Pengertian Kalalah dalam Hukum Waris Islam

Apakah pengertian Kalalah dalam hukum waris Islam? Berikut penjelasannya.

Dalam Alquran, kata kalalah disebutkan sebanyak dua kali. Berada dalam satu suroh, yakni Q.S an-Nisa ayat 12 dan 176.  Allah berfirman:

وَاِنۡ كَانَ رَجُلٌ يُّوۡرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امۡرَاَةٌ وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوۡ اُخۡتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ‌ ۚ فَاِنۡ كَانُوۡۤا اَكۡثَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصٰى بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ ۙ غَيۡرَ مُضَآرٍّ‌ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ‌ ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَلِيۡمٌ.

wa ing kana rajuluy yụraṡu kalalatan awimraatuw wa lahu akhun au ukhtun fa likulli waḥidim min humas sudus, fa ing kanu  aksaro min zalika fa hum syurakau fis sulus mim ba’di waṣiyati yụṣa biha au dain gaira muḍarrin, waṣiyyatan minallah, wallāhu ‘alimun ḥalim

Artinya: Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

Dan juga firman Allah dalam an-Nisa ayat 176:

يَسۡتَفۡتُوۡنَكَ ؕ قُلِ اللّٰهُ يُفۡتِيۡكُمۡ فِى الۡـكَلٰلَةِ‌ ؕ اِنِ امۡرُؤٌا هَلَكَ لَـيۡسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗۤ اُخۡتٌ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَ‌ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَاۤ اِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّهَا وَلَدٌ‌

Yastaftuunaka qulillaahu yaftiikum fil kalaalah; inimru’un halaka laisa lahuu waladunw wa lahuu ukhtun falahaa nisfu maa tarak; wa huwa yarisuhaaa il lam yakkul lahaa walad

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak.

Lantas, apa itu pengertian Kalalah?

Pengertian Kalalah menurut Ibn Arabi

Menurut Ibn Arabi dalam kitab tafsir Ahkamul al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat tentang kalalah.  Ibn Arabi berkata:

:وختلف العلماء فيالمراد بالكلالة على ثلاثة اقسام

الاول ; ان قوما اختاروا ان الكلالة  من لا ولد له ولا والد, وهو قول ابي بكر الصدي

Artinya: para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari Kalalah. Terdapat tiga pengertian tentang makna kalalah.

Pertama: pengertian kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak dan orangtua. Ini adalah pendapat Abu Bakar as-Siddiq.

الثاني ; من لا ولد له وان كان له اب او اخوة

Artinya: Seorang yang tidak mempunyai anak, yang ada ayah dan saudari perempuan.

Selanjut Ibn Arabi berkata:

الثالث : وهو ان الكلالة المال

Artinya: pengertian Kalalah itu hanya harta waris saja.

Pendapat pertama dan kedua tampaknya lebih kuat untuk menjelaskan makna dari Kalalah. Hal itu bisa dilihat ketika Ibn Arabi menafsirkan Q.S an-Nisa ayat 176. Sang Syekh Akbar dari Andalusia menjelaskan:

مسماة

Artinya: Para ulama kita menjelaskan makna ayat ini (baca: an-Nisa ayat 176) adalah jika tidak ada bagi mayit itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka ia mewarisi kalalah. Maka bagi saudari perempuannya setengah sebagaimana disebutkan.

Pengertian Kalalah  menurut Imam at-Thabari

Selanjutnya, Pengertian Kalalah Dalam Hukum Waris Islam,secara panjang lebar dijelaskan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab Tafsir Thabari Jami’u al-bayan an Ta’wili al-Qur’an Ia berkata para ulama berbeda pendapat terkait makna kalalah.

هي ما خلا الوالد والولد

Artinya: orang yang meninggal tak mempunyai orang tua dan anak.

Selanjutnya ada pendapat tentang kalalah adalah orang yang tak punya anak . At-Thabari berkata:

و قال الاخرون; الكلالة ما دون الولد

Artinya: Para ulama yang lain mengatakan bahwa kalalah orang yang tak memiliki anak.

Pendapat selanjutnya ada juga yang mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tak mempunyai orangtua:

قال آخرون; الكلالة ما خلا الوالد

Artinya: Ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalalah adalah orang yang tak memiliki orang tua.

Ada juga ulama yang mengatakan pengertian  kalalah adalah harta warisan yang diwariskan si mayit, apabila ada saudara laki-laki atau saudara perempuan atau selain mereka, dan keadaan si mayit itu tak punya anak dan ayah.

Ibn Jarir berkata:

.الكلالة هيالوارثة الذين يرثون الميت, اذا كانوا اخوة او اخوات او غيرهم, اذا لم يكونوا ولدا ولا والدا

 Artinya: Kalalah itu harta warisanyang diwariskan diwariskan simayyit, apabila mereka itu ada saudara laki-laki atau saudara perempuan atau selalin mereka. Dan si mayit meninggal tanpa ada orangtua dan ayah.

Pada kesimpula akhir, at-Thabari   berkata bahwa makna kalalah adalah orang meninggal yang tidak meninggalkan ahli waris dari golongan ibu-bapak dan anak.

Kalalah dalam Kompilasi Hukum Islam

Sementara definisi kalalah  yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam adalah orang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak:  anak laki-laki atau anak perempuan, dan ayah pewaris telah wafat lebih dahulu dari pewaris.

Pasal 182 KHI mengatur bahwa:

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Demikianlah pengertian kalalah dalam hukum waris Islam.

BINCANG SYARIAH

Dimana Ibunda Nabi Yusuf as?

Mungkin kita heran mengapa dalam kisah Nabi Yusuf as tidak pernah disebutkan tentang ibunda beliau ? Kecuali sempat disinggung sedikit dalam sebuah ayat :

وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS.Yusuf:100)

Dan ibunda Yusuf as juga disinggung dalam mimpi Nabi Yusuf as ketika beliau bermimpi sebelas bintang, matahari dan bulan. Bulan yang dimaksud adalah ibunya.

Dan tidak ada lagi kisah ibunda Yusuf as kecuali dalam dua kisah ini. Padahal jika kita bayangkan, tentu kesedihan seorang ibu akan lebih besar dari kesedihan seorang ayah ketika kehilangan anaknya.

Jawaban singkatnya, bahwa ibu Yusuf as meninggal ketika melahirkan Benyamin, adik Nabi Yusuf as. Dan yang dilihat di dalam mimpi yang digambarkan sebagai bulan yang bersujud kepada beliau adalah ibu tiri yang mengasuhnya. Dan ia adalah ibu dari saudara-saudara yang berencana jahat kepadanya.

Istri Nabi Ya’kub ini memiliki hati yang baik, namun kasih sayangnya kepada anak kandungnya lebih besar sehingga walaupun ia bersedih ketika Yusuf as hilang tapi tidak sebanding dengan kesedihannya Nabi Ya’kub as.

Nah, dari ayat yang disebut di atas tadi kita dapat mengambil makna pemilihan kata yang sangat indah.

وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS.Yusuf:100)

Ayat ini menggunakan kalimat أَبَوَيه bukan kalimat وَالِدَيهِ.

Karena kata “abawaihi” artinya ayah dan ibu yang mengasihnya, sementara “walidaihi” memiliki arti ayah dan ibu yang melahirkannya atau yang bersambung secara nasab.

Kata “abawaihi” artinya dua orang tua tapi lebih dominan kepada ayah. Sementara kata “walidaihi” artinya juga kedua orang tua tapi lebih dominan kepada ibu karena kata ini diambil dari kata “wiladah”yang artinya kelahiran. Dan itu adalah sifat khusus bagi seorang ibu.

Dari sini kita dapat memahami firman Allah Swt.

وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS.Al-Isra’:23)

Ayat ini menggunakan kata “walidaini” sebagai isyarat bahwa hak seorang ibu lebih besar dari hak seorang ayah untuk dijaga, diperhatikan dan disenangkan oleh anaknya.

Begitu indahnya bahasa Al-Qur’an dalam setiap pemilihan katanya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Tiga Cara Mempertebal Keimanan

Dalam beragama, keimanan adalah pondasi utama. Orang-orang yang beriman (mukmin) ialah mereka yang meyakini ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad. sebuah hadis bahkan mengarahkan kepada kita untuk meninggalkan sesuatu yang membuat kita ragu menuju sebuah keimanan (al-yaqin).

