Syekh Abul Khair Mimpi Diberi Roti oleh Rasulullah

Syekh Abul Khair Aqtha becerita pada suatu kali ia pergi sendiri tanpa ada yang menemaninya ke Madinah Al Munawaroh. Selama lima hari di Madinah ia belum pernah makan karena tidak uang untuk membeli makanan.

“Bahkan makanan sekedar untuk dicicipi saja tidak ada,” kata Syekh Abul Khair seperti dikisahkan dalam kitab Fadhilan Haji karangan Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi Rah.a.

Dalam keadaan seperti itu ia pergi ke makam Rasulullah SAW.  Setelah sampai di sana ia mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan kepada Syaikhain (Abu Bakar dan Umar). 

Setelah itu Syekh Abul Khair berkata. “Ya Rasulullah, nanti malam aku akan menjadi tamumu,” katanya.

Kemudian Syekh Abul Khair pergi ke belakang mimbar dan tidur di sana. Di dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat Rasulullah SAW datang beserta Abu Bakar ra di sebelah kanannya, Umar ra di sebelah kirinya, Ali ra. 

Dalam mimpi itu Ali ra maju kehadapan Syekh Abu Khair seraya berkata untuk memanggilnya. “Lihatlah, Rasulullah datang kepadamu,”

Syekh Abul Khair pun berdiri dan Rasulullah SAW memberikan sepotong roti. “Aku pun memakan separuh bagian, dan ketika aku terbangun, roti yang separuhnya berada di dalam genggamanku,” katanya.

Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi bahwa kisah ini dikutip dalam kitab Raudh,Wafa. Kisah semacam ini dialami oleh Syekh Ibnu Jala.

IHRAM

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 2): Thaharah

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 1).

Thaharah atau yang biasa kita sebut bersuci merupakan syarat penting sahnya suatu ibadah shalat. Dalam setiap pembahasan tentang fiqih, Bab Thaharah selalu didahulukan sebagai pertanda betapa pentingnya mempelajari thaharah sebelum melaksanakan ibadah seperti shalat, membaca al-qur’an, thawaf dan ibadah lainnya yang mensyaratkan thaharah sebelum melaksanakannya.

Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda :

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir dan yang menghalalkannya adalah salam” [1]

Bersuci merupakan bentuk kesempurnaan iman sebagaimana sabda Rasulullah shallahahu alaihi wasallam:

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِمَان

“Bersuci itu setengah dari iman”  [2]

Thaharah dilakukan dengan cara menghilangkan hadats (kotoran) yang termasuk dalam kategori najis; menggunakan air atau debu yang dapat menyucikan. [3]

Najis atau kotoran tersebut merupakan penghalang bagi seorang muslim untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian, membersihkan najis dari tubuh dan pakaian merupakan syarat yang harus kita penuhi sebelum melaksanakan shalat.

Adapun air yang digunakan untuk thaharah adalah air yang suci dzatnya dan  dapat digunakan untuk menyucikan, sebagaimana firman Allah :

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“…dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu” (QS. al-Anfal : 11)

Dalam Ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman :

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

” dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”. (QS. al-Furqan : 48)

Begitupula dengan thaharah menggunakan debu (Baca : Tayammum) yang disebabkan beberapa hal seperti ketiadaan air, sakit yang tidak bisa tersentuh air dan berbagai faktor lainnya sehingga Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada setiap ummatnya untuk memperoleh jalan lain dalam rangka menyucikan diri baik secara bathiniyah maupun lahiriyyah sebelum beribadah kepada Rabb-Nya.

Berkaitan dengan tayammum ini, Allah Taala berfirman :

وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ “

… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (QS. Al-Maaidah: 6)

Rasulullah shallallahualaihi wasallam juga bersabda :

إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ.

Sesungguhnya tanah yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.” [4]

Jenis Thaharah

Thaharah terbagi menjadi 2 (dua) jenis,  yaitu Thaharah Zahiriyyah dan Thaharah Bathiniyyah.

Thaharah Zahiriyyah maksudnya adalah menyucikan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis dengan berwudhu atau bertayammum menggunakan air atau debu yang suci.[5]

Sedangkan Thaharah Bathiniyyah yaitu menyucikan diri dari kemusyrikan dan kemaksiatan.

Thaharah Bathiniyyah lebih utama didahulukan daripada thaharah Zahiriyyah, sebab tidaklah sah bersucinya seseorang yang masih melakukan kesyirikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّ المُشْرِكِيْنَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu janis (kotor jiwa)”. (QS. at-Taubah : 28)

Hal yang penting diperhatikan dalam menggunakan air untuk bersuci adalah agar air tersebut tidak bercampur najis dengan memastikan bahwa air itu tidak berubah warna, rasa atau baunya.

Thaharah bhatiniyyah dilakukan dengan mentauhidkan Allah dan tidak berbuat kesyirikan. Oleh karenanya, setiap muslim yang mukallaf wajib membersihkan dirinya dari kemusyrikan.

