang yang mengatakan “Tidak mengapa kita berbuat dosa, mungkin kita hanya satu atau dua hari saja di neraka.” Subhanallah!! Sekuat apa tubuh kita untuk menahan azabnya neraka. Inilah statement orang-orang Yahudi terdahulu. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُواْ لَن تَمَسَّنَا ٱلنَّارُ إِلَّآ أَيَّامً۬ا مَّعۡدُودَةً۬‌ۚ قُلۡ أَتَّخَذۡتُمۡ عِندَ ٱللَّهِ عَهۡدً۬ا فَلَن يُخۡلِفَ ٱللَّهُ عَهۡدَهُ ۥۤ‌ۖ أَمۡ تَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’ Katakanlah, ‘Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’” (QS. Al-Baqarah: 80)

Ketahuilah!! Sehari di dalam neraka sama dengan seribu tahun di dunia,

وَإِنَّ يَوۡمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلۡفِ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ

Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)

Hal ini menjadi bahan renungan bagi kita, agar kita jangan sampai masuk ke dalam neraka walaupun satu hari saja. Mengingat betapa pedih dan menderitanya para penduduk neraka. Demikianlah yang Allah ceritakan tentang mereka di dalam Al-Qur’an.

Wallahul Muwaffiq.

Jakarta, 28 Januari 2024/16 Rajab 1445

***

Penulis: Zia Abdurrofi

Sumber: https://muslim.or.id/91244-empat-permohonan-penduduk-neraka.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Anjuran Memperbanyak Shalawat di Bulan Sya’ban

Anjuran untuk memperbanyak shalawat di akhir bulan Sya’ban merupakan sebuah anjuran yang lazim dalam tradisi Islam. Bulan Sya’ban adalah bulan yang dianggap istimewa karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa penting, seperti Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Qur’an) dan malam Nisfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) yang dianggap sebagai malam penuh keberkahan.

Memperbanyak shalawat, yaitu bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, adalah suatu amalan yang dianjurkan sepanjang waktu dalam Islam. Namun, dalam bulan-bulan istimewa seperti akhir bulan Sya’ban, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak shalawat sebagai bentuk ibadah yang dipersembahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasa cinta, penghormatan, dan kekaguman kepada beliau.

Perlu diketahui, bahwa salah satu keistimewaan dari bulan Sya’ban ini adalah  diturunkannya ayat tentang shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yaitu Q.S al Ahzab [33]: 56:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Sebagaimana perkataan para ulama yang dinukil oleh Imam Syihabbuddin al-Qasthalani dalam kitab al Mawāhib menyatakan “Bahwasanya bulan Sya’ban adalah bulan Sholawat, karena ayat tentang Shalawat diturunkan pada bulan tersebut.

Begitu juga dengan apa yang telah disebutkan oleh ibnu Abi Shaif al-Yamani yang terdapat dalam kitab Mā Dzā Fī Sya’bān mengatakan, “bahwasanya Bulan Sya’ban adalah Bulan Shalawat atas Nabi karena ayat tentang Shalawat (al Ahzab [33]: 56) diturunkan padanya.”

Oleh Karena itu marilah kita perbanyak Shalawat kita di bulan Sya’ban ini, karena banyak sekali keutamaan keutamaan yang akan kita dapatkan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawy bin Abbas dalam kitab Mā Dzā Fī Sya’bān (h. 31-38) tentang keutamaan yang didapatkan oleh orang yang bershalawat, antaranya adalah:

  1. Orang yang bershalawat kepada Nabi satu kali maka Allah akan bershawat kepadanya sepuluh. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda “Orang yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershawat kepadanya sepuluh shalawat” (H.R Muslim)
  2. Orang yang bershalawat kepada Rasulullah, maka Rasulullah juga akan bershawat kepadanya. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Mu’jam al-Aushath dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda “Orang yang bershawat kepadaku maka shalawatnya akan sampai kepadaku, maka aku akan bershalawat juga kepadanya, kemudian akan ditetapkan bagi orang tersebut semisal sepuluh kebaikan.” (H.R Thabrani)
  3. Orang yang bershawat kepada Nabi, maka Malaikat-malaikat Allah akan bershalawat kepadanya. Sebagaimana hadist yang di riwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Aushath mengatakan, Bahwa Rasulullah bersabda “ Baru saja datang kepadaku Jibril (sebagai perintah dari Allah) berkata (Jibril): tidak ada seorangpun Muslim diatas Bumi ini yang bershawat kepada engkau satu kali saja, kecuali aku dan para Malaikat lainnya akan bershalawat kepadanya sepuluh kali” (H.R Thabrani)
  4. Orang yang bershalawat kepada Nabi maka derajatnya akan diangkat, kebaikan atasnya akan ditambah, dan dihapuskan terhadapnya kesalahan-kesalahannya. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Nasa`I dalam kitab Sunan al-Nasa`I dari Burdah bin Niyar bahwa Rasulullah SAW bersabda “Umatku yang bershalawat kepadaku dengan tulus dari lubuk hatinya, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh Shalawat, diangkat baginya sepuluh darajat, ditetapkan baginya sepuluh kebaikan, dan dihapuskan baginya sepuluh keburukan” (H.R Nasa`i)
  5. Orang yang bershalawat kepada Nabi, maka ia akan mendapatkan pahala semisal memerdekakan sepuluh orang budak. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh ibnu Abi’Ashim dalam kitab Asshalah dari Barra` bin ‘Azib bahwa Rasulullah bersabda “siapa saja yang bershalawat kepadaku satu kali saja, maka Allah akan menulis baginya sepuluh kebaikan, dihapuskan baginya sepuluh kesalahannya, dia akan mendapatkan pahala semisal memerdekakan sepuluh orang budak”.
  6. Bershalawat kepada Rasulullah menjadi penyebab diampunkannya dosa-dosa. Sebagaiman Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Aushath dari Abi Kahil bahwa Rasulullah pernah berkata kepadanya “ Wahai aba Kahil! Siapa saja yang bershalawat kepadaku tiap hari sebanyak tiga kali dan tiap malam tiga kali dengan penuh kecintaan dan kerinduan kepadaku, maka ia berhak mendapatkan ampunan Allah pada hari dan malam itu” (H.R Thabrani)

Demikianlah keutamaan-keutamaan yang akan didapatkan bagi orang yang bershalawat kepada Rasulullah, dan masih banyak lagi keutamaan keutamaan yang akan didapatkannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawy bin Abbas dalam kitabnya yang berjudul Mā Dzā Fī Sya’bān mengatakan “keutamaan bershalawat kepada Nabi itu sangat banyak, pena akan menjadi lemah menuliskannya, dan kitab kitab akan menjadi sempit memuatnya”.

Oleh Karena itu marilah kita selalu mengagungkan Rasulullah dengan senantiasa bershalawat kepadanya, terlebih lagi diakhir-akhir bulan Sya’ban ini, karena diakhir bulan Sya’ban bertepatan  diturunkannya ayat Shalawat kepada Rasulullah. “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”

Demikian penjelasan terkait anjuran memperbanyak shalawat di akhir bulan Sya’ban. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH