Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.1)

Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan bumi ini dengan begitu luasnya. Setiap daerah dan negeri memiliki ciri khas dan budayanya masing-masing. Semua itu menandakan besarnya keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala, Pencipta kita.

Dengan berjalan di muka bumi, meresapi setiap sudutnya, dan mengambil hikmah dari keberagamannya, maka kita akan mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga. Dengannya pula, seseorang yang berakal akan memahami bahwa dirinya hanyalah salah satu makhluk ciptaan Allah Ta’ala dari sekian banyak ciptaan-Nya yang lain. Allah Ta’ala berfirman mengabarkan dan mengajak kita untuk mengambil pelajaran dari semua yang ada di bumi ini. Ia berfirman,

وَفِى ٱلْأَرْضِ ءَايَٰتٌ لِّلْمُوقِنِينَ

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Az-Zariyat: 20)

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ سِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ ٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ

“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.’” (QS. Al-An’am: 11)

Safar dan melakukan perjalanan merupakan sunnatullah pada umat manusia. Entah itu untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, ataupun sebab lainnya. Seorang muslim pastilah pernah dan akan butuh untuk melakukan perjalanan. Perintah untuk berjalan di muka bumi untuk mencari rezeki, bahkan beberapa kali disebutkan di dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)

Di dalam hadis Nabi, banyak juga  disebutkan perihal mereka yang melakukan perjalanan. Seperti hadis yang menyebutkan kisah seorang musafir yang tidak Allah kabulkan doanya karena makanan dan minumannya yang haram, atau hadis yang menjelaskan keutamaan menempuh sebuah perjalanan untuk menuntut ilmu. Yaitu, sabda beliau,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028)

Ayat dan hadis ini dengan gamblangnya menunjukkan kepada kita betapa pentingnya perjalanan bagi umat manusia. Di dalam menjalankan sunnatullah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan arahan dan bimbingan yang bisa diamalkan seorang muslim ketika dirinya sedang menempuh perjalanan. Sunnah-sunnah yang akan menjadikan perjalanan seorang muslim bernilai ibadah dan sarat akan keutamaan.

Hari-hari ini, sebagian dari kita mungkin akan memanfaatkan momentum libur sekolah dan akhir tahun untuk melakukan perjalanan. Entah itu untuk pulang ke kampung halaman atau sekedar berlibur ke kota lain. Oleh karenanya, pada artikel kali ini, kita akan pelajari lebih lanjut beberapa sunnah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melakukan sebuah perjalanan.

Pertama: Istikharah sebelum berangkat

Saat mendapatkan sebuah pekerjaan di luar kota atau akan pergi jauh untuk menuntut ilmu atau ingin melakukan perjalanan karena sebab-sebab mubah lainnya, maka hendaknya melaksanakan salat istikharah terlebih dahulu, meminta petunjuk dan arahan Allah Ta’ala terkait manakah yang terbaik bagi dirinya. Apakah tetap menetap dan tidak pergi ataukah pergi menunaikan hajatnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan salat istikharah kepada para sahabatnya dalam hal apapun. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كانَ رَسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ في الأُمُورِ كُلِّهَا كما يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ

“Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam memutuskan segala sesuatu, (sebagaimana mengajari kami) surat dalam Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 1162)

Kedua: Mencari teman perjalanan dan tidak pergi sendirian

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan para sahabatnya untuk pergi melakukan perjalanan dengan berkelompok dan melarang mereka dari pergi seorang diri. Beliau bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ ما في الوَحْدَةِ ما أعْلَمُ، ما سارَ راكِبٌ بلَيْلٍ وحْدَهُ

“Seandainya manusia mengetahui (keburukan) apa yang terdapat dalam bepergian seorang diri sebagaimana yang aku ketahui, tentu seorang penunggang kendaraan tidak akan bepergian sendirian di malam hari.” (HR. Bukhari no. 2998)

Seorang muslim yang hendak pergi melakukan perjalanan hendaknya mencari teman perjalanan yang dapat membantunya dalam perjalanan tersebut. Entah itu mengingatkan dirinya untuk terus melakukan ibadah atau mengingatkan dirinya saat lalai dan melakukan kemaksiatan atau minimalnya saling bergantian menjaga barang bawaan dan saat salah satunya kelelahan.

Di hadis yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّاكِبُ شيطانٌ ، والرَّاكبانِ شَيطانانِ ، والثَّلاثَةُ رَكْبٌ

Orang yang berkendaraan sendirian adalah setan. Orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan. Orang yang berkendaraan bertiga, maka itulah orang yang berkendaraan yang benar.“ (HR. Abu Daud no.2607 dan Tirmidzi no. 1674)

Disebut setan karena setan akan menggoda dan mengajak untuk melakukan kemaksiatan kepada seseorang yang sedang sendirian atau berduaan. Berbeda halnya jika ada tiga orang atau lebih. Selain juga karena dengan adanya tiga orang atau lebih, maka akan memudahkan mereka di dalam mengatur tugas masing-masing serta memudahkan mereka untuk saling menjaga satu sama lain.

Ketiga: Memilih salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin perjalanan

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu menekankan para sahabatnya untuk melakukan hal tersebut tatkala bepergian, agar tidak muncul permasalahan dan perpecahan karena adanya ketidaksepakatan di antara mereka. Dengan adanya pemimpin, maka akan lebih mudah di dalam menyeleraskan tujuan.

Keeempat: Rasulullah senang memulai perjalanannya pada awal hari Kamis

Sahabat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَرَجَ يَومَ الخَمِيسِ في غَزْوَةِ تَبُوكَ، وكانَ يُحِبُّ أنْ يَخْرُجَ يَومَ الخَمِيسِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari kamis ketika perang Tabuk, dan beliau menyukai untuk memulai perjalanannya pada hari Kamis.” (HR. Bukhari: 2950)

Beliau memulai perjalanannya di awal hari di waktu pagi karena adanya keberkahan dan keutamaan di dalamnya. Sebagaimana di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Shakr Al-Ghamidi, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,

اللَّهمَّ بارِكْ لأمَّتي في بُكورِها. وَكانَ إذا بَعثَ سريَّةً أو جيشًا بَعثَهُم من أوَّلِ النَّهارِ وَكانَ صخرٌ رجلًا تاجرًا، وَكانَ يَبعثُ تجارتَهُ من أوَّلِ النَّهارِ فأثرَى وَكَثُرَ مالُهُ

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” Shakhr Al Ghamidi berkata, “Beliau jika mengutus ekspedisi, atau pasukan beliau memberangkatkannya di pagi hari.”

Perawi hadis ini juga berkata,

Shakhr AlGhamidi adalah seorang pedagang, ia biasa mengirim barang dagangannya di pagi hari hingga beruntung dan melimpahlah hartanya.” (HR. Abu Dawud no. 2606)

Kelima: Membaca doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketika telah duduk tenang di atas kendaraan, maka membaca,

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبونَ  ثمَّ قالَ الحمدُ للَّهِ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ اللَّهُ أَكبرُ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ سبحانَك إنِّي ظلمتُ نفسِي فاغفِر لي فإنَّهُ لا يغفِرُ الذُّنوبَ إلَّا أنتَ

“Mahasuci Zat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan hanya kepada Tuhan kami, niscaya kami akan kembali.” Kemudian ia mengucapkan; Alhamdulillaah tiga kali, Wallaahu akbar tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan “Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa, kecuali engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602, Tirmidzi no. 3446 dan Ahmad no. 753)

Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa,

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هذا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ العَمَلِ ما تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هذا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ في الأهْلِ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بكَ مِن وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ المَنْظَرِ، وَسُوءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَالأهْلِ

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan takwa serta amal perbuatan yang Engkau ridai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan ini dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam bepergian dan pelindung terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan, dan kepulangan yang menyusahkan dalam harta benda, keluarga, dan anak. (HR. Muslim no. 1342)

Di antara zikir yang juga diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bertakbir ketika melewati jalan yang menaik dan bertasbih ketika melewati jalan yang menurun. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وإذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Apabila kami mendaki, maka kami bertakbir. Dan apabila kami turun, maka kami bertasbih.(HR. Bukhari no. 2993)

Dan di antara doa yang diajarkan juga oleh beliau adalah berdoa ketika melihat dan memasuki kota/daerah yang akan dituju. Yaitu, dengan doa,

اللهمَّ ربَّ السمواتِ السبعِ وما أظللنَ، وربَّ الأرَضينِ السبعِ وما أقللنَ، وربَّ الشَّياطينِ وما أضللنَ، وربَّ الرياحِ وما ذَرينَ، أسألُك خيرَ هذه القريةِ وخيرَ أهلِها وخيرَ ما فيها، وأعوذُ بك من شرِّها وشرِّ أهلِها وشرِّ ما فيها

“Ya Allah, Rabb tujuh langit dan apa yang dinaunginya, dan Rabb tujuh bumi dan apa yang di atasnya, dan Rabb yang menguasai setan dan apa yang mereka sesatkan, dan Rabb yang menguasai angin dan apa yang ia hembuskan. Kami benar-benar meminta kepada-Mu kebaikan negeri ini, kebaikan para penduduknya, dan kebaikan yang ada di dalamnya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan negeri ini, keburukan para penduduknya, serta keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10377)

Lalu, apabila turun di suatu tempat atau telah sampai ke tempat yang dituju dan masuk ke dalamnya, maka mengucapkan,

أَعُوذُ بكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِن شَرِّ ما خَلَقَ

“Aku meminta perlindungan kepada Allah dengan kalimat-Nya yang sempurna dari kejahatan segala makhluk.”

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلًا، فَلْيَقُلْ: أَعُوذُ بكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِن شَرِّ ما خَلَقَ، فإنَّه لا يَضُرُّهُ شيءٌ ى يَرْتَحِلَ منه

“Jika salah seorang di antara kalian singgah di suatu tempat , ucapkanlah, ‘Aku meminta perlindungan kepada Allah dengan kalimat-Nya yang sempurna dari kejahatan segala makhluk.’ Niscaya, tidak akan ada yang membahayakannya hingga dia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim, no. 2708).

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 2: Insyaallah bersambung

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/90541-petunjuk-nabi-dalam-bepergian-dan-melakukan-perjalanan-bag-1.html
Copyright © 2023 muslim.or.id

Ketika Musibah menjadi Berkah

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh), bahkan bisa menjadi berkah

DIRIWARAYATKAN dari Anas bin Malik RA yang telah menceritakan bahwa anak Abu Thalhah RA menderita sakit keras. Ketika Abu Thalhah keluar rumah, anaknya itu meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah pulang, ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim, ibu si anak tersebut menjawab, “Keadaannya sekarang sangat tenang.”

Selanjutnya, Ummu Sulaim menyajikan makan malam kepada suaminya, dan suaminya menyantapnya. Sesudah itu, ia melakukan hubungan suami istri dengannya.

Setelah segalanya usai, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “Anak kita sudah dikebumikan.”

Singkatnya, pada pagi harinya, Abu Thalhah datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya, maka Rasulullah bertanya, “Apakah tadi malam kalian bersetubuh?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Rasulullah berdoa, “Ya Allah, berkatilah keduanya.”

Beberapa waktu kemudian, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki dan Abu Thalhah berkata kepadanya, “Aku akan membawanya kepada Nabi ﷺ.” Dan Abu Thalhah membawa beberapa buah biji kurma. Nabi ﷺ bertanya, “Adakah dibawakan sesuatu untuknya?” Abu Thalhah menjawab, “Ya, beberapa butir kurma.”

Nabi ﷺ pun mengambil kurma itu dan mengunyahnya. Sesudah itu, Nabi ﷺ mengeluarkan lagi kurma tersebut dari mulutnya dan memasukkannya ke dalam mulut bayi untuk mentahniahnya dan memberinya nama Abdullah.” (H.r. Bukhari dan Muslim).

Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) kepada kita kaum Muslimin. Musibah yang menimpa apabila disikapi dengan bijaksana dan ikhlas maka mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan hidup di dunia, dan di akhirat masuk surga. Karena ridha Allah kepada kita yang senantiasa ridha dan ikhlas menerima setiap ujian yang ditimpakan kepada kita.

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala bergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha maka mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Dan siapa yang murka (tidak ridha) maka akan mendapatkan murka Allah.”(HR: Ibnu Majah).

Selain diberikan keberkahan hidup, bagi yang ridha dan ikhlas menerima ujian maka akan ditinggikan derajatnya, serta dihapuskan dosa-dosanya.

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً

“Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR: Muslim).

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Kita harus rela menerima segala ketentuan Allah dan menyadari bahwa apapun yang terjadi sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh. Kita wajib menerima segala ketentuan Allah dengan penuh keikhlasan.

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ 

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS: Al-Hadid [57]: 22).

Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita menerima musibah yang terjadi, diberikan solusi dan jalan keluar. Sehingga, dibalik musibah itu ada keberkahan dalam hidup. Amin.*/ Imam Nur Suharno, Pembina Majelis Taklim Ibu-Ibu di Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Duka Genosida Palestina, Pakistan Larang Perayaan Tahun Baru 2024

Penjabat Perdana Menteri Pakistan, Anwar ul Haq Kakar, mengumumkan larangan nasional perayaan Tahun Baru sebagai solidaritas dengan Palestina di saat “Israel” terus membombardir Jalur Gaza.

“Seluruh bangsa Pakistan dan dunia Muslim berada dalam keadaan duka yang mendalam atas genosida terhadap warga Palestina yang tidak bersenjata, terutama pembantaian anak-anak, di Gaza dan Tepi Barat,” ujar Kakar dalam pengumuman di televisi pada Rabu (27/12/2023).

“Mengingat situasi yang sangat mengkhawatirkan di Palestina dan untuk mengekspresikan solidaritas dengan saudara-saudara kita di Palestina, akan ada larangan di seluruh negeri untuk menyelenggarakan acara apapun sehubungan dengan perayaan Tahun Baru,” ujarnya.