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقاَلَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

(Diriwayatkan) dari Abi Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

Salah sebuah kaidah fikih juga menjeaskan tentang prinsip keimanan dalam beragama. Sebagaimana yang sering kita dengar, “Sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan” (al-yaqinu la yuzalu bis syakki). Oleh karena itu, membangun sebuah keimanan dalam beragama sangat penting dilakukan. Apalagi di alam informasi yang serba ada dan kompleks ini. Memperkuat keyakinan dan mempertebal keimanan kita sebagai seorang muslim sangat diperlukan, lalu bagaimana caranya?

Sayyid Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awwanah menuturkan tiga cara mempertebal keimanan seseorang. Pertama, keimanan akan muncul jika seorang hamba mendengarkan dengan hati dan telinganya tentang tanda-tanda kebesaran Allah, kebenaran rasul-Nya, dan peristiwa di hari akhir yang berada dalam Al-Quran dan hadis.

Salah satu peristiwa yang menggambarkan ini ialah saat sahabat Umar mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an hingga terenyuh dan memeluk Islam. Kedalaman makna dan keindahan kalimatnya menunjukan bahwa Al-Qur’an bukanlah ciptaan manusia. Tidak mungkin seorang Muhammad yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) mampu merekayasa sebuah mahakarya semacam itu.

Kedua, seorang hamba akan semakin kuat keimanan atas agamanya saat melihat realitas alam yang telah diciptakan tuhan sebagai tanda-tanda keberadaan-Nya (ayat kauniyah). Langit, bumi, dan segala hal yang berada di dalamnya dapat menjadi petanda untuk memperkuat keimanan seorang hamba.

Para filsuf muslim telah meneladankan dengan kemampuan penalaran rasional dan ilmiah atas ralitas semesta, justru tidak membuat mereka meragukan kebesaran dan kebanaran Islam, melainkan semakin memperkokoh keimanan. Pada era inilah, justru Islam mengalami kemajuan pesat. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan penghayatan alam semesta menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang menjadi pilar kemajuan peradaban dunia.

Ketiga, melakukan secara terus menerus apa yang sudah diajarkan dalam agama. Hanya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya secara istiqomah (konsisten) akan menumbuhkan keimanan yang kuat terhadap agama. Jika ilmu dimulai dengan meragukan segala hal, mengobservasi dan meneliti, hingga menemukan kesimpulan yang meyakinkan maka agama dimulai dengan meyakini, kemudian mengamalkan apa yang menjadi ajaran agama, dan semakin kuat keimanan itu.

Para guru sufi biasanya mengajarkan ilmul yakin ini dengan cara yang ketiga. Dalam bahasa tasawuf, dikenal istilah riyadhoh yang merupakan latihan spiritual dengan mengamalkan ajaran agama secara lahir dan batin. Puncaknya, akan muncul sebuah keimanan yang sejati yang dalam bahasa imam al-Ghazali disebut dengan haqq al-yaqin (sebenar-benarnya keimanan).

Semoga kita semua tetap selalu diberikan taufiq dan hidayah-Nya agar senantiasa menjadi muslim yang terjaga keimanannya hingga akhir hayat. Amin.

BINCANG SYARIAH

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 3): Najis dan Cara Menyucikannya

Baca pembahasan sebelumnya Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 2): Thaharah

Sebagaimana telah dikemukakan dalam artikel sebelumnya tentang thaharah. Maka penting pula bagi kita untuk mengetahui secara terperinci tentang jenis najis/kotoran yang mesti kita bersihkan serta bagaimana tata cara menyucikannya yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai syarat sahnya shalat.

Untuk memudahkan pemahaman kita Syaikh Sa’id membagi najis ke dalam beberapa macam sesuai dengan nash yang sahih, di antaranya :

  1. Air kencing dan kotoran manusia

Terdapat beberapa jenis najis dari air kencing dan kotoran manusia yang umum kita temui. Secara umum pula cara menyucikannya dilakukan dengan membasuh dan menghilangkannya. Adapula yang diperinci seperti bekas kencing anak laki-laki dan anak perempuan. Jenis najis/kotoran ini dapat disucikan dengan cara diperciki dan disiram dengan air saja pada bagian yang terkena tanpa harus dibasuh dan diperas dengan tangan. [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَول الغُلامِ يُنضَح وَبول الجَارِيةِ يُغْسَلُ و هَذَا مَا لَمْ يَطْعمَا فَإذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا

 “Bekas kencing anak laki-laki itu disucikan dengan diperciki, sedangkan bekas kencing anak perempuan dengan dicuci. Selama keduanya belum mengonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengonsumsi makanan, harus dibasuh semuanya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  1. Ujung Pakaian Wanita

Islam mengajarkan umatnya segala lini kehidupan, termasuk di antaranya adalah ajaran tentang adab berpakaian. Khusus untuk muslimah, diatur pula sedemikian rupa tata cara perpakaian agar terjaga dan terlindungi dari fitnah yang dapat mencelakai diri dan agamanya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan tentang batasan pakaian wanita melalui fatwanya :

المشروع سترهما بالجوربين أو بإرخاء الثياب ، أرخت الثياب حصل المطلوب ولو ما كان هناك

“Disyariatkan menutup kedua kaki dengan kaus kaki atau dengan menjulurkan pakaian. Jadi pakaian dijulurkan hingga cukup untuk menutup kedua kaki jika tidak memakai kaus kaki”. [2]

Dengan demikian, pakaian wanita muslimah rentan terkena kotoran karena pakaian wanita disyariatkan untuk menutup kedua kakinya. Namun, kotoran tersebut akan secara otomatis disucikan oleh tanah di mana ia berjalan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahualaihi wa sallam :

 يُطْهَرُ مَا بَعْدَهُ

 “Ia disucikan oleh tanah berikutnya” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah)

  1. Darah Haidh

Darah haidh juga termasuk dalam najis/kotoran yang mesti dibersihkan dengan cara mengusap dan membasuhnya dengan air. Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda

 تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتصَلِّي فِيْهِ

 Menyikatnya, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu dibolehkan mengerjakan shalat dengan mengenakannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Wadi, Madzi dan Mani

Ketiga jenis najis ini merupakan cairan yang keluar dari kemaluan manusia dengan sebab dan kondisi yang berbeda serta masing-masing jenis beda pula cara menyucikannya.

Wadi merupakan cairan putih, pekat dan agak keruh keluar setelah buang air kecil. Wadi dapat disucikan cukup dengan membersihkan kemaluan kemudian berwudhu [3].

Sementara madzi adalah cairan putih, tipis dan sedikit kental yang keluar pada saat bercumbu atau memikirkan hal yang berkaitan dengan aktivitas bersetubuh. Madzi dapat dibersihkan dengan dicuci dan disiram dengan air setapak tangan ke pakaian yang terkena. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

 فَلْيَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَالْأُنْثَيَيْهِ وَلْيَتَوَضَّأّ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ

 “Maka hendaklah ia mencuci kemaluannya dan kedua buah dzakarnya kemudian berwudhu seperti wudhunya untuk mengerjakan shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun mani merupakan cairan yang keluar beserta rasa nikmat. Perbedaan antara mani dan wadi serta madzi adalah bahwa mani adalah suci, sedangkan madzi dan wadi merupakan najis. Namun, mani adalah hadats besar yang mengharuskan seseorang untuk mandi sebelum melaksanakan sholat. Pada dasarnya mani ini adalah suci [4]. Namun disunnahkan untuk mencucinya dalam keadaan basah dan mengeruknya dalam keadaan kering [5].

  1. Kencing dan Kotoran Binatang yang Tidak Boleh Dimakan dagingnya adalah Najis

Kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Hal itu didasarkan pada riwayat adanya perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat untuk meminum kencing unta [6]. Ibnu Hibban menukil keterangan Imam Abu Hatim,

“Para sahabat meletakkan sisa kotoran unta yang telah diperas, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan perbuatan mereka, dan tidak menyuruh mereka untuk mencuci bagian yang terkena kotoran di badan mereka, merupakan dalil bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci”. [7]

Maka sebaliknya, kencing dan kotoran binatang yang tidak boleh dimakan merupakan najis yang mesti dibersihkan sebagaimana riwayat yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang beristijmar (bersuci dengan benda padat) dengan menggunakan kotoran, seraya bersabda : “Ini Najis” [8].

  1. Tiga Keadaan Najis yang terdapat di Pakaian, Badan atau Tempat ketika Shalat

Apabila di pakaian, badan atau tempat shalat terdapat najis. Maka terdapat tiga ketentuan [9]:

  1. Jika dia teringat adanya najis tersebut saat melakulan shalat, maka hendaklah ia melenyapkan atau membuang najis tersebut dengan syarat tidak terbuka auratnya. Shalatnya tetap sah.
  2. Jika najis tersebut tidak dapat dihilangkan dan adanya kekhawatiran akan terbukanya aurat. Agar dia menghentikan shalat, membersihkan najis tersebut dan mengulangi shalatnya.
  3. Jika telah selesai shalat kemudian dia baru teringat akan keberadaan najis tersebut maka shalatnya tetap sah.
  4. Khamr

Telah terang bagi kita sebuah ayat yang menyatakan bahwa khamr merupakan najis sebagaimana firman Allah Ta’ala :

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”. (QS. Al-Ma’idah : 90)

Khamr yang umum diketahui di masyarakat kita adalah minuman keras yang berbahan alkohol. Sementara hal yang dititikberatkan disini adalah parfum yang beralkohol yang banyak menjadi perbincangan alot karena keberadaannya yang familiar di tengah-tengah umat.

Wallahu’a’lam, mengambil faedah dari beberapa pendapat ulama tentang pemakaian parfum berbahan alkohol maka pendapat yang lebih berhati-hati adalah menahan diri untuk tidak menggunakan parfum yang beralkohol. Sebagaimana kita bisa melihat dewasa ini banyak beredar di pasaran parfum non alkohol yang kiranya lebih aman sebagai bentuk waro’ kita kepada ketetapan Allah Ta’ala.

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Saat Iman Sedang Lemah, Baca Doa Ini untuk Memperkuatnya

Ketika iman sedang lemah dan rapuh, maka cara untuk memperbaikinya adalah dengan cara melakukan taat kepada Allah dan memperbanyak membaca kalimat tahlil, yaitu laa ilaaha illallaah. Hal ini karena Nabi Saw pernah menyuruh para sahabatnya untuk memperbarui iman dengan memperbanyak membaca kalimat tahlil.

Selain itu, kita hendaknya juga membaca doa tajdid iman atau memperbarui iman dari Ibnu Arabi sebagaimana disebutkan dalam kitab kitab Majmu’ah Ahzab wa Awrad Al-Syaikh Al-Akbar Ibnu Arabi berikut;

بسم الله الرحمن الرحيم أمنت با لله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر والبعث بعد الموت وبالقدر خيره وشره من الله تعالى والحساب والميزان والجنة والنار حق كلها والله تعالى واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق انه لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا احد

Bismillaahir rohmaanir rohiim. Aamantu billaahi wa malaa-ikatihii wa rusulihii wal yaumil aakhiri wal ba’tsi ba’dal mauti wa bilqodari khoirihii wa syarrihii minallaahi ta’aalaa. Wal hisaabu wal miizaanu wal jannatu wan naaru haqqun kulluhaa. Wallaahu ta’aalaa waahidun laa min thoriiqil ‘adad wa laakin min thoriiqi annahuu lam yalid walam yuulad walam yakullahuu kufuwan ahad.

Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, kebangkitan setelah mati, dan ketentuan baik dan buruk dari Allah. Hitungan amal, timbangan amal, surga dan neraka semuanya benar. Dan, Allah adalah Esa bukan dari cara berbilang, melainkan dari cara bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak sesuatu yang setara dengan Dia.

BINCANG SYARIAH

Doa Al-Qur’an: Doa Agar Terhindar dari Rasa Dengki

Manusia diciptakan oleh Allah berpotensi melakukan kebaikan dan keburukan. Seperti yang telah Allah firmankan dalam surat as-Syams ayat 8:

 وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ٧

فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ٨

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) (7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8)

Ibnu Katsir mengutip perkataan Ibnu Abbas dalam Tafsir al-Quran al-Adzim bahwa Allah telah menunjukkan hal baik dan buruk pada diri manusia yang telah diciptakan. Dan telah jelas Allah menampilkan keduanya sehingga manusia bisa berpotensi memilih salah satunya. Bahkan dalam hadis Shohih Muslim dari riwayat ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i:

عَنْ رَسُؤلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: يَقُوْلُ اللهُ إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمْ الشَيَاطِيْنُ فَاجْتَلَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ

Artinya: dari Rasulullah Saw. Bersabda: Allah berfirman, “sesungguhnya aku menciptakan hamba-hambaku dalam keadaan lurus (berpegang pada tauhid) kemudian datanglah syetan untuk membelokkan mereka dari agama mereka.

Dalam hal ini salah satu perbuatan tercela dan termasuk maksiat adalah dengki, baik kepada muslim atau lainnya. Memiliki rasa dengki tidaklah dibenarkan dan memang terkadang tidak bisa dihindari dari hati manusia. Tapi kita bisa memohon pada Allah agar dijauhkan dari rasa dengki dengan cara berdoa yang diambil dari ayat Alquran berupa surat al-Hasyr ayat 10:

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, doa ini mulanya dipanjatkan oleh orang-orang yang berhak mendapatkan harta rampasan perang karena termasuk golongan orang-orang fakir. Mereka lalu  mendoakan kebaikan untuk saudara-saudaranya dalam keadaan sembunyi dan terang-terangan. Tetapi doa ini juga bisa kita lafalkan demi melindungi hati agar terhindar dari rasa dengki kepada orang lain karena mendapatkan nikmat yang tidak kita dapatkan atau sebab lainnya. Patutlah kita senantiasa mensyukuri apa yang telah Allah karuniakan kepada kita semua sehingga kita juga terhindar dari rasa iri dan dengki.

BINCANG SYARIAH

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Dua kesamaan antara cermin dengan mukmin [1]

Dalam hadis yang agung,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.”

Terdapat bukti bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sifatnya Jawami’ul Kalim (kalimat singkat, namun padat makna).

Dalam hadis yang agung ini setidaknya mengandung dua faidah besar, yaitu:

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Hal itu karena sifat-sifat cermin adalah:

– memantulkan rupa dengan tampilan yang halus;

– menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya;

– jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”;

– menampakkan aibmu yang sulit kamu ketahui;

– menampakkan rupamu sendiri;

– hanya menampakkan bagian tubuh yang ada di hadapan cermin saja;

– menampakkan segala sesuatu yang berada di depannya.

Sikap seorang mukmin yang dinasihati oleh saudaranya yang seiman

Hal itu karena di antara sifat cermin adalah: memantulkan gambar sesuatu dengan jujur sesuai aslinya, sehingga hasil pantulannya dapat dipercaya.

Berikut ini penjelasannya, bitaufiqillah,

Sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Cermin itu ciri khasnya memantulkan gambar sesuatu sesuai dengan aslinya. Cermin tidak akan menyembunyikan kebaikan maupun aib fisik orang yang bercermin di depannya, bahkan cermin akan menampakkan gambar orang tersebut tanpa mengurangi atau melebihkannya, sesuai aslinya.

Demikian pula seorang mukmin yang baik, dia tidak mau menyembunyikan kebaikan maupun aib saudaranya, karena itu bisa membahayakannya di dunia dan akhirat.

Berikut ini lebih detail sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman dalam konteks sebagai cermin baginya.

Pertama, memantulkan rupa dengan tampilan yang halus

Seorang mukmin yang baik keimanannya akan menyampaikan nasihat kepada saudaranya ketika melihat saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Dia tidak tinggal diam dari kesalahan saudaranya, namun ia menasihatinya dengan lembut dan bijak, dan tidak kasar. Hal ini sebagaimana layaknya cermin yang memantulkan gambar sesuatu dengan halus, gambar tidak kasar, dan patah-patah.

Dalam menasihati saudaranya, dia pilih kalimat yang baik, kalimat yang paling mudah diterima di hati saudaranya. Selain itu, waktu, kondisi, dan tata cara menasihati pun dipilih yang paling sesuai dengan kondisi saudaranya.

Perlu diketahui bahwa dahulu sahabat Jarir Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana  juga sahabat yang lain, berbaiat (janji setia) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim.

Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata,

بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم

“Saya berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan salat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya

Ketika Engkau bercermin, maka gambar dirimu tampak di cermin dan gambarmu akan hilang saat Engkau beralih dari depan cermin. Seolah-olah cermin itu menutupi penampilanmu yang kurang indah saat Engkau beralih dari cermin.

Demikian pula selayaknya seorang mukmin, dia menasihati saudaranya secara empat mata, saat saudaranya ada di hadapannya. Tatkala saudaranya tidak ada di hadapannya, dia berusaha menutupi aib-aib saudaranya tersebut dan tidak menyebut keburukannya di depan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Dia berusaha menjauhi ghibah yang dilarang oleh  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis dari  Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أتدرون ما الغيبة ؟

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذكرك أخاك بما يكره

“Engkau menyebutkan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu (saat dia tak hadir).”

Ada sahabat yang bertanya, “Bagaimana menurut Anda jika apa yang aku sebutkan tersebut memang ada pada diri saudaraku?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن كان فيه ما تقول، فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Jika sesuatu yang Engkau sebutkan tersebut ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah menggunjingnya. Namun jika sesuatu tersebut tidak ada pada diri saudaramu, maka Engkau telah berbohong tentangnya” (HR. Muslim).

Imam ahli hadis, Yahya bin Ma’in  Rahimahullah pernah berkata,

ما رأيتُ على رجلٍ خطأً إلا سترتُه، وأحببتُ أن أُزيِّنَ أمرَه، وما استقبلتُ رجلاً في وجهِه بأمرٍ يكرهُه، ولكنْ أُبيِّنُ له خطأهَ فيما بيني وبينَه، فإن قَبلَ ذلكَ وإلاَّ تركتُه

“Setiap kali aku tahu kesalahan seseorang, selalu aku tutupi, bahkan aku suka membicarakan kebaikannya. Aku tidak pernah mensikapi seseorang dengan sikap yang tidak menyenangkannya di hadapannya. Namun aku menjelaskan kesalahan dia kepadanya secara empat mata. Jika dia menerimanya (maka itulah yang diharapkan), namun jika tidak menerimanya, aku pun meninggalkannya.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Makanlah yang Halal dan Baik

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi.” (QS.Al-Baqarah:168)

Salah satu dari rahmat Allah adalah Dia menciptakan segala sesuatu di bumi ini dan menyediakannya untuk manusia.

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ

“Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS.Al-Jatsiyah:13)

Dan Allah menjadikannya sesuatu yang halal didalamnya sehingga tidak dosa ketika memakannya.

Dan Allah menjadikannya begitu enak, nikmat dan lezat.

Dan semua yang dihalalkan jauh lebih banyak dari yang diharamkan. Seperti kisah Nabi Adam as yang ketika itu Allah menghalalkan semuanya di dalam surga kecuali satu pohon saja. Hal ini mengisyaratkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah lebih banyak yang dihalalkan daripada yang diharamkan.

وَقُلۡنَا يَٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zhalim!” (QS.Al-Baqarah35)

Namun yang mengherankan masih saja banyak manusia yang meninggalkan sesuatu yang halal dan baik, dan ia lebih memilih sesuatu yang haram dan kotor.

KHAZANAH ALQURAN

Inilah Sifat Zuhud Rasulullah SAW yang Wajib Ditiru

KETIKA Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ingin membawa sahabatnya pada sikap zuhud, beliau telah memberikan panduan bagaimana orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda: ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.” (HR Bukhari).

Selanjutnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mencontohkan langsung pada sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia.

Kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat sederhana dan bersahaja dan beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhoan Allah Azza Wa Jalla. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata: ”Wahai Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bagaimana kalau aku ambilkan untukmu kasur?”

Maka Rasulullah menjawab: ”Untuk apa dunia itu? Hubunganku dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi).

Sedangkan para ulama lebih memperjelas lagi makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata: ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.”

Ibnu Khafif berkata: ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”

Ibnu Taimiyah ra berkata: ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.” []

ISLAM POS

Keutamaan Cinta Akhirat Dan Zuhud Dalam Kehidupan Dunia

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi[2].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

– Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezki yang telah Allah tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah lahir dan batin[3]. Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan)[4].

– Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[5], “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga[6].

– Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa[7].

– Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya[8].

– Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan generasi yang  datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Ta’ala) daripada kalian”. Ada yang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”[9].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthon, MA

Artikel www.muslim.or.id