Juga tidak kalah pentingnya, seorang mukallaf membersihkan dirinya dari perbuatan maksiat, dengki, riya’, ujub, sum’ah dan segala perbuatan yang dilarang secara syar’i. Hal ini dilakukan demi memperoleh jalan menuju kesempurnaan ibadah shalat agar diterima oleh Allah Ta’ala Wallahualam bi as-shawaab

[Bersambung]

***

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Dimana Kehidupan Yang Baik?

Allah Swt Berfirman :

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.An-Nahl:97)

Sayyidina Ali bin abi tholib menafsirkan kalimat “kehidupan yang baik” dengan arti Qona’ah (merasa cukup.

Tidak ada jalan menuju kehidupan yang baik, tenang dan tentram kecuali dengan Qona’ah. Kenapa?

Karena apabila seorang hamba rela dengan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya, maka ia akan hidup terhormat walau tidak memiliki banyak harta.

Rasulullah Saw juga memberikan wejangan kepada umatnya untuk menumbuhkan sifat Qona’ah dalam hatinya.

“Jadikan dirimu rela terhadap apa yang diberikan oleh Allah, maka engkau akan menjadi manusia paling kaya.”

Rasul Saw bersabda :

“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.”

Qona’ah mendatangkan kecintaan Allah dan kecintaan manusia.

Seorang yang merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt akan memiliki jiwa yang tenang, hati yang bahagia dan pikiran yang rileks.

Dia tidak memperhatikan apa yang dimiliki orang lain dan tidak ambisi dengan apa yang tidak ia miliki. Karenanya, orang seperti ini akan mendapat kecintaan Allah dan dicintai pula oleh manusia. Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.

“Bersikaplah zuhud di dunia maka Allah akan mencintaimu dan zuhudlah dengan apa yang dimiliki orang lain maka manusia akan mencintaimu.”

Orang yang Qona’ah adalah orang yang bersyukur.

Tentunya, seseorang tidak akan mencapai derajat syukur jika ia tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki. Orang yang bersyukur adalah ia rela dengan rezeki yang diberikan oleh Allah dan merasa cukup dengannya.

Orang yang Qona’ah adalah orang yang memiliki kehormatan diri. Tidak pernah ia merendahkan wajahnya untuk memohon kepada orang lain.

Rasulullah Saw pernah memberi kabar gembira bagi orang-orang yang Qona’ah dalam sabdanya :

“Sungguh telah beruntung seorang yang masuk Islam dan mendapat anugerah berupa kecukupan dari Allah Swt. Sehingga Allah menjadikannya rela dengan apa yang ia dapatkan.”

Orang yang Qana’ah, hidupnya seperti raja.

Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berkata :

“Jadilah orang yang Qana’ah maka engkau akan menjadi raja (merasa cukup dan tidak memerlukan yang lain).”

Semoga kita termasuk orang-orang yang Qana’ah.

KHAZANAH ALQURAN

Begini Doa agar Dimudahkan Bayar Utang

UTANG kerap menjadi jalan pintas saat seseorang menemui kesulitan ekonomi. Transaksi ini dianggap sebagai penyelamat saat kondisi terdesak.

Sayangnya, membayar utang kerap menjadi masalah baru. Kondisi tidak menentu kerap membuat orang kesulitan. Apalagi mereka yang hidup pas-pasan.

Pendapatan yang didapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kondisi ini, tentu sulit rasanya bisa membayar utang apalagi melunasinya.

Namun seorang muslim sudah diajarkan untuk tak lekas berputus asa. Selain ikhtiar, kita diwajibkan selalu berdoa.

Salah satu yang bisa kamu lakukan adalah dengan mengucapkan doa agar diberi kemudahan membayar utang berikut ini.

Doa Mudah Bayar Utang

Doa ini adalah di antara doa yang bisa diamalkan untuk melunasi utang dan dibaca sebelum tidur.

Telah diceritakan dari Zuhair bin Harb, telah diceritakan dari Jarir, dari Suhail, ia berkata, “Abu Shalih telah memerintahkan kepada kami bila salah seorang di antara kami hendak tidur, hendaklah berbaring di sisi kanan kemudian mengucapkan,

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

Allahumma robbas-samaawaatis sab’i wa robbal ‘arsyil ‘azhiim, robbanaa wa robba kulli syai-in, faaliqol habbi wan-nawaa wa munzilat-tawrooti wal injiil wal furqoon. A’udzu bika min syarri kulli syai-in anta aakhidzum binaa-shiyatih. Allahumma antal awwalu falaysa qoblaka syai-un wa antal aakhiru falaysa ba’daka syai-un, wa antazh zhoohiru fa laysa fawqoka syai-un, wa antal baathinu falaysa duunaka syai-un, iqdhi ‘annad-dainaa wa aghninaa minal faqri.

Artinya:
“Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu. Rabb yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Rabb yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah). Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang lahir, tidak ada sesuatu di atasMu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang luput dari-Mu. Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran.” (HR. Muslim no. 2713) []

SUMBER: RUMAYSHO

ISLAMPOS

Adab Menangih Utang

SALAH satu kegiatan ekonomi yang diatur dalam Islam adalah Utang. Islam membolehkan kita untuk melakukan Utang jika terdesak. Islam memberikan aturan dalam masalah utang-piutang, agar orang yang memberikan utang (kreditur) tidak terjebak dalam kesalahan dan dosa besar, yang akan membuat amalnya sia-sia. Dosa itu adalah dosa riba dan kedzaliman. Karena umumnya riba dan tindakan kedzaliman, terjadi dalam masalah utang piutang.

Akad utang (qard) dalam istilah fiqih juga dikenal dengan sebutan aqad al-irfaq (akad yang didasari atas rasa belas kasih). Dengan demikian, syariat tidak membenarkan segala macam praktik utang piutang yang memberatkan terhadap pihak yang berutang (muqtaridl) dan menguntungkan pihak yang memberi utang (muqridl).

Sebab, logika untung-rugi ini bertentangan dengan asas yang mendasari akad utang, yakni rasa belas kasih. Bahkan menurut mayoritas ulama, menentukan batas pembayaran utang oleh muqridl kepada muqtaridl adalah hal yang menyebabkan akad utang (qardl) menjadi tidak sah, sebab dianggap berlawanan dengan dasar disyariatkannya akad utang. Meskipun menurut mazhab Maliki, hal demikian masih dianggap wajar sehingga tetap dihukumi sah.

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: “Tidak sah mensyaratkan batas waktu pembayaran dalam akad utang menurut mayoritas ulama dan pensyaratan tersebut tetap sah menurut mazhab malikiyah,” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 5, hal. 3792).

Meski begitu, syariat memberikan hak bagi orang yang memberi utang (muqridl) untuk menagih utang kepada orang yang ia beri utang (muqtaridl) tatkala ia dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar utangnya. Berbeda halnya ketika muqtarid berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang. Dalam keadaan demikian, muqrid tidak diperkenankan (haram) untuk menagih utang pada muqtaridl dan ia wajib menunggu sampai muqtaridl berada dalam kondisi lapang.

Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: “Dampak-dampak dari adanya utang adalah adanya hak menagih utang dan hak membayar utang. Dan disunnahkan bersikap baik dalam menagih utang serta wajib menunggu orang yang dalam keadaan tidak mampu membayar sampai ketika ia mampu membayar utangnya, menurut kesepakatan para ulama,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 3, hal. 268).

Perintah untuk tidak menagih utang pada orang yang berada dalam keadaan tidak mampu, juga sesuai dengan firman Allah subhanahu wa Ta’ala: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Ulama Tafsir kenamaan, Syekh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menjelaskan perincian hukum yang berkaitan dengan ayat di atas dengan begitu jelas, simak penjelasan beliau dalam referensi berikut: “Ketika seseorang mengetahui bahwa orang yang ia beri utang dalam keadaan tidak mampu, maka haram baginya untuk menahannya (agar tidak kabur) dan haram pula menagih utang yang menjadi tanggungannya. Maka wajib untuk menunggu sampai ia mampu membayar. Jika ia masih ragu tentang ketidakmampuan orang tersebut untuk membayar utang, maka boleh untuk menahannya sampai telah jelas bahwa ia benar-benar tidak mampu.

Jika orang yang berutang mengaku dalam keadaan tidak mampu, namun orang yang memberi utang tidak mempercayainya, maka dalam keadaan demikian terdapat dua perincian: Jika utangnya berupa harta yang diserahkan padanya, seperti akad penjualan (yang belum dibayar) atau akad utang (qardl), maka wajib bagi orang yang utang untuk membuktikan dengan dua orang saksi bahwa harta yang diserahkan padanya telah tiada. 

Sedangkan jika utangnya berupa harta yang tidak diserahkan padanya, seperti ia telah merusak harta orang lain dan berkewajiban untuk mengganti rugi atau ia utang pembayaran mahar nikah, maka ucapan dari orang yang memiliki tanggungan dalam hal ini secara langsung dapat dibenarkan, sedangkan bagi orang yang memiliki hak harus menyertakan bukti yang mementahkan pengakuan orang yang memiliki tanggungan tadi, hal ini dikarenakan hukum asal dari orang yang memiliki tanggungan berada dalam keadaan tidak mampu,” (Syekh Fakruddin ar-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 4, hal. 44).

Dalam menagih utang, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan sopan, tidak dengan nada mengancam, apalagi sampai menuntut dibayar dengan nominal yang lebih, sebab hal tersebut merupakan tradisi buruk masyarakat jahiliyah Arab di zaman dahulu (Ibnu Katsir, Tafsir ibn Katsir, juz1, hal. 717).

Menunda Bayar Utang padahal Mampu adalah Kezaliman Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menagih utang merupakan hak yang diberikan oleh syariat kepada orang yang memberi utang. Pelaksanaan penagihan utang ini tidak terpaku pada waktu jatuh tempo pembayaran utang saja, sebab pensyaratan penetapan waktu tempo pembayaran utang ini hanya dibenarkan menurut mazhab malikiyah saja.

Sedangkan menurut mayoritas ulama, menagih utang dapat dilakukan kapan pun selama orang yang diberi utang (muqtarid) berada dalam keadaan mampu dan memiliki harta yang cukup untuk dibuat membayar utangnya.  Sedangkan dalam praktiknya, hendaknya menagih utang dilakukan dengan sopan serta mempertimbangkan etika sosial yang berlaku. Hal ini dilakukan tak lain agar hubungan antara orang yang memberi utang dan orang yang berutang tetap harmonis tanpa adanya pihak yang tersakiti, terlebih sampai memutus hubungan sosial yang sebelumnya berjalan dengan baik. Wallahu a’lam. []

SUMBER: ISLAM.NU

ISLAMPOS

7 Persiapan Menyambut Ramadhan

TAK terasa kita memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu agung yaitu bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, kedatangan Ramadhan tentu akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat, menuai pahala dan sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa. Namun, bagaimana cara kita menyambut Ramadhan sesuai dengan tuntunan syariat? Apa yang mesti kita persiapkan?

Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menurut penulis, banyak amalan yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut kedatangan bulan Ramadhan, di antaranya yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Swt agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Swt. Berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang hamil dan yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban. Sebagaimana Aisyah r.a tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan. Menuntut ilmu ibadah hukumnya wajib ’ain. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara beribadah dengan benar yaitu sesuai dengan petunjuk Nabi saw sehingga ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar tersebut dengan berkata: ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu ibadah tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Ibadah tanpa mengikuti petunjuk Rasulullah saw tidak akan diterima Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang mengada-adakan urusan baru dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan berasal daripadanya, maka amalannya ditolak” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami, maka amalannya ditolak”. (HR. Muslim)

Ibadah yang dilakukan tanpa petunjuk Rasul saw tidak hanya ditolak, namun juga menuai murka Allah Swt. Rasul saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) itu bid’ah, dan semua bid’ah itu kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah).

Rasulullah saw juga bersabda: ”Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk urusan adalah mengada-adakan urusan baru (dalam agama). Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Suatu ibadah akan diterima oleh Allah Saw bila dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk mempersiapkan keilmuan kita dengan membaca kitab/buku mengenai Fiqh Puasa dan ibadah yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus Al-Quran, i’tikaf dan lainnya, agar ibadah kita sesuai Sunnah Nabi saw.

Kempat, persiapan jiwa dan mental. Persiapan ini penting dilakukan, agar jiwa kita siap untuk beribadah dengan full time dan optimal pada bulan Ramadhan. Caranya, dengan memperbanyak puasa sunnat di bulan sebelumnya (minimal di bulan Sya’ban) seperti puasa sunnat Senin dan Kamis, puasa ayyamul bidh (hari ke 13, 14, dan 15 pertengahan bulan hijriah) dan puasa Nabi Daud (sehari berpuasa dan sehari berbuka). Terlebih lagi pada bulan Sya’ban kita sangat dianjurkan memperbanyak puasa sunnat. Aisyah r.a berkata: “Aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa (sunnat) sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban. (HR. Muslim).

Adapun pengkhususan ibadah seperti shalat malam dan puasa pada nisfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka menurut para ulama perbuatan itu tidak ada satupun dalil shahih yang mensyariatkannya. Puasa nisfu Sya’ban tidak dikerjakan dan tidak pula diperintahkan oleh Nabi saw.

Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan kebanyakannya maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, para ulama Fiqh tidak menyebutkan dalam kitab-kitab Fiqh mereka bahwa shalat malam nisfu Sya’ban itu sebagai shalat Sunnat dan puasa nisfu Sya’ban itu sebagai puasa sunnat. Bahkan para ulama hadits menjelaskan kepalsuan hadits-hadits tersebut.

Imam Ibnu Al-Jauzi telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam berbagai persoalan agama, termasuk mengenai keutamaan nishfu Sya’ban di dalam kitabnya yang beliau beri nama Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dalam kitab tersebut.

Begitu pula Imam Ibnul Qayyim mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam kitabnya Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban itu maudhu’ (palsu).

Syaikh Al-Mubarakfuri berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits yang sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazii: 3/444).

Dalam kitabnya Al-Fataawaa, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut berkata: “Yang shahih dari Nabi saw dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semuanya. Tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya.

Dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan, khususnya memperbanyak puasa untuk melatih jiwa dalam berpuasa dan untuk persiapan menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka sehingga tidak menyusahkan mereka. Nabi saw pernah ditanya: “Puasa apa yang utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.”

Mengangungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nisfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nisfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi Saw dan tidak dilakukan oleh para generasi sahabat.” (Al-Fataawaa: 165-166).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, beliau berkata: “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Dalam kitabnya Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada haditS shahih mengenai puasa nisfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah swt.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha: 421).

Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Ash-Shiyam berkata: “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nisfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti Senin dan Kamis, atau puasa pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15) setiap bulan hijriah, maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah. (Fiqh Ash-Shiyam: 138)

Syaikh Usamah Abdul Azis berkata: “Menetapkan puasa secara khusus pada nishu Sya’ban tanpa hari-hari lain karena meyakini keutamaan yang tidak dimiliki hari-hari lain adalah perbuatan bid’ah. Ini karena tidak ada dalil yang shahih yang menjelaskannya. Hadits-hadits yang ada dalam masalah ini adalah hadits yang sangat lemah dan bahkan palsu.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 68)

Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan: “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw tentang anjuran shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban secara khusus dan puasa pada siang harinya secara khusus pula. Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada nisfu Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, tapi hari itu secara kebetulan.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 70)

Termasuk persiapan jiwa dan mental yaitu dengan cara membiasakan diri melakukan shalat-shalat sunnat dan memperbanyak membaca Al-Quran sebelum kedatangan Ramadhan, agar kita terbiasa melakukannya sehingga memudahkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada bulan Ramadhan nantinya.

Kelima, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Bila kita sehat, maka kita dapat melakukan ibadah dengan baik dan optimal. Namun bila kita sakit, maka ibadah kita terganggu. Rasul saw bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim) Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Keenam, persiapan dana. Pada bulan Ramadhan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Maka, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan Ramadhan. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita, karena mengikuti sunnah Rasul saw. Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana untuk berbuka puasa dan sahur. Begitu pula persiapan dana untuk keluarga selama i’tikaf, agar dapat beri’tikaf dengan baik tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Di samping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, di antaranya adalah melakukan tarhib Ramadhan. Tarhib Ramadhan adalah mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan seputar puasa Ramadhan, adab-adabnya, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya yang dapat kita lakukan secara maksimal di bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau memberikan penjelasan mengenai puasa dan keutamaan Ramadhan kepada para shahabat.

Akhirnya, marilah kita sambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan suka cita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal pada Ramadhan ini. Kita berdoa dan berharap kepada Allah Swt semoga ibadah kita selama ini dan di bulan Ramadhan nanti diterima. Dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan kali ini dan dapat meraih berbagai keutamaannya. []

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara
yusranhadi@yahoo.com

ISLAM POS

Bulan Puasa Ramadhan 2021 Sebentar Lagi, Berikut 6 Amalan menyambutnya

Bulan Ramadhan 2021 sudah tidak lama lagi atau tidak kurang dari 2 bulan ke depan umat muslim akan menyambut bulan suci penuh ampunan dan akan menjalankan puasa ramadhan.

Oleh karena itu Kalbarsatu.id bakal update informasi terkait bulan puasa ramadhan 2021. Berikut kami sajikan 6 Amalan menyambut Bulan Suci ramadhan.

Bulan suci atau Ramadhan 2021 sebentar lagi akan datang.

Menyambut bulan ramadhan 2021 tentu ada amalan-amalan yang kerjakan oleh setiap umat muslim.

Artikel ini memuat 6 Amalan Menyambut Bulan Suci Ramadhan 2021.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang selalu diistimewakan oleh umat Islam di setiap tahunnya, dimana, semua amal ibadah kita dilipat gandakan pada bulan ini.

Maka dari itu, penting untuk kita mempersiapkan diri sebaik mungkin, salah satunya dengan melakukan amalan yang bisa dilakukan sebelum Ramadhan tiba.

Meskipun bukan hal yang wajib, namun bisa membuatmu lebih dekat dengan Allah SWT dalam menjalani bulan suci Ramadhan nantinya. Serta bisa membuatmu lebih nyaman dalam menjalani puasa Ramadhan nantinya.

Berikut ini beberapa amalan menyambut ramadhan 2021 yang telah dikutip dari liputan6.com:

  1. Saling memaafkan kepada sesamanya

Amalan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan saling memaafkan kepada antar umat lainnya. Saat akan memasuki bulan suci Ramadhan kamu harus bersih dari segala kesalahan, artinya saat kamu akan menjalani puasa Ramadhan, kamu harus bersih secara lahir maupun batin.

Sehat lahir artinya kamu harus mempersiapkan fisik yang sehat. Seperti mempunyai badan yang sehat bebas dari penyakitan.

Sedangkan untuk kesucian batin kamu harus bebas dari segala dendam, pikiran buruk, sakit hati, dan masalah lainnya. Dengan begitu kamu akan lebih nyaman dalam menjalani bulan suci Ramadhan nantinya.

  1. Bertobatlah kepada Allah SWT

Selain dianjurkan untuk saling memaafkan antar umat, juga sangat dianjurkan untuk memohon ampunan kepada Allah SWT. Seorang muslim di anjurkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan dengan taubat bersungguh-sungguh kepada Allah SWT.

Dengan melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, kamu akan menjalani bulan suci Ramadhan dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang, karena kamu telah memohon ampunan kepada Allah SWT.

  1. Membayar hutang puasa (jika tahun-tahun yang lalu mempunyai hutang)

Saat akan menjelang bulan suci Ramadhan sudah seharusnya untuk membayar hutang puasa di tahun sebelum-sebelumnya. Ini dilakukan jika pada bulan Ramadhan tahun yang lalu ada puasanya yang batal.

Dalam bahasa Arab puasa ini disebut dengan Qadha, ini laksanakan sesuai hutang puasa yang dimilikinya. Mengenai membayar hutang puasa Ramadhan sudah dijelaskan oleh Allah dengan firman-nya yang terdapat pada surat Al Baqarah ayat 184 yang berbunyi :

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. maka barangsiapa diantara kamuada yang sakit atau dalam
Perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) maka membayar fidyah, yaitu : memberi makan seorang miskin.

Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik jika kamu mengetahui.”

  1. Sambut bulan suci Ramadhan dengan hati penuh kegembiraan

Yang tak kalah pentingnya lagi adalah menyambut bulan suci Ramadhan dengan kegembiraan, caranya bisa dengan memperbanyak rasa syukur karena telah dipertemukan lagi di bulan suci Ramadhan. Serta mempersiapkan makanan yang sunnah untuk buka puasa nantinya.

Rasulullah SAW dan para sahabatnya selalu menyambut bulan suci Ramadhan dengan hati penuh kegembiraan. Namun melepaskannya dengan seruan tangisan. Seperti dalam hadits Darrutun Nasihin, yang artinya :

“Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan suci Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.”

  1. Mempelajari ilmu-ilmu mengenai bulan suci Ramadhan

Menjelang masuknya bulan suci Ramadhan, sebaiknya kita mempelajari tentang ilmu-ilmu mengenai keutamaan dan agar puasa kita diterima oleh Allah SWT. Baik itu karena lupa maupun belum mengetahui.

Karena syarat diterimanya amal ibadah kita selain ikhlas melaksanakannya, juga harus mutaba’ah, yaitu amal ibadahnya harus benar sesuai dengan ajaran syariat dan sunah.

Maka dari itu penting untuk menyegarkan kembali pelajaran mengenai ilmu fiqh ibadah bulan suci Ramadhan. Semisalnya dengan ilmu fiqh puasa, cara dan keutamaan shalat tarawih, tentang Zakat, dan ilmu-ilmu ibadah lainnya.

  1. Berdoa kepada Allah SWT Berdoa menjelang bulan suci Ramadhan sangat dianjurkan, berdoa agar dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan tersebut, dikaruniai umur yang panjang, dilancarkan puasanya, dilancarkan rezeqinya, dan berdoa agar selalu dikaruniai badan yang sehat welafiat agar puasanya tidak terhambat.

Inilah beberapa amalan yang bisa diamalkan menjelang tibanya bulan suci Ramadhan agar ibadah kita baik dan benar.

Semoga bermanfaat.

KALBAR1

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya, dan seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, mencegah hilangnya pekerjaan dan harta saudaranya, serta menjaga segala urusan saudaranya ketika tak berada di tempat [1]” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).

Cermin fisik dan maknawi [2]

Cermin secara fisik adalah sebuah alat yang memantulkan gambar sesuatu dengan sempurna, besar dan bentuknya sama, serta sesuai dengan aslinya.

Apabila seseorang yang bercermin itu berwajah bersih, maka cermin akan memantulkan gambarnya dengan wajah bersih pula, namun apabila ia berwajah penuh kotoran, maka cermin akan memantulkan gambarnya dengan wajah penuh kotoran pula, sesuai dengan kenyataannya, baik orang yang bercermin itu suka atau tidak.

Normalnya, orang yang bercermin lalu melihat ada kotoran pada wajahnya, ia akan membersihkan wajahnya dari kotorannya, bukan malah marah kepada cermin dan menyalahkan cermin yang memantulkan gambar kotoran wajahnya, apalagi sampai memecahkannya.

Itulah “cermin fisik” yang menampakkan kotoran fisik manusia dan dapat dilihat oleh mata manusia.

Namun, ada kotoran pada diri manusia yang tidak bisa ditampilkan oleh cermin fisik; yakni, kotoran maknawi yang berbentuk dosa dan sifat aib.

Seorang manusia untuk bisa melihat kotoran dosa dan sifat aibnya membutuhkan “cermin maknawi” yang menginformasikan dengan jujur tentang dosa dan kesalahannya.

Dan cermin maknawi itu ada pada diri seorang mukmin, saat menasihati saudaranya yang beriman.

Hanya saja di zaman ini, jarang ditemukan orang yang benar-benar mau dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam, menasihati saudaranya dengan menunjukkan kesalahannya, kecuali biasanya jika ia sedang bermusuhan atau sedang marah atau hasad/iri, barulah ia menyebutkan keburukan saudaranya, itupun didorong karena rasa jengkel [3].

Ada ungkapan indah,

الصديق مَن صَدَقَك لا مَن صدَّقك

“Teman baik itu orang yang jujur padamu dan bukan yang selalu membenarkanmu.”

Maksudnya, teman yang baik adalah sosok yang jujur dalam menasehatimu sehingga hal itu membantumu untuk taat kepada Allah, dan bukan sosok yang selalu berbasa-basi membenarkan seluruh tindak tandukmu meski sesungguhnya engkau terjatuh dalam suatu kesalahan, dengan dalih agar tidak merenggangkan pertemanan denganmu, padahal justru sikap tersebut menjerumuskanmu dalam jurang Neraka.

Antara cermin dan mukmin

Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) menuntut hubungan antara muslim yang satu dengan yang lainnya dibangun atas saling mencintai karena Allah, diwujudkan dalam berbagai ucapan maupun perbuatan yang mempererat persaudaraan seiman dan menghindari segala hal yang merusak ukhuwwah Islamiyyah.

Hadis yang agung di atas, hakikatnya menggambarkan salah satu tuntutan persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah), yaitu saling menasihati dan saling menginginkan kebaikan untuk saudaranya seiman serta saling menghindarkan segala keburukan darinya, karena seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.

Saudaraku seiman, oleh karena itu engkau adalah cermin bagi saudaramu, maka perhatikanlah keadaan saudaramu dan saudaramu cermin bagimu yang memperhatikan keadaanmu [4].

Jika anda melihat kebaikan atau keburukan saudaramu, maka tugasmu adalah memantulkan “foto” saudaramu sebagai bentuk nasihat untuk saudaramu dan sebagai tuntutan ukhuwwah Islamiyyah, persaudaraan seiman.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.”

Maksudnya adalah seorang yang beriman, karena kecintaannya kepada saudaranya karena Allah, maka ia begitu perhatian kepada saudaranya, setiap kali melihat kesalahan pada diri saudaranya, maka ia memandangnya dengan pandangan cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas, ia tidak tinggal diam, akan tetapi ia bersegera menasihatinya empat mata dan mengingatkannya dengan lembut dan hikmah, tidak kasar agar saudaranya tersebut mudah meneriman nasihatnya dan segera memperbaikinya.

Demikian pula, dia pun tidak tinggal diam apabila dia melihat ada bahaya mengintai saudaranya, baik berupa teman buruk, dai yang menyeru kepada Jahannam, bahaya duniawi maupun ancaman bahaya lainnya, maka ia segera memperingatkan saudaranya dengan lembut dan hikmah, tidak kasar, karena cintanya lillahi ta’ala sebagai tuntutan persaudaraannya seiman dan ingin saudaranya masuk surga bersama dirinya [5].

Sebagaimana juga, apabila ia melihat kebaikan pada saudaranya, maka iapun menyebutkannya dalam bentuk mendorongnya, menyemangatinya, menguatkan keimanannya, dan menolongnya sehingga saudaranya riang, semangat, ringan dan terbantu melakukan kebaikan tersebut [6].

[Bersambung, insyaallah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Ketika Berburuk Sangka Pada Orang Lain, Tebuslah dengan Amalan dan Doa Ini

Berburuk sangka pada orang lain dikenal dengan istilah su’uzhon. Su’uzhon adalah berburuk sangka pada orang lain tanpa ada dasar yang jelas.

Dalam Islam, berburuk sangka pada orang lain atau su’udzon ini merupakan sifat tidak terpuji yang harus dihindari sebisa mungkin. Bahkan ulama sepakat bahwa su’uzhon hukumnya haram dan pelakunya berdosa.

Oleh karena itu, jika kita terlanjur berburuk sangka kepada orang lain, maka kita harus segera membaca istighfar kepada Allah Swt. Selain itu, kita harus segera menebus dosa su’uzhon tersebut dengan membaca surah-surah Al-Qur’an dan doa berikut;

Pertama, membaca surah Al-Fatihah sekali.

Kedua, membaca surah Al-Ikhlas sekali.

Ketiga, membaca surah Al-Falaq sekali.

Keempat, membaca surah Al-Nas sekali.

Kemudian kita berdoa kepada Allah Swt. agar pahala bacaan surah-surah Al-Quran tersebut diberikan pada orang yang padanya kita telah berburuk sangka sebagai tebusan. Doanya adalah sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ وَأَثِبْنِيْ عَلَى مَا قَرَأْتُهُ وَاجْعَلْهُ فِيْ صَحِيْفَةِ عَبْدِكَ فُلاَنٍ….

Ya Allah, berilah rahmat dan keselamatan pada Nabi-Mu dan kekasih-Mu, junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, dan berilah aku pahala atas apa yang telah aku baca dan tulislah pahala tersebut di buku catatan amal hamba-Mu..(sebut nama).

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Abdul Baqi Al-Ayyubi dalam kitab Al-Manahil Al-Salsalah fi Al-Ahadis Al-Musalsalah berikut;

ومن ادابه اذا وقعوا في سوء ظن بأحد او غيبة ولم يعلم بها صاحبه فليقرءوا ام القرأن وسورة الاخلاص والمعوذتين ويهدوا ذلك في صحيفة من اساءو الظن به او اغتابوه وكيفية الاهداء ان يقول: اللهم صل وسلم على نبيك وحبيبك سيدنا محمد واثبني على ما قرأته واجعله في صحيفة عبدك فلان. فان الشيخ ابو المواهب راى النبي صلى الله عليه وسلم في المنام وامره بذلك

Di antara ada orang yang melakukan buruk sangka pada orang lain, atau melakukan ghibah, maka hendaknya dia membaca surah Al-Fatihah, surah Al-Ikhlas, Al-Mu’awwidzitain, dan kemudian dihadiahkan untuk ditulis di buku catatan amal orang yang padanya dia telah berburuk sangka atau melakukan ghibah.

Cara menghadiahkannya adalah sebagai berikut; Ya Allah, berilah rahmat dan keselamatan pada Nabi-Mu dan kekasih-Mu, junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, dan berilah aku pahala atas apa yang telah aku baca dan tulislah pahala tersebut di buku catatan amal hamba-Mu…(sebut nama).

Hal ini karena Syaikh Abu Al-Mawahib pernah bermimpi bertemu Nabi Saw, dan beliau menyuruh padanya untuk melakukan hal itu.

BINCANG SYARIAH

Inilah Perbedaan antara Ruqyah Sesuai Syariat dan yang Syirik

Dalam Islam, tidak semua ruqyah diperbolehkan. Hal ini dikarenakan, ada ruqyah yang dijalankan sesuai dengan tuntunan syariat; dan ada juga yang pada praktiknya justru merupakan bagian dari perbuatan syirik; padahal dalam ajaran Islam, syririk adalah dosa besar yang tak akan diampuni kecuali bertaubat nasuha (sungguh-sungguh). Oleh karena itu, agar tidak salah kaprah dalam membedakan mana ruqyah yang sesuai syariat (syar’i) dan mana yang syirik (syirki), maka pembahasan ini menjadi begitu penting.

Dalam buku “al-Ruqyah al-Syar’iyyah” (2006: 69), Syekh Muhammad Yusuf Al-Jaurani menyampaikan macam-macam ruqyah dalam Islam. Ruqyah itu, tulisnya, terbagi menjadi dua macam. Pertama, ruqyah syariyah. Yaitu ruqyah yang bersumber dari Al Quran, hadits nabi beserta doa-doa umum yang tak menyalahi doa yang terkandung dalam dua sumber inti itu. Selain itu, yang menjalankan ruqyah syar’i hanyalah orang yang saleh dan bertakwa. Tidak mungkin orang yang kepribadiannya buruk, akhlaknya tercela dan ibadahnya buruk bisa menjalankan ruqyah syar’i. Ruqyah yang semacam inilah sebenarnya yang dibolehkan Islam.

Sedangkan yang kedua, adalah ruqyah ‘syirky’ (yang mengandung unsur syirik di dalamnya). Ruqyah macam ini adalah setiap praktik ruqyah berupa kata-kata dan ujaran lisan yang tidak dimengerti maknanya (komat-kamit laksana dukun). Di samping itu, juga menggunakan lafal yang majhul (tak dipahami); susah diucapkan. Maka yang demikian ini merupakan jimat, tangkal, jampi-jampi atau mantra. Ruqyah demikian dilakukan melalui bantuan setan dan pengikutnya. Dalam paradigma syariat ini disebut syirik dan haram dikerjakan. Tidak boleh meruqyah orang dengan cara seperti ini.

Lalu, apa perbedaan antara keduanya secara spesifik? Soal ini dijawab dengan sangat baik oleh Imam Al-Khattabi Rahimahullah. Kata beliau, “Perbedaan antara ruqyah yang diperintah oleh nabi dengan ruqyah yang dibenci dan dilarang beliau adalah sebagai berikut: yaitu ruqyah yang terkandung di dalamnya ayat-ayat Al Quran terkait perlindungan seperti dzikir kepada Allah, ‘asmaul husna’ yang dibacakan oleh orang-orang baik dan pilihan yang berhati suci. Dengan izin Allah, ruqyah ini akan memberi kesembuhan bagi orang sakit. Ini semacam pengobatan ruhani.”

Beliau melanjutkan, “Ruqyah semacam itulah yang terjadi pada zaman dahulu di masa ketika orang-orang saleh dan pilihan masih banyak. Dan pada kenyataannya, banyak sekali yang sembuh atas izin Allah dan bisa terhindar dari berbagai macam bala. Nah, ketika orang seperti itu mulai langka (karena sudah tak seperti pendahulunya yang bisa memberi kesembuhan atas izin Allah dikarenakan bacaan-bacaan ruqyah yang dikumpulkan sudah kehilangan makna akibat kelangkaan orang saleh), maka orang-orang pada mencari alternatif pergi ke dokter jasmani.”

Dari penjelasan Al-Khattabi Rahimahullah, ada beberapa perbedaan mencolok antara ruqyah yang sesuai syariat dan yang syirik: Pertama, ruqyah syar’iyah dilakukan oleh orang yang saleh dan pilihan bukan sembarang orang. Sementara yang syirik dilakukan oleh orang yang tidak saleh dan bekerjasama dengan setan. Kedua, ruqyah syar’i bersumber dari Al Quran dan sunnah atau doa yang tak bertentangan dengan keduanya. Sedangkan yang syirik adalah berasal dari luar sumber tersebut yang menyalahi syariat Islam. Ketiga, konten atau bacaan ruqyah syar’i itu mudah dipahami dan dimengerti maknanya; adapun yang syirik sulit dimengerti dan sukar dipahami laksana mantra-mantra yang dibaca oleh mbah dukun.

Demikianlah perbedaan antara ruqyah syar’i dan yang syirki. Semoga pembaca yang budiman tidak salah dalam mempraktikkannya.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

SUARA MUSLIM