Negara-negara Muslim di seluruh dunia, termasuk Pakistan, telah mengkritik tajam kampanye militer Israel yang tak henti-hentinya dan mengintensifkan seruan untuk segera menghentikan permusuhan untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi.

Sekitar 2,3 juta penduduk di Jalur Gaza telah mengalami kekurangan air, makanan, bahan bakar dan obat-obatan yang parah, dengan hanya sedikit bantuan yang masuk ke wilayah tersebut.

Anwar ul-Haq Kakar mengatakan bahwa Islamabad telah mengirimkan dua bantuan kemanusiaan ke Gaza dan bantuan ketiga akan segera dikirim.

Serangan udara dan operasi darat militer Zionis “Israel” telah menyebabkan sebagian besar wilayah Gaza hancur dan menewaskan lebih dari 21.000 warga Palestina sejak 7 Oktober, menurut kementerian kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.

Serangan tersebut dilancarkan setelah pejuang perlawanan Palestina, dipimpin Hamas, menyerbu wilayah “Israel” dan menyerang komunitas-komunitas Yahudi di Israel selatan, menewaskan sekitar 1.200 orang, menurut “Israel”.

Hamas juga menyandera sekitar 240 sandera, di mana 129 di antaranya masih ditawan di Gaza. Militer “Israel” mengatakan 167 tentaranya telah terbunuh.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah bersumpah untuk terus melanjutkan bombardir dan serangan di Gaza hingga Hamas musnah.

Pakistan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan “Israel” dan menolak untuk mengakuinya sebagai negara berdaulat hingga “negara Palestina yang layak dan merdeka” didirikan – sebuah kebijakan yang telah lama diterapkan oleh banyak negara mayoritas Muslim.

Warga Pakistan tidak dapat mengunjungi negara Yahudi tersebut karena paspor mereka menyatakan bahwa paspor mereka “berlaku untuk semua negara di dunia kecuali Israel.”

HIDAYATULLAH

Zakat Harta Karun (Rikaz) dan Barang Tambang (Ma’dan) (Bag. 2)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Rabi’ah bin Abu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman, dari lebih dari satu orang bahwa,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ بِلَالَ بْنَ الْحَارِثِ الْمُزَنِيَّ مَعَادِنَ الْقَبَلِيَّةِ، وَهِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الْفُرْعِ» ، فَتِلْكَ الْمَعَادِنُ لَا يُؤْخَذُ مِنْهَا إِلَّا الزَّكَاةُ إِلَى الْيَوْمِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengalokasikan untuk Bilal bin Al-Harits Al-Muzani barang-barang tambang Qabiliyyah. Barang tambang tersebut berasal dari daerah Fur’. Barang tambang tersebut tidak diambil darinya, kecuali zakat hingga hari ini.” (HR. Abu Dawud no. 3061)

Hadis ini adalah hadis yang dha’if. Perkataan perawi, “dari lebih daru satu orang”, bisa jadi orang itu adalah sahabat Nabi atau bukan sahabat Nabi. Dalam riwayat Al-Baghawi disebutkan, “Dari lebih dari satu orang ulama mereka … “ [1] Sehingga, hal ini jelas menunjukkan bahwa mereka itu bukan sahabat Nabi, sehingga sanadnya terputus. Hadis ini juga memiliki sanad yang maushul (tersambung), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dan Al-Baihaqi, akan tetapi statusnya dhaif jiddan (sangat lemah).

Kandungan hadis

Pertama, definisi barang tambang

Dalam hadis di atas, (معادن) adalah bentuk jamak dari (معدن). Secara bahasa berarti tempat di mana permata keluar dari dalam bumi.

Menurut istilah ulama fikih, ma’dan adalah semua yang keluar dari dalam bumi, yang diciptakan Allah, bukan karena selainnya (misalnya, bukan karena sengaja ditimbun manusia), dan barang tersebut adalah barang yang bernilai. Ini adalah definisi menurut ulama Hanabilah [2].

Definisi menurut ulama Hanabilah ini adalah definisi yang bagus, karena bisa membedakan antara rikaz dan ma’dan. Harta rikaz itu ada unsur campur tangan manusia, misalnya memang sengaja dipendam oleh manusia zaman dulu. Adapun ma’dan adalah barang yang Allah Ta’ala ciptakan di dalam bumi dan tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Pembedaan seperti ini adalah definisi jumhur ulama. Adapun menurut ulama Hanafiyah dan yang sependapat dengannya, ma’dan itu sama saja dengan rikaz, sehingga kadar zakatnya pun sama, yaitu sama-sama seperlima (20%).

Ma’dan bisa jadi berupa zat padat yang bisa meleleh dan bisa dibentuk (dicetak) dengan api, seperti emas, perak, besi, timah, dan tembaga. Bisa juga berupa zat padat yang tidak bisa meleleh, seperti batu permata. Dan bisa juga berupa zat cair atau sejenis itu, seperti minyak dan gas [3].

Kedua, ketentuan zakat barang tambang

Hadis ini digunakan sebagai dalil bagi ulama yang mengatakan wajibnya zakat untuk barang tambang. Derajat hadis ini lemah, sebagaimana penjelasan sebelumnya. Akan tetapi, kewajiban zakat barang tambang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)

Ketika menjelaskan ayat ini, Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Yaitu, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, dan rikaz.[4]

Selain itu, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menukil adanya ijmak tentang wajibnya zakat pada barang tambang. [5]

Oleh karena itu, terdapat kewajiban zakat untuk semua jenis barang tambang, yaitu semua yang ditambang dari dalam bumi dan memiliki nilai, berdasarkan cakupan makna umum dari ayat tersebut. Karena hal itu sejalan dengan hukum-hukum syariat yang cocok (sesuai) dengan setiap zaman dan tempat. Pada zaman ini, terdapat berbagai jenis barang tambang yang dihasilkan dalam jumlah besar karena kemajuan teknologi saat ini, yang bisa jadi tidak dikenal di masa lampau. Lebih-lebih barang tambang yang digunakan untuk sumber energi, seperti minyak dan gas. Ini adalah mazhab Imam Ahmad, sebagaimana yang telah berlalu definisi terkait barang tambang menurut beliau.

Adapun menurut Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan ulama Zahiriyah, barang tambang yang wajib dizakati hanya emas dan perak. Adapun barang tambang selain emas dan perak, maka tidak wajib dizakati [6]. Sedangkan menurut Abu Hanifah, barang tambang yang wajib dizakati adalah barang tambang yang bisa meleleh (mencair) atau bisa dicetak dengan api, seperti emas, perak, besi, dan timah. Adapun barang tambang cair (seperti minyak bumi) dan barang tambang padat yang tidak bisa meleleh/mencair dengan api (seperti batu permata), maka tidak ada kewajiban zakatnya.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Ahmad rahimahullah, bahwa barang tambang yang wajib dizakati adalah semua jenis barang tambang. Pendapat ini dikuatkan oleh makna bahasa. Demikian pula, lebih sesuai dengan logika yang sahih. Karena tidak ada perbedaan antara barang tambang yang bisa meleleh atau tidak. Karena semuanya merupakan barang yang memiliki nilai. Seandainya para ulama terdahulu rahimahumullah masih hidup dan melihat kemajuan dunia pertambangan modern, sehingga mereka bisa melihat besarnya nilai barang tambang saat ini, tentulah mereka akan memiliki penilaian dan pendapat yang berbeda dengan ijtihad mereka sebelumnya.

Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa kewajiban zakat barang tambang itu berlaku ketika telah mencapai nishab emas atau perak. Tidak dipersyaratkan bahwa nishab tersebut diperoleh dari sekali aktivitas menambang. Akan tetapi, nishab tersebut diperoleh dari beberapa kali aktivitas penambangan yang kemudian dikumpulkan jadi satu. Hal ini karena pada umumnya, barang tambang memang diperoleh dari cara seperti itu, yaitu dikumpulkan sedikit demi sedikit dari beberapa kali menambang. Akan tetapi, jika barang tambang tersebut berbeda jenis (misalnya, besi dan emas), tidak perlu digabungkan supaya mencapai nishab, tapi tetap dihitung sendiri-sendiri (terpisah).

Adapun kadar zakatnya adalah sebesar 2,5%, di-qiyas-kan dengan zakat emas dan perak. Hal ini karena untuk mendapatkan barang tambang itu membutuhkan biaya dan tenaga, sehingga kadar zakatnya tidak sebesar harta rikaz (20%). Besaran zakat tersebut langsung dibayarkan (dikeluarkan) ketika telah mencapai nishab, tidak ada ketentuan haul.

Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin [7]. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 25 Jumadilawal 1445/ 9 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90349-zakat-harta-karun-rikaz-dan-barang-tambang-madan-bag-2.html
Copyright © 2023 muslim.or.id

Hukum Muadzin Pasang Tarif Jasa Adzan

Muadzin memasang tarif jasa adzan adalah sebuah topik yang cukup sensitif dan memicu perdebatan di Indonesia. Pandangan masyarakat terbagi antara yang pro dan kontra terhadap praktik ini. Lantas bagaimana hukum muadzin pasang tarif jasa adzan dalam Islam?

Tak bisa dipungkiri, bahwa muadzin memiliki peran penting dalam kehidupan umat Islam sebagai pengumum waktu-waktu shalat. Mereka adalah para penyeru yang melantunkan kalimat-kalimat indah, mengajak umat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Seiring dengan tuntutan zaman dan perkembangan kehidupan ekonomi, semakin banyak muadzin yang memutuskan untuk menetapkan tarif jasa adzan mereka

Sebelum lebih jauh tentang hukum tarif tersebut maka perlu kiranya mengetahui hukum adzan terlebih dahulu dan dalil atas hukumnya. Hukum adzan adalah sunnah kifayah. Artinya, gugur kesunahannya ketika sudah ada yang melakukannya. Sedangkan dalil kesunahannya adalah hadis Nabi Muhammad Saw. Berikut bunyi potongan hadisnya:

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ……رواه البخاري

“Ketika waktu sholat datang maka hendaklah melakukan adzan salah satu diantara kalian” HR. Bukhari.

Mengenai hukum muadzin memasang tarif menurut Islam diperbolehkan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 165:

مسألة ي: يصح الإستئجار لكل ما لا تجب له نية عبادة كان كأذان وتعليم قرآن وإن تعين وتجهيز ميت

“Masalah Ya’ (Imam Yahya): Sah hukumnya menyewakan tiap-tiap pekerjaan yang tak butuh niat, baik itu berupa ibadah atau bukan ibadah. Seperti adzan, mengajarkan Al-Qur’an (sekalipun tertentu mengajarnya), mengurus jenazah”.

Berdasarkan pendapat di atas yang mengatakan boleh menyewakan pekerjaan yang berupa ibadah atau bukan ibadah, maka konsekuensi logisnya adalah boleh meminta ujrah (upah) atas apa yang telah ia kerjakan. Berhubung boleh meminta upah, maka boleh pula untuk memasang tarif atau harga atas jasanya itu.

Kendati diperbolehkan, namun seyogianya muadzin sebaiknya peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat tempat ia bertugas. Menetapkan tarif yang wajar dan terjangkau untuk umat Islam di sekitarnya akan memperlihatkan sikap empati dan kepedulian. Sebaliknya, tarif yang terlalu tinggi dapat memunculkan ketidakpuasan di kalangan umat.

Sekian penjelasan tentang hukum muadzin pasang tarif jasa adzan muadzin yang pasang tarif. Semoga bermanfaat. Wallahu Alam.

BINCANG SYARIAH

Bahaya Dosa dan Kemaksiatan yang Wajib Diwaspadai (Teks Khotbah Jumat)

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. 

أَمَّا بَعْدُ: 

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan merupakan benteng seorang muslim dari dosa, kemaksiatan, dan hal-hal yang Allah haramkan. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,

لَيْسَ تَقْوَى اللهِ بِصِيَامِ النَّهَارِ ، وَلاَ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالتَّخْلِيْطِ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَلَكِنْ تَقْوَى اللهِ تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ ، وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ ،فَمَنْ رُزِقَ بَعْدَ ذَلِكَ خَيْراً ، فَهُوَ خَيْرٌ إِلَى خَيْرٍ

“Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan salat malam atau melakukan kedua-duanya. Namun, takwa adalah meninggalkan yang Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa saja yang setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd Al-Kabir no. 964)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, dosa dan kemaksiatan memiliki pengaruh buruk dan berbahaya bagi seseorang, baik bagi badannya, hatinya, kehidupan dunianya, atau bahkan kehidupan akhiratnya. Bahkan, bahaya-bahayanya terkadang tidak diketahui langsung oleh pelakunya.

Pada kesempatan Jumat yang berbahagia ini, akan kita pelajari bersama bahaya dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seorang hamba. Sehingga, ketika kita mengetahuinya, maka akan lebih waspada dan berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Bahaya dosa dan kemaksiatan yang pertama adalah terhalang dari mendapatkan hidayah dan ilmu. Hidayah dan ilmu sejatinya adalah lentera yang Allah letakkan di hati seorang hamba. Sedangkan kemaksiatan dan hawa nafsu, maka dia bagaikan angin kencang yang akan mematikan lentera tersebut. Seorang tabiin, Ad-Dhahhak bin Muzahim rahimahullah, pernah mengatakan,

“Tidaklah seseorang itu mempelajari Al-Qur’an kemudian melupakannya, kecuali itu karena perbuatan dosa yang dilakukannya. Hal ini juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)

Lupa hafalan Al-Qur’an merupakan musibah terparah. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ جَعَلَ مِمَّا يُعَاقِبُ بِهِ النَّاسَ عَلَى الذُّنُوبِ: سَلْبَ الْهُدَى، وَالْعِلْمِ النَّافِعِ

“Dan Allah, Maha Suci Diri-Nya, telah menjadikan hukuman untuk manusia karena dosa yang dilakukannya: berupa dicabutnya petunjuk dan hidayah serta (dicabutnya) ilmu yang bermanfaat dari mereka.”

Dampak buruk lainnya adalah dosa dan kemaksiatan akan mempersulit urusan pelakunya. Seperti yang kita ketahui, mereka yang bertakwa, maka Allah Ta’ala akan mempermudah urusannya. Adapun mereka yang meremehkan takwa dan tidak memperdulikannya dengan melakukan kemaksiatan dan dosa, maka tentu Allah Ta’ala mempersulit urusannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”  (QS. At-Talaq: 2-3)

Di ayat tersebut, Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa takwa akan mempermudah jalan rezeki. Maka sebaliknya, dosa dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala akan menyempitkan rezeki pelakunya. Lalu, mengapa sering kita saksikan orang-orang yang sering bermaksiat justru mendapatkan rezeki berlimpah?!

Ketahuilah wahai saudaraku, jika kita menyaksikan hal semacam ini, maka itulah definisi dari istidraj yang yang Allah Ta’ala berikan kepada pelaku kemaksiatan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 إذا رأيْتَ اللهَ يُعْطي العبدَ مِنَ الدُّنيا على مَعاصيه ما يُحِبُّ، فإنَّما هو استِدراجٌ. ثمَّ تلَا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: {فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ}

“Apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berupa nikmat dunia yang disukainya, padahal dia suka bermaksiat, maka itu hanyalah istidraj. Lalu, Rasulullah membaca ayat, ‘Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An’am: 44).” (HR. Ahmad no. 17311)

Saat mendapati bahwa hidup kita selalu diliputi masalah yang tak kunjung mendapatkan solusi, rezeki kita sulit dan terhalang, maka patut kita curigai bahwa ketakwaan kita masih banyak memiliki kekurangan, dosa-dosa kita bisa jadi juga telah menumpuk. Maka, bersegeralah untuk bertobat dan beristigfar kepada Allah Ta’ala.

Jemaah Jumat yang senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala.

Dampak buruk lainnya adalah terjadinya musibah dan malapetaka. Baik itu berupa banjir, gempa, dan lain sebagainya. Dengarlah firman Allah Ta’ala,

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنۢبِهِۦ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ ٱلصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Maka, masing-masing (mereka itu), Kami siksa disebabkan dosanya. Maka, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Ankabut: 40)

Jemaah Jumat yang semoga senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala.

Apa yang menimpa umat-umat terdahulu dari musibah banjir, kekeringan, gempa, dan lain sebagainya, maka itu bisa saja menimpa kita di zaman sekarang karena banyaknya dosa dan tersebarnya kemaksiatan di sekitar kita.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi negeri-negeri kaum muslimin dari malapetaka, menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan dan takut serta khawatir untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Dampak buruk lainnya dari dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seorang muslim adalah terjadinya perpecahan dan perselisihan di antara kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ؛ مَا تَوَادَّ اثْنَانِ فَفُرِّقَ بَيْنَهُمَا، إِلاَّ بِذَنْبٍ يُحْدِثُهُ أَحَدُهُمَا

“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah dua orang muslim saling mencintai lalu keduanya berpisah, pasti disebabkan suatu dosa yang dilakukan salah satu keduanya.” (HR. Ahmad: 5357, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrad no. 401)

Tentu ini merupakan dampak buruk yang amat berbahaya bagi kaum muslimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat berhati-hati agar tidak terjadi perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, beliau senantiasa mengingatkan para sahabatnya akan bahaya perpecahan ini setiap kali hendak salat lima waktu. Di antaranya beliau bersabda,

عبادَ اللَّهِ لتسوُّنَّ صفوفَكم أو ليخالفَنَّ اللَّهُ بينَ وجوهِكُم ، وفي روايةٍ: قلوبِكُم.

“Wahai hamba Allah, luruskan saf kalian, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih.”  (HR. Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436)

Dalam sirah dan kisah hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga terdapat pelajaran akan dampak buruk dari kemaksiatan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Yaitu, kekalahan mereka dalam peperangan Uhud ketika melawan kaum musyrikin.

Di awal peperangan, kaum muslimin unggul dan menang. Akan tetapi, ketika pasukan pemanah goyah melihat saudara-saudara lainnya sedang membagi-bagi harta rampasan perang, lalu mereka pun turun. Maka terjadilah kekacauan dan penyerbuan kaum musyrikin kepada kaum muslimin yang menyebabkan kekalahan bagi kaum muslimin. Saudaraku, kekalahan tersebut terjadi karena kemaksiatan yang dilakukan oleh pasukan pemanah karena tidak menaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit apapun keadaannya.

Jemaah yang semoga senantiasa diliputi rahmat dan karunia Allah Ta’ala.

Ketahuilah! Sesungguhnya kemaksiatan yang dilakukan seorang muslim itu akan membuatnya hina di mata Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

فَالنَّاسُ رَجُلَانِ بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللَّهِ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللَّهِ

“Manusia terbagi dua: 1) baik, bertakwa, mulia bagi Allah dan 2) keji, sengsara, hina di mata Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3270)

Dan ketika Allah Ta’ala telah menghinakan seseorang, maka tidak akan ada lagi makhluk yang akan menghormatinya dan memuliakannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكْرِمٍ

“Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak ada seorang pun yang memuliakannya.” (QS. Al-Hajj: 18)

Betapa banyak keburukan dan mara bahaya yang akan didapatkan oleh mereka yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Baik itu keburukan di dunia, terlebih lagi keburukan dan ancaman di alam akhirat.

Saudaraku, dengan mengetahui bahaya dan dampak buruk dari kemaksiatan dan dosa yang dilakukan seorang hamba, semoga kita menjadi semakin takut untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala, berpikir berulang kali ketika terbetik untuk melanggar aturan-aturan Allah Ta’ala.

Ya Allah, jagalah kami semua dari melakukan dosa dan kemaksiatan, ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, berikanlah kami ampunan-Mu yang luasnya melebihi luas bumi dan langit, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa istikamah di dalam melakukan kebaikan dan ketaatan.

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/90435-bahaya-dosa-dan-kemaksiatan-yang-wajib-diwaspadai.html
Copyright © 2023 muslim.or.id

Apakah Boleh Menggadaikan Tanah Sengketa?

Menggadaikan tanah sengketa dalam Islam adalah masalah kompleks yang melibatkan hukum kepemilikan dan transaksi keuangan, ditambah dengan unsur ketidakpastian. Nah berikut penjelasan terkait apakah boleh menggadaikan tanah sengketa?


Salah satu praktik muamalah yang kerap dilakukan umat muslim Indonesia adalah akad gadai. Akad gadai menjadi alternatif yang tepat dan cepat dalam memperoleh pinjaman karena nyaris tidak ada seorang pun yang berkenan meminjamkan uang secara cuma-cuma. Seseorang baru rela memberikan pinjaman, kalau ada jaminan atas pinjaman yang diberikannya.

Namun yang terjadi belakangan ini, ada sebagian orang yang menjadikan tanah sengketa sebagai jaminan atas uang yang dipinjamnya. Padahal kepemilikan tanah sengketa masih diperselisihkan. Lantas bagaimana hukum menggadaikan tanah sengketa?

Pada dasarnya melakukan akad gadai sebagai jaminan atas suatu pinjaman adalah boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.;

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” [Al- Baqarah/2:283].

Kanjeng nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam pun pernah mempraktikkan akad gadai. Dalam hadis riwayat Sayyidah Aisyah dikatakan;

عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

“…bahwasanya kanjeng nabi Saw. membeli dari seorang Yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya.” [HR. Bukhari]

Hukum menggadaikan Tanah Sengketa

Para ulama sepakat bahwa barang yang digadaikan harus memenuhi persyaratan yang ada pada mabi’ (barang yang dijual). Tujuannya agar supaya barang yang digadaikan tersebut nantinya dapat dijual untuk melunasi pinjaman pihak penggadai andai tidak sanggup melunasi pinjaman.

Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu;

اتفق الفقهاء على أنه يشترط في المرهون ما يشترط في المبيع حتى يمكن بيعه، لاستيفاء الدين منه

“Para ulama ahli fikih sepakat bahwa barang yang digadaikan harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mabi’ (barang yang dijual), sehingga barang gadai tersebut nantinya bisa dijual untuk melunasi hutang pihak penggadai andai pihak penggadai (rahin) tidak sanggup melunasi hutangnya (pada saat jatuh tempo).”

Itu artinya syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu barang yang dijual (mabi’) harus terpenuhi juga pada barang yang hendak digadaikan (marhun). Jika tidak, maka akad gadai yang dilakukan hukumnya tidak sah.

Berkenaan dengan syarat-syarat mabi’ yang harus dipenuhi, Syekh Zainuddin Al-Malibariy, dalam kitab Fath Mu’in, menandaskan; 

وشرط في معقود عليه مثمنا كان أو ثمنا ملك له أي للعاقد عليه… الى ان قال … ويشترط أيضا قدرة تسليمه

Artinya; “Ma’qud alaih yakni alat pembayaran dan barang yang diperjual-belikan harus dimiliki oleh yang bersangkutan. Selain itu ma’qud alaih harus juga mampu untuk diserahkan.”

Sementara dalam kasus tanah sengketa, tanah tersebut masih diperselisihkan kepemilikannya. Tanah sengketa masih tidak diketahui siapa pemiliknya. Dengan kata lain tanah tersebut secara dzahir tidak dimiliki oleh siapa pun. Oleh karenanya sebelum dibuktikan dengan pasti hak kepemilikan atas tanah tersebut, maka akad gadai atas tanah tersebut hukumnya tidak sah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak boleh menggadaikan tanah sengketa sebelum kepemilikannya diketahui dengan jelas berdasarkan bukti-bukti yang diakui oleh syariat.

Demikian jawaban atas pertanyaan apakah boleh menggadaikan tanah sengketa?, Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Indonesia Emas dan Level Kemajuan Negara

Biidznillah, Indonesia bisa menuju negara maju. Selama kemudian negeri ini dipimpin oleh orang yang tepat dengan sistem yang baik pula, bagaimana Indonesia emas kelak?

Oleh: Ali Mustofa Akbar

JENDERAL Moshe Dayan (1915-1981), pemimpin militer sekaligus politikus Zionis Israel, dalam bukunya “Story of My Life” pernah mengatakan ada 3 kelemahan umat Islam.

Pertama: Moslems never learn from the past (orang Islam tidak pernah belajar dari masa lalu atau sejarah). Kedua: moslems do not plan carefully (orang Islam tidak punya rencana masa depan secara teliti/sistematis).

Dan ketiga: Moslems are the people who are lazy reading (orang Islam adalah kaum yang malas membaca). 

Ketika ada seseorang dari kubu Zionis yang mengomentari isi bukunya: “Kenapa Anda membocorkan kelemahan mereka, apakah tidak berbahaya bagi kita?”.

Pria yang juga anggota intelijen ini menjawab: “Tenang saja, mereka tidak suka membaca…!”.

Meski keakuratan dari kesimpulan Moshe masih perlu dibuktikan lagi. Namun apa yang disampaikannya bisa jadi benar, karena yang hal itu tentu merupakan hasil penelitiannyanya di lapangan selama menjadi intelijen.

Kritik Moshe sejatinya sudah ada dalam ajaran Islam, seperti halnya perintah iqra’ (bacalah), peringatan Baginda Nabi ﷺ kepada muslim supaya tidak masuk ke dalam lubang untuk kedua kalinya, serta mempersiapkan segala kemampuan untuk menghadapi musuh.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَـيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰ خَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ ۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْ ۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْ ۗ وَمَا تُـنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَ نْـتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS: Al-Anfal:  60)

Syeikh Abdurrahman As-Sa’di menafsirkan ayat ini:

وَأَعِدُّوا‏  : لأعدائكم الكفار الساعين في هلاككم وإبطال دينكم‏.‏ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ‏ :‏ كل ما تقدرون عليه من القوة العقلية والبدنية

“Makna wa’aiddu adalah persiapkanlah untuk menghadapi musuh kalian yaitu orang-orang kafir yang berusaha menghancurkan kalian dan agama kalian. Sedangkan makna maa istatho’tum min quwwah adalah mempersiapkan segala hal yang kalian miliki dari kekuatan akal maupun kekuatan fisik.”

Indonesia Emas

Berkaitan dengan planing ini, maka menarik manakala kita memcermati cita-cita negeri ini guna menuju Indonesia emas tahun 2045 yang telah dicanangkan oleh pemerintah dan stakeholder terkait.

Tak ketinggalan pula, impian Indonesia Emas ini juga menjadi bahan kampanye oleh ketiga pasangan capres dan cawapres 2024.

Dalam sebuah buku keluaran Kadin setebal 224 halaman yang berjudul “Peta Jalan Indonesia Emas 2045” dengan tagline; Indonesia makmur, bertumbuh secara berkelanjutan dan inklusif.

Visi ini dipandu oleh sasaran spesifik melalui empat pilar inti, yaitu yaitu ‘resilient growth, ‘prosperous economy’, ‘vibrant inclusive society’, dan ‘sustainable development.

Namun belum dijelaskan secara rinci  langkah-langkah strategis dan perencanaanya, semisal sistem ekomoni seperti apa digunakan apa masih sistem ekomoni yang sekarang diterapkan, sistem interaksi antar  manusia, sistem peradilan dst.

Kemudian tujuan yang disebut negara emas (maju) dalam buku ini juga sebagaimana negara maju versi PBB, seperti halnya menggunakan rasio-rasio kemajuan ekonomi maupun tehnologi.

Level Kesejahteraan Negara

Perlu diketahui, apabila dicermati secara mendalam bahwa bentuk kesejahteraan sebuah negara di belahan dunia ini dapat dipilah menjadi beberapa level, yakni:

Level 1: Kesejahteraan yang diperoleh oleh sebuah negara lebih karena menjajah alias mengeruk kekayaan negara lain. Contohnya: Amerika Serikat, dll.

Level 2: Kesejahteraan yang diperoleh lebih karena anugerah kekayaan alam yang melimpah ruah dari Rabb semesta alam.  Contohnya: Qatar, dll.

Bagian 3: Kesejahteraan yang diperoleh lebih karena majunya sains dan tehnologi sebuah negara. Contohnya: Jepang, dll.

Level 4: Negara yang sejahtera dan juga mensejahterakan bangsa lain, negara yang maju secara sains-tehnologi dan juga maju manusianya. Contohnya: Negara Islam dirintis di masa Rasulullah ﷺ hingga Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Tentu dengan fluktuasi naik-turun peradaban, karena kekuasannya dipegang manusia, bukan cacat dari sistem peradabannya.

Meski begitu bahkan diakui orang-orang Barat sendiri, setidaknya Islam berhasil mengalami masa keemasan setidaknya selama 800 tahun. Ketika Barat kala itu masih dalam kegelapan yang dikenal dengan istilah “The Dark Ages” (zaman kegelapan), justru saat bersamaan peradaban Islam dalam kondisi “The Golden Ages” (zaman keemasan).

Justru Islam-lah saat itu yang membidani kemajuan peradaban Barat saat ini.

Kemajuan Hakiki

Dengan segala potensinya, Indonesia biidznillah bisa menuju negara maju. Selama kemudian negeri ini dipimpin oleh orang yang tepat dengan sistem yang baik pula.

Kemajuan yang dicita-citakan tentu bukan kemajuan yang semu dengan perilaku manusianya yang semakin mundur.

Sejahtera dan mensejahterakan, artinya kurang afdhal kalau majunya hanya untuk diri sendiri namun tidak mampu berbuat banyak menolong saudaranya seperti di Palestina, Rohingya, Uighur, dan lain sebagainya.

Pun kemajuan yang benar-benar menjadikan umat terbaik; beriman pada Allah dan menegakkan amar ma’ruf nahy munkar.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ 

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110).

Dalam Fathul Qadir oleh Imam Syauqani rahimahullah disebutkan:

 قالَ مُجاهِدٌ: إنَّهم خَيْرُ أُمَّةٍ عَلى الشَّرائِطِ المَذْكُورَةِ في الآيَةِ. أيْ: كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ حالَ كَوْنِكم آمِرِينَ ناهِينَ مُؤْمِنِينَ بِاللَّهِ وبِما يَجِبُ عَلَيْكُمُ الإيمانُ بِهِ مِن كِتابِهِ ورَسُولِهِ وما شَرَعَهُ لِعِبادِهِ، فَإنَّهُ لا يَتِمُّ الإيمانُ بِاللَّهِ سُبْحانَهُ إلّا بِالإيمانِ بِهَذِهِ الأُمُورِ

“Mujahid berkata: mereka adalah umat terbaik dengan syarat-syarat yabg disebutkan dalam ayat tersebut. Maknanya ialah: mereka menjadi umat terbaik saat mereka menjadi penyuruh pada yang ma’ruf, pencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah, dan beriman kepada apa yang wajib atas kalian imani dari kitab-Nya, Rasul-Nya, dan dengan syariah yang telah Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya. Karena tidak sempurna iman kepada Allah kecuali juga beriman pada perkara-perkara tersebut.” (Imam Syauqani, Tafsir Fathul Qadir)

Walhasil negara yang maju yang hakiki adalah negara yang dengan kekuasaannya (tangannya) menjadi wasilah amar ma’ruf nahi munkar yakni menyebarkan dakwah Islam serta melarang kemunkaran seperti syirik, perzinahan, kriminalitas, LGBT, beserta kemunkaran-kemunkaran lain.

Maka dari itu penting bahwa umat Islam untuk kembali menuju peradaban emas sebagaimana yang telah dirintis oleh Rasulullah ﷺ dilanjutkan para Khulafaur Rasyidin (Salafush Shalih) dan para khalifah setelahnya dengan cara menerapkan syariah Islam secara kaffah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Biidznillah, inii baru benar-benar negara emas. Wallahu A’lam.*

Pemerhati Sosial Politik

HIDAYATULLAH

Syekh Al Issa: Ajaran Islam Sudah Lengkap, Inovasi Boleh dalam Ijtihad

Hukum Allah datang untuk mencapai kepentingan agama dan kepentingan dunia.

Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia (MWL) dan Ketua Organisasi Cendekiawan Muslim, Syekh Mohammed Al-Issa, menegaskan tidak boleh ada inovasi dalam agama Islam karena agama Islam sudah lengkap.

Namun, menurut dia, inovasi diperbolehkan dalam ijtihad, yaitu proses penerapan teks hukum pada peristiwa atau masalah tertentu. Ijtihad adalah istilah hukum Islam yang mengacu pada penafsiran independen atau orisinal atas permasalahan yang tidak secara tepat dicakup oleh Alquran dan Hadits Nabi.

Hal tersebut disampaikannya saat menyampaikan ceramah bertajuk “Perkembangan Pemikiran antara Timur dan Barat” yang diselenggarakan oleh Universitas Kairo. Sheikh Al-Issa datang menghadiri acara tersebut sebagai tanggapan atas undangan dari Presiden Universitas Kairo Mohamed Elkhosht.

Syekh Al-Issa menegaskan, hukum Allah datang untuk mencapai kepentingan agama dan kepentingan dunia, jauh dari keinginan duniawi.

“Agama itu lengkap karena Tuhan yang melengkapinya, dan tidak boleh ada bid’ah di dalamnya. Sebaliknya, inovasi pada keberagaman ijtihad terhadap persoalan-persoalan besar sesuai dengan syarat hukumnya,” ujar Syekh Al-Issa, seperti dilansir Saudi Gazette, Rabu (27/12/2023).

Syekh Al-Issa mencontohkan para ahli hukum Islam di masa lalu tidak mewajibkan seseorang untuk mengamalkan ijtihadnya karena mereka mengetahui ahli hukum yang sejati adalah orang yang menghormati orang-orang sebelum dia, namun dia melakukan ijtihad dalam konteks ruang dan waktu.

Oleh karena itu, menurut dia, ijtihad tidak terbatas pada satu orang dan tidak terbatas pada orang lain, waktu tanpa orang lain, atau suatu tempat tanpa orang lain. Syekh Al-Issa menyinggung ciri-ciri umum dan perubahan intelektual yang paling menonjol yang terjadi antara Timur dan Barat serta titik-titik perbedaan dan konvergensi antara kedua belah pihak.

“Perkembangan antara Timur dan Barat berkaitan dengan sejumlah besar isu yang sebagian besar terkait dengan konsep kebebasan yang absolut dan berisiko, yang tidak mempertimbangkan agama atau sifat manusia,” ucap dia.

Syekh Al-Issa juga menyoroti ancaman terhadap keharmonisan antarbangsa dan masyarakat yang muncul baru-baru ini melalui provokasi agama berdasarkan kebebasan yang tidak terkendali yang telah merusak konsep indah kebebasan, termasuk insiden pembakaran salinan Alquran baru-baru ini.

Dia juga mencatat kebebasan absolut mengancam perdamaian dunia dan keharmonisan masyarakat nasional, terutama memicu benturan peradaban. “Perdebatan intelektual seringkali disikapi dengan pemahaman atau keyakinan melalui pilar dialog, bukan sekadar dialog. Pilar dialog yang bermanfaat terletak pada keseriusan, efektivitas, kompetensi lawan bicara, pengaruhnya, etika presentasinya, dan transparansinya,” kata dia.

Mengenai upaya menghadapi ujaran kebencian dan rasisme, Syekh Al-Issa mencatat perkembangan penting yang ia gambarkan sebagai kesepakatan berbasis nilai untuk melawan kebencian dan rasisme. Ini termasuk keputusan yang diambil oleh Majelis Umum PBB yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk memerangi Islamofobia dengan persetujuan semua negara anggota, termasuk negara-negara Barat.

Syekh Al-Issa juga menggarisbawahi perlunya melakukan dialog yang serius dan efektif dengan menghormati hak orang lain untuk hidup bermartabat, dan tanpa menghina atau memprovokasi sentimen agama orang lain.

Di akhir ceramah, Mufti Agung Mesir Shawki Ibrahim Allam memuji Syekh Al-Issa, dengan mengatakan ceramah tersebut memberikan peta jalan untuk mengoreksi jalan pemikiran keagamaan. Sementara itu, Rektor Universitas Kairo Mohamed Elkhosht menyerahkan sebuah perisai emas kepada Syekh Al-Issa.

KHAZANAH

Zakat Harta Karun (Rikaz) dan Barang Tambang (Ma’dan) (Bag. 1)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَالمَعْدِنُ جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الخُمُسُ

(Menggali) barang tambang itu memiliki risiko [1]. Sedangkan harta karun (rikaz), zakatnya sebesar seperlima.” (HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710. Lafaz hadis ini milik Bukhari.)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang harta karun temuan,

إن وجدته في قرية مسكونة، فعرفه. و إن وجدته في قرية غير مسكونة، ففيه وفي الركاز: الخمس.

Jika engkau menemukan harta itu di kampung yang berpenduduk, maka umumkanlah (seperti hukum barang luqothoh atau barang temuan, pent.). Namun, jika engkau menemukannya di negeri yang tidak berpenduduk, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar seperlima (20%).” (HR. Asy-Syafi’i, 1: 238 dalam Tartib Musnad-nya; Al-Hakim, 2: 56; Al-Baihaqi, 4: 154; dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunah, 6: 58. Sanad hadis ini hasan)

Kandungan hadis

Pertama, definisi harta rikaz

Hadis ini merupakan dalil wajibnya mengeluarkan zakat sebesar seperlima (20%) dari harta karun (rikaz). Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang definisi rikaz. Jumhur ulama dari kalangan ulama Syafi’iyyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa rikaz adalah harta yang terpendam sejak masa jahiliyah [2]. Yaitu, masa sebelum Islam, baik harta itu berupa emas, perak, atau selain keduanya. Ciri-cirinya adalah ditemukan tanda-tanda bahwa harta tersebut berasal dari masa jahiliyah, atau berasal dari orang kafir meskipun tidak di masa jahiliyah. Seperti tercetak nama raja tertentu, atau gambar berhala tertentu, atau periode (masa) tertentu (misalnya, tertulis tahun tertentu), atau semacam itu, yang menunjukkan bahwa harta tersebut berasal dari orang kafir, baik di masa jahiliyah ataupun bukan.

Jika tidak ada ciri-ciri tersebut, maka jika pemilik asli harta tersebut diketahui, maka si penemu harus memberitahukan kepada pemilik aslinya. Jika pemilik asli tidak diketahui, maka harta tersebut termasuk dalam barang temuan (luqothoh), dan hukum luqothoh pun diberlakukan pada barang tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas,

إن وجدته في قرية مسكونة، فعرفه

Jika engkau menemukan harta itu di kampung yang berpenduduk (berpenghuni), maka umumkanlah (seperti hukum barang luqothoh atau barang temuan, pent.).

Adapun menurut ulama Hanafiyah dan selainnya, rikaz adalah semua barang yang terpendam di dalam bumi, sehingga mencakup pula barang tambang (ma’dan) [3]. Berdasarkan pendapat tersebut, maka tidak ada perbedaan menurut mereka antara rikaz dan ma’dan. Akan tetapi, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas,

وَالمَعْدِنُ جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الخُمُسُ

Menggali barang tambang itu memiliki risiko; sedangkan harta karun (rikaz), zakatnya sebesar seperlima.”,

menunjukkan bahwa rikaz itu berbeda dengan ma’dan. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan keduanya dengan kata sambung (و) (“dan”) yang menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya.

Kedua, ketentuan zakat untuk harta rikaz

Kewajiban zakat untuk harta rikaz adalah seperlima (20%), yang langsung dikeluarkan ketika menemukan harta tersebut, baik harta rikaz tersebut jumlahnya sedikit ataupun banyak; baik yang menemukan harta rikaz tersebut adalah muslim atau kafir dzimmi, anak kecil maupun orang dewasa, berakal ataupun gila. Hal ini karena hadis di atas yang menunjukkan kewajiban zakat harta rikaz sebesar 20% itu tidak membedakan siapakah yang menemukannya. Demikian pula, tidak dipersyaratkan adanya nishab dan haul, karena memang dia mendapatkan harta tersebut tanpa perlu biaya dan tanpa perlu bersusah payah. Sedangkan syariat secara umum, semakin besar biaya dan tenaga untuk menghasilkan (mendapatkan) suatu harta, maka kadar zakatnya akan lebih ringan. Dan sebaliknya, semakin ringan biaya dan tenaga untuk menghasilkan suatu harta, maka kadar zakatnya akan lebih tinggi.

Adapun sisa 80% dari harta rikaz setelah dizakati 20%, maka itu menjadi milik orang yang menemukannya karena dia yang lebih berhak atas harta tersebut. Dan juga berdasarkan perbuatan sahabat Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma, mereka menyerahkan sisa harta rikaz setelah dizakati kepada orang yang menemukannya.

Ketiga, kepada siapa zakat dari harta rikaz disalurkan?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kepada siapa (atau untuk apa) zakat dari harta rikaz ini disalurkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa zahirnya adalah sama seperti penyaluran harta fai’ (harta milik kaum muslimin yang diperoleh dari orang kafir tanpa melakukan peperangan). Sehingga yang menjadi patokan adalah dikembalikan kepada penguasa (pemerintah) kaum muslimin, manakah yang lebih maslahat di negeri tersebut, tidak khusus dibatasi hanya untuk delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat Abu Ubaid rahimahullah [4]. Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa golongan yang menerimanya itu sama dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat secara umum, misalnya orang fakir miskin [5].

Demikianlah pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin [6]. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 25 Jumadilawal 1445/ 9 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90347-zakat-harta-karun-rikaz-dan-barang-tambang-madan-bag-1.html
Copyright © 2023 muslim.or.id