Sepuluh Adab dalam Menuntut Ilmu

Seseorang murid atau pencari ilmu atau yang sedang dalam proses menuntut ilmu, agar yang dicarinya bisa dipahami dan dicapai serta menjadi barokah maka harus mempunyai adab dalam mencari ilmu.

Dalam kitab Mustakhlis Tazkiyah an-Nafs, Said Hawa menerangkan tentang adab dan tugas yang harus dilakukan oleh seorang murid dalam menuntut ilmu. Mengapa beradab itu penting? Sebab, ilmu tanpa adab sama saja sia-sia. Proses menuntut ilmu yang dilakukan hanya menjadi kesia-siaan semata.

Pertama, seorang murid mesti menyucikan jiwanya dari akhlak yang tercela saat akan mencari ilmu. Hal ini dimaksudkan agar ada niat yang benar-benar tulus untuk menuntut ilmu sebagai upaya untuk menghilangkan kebodohan.

Jika akhlak tercela masih menyelimuti jiwa sang murid, maka ilmu akan sulit masuk pada dirinya. Mengapa demikian? Sebab, ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa dan peribadatannya batin pada Allah Swt.

Kedua, seorang murid dianjurkan untuk mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia. Kesibukan dunia akan menjadikan seseorang lebih sibuk dengan dunia dan memalingkannya dari ilmu. Jika pikiran terpecah, maka seorang murid tidak akan bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada.

Oleh karena itu, ada sebuah adagium yang berbunyi: “Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya, sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu. Jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya, tapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu, maka kamu sedang dalam bahaya.”

Pikiran yang bercabang saat sedang menuntut ilmu bisa dikarenakan berbagai hal. Pikiran bagaikan sungai kecil yang airnya bercabang kemana-mana, sehingga sebagiannya dengan mudah diserap tanah dan sebagian lagi dihirup udara. Sehingga, tidak ada yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman yang utama.

Ketiga, para penuntut ilmu mesti bersikap tawadhu’ dan tidak sombong. Sikap tawadhu’ ini juga berlaku untuk orang yang bodoh atau orang yang berilmu. Para penuntut ilmu juga tidak boleh sewenang-wenang kepada sang guru, meskipun tingkat keilmuan sang guru berada di bawah sang murid.

Ilmu enggan takluk kepada pemuda yang congkak, sebagaimana banjir enggan berada di tempat tinggi. Oleh karena itu, seorang murid mesti mendengarkan nasehat-nasehat dari gurunya dan patuh kepadanya.

Keempat, orang yang sedang mencari atau menekuni ilmu pada tahap awal sudah semestinya menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia. Baik itu ilmu yang ditekuni tersebut ilmu dunia atau bisa juga ilmu akhirat. Hal tersebut akan membingungkan akal dan pikiran, serta akan membuat putus asa seseorang untuk melakukan kajian dan tela’ah yang mendalam terhadap ilmu.

Kelima, adab dalam menuntut ilmu selanjutnya adalah bagi para penuntut ilmu mestinya tidak meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji atau salah satu jenis ilmu. Sebab, ilmu pengetahuan akan saling mendukung dan terkait antara satu dengan lainnya. Maka, dalam menuntut ilmu, manusia tidak dianjurkan untuk membenci satu cabang ilmu meskipun ilmu tersebut sangat sulit dipelajari.

Keenam, seorang murid tidak dianjurkan untuk menekuni semua bidang keilmuan secara sekaligus. Tapi, menekuni sesuai urutan dan dimulai dengan yang paling penting.

Hal ini akan membuat ketidakfokusan dan pemahaman terhadap ilmu yang setengah-setengah, serta bisa menimbulkan pemahaman yang salah. Sebab, tidak mungkin juga seseorang menekuni semua bidang keilmuan, sebab ilmu itu begitu luas sedangkan umur manusia begitu terbatas.

Ketujuh, penuntut ilmu tidak dianjurkan untuk memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Sebab, ilmu telah tersusun secara berurutan, dan sebagiannya adalah jalan bagi sebagian yang lain. Orang yang mendapat taufiq dalam menuntut ilmu adalah orang yang menjaga urutan dan tahapan yang telah ada.

Kedelapan, dalam menuntut ilmu, sudah semestinya penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab seseorang bisa mengetahui ilmu yang paling mulia. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang bisa membawa manfaat untuk sesama, baik itu ilmu dunia atau juga ilmu akhirat.

Kesembilan, tujuan menuntut ilmu semestinya adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan ilmu. Tujuan menuntut ilmu di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan para makhluk ciptaan-Nya yang mempunyai derajat tinggi.

Maka dari itu, dalam menuntut ilmu, para murid tidak dianjurkan untuk mempunyai tujuan tak terpuji seperti untuk mendapatkan kekuasaan, harta, pangkat, atau mengelabuhi orang-orang bodoh, atau membanggakan diri kepada sesama orang berilmu.

Kesepuluh, adab dalam menuntut ilmu yang terakhir adalah hendaknya mengetahui kaitan ilmu dengan tujuannya agar bisa mengutamakan yang lebih tinggi ketimbang yang rendah, dan yang lebih penting daripada yang lainnya. Perlu dicatat, ilmu yang dipelajari tersebut mesti mampu membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.[]

BINCANG SYARIAH

Lakum Dinukum Waliyadin

Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar perkataan toleransi yang cenderung terkesan menghilangkan batasan-batasan yang telah diatur oleh syariat islam. Ingin menyatukan semua agama dalam kata saudara kenegaraan, namun lupa atau sengaja lupa bahwa ada aturan yang telah ditetapkan dalam islam, yang para ulama menamakannya wala’ dan bara’ (الولاء والبراء), kepada siapa kita boleh atau tidaknya memberikan loyalitas.

Dan lebih lucunya lagi ketika “oknum-oknum” tersebut berdalil dengan firman Allah ﷻ dalam surat al-kafirun:

لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ  

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. Al-kafirun :6).

Mereka berdalil dengan ayat tersebut untuk memproklamirkan kebebasan dalam beragama, dan seringkali membuat mereka mempromosikan sebuah perkataan bahwasanya setiap agama itu baik, cuma berbeda cara. Sehingga kita mendengar perkataan, mengucapkan dan merayakan natal tidak akan menganggu keimanan.

Mereka lupa atau memang tidak tahu esensi dari surat al-kafirun tersebut. Padahal jikalau kita mau belajar dan mencoba membuka tafsir para ulama, kita akan mendapati ayat-ayat pada surat al-kafirun tersebut malah menjelaskan hakikat dan konsekwensi dari ketauhidan seorang mukmin, yaitu dengan berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan, dan itu berarti membantah syubhat mereka sendiri.

Dalam tafsir imam Thabari disebutkan bahwa sebab Allah ﷻ menurunkan surat ini adalah karena kaum musyrikin dahulu memberikan penawaran kepada rasulullah ﷺ agar mereka bersatu dalam peribadatan, kaum musyrikan akan menyembah Rabb nabi Muhammad ﷺ selama setahun, namun tahun depannya, mereka bersama rasulullah ﷺ menyembah berhala-berhala jahiliyyah.
Maka, Allah ﷻ pun menurunkan firmanNya dalam surat al-kafirun, yang mana Allah ﷻ memerintahkan nabi Muhammad ﷺ untuk menjelaskan kepada mereka bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi, karena tidak mungkin bisa tauhid dipertemukan dengan kesyirikan, dan alhaq dengan kebatilan.
(Lihat tafsir Thabari : 24/702).

Imam Ibnu Katsir menukilkan pendalilan Imam Syafi’I dengan ayat ini, bahwasanya:

إن الكفر كله ملة واحدة تورثه  اليهود من النصارى، وبالعكس؛ إذا كان بينهما نسب أو سبب يتوارث به؛ لأن الأديان -ما عدا الإسلام-كلها كالشيء الواحد في البطلان.

“semua bentuk kekufuran adalah satu ajaran yang diwarisi yahudi dari nashrani begitupun sebaliknya. Antara keduanya ada hubungan nasab dan saling mewarisi. Karena semua agama, selain islam, semuanya seperti satu kesatuan dalam kesesatan.”
(Tafsir Ibnu Katsir : 8/508).

Hanya agama islam yang berjalan di atas tauhid, dan semua agama selain islam berjalan diatas kesyirikan dan kesesatan.

Syaikh As – Sa’di berkata ketika menafsirkan ayat:

لا أعْبُدُ ما تَعْبُدُونَ

“ Aku tidak akan menyembah berhala yang kalian sembah”

تبرأ مما كانوا يعبدون من دون الله، ظاهرًا وباطنًا

“Berlepas dirilah dari semua yang mereka sembah selain Allah, baik secara zhahir maupun secara bathin.”
(Tafsir Assa’dy hal. 936).

Begitu pula perkataan syaikh Amin As-Syinqithi dalam membantah orang yang mengatakan kebebasan beragama dengan berdalilkan surat ini:

وليس في هذا تقريرهم على دينهم الذي هم عليه، ولكن من قبيل التهديد والوعيد: كقوله

“Ayat ini bukanlah bentuk persetujuan kebenaran agama mereka, namun sebagai bentuk ancaman. Ini serupa dengan firmanNya:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ….  ٢٩

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…….
( QS. Al-kahfi : 29).

Sehingga, pada asalnya surat al-kafirun adalah bantahan untuk orang yang meyakini kebebasan beragama, ataupun yang berpegang kepada toleransi tanpa batas, karena surat ini mengajarkan untuk berlepas diri secara total dengan segala ajaran yang bertentangan dengan tauhid.

Dalam ayat lain, lebih tegas lagi Allah ﷻ berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ٢٢

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
(QS. Al-mujadilah : 22).

Tidak berloyalitas bukan berarti menganggu, menyakiti ataupun menzhalimi.

Islam adalah agama yang sempurna dan penuh dengan kebaikan, sekalipun kita dituntut untuk tidak berloyalitas alias berlepas diri secara total dari kesyirikan dan orang yang berbuat kesyirikan, namun kita tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan kezhaliman, Allah ﷻ berfirman:

وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-maidah : 8).

Begitu pula islam tidaklah melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang-orang musyrik selama mereka tidak memerangi kaum muslimin, Allah ﷻ berfirman:

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Mumtahinah : 8).

Bahkan, Allah ﷻ melarang kita untuk membunuh orang kafir yang berada di wilayah kaum muslimin ataupun yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, dan Allah mengancam pelakunya dengan keras, rasulullah ﷺ bersabda:

من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما

“Siapa yang membunuh seseorang yang memiliki perjanjian (dengan kaum muslimin), maka dia tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga bisa tercium sejauh 40 tahun perjalanan”.
(HR. Bukhari : 6914).

Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, kita dilarang untuk mengganggu orang-orang kafir, namun jangan sampai pula hal tersebut membawa seseorang melewati rambu-rambu yang sudah ditetapkan dalam syariat.

Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Rabu, 22 Jumadal Ula 1442 H/ 06 Januari 2021 M

BIMBINGAN ISLAM

Keistimewaan para Rasul (Bag. 2)

Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan lima poin keistimewaan para Rasul; diantaranya mendapatkan wahyu, Al-‘Ishmah, matanya tertidur namun hatinya tetap terjaga, mereka dimakamkan di tempat mereka meninggal, dan diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit. Silahkan simak pembahasan tersebut pada artikel Keistimewaan para Rasul (Bag. 1).

Pada penjelasan selanjutnya, akan kami lanjutkan poin keenam sampai kedelapan; diantaranya, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah, setiap nabi memiliki haudh (telaga), dan para nabi tetap hidup di kubur mereka. Silahkan menyimak ketiga ulasan berikut.

Keenam, jasad para nabi tidak bisa dimakan tanah

Dari sahabat Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya hari Jumat adalah di antara hari-hari kalian yang terbaik. Maka perbanyaklah selawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya selawat kalian disampaikan kepadaku.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana selawat kami disampaikan kepadamu, sementara Anda telah meninggal?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan jasad para nabi atas tanah” (HR. Abu Dawud no. 1531 dan An-Nasa’i no. 1374, dinilai shahih oleh Al-Albani).

Ketujuh, setiap nabi memiliki haudh (telaga)

Dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً وَإِنِّي أَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً

“Sesungguhnya tiap-tiap nabi itu memiliki telaga, dan sesungguhnya mereka saling membangga-banggakan telaga siapakah di antara mereka yang paling banyak pengunjungnya. Dan sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling banyak pengunjungnya” (HR. Tirmidzi no. 2443).

Hadis ini diperselisihkan status sahihnya. Dan di antara ulama yang menilai hadis ini hasan adalah Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani Rahimahumullah. Sehingga kita katakan bahwa nabi-nabi yang lain juga memiliki telaga. Meskipun demikian, telaga yang paling istimewa adalah telaga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapatkan suplai air dari surga.

Kedelapan, para nabi itu tetap hidup di kubur mereka

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون

“Para Nabi itu tetap hidup di kubur-kubur mereka, mereka shalat di dalamnya” (HR. Abu Ya’ala dalam Musnad no. 3425).

Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ

“Aku melewati Musa pada malam aku di isra’-kan, yaitu di samping bukit merah, beliau  sedang salat di dalam kuburnya” (HR. Muslim no. 2375).

Jika telah diketahui bahwa para nabi itu tetap hidup dalam kubur mereka berdasarkan dalil wahyu (dalil naql), hal itu pun bisa dikuatkan dari sisi logika. Hal ini karena para syuhada juga hidup (di dalam kuburnya) berdasarkan dalil dari Al Quran. Sedangkan kedudukan para nabi itu lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada (Fathul Baari, 6: 488).

Meskipun demikian, tidak boleh bagi kita untuk meminta sesuatu dari mereka, meskipun mereka tetap hidup di kubur mereka. Karena hal ini tidak pernah dilakukan sama sekali oleh para salaf. Perbuatan itu termasuk sarana menuju kemusyrikan dan juga menujukan ibadah kepada mereka, selain kepada Allah Ta’ala.  Berbeda halnya meminta kepada para Nabi ketika mereka masih hidup di dunia, hal ini bukanlah sarana menuju kemusyrikan (Qa’idah Jalilah fi At-Tawassul wal Wasilah, hal. 289).

Kehidupan para nabi di alam kubur adalah kehidupan di alam barzakh, yang kita tidak mengetahui bagaimanakah hakikatnya. Hal itu termasuk perkara gaib yang tidak Allah Ta’ala kabarkan kepada kita. Sehingga, kehidupan mereka di alam kubur itu berbeda dengan kehidupan mereka di alam dunia.

Dalam masalah ini, terdapat sekelompok orang yang tersesat, karena mereka menyangka bahwa kehidupan para nabi di alam kubur itu sebagaimana kehidupan mereka di alam dunia. Hal ini bisa dibantah dari beberapa aspek:

Pertama, seandainya para nabi itu hidup di alam kubur sebagaimana hidupnya mereka di alam dunia, maka seharusnya mereka berada di atas bumi (di atas tanah), bukan di bawahnya. Ini adalah sunnatullah yang berlaku atas makhluknya, bahwa orang hidup di dunia itu berada di atas bumi, sedangkan orang yang sudah meninggal di bawah bumi.

Kedua, terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dalam beberapa masalah, demikian pula umat Islam setelah generasi sahabat. Demikian pula, berbagai bidah muncul sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya nabi itu hidup sebagaimana hidupnya di dunia, akan mudah bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berfatwa, menjelaskan kepada umat manakah yang sunah, dan manakah yang bidah, menjelaskan pekara manakah yang halal dan manakah yang haram.

Atau jika tidak demikian, maka ada kemungkinan yang lain, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu untuk berbicara atau tidak mampu menjawab pertanyaan. Atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu bangkit dari kuburnya. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari kesesatan semacam ini.

Ketiga, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa para rasul itu manusia biasa, mereka mati sebagaimana manusia juga mati. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)” (QS. Az-Zumar [39]: 30).

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 34).

Dan tidak terdapat dalil dari Al Quran dan As Sunnah bahwa mereka akan diutus kembali setelah meninggal dunia.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Orang yang Sudah Wafat Disebut Almarhum? Ini Makna Almarhum

Saat ada seorang muslim – boleh jadi kerabat atau kenalan kita, atau bukan siapapun – wafat, di Indonesia khususnya kita sering mendengar sebelum menyebut namanya dengan ungkapan Almarhum. Sementara, karena ungkapan tersebut juga merupakan kata berbahasa Arab, biasanya jika yang meninggal adalah perempuan, maka kata Almarhum ditambahkan ta’ marbuthoh di akhirnya sehingga menjadi al-Marhumah. Dalam bahasa Arab, huruf ta’ marbuthoh untuk kata nomina (al-ism) memang menjadi penanda nomina feminim (mu’annats). Tapi, adakah penjelasan mengapa orang yang sudah wafat disebut almarhum ?

Kata Almarhūm secara kebahasaan merupakan bentuk objek dari asal kata kerja rahima yang berarti kasih. Sehingga, kata Almarhūm atau Almarhūmah secara bahasa memiliki yang dikasihi atau yang disayangi oleh Allah Swt.

Lalu mengapa orang yang sudah wafat disebut sebagai almarhūm atau almarhūmah? Sebenarnya, ungkapan ini merupakan ungkapan yang menggambarkan harapan dari kita yang masih hidup agar seorang muslim yang wafat ini senantiasa dikaruniai rahmat oleh Allah Swt. di kehidupan setelah dunia. Bahkan, Nabi Saw. sangat fokus kepada pengajaran bahwa kematian pada hakikatnya merupakan kasih Allah Swt. kepada seluruh makhluk-Nya. Karena hakikatnya, kehidupan di alam dunia ini adalah kehidupan yang sementara dan bukan yang inti dari perjalanan kehidupan manusia. Agar seorang muslim mendapatkan rahmat-Nya kelak di alam akhirat, ia harus tetap menjadi seorang muslim sampai akhir hayatnya. Itu sebabnya, Nabi Saw. sampai bersabda,

لقنوا موتاكم بقول لا إله إلا الله

talqinlah jenazah di sekitar kalian dengan perkataan Lā Ilāha Illā Allāh (Tiada Tuhan Selain Allah).

Beberapa ulama ada yang berpendapat kalau menisbatkan kata al-Marhūm atau al-Maghfūr lahu yang masing-masing berarti yang dikasihi atau yang diampuni tidak diperbolehkan. Pasalnya, hal tersebut berarti memastikan bahwa sosok yang meninggal tersebut, laki-laki atau perempuan tersebut sudah pasti dikasihi atau diampuni oleh Allah Swt. Padahal, tidak ada yang mengetahui dengan pasti kalau seseorang itu benar-benar dikasihi atau diampuni kecuali hal tersebut benar-benar ditegaskan oleh Allah Swt. atau pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Sehingga pernyataan al-Marhūm itulah seolah seperti bersaksi kalau seseorang yang meninggal itu sudah pasti masuk surga, atau al-Maghfūr lah berarti pasti sudah pasti akan masuk neraka. Diantaranya yang berpendapat demikian diantaranya adalah Syekh Abdullah bin Baz, mantan Mufti Arab Saudi. Ia kemudian menjelaskan bahwa sebaiknya ungkapan yang digunakan bukan al-maghfūr lah atau al-marhūm, namun rahimahu Allāh atu ghofara Allāh, yang diantara maknanya adalah “semoga Allah senantiasa mengasihinya” dan ‘semoga Allah senantiasa mengampuninya. Namun, jika mengatakan al-maghfūr lah atau almarhūm tersebut hanya merupakan harapan atau doa agar yang meninggal mendapatkan ampunan atau kasih dari Allah Swt., maka menyebut almarhūm atau almaghfūr lahu boleh-boleh saja bahkan disunahkan karena bagian dari mendoakan sesama muslim.

Selain kita sendiri dalam shalat tahajud, atau doa-doa dalam shalat kita membaca doa agar mengampuni atau mengasihi sesama muslim baik yang masih hidup atau sudah wafat, dalam banyak riwayat Rasulullah Saw. sendiri mencontohkan bagaimana menunjukkan sikap kasihnya yang begitu kuat tidak hanya kepada yang hidup, tapi yang sedang menghadapi ajal atau sudah wafat. Salah satu kisahnya misalnya ketika Rasulullah Saw. mendatangi sakaratul maut salah seorang cucunya. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zayd,

كنا عند النبي إذ جاءه رسول إحدى بناته، يدعوه إلى ابنها في الموت، فقال النبي: «ارجع إليها فأخبرها أن لله ما أخذ وله ما أعطى، وكل شيء عنده بأجل مسمى، فمرها فلتصبر ولتحتسب»، فأعادت الرسول أنها قد أقسمت لتأتينها، فقام النبي وقام معه سعد بن عبادة، ومعاذ بن جبل، فدفع الصبي إليه ونفسه تقعقع، كأنها في شن، ففاضت عيناه، فقال له سعد: يا رسول الله ما هذا؟! قال: «هذه رحمة جعلها الله في قلوب عباده، وإنما يرحم الله من عباده الرحماء

“(Usamah bin Zayd berkata) Suatu ketika kami bersama Nabi Saw. saat ada utusan salah seorang anak perempuan Nabi Saw. (Zaynab), yang meminta agar Nabi Saw. menemui cucunya yang sedang mendekati ajal. Nabi Saw. lalu mengatakan kepada utusan itu: “kembalilah kepadanya dan katakan kalau Allah berhak mengambil dan memberi yang Dia mau. Seluruhnya disisi-Nya itu untuk sudah ditakdirkan. Pergilah, dan bilang agar ia sabar dan merenung.” Utusan itu kemudian kembali lagi menemui Rasulullah dan mengatakan kalau ia sudah bersumpah kepada yang mengutusnya untuk bisa membawa Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. pun pergi bersama Sa’ad bin ‘Ubadah dan Mu’adz bin Jabal. Lalu, anak itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Lalu tubuh anak itu tiba-tiba bergetar seolah-olah ia sedang terkaget. (Anak itu lalu wafat) dan air mata Rasulullah Saw. basah. Sa’ad lalu bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasul, kenapa ini (kok engkau malah sedih) ?!” Rasulullah Saw. lalu bersabda: “ini (sesungguhnya) adalah rasa kasih yang Allah tetapkan di hati para hamba-Nya. Dan Allah sungguh sayang pada para hamba-Nya yang memiliki jiwa kasih.”

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 6)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 5).

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Penyebab perpecahan

Termasuk sebab terbesar perpecahan di tengah masyarakat adalah ketika sebagian kaum muslimin melanggar hak saudaranya yang seiman, dengan menodai kehormatannya, menuduhnya tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat, berprasangka buruk terhadapnya, menzaliminya, mengadu domba, dan memecah belah.

Ancaman bagi orang yang memusuhi wali Allah

Para ulama dan orang-orang saleh di sebuah masyarakat adalah orang-orang yang kita berprasangka baik bahwa mereka termasuk wali Allah yang dimaksud dalam hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku nyatakan perang kepadanya’” (HR. Al-Bukhari).

Saudaraku, perhatikanlah hadis mulia di atas – semoga Allah merahmati anda – bagaimana Allah membela wali-wali-Nya dan orang-orang yang dicintai-Nya serta menolong mereka. Di sisi lain, perhatikanlah bagaimana Allah mengancam orang yang memusuhi wali-wali-Nya dengan menyatakan peperangan kepadanya. Allah Ta’ala tidak akan membiarkan wali-wali-Nya tanpa pertolongan-Nya. Hanya saja, tentunya pertolongan dan pembelaan Allah terhadap wali-wali-Nya terkait erat dengan sunnah kauniyyah-Nya. Dan diantara sunnatullah adalah Allah tidak segera mengazab orang yang memusuhi wali-wali-Nya, tentunya Allah Maha Bijaksana dalam setiap keputusan-Nya.

Diantara hikmah tidak disegerakan azab bagi musuh-Nya adalah Allah beri kesempatan musuh tersebut untuk bertaubat. Maka jika ia bertaubat, Allah pun menerima taubatnya. Namun jika ia tetap bersikeras memusuhi wali-wali-Nya dan bahkan bertambah kezaliman dan kesewenang-wenangannya, maka Allah biarkan mereka bergelimang dalam kezaliman untuk sementara waktu, lalu pada saat tertentu Allah mengazabnya dengan azab yang keras. Ketika itulah Allah memenangkan wali-wali-Nya dan menjadikan musuh-musuh mereka jadi kalah dan hina dina.

Siapakah wali Allah itu?

Allah Ta’ala menyebutkan syarat seseorang sebagai wali Allah dalam firman-Nya,

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yunus: 62-63).

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata,

من كان مؤمناً تقيّاً ، كان لله وليّاً

“Barangsiapa yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali Allah.”

Kedudukan ulama yang saleh

Berikut ini kedudukan ulama yang saleh sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala.

Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia , Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali-Imran: 18).

Ulama adalah sosok penjaga agama Islam

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu/ulama. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (QS. Al-Ankabut: 49).

Ulama adalah orang yang takut kepada Allah didasari ilmu yang benar

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut (dengan dasar ilmu yang benar) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Faathir : 28).

Ulama adalah penasehat hamba-hamba Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ

“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu/ulama, ‘Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’” (QS. Al-Qasas: 80).

Ulama adalah orang yang memiliki derajat tinggi

Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu/ulama. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Mujadilah: 11).

Ulama adalah penjelas kebenaran sampai pun di akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ إِنَّ الْخِزْيَ الْيَوْمَ وَالسُّوءَ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman, ‘Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kalian selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?’ Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu/ulama, ‘Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir’” (QS. An-Nahl: 27).

Ulama, orang-orang saleh (wali-wali Allah) adalah tokoh kunci dan pilar kesuksesan umat Islam. Maka barangsiapa yang berniat buruk, menzalimi dan memusuhi mereka, berarti ia telah berusaha menghancurkan pilar dan kunci umat Islam dan upaya mematikan cahaya Islam yang diajarkan dan diperjuangkan oleh para ulama tersebut. Allah Ta’ala  berfirman,

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (QS. Ash-Shaff: 8).

Pantaslah jika kehormatan dan darah ulama serta orang-orang saleh benar-benar menjadi target musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, orang-orang munafik serta orang-orang yang hasad kepada kaum muslimin.

Orang-orang yang beriman menjadi target musuh Islam dan musuh kaum muslimin dari masa ke masa

Musuh-musuh Allah mengawali permusuhannya terhadap sebaik-baik makhluk, yaitu para nabi Alaihimush shalatu was salam.

Musuh-musuh Allah mengalirkan darah mereka dan menodai kehormatan mereka, dan yang paling berat menerima permusuhan adalah sebaik-baik utusan Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang kafir dan orang-orang munafik berusaha membunuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tatkala mereka tak berhasil membunuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berusaha merusak kehormatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul yang menghembuskan berita dusta yang menodai kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Target musuh-musuh Allah setelah para nabi Alaihimush shalatu was salam adalah sebaik-baik umat, yaitu para shahabat Radhiyallahu ‘anhum, dimulai dari golongan Khulafa’ Rasyidin, musuh-musuh Allah pun membunuh Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu (menurut salah satu versi), Umar Bin Al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.

  • Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menurut salah satu versi dibunuh dengan cara diracun [1].
  • Umar Bin Al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu wafat dibunuh oleh seorang majusi Abu Lu’luah dengan cara pengecut.
  • Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh pemberontak.
  • Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dibunuh oleh seorang penganut aliran sesat khawarij, Ibnu Muljam.

Dan demikianlah dari masa ke masa, ulama dan orang-orang saleh menjadi target permusuhan musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

Renungan

Jika melanggar hak dan menzalimi kaum muslimin secara umum itu perkara yang dilarang, apalagi melanggar hak dan menzalimi orang-orang saleh dan para ulama mereka (wali-wali Allah), tentu lebih dilarang, karena merekalah tokoh kunci dan pilar kesuksesan umat Islam. Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan Islam, baik melalui ilmu maupun amal serta dakwah. Disamping itu, melanggar hak dan menzalimi orang-orang saleh dan para ulama adalah tindakan yang disukai setan dan merupakan ciri khas perilaku musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, orang-orang munafik, dan orang-orang yang hasad kepada kaum muslimin. Maka wajib berprasangka baik kepada kaum muslimin secara umum, apalagi kepada orang-orang haleh dan para ulama mereka. Oleh karena itu, apabila diantara mereka ada yang terjatuh kedalam kesalahan, hendaklah kita mencari uzur permakluman, karena meski terjatuh dalam kesalahan, biasanya seorang yang benar-benar bertakwa tidak menyengaja menyelisihi Al Quran dan As Sunnah dan kebenaran.

Meskipun disisi yang lain, seorang yang saleh apalagi dai dan ulama tentunya diharapkan benar-benar menerapkan akhlak yang santun, jujur, adil meskipun kepada orang yang membencinya dan ilmiah dalam seluruh sikapnnya serta taat kepada pemerintah kita selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Betapa indahnya jika masing-masing pihak memenuhi kewajiban masing-masing sehingga dengan demikian akan terpenuhi hak masing-masing pula, bukan justru sibuk dengan hak masing-masing sampai melupakan kewajiban. Semoga Allah menjaga NKRI ini sehingga benar-benar menjadi negara yang makmur dengan rezeki tauhid, iman, dan amal saleh, serta rezeki yang halal dan diberkahi-Nya. Aamiin.

Wallahu a’lam.

* * *

[Selesai]

Diolah dari :

https://www.alukah.net/sharia/0/95333/#ixzz6gzbbsBOy

Penulis: Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/60328-antara-berlebihan-dan-merendahkan-orang-shalih-bag-6.html

Khutbah Jumat: Zaman Berubah, Tetaplah Istiqamah!

Momentum khutbah Jumat adalah saat penting mengingatkan umat tentang pesan-pesan takwa kepada Allah, karena ketakwaan menjadi parameter utama untuk mengukur tingkat kemuliaan manusia. Istiqamah adalah kunci agar semangat bertakwa senantiasa tertanam dalam diri hingga akhir hayat. 

Materi khutbah Jumat kali ini mengingatkan kembali bahwa zaman senantiasa bergerak secara dinamis. Banyak perubahan yang terjadi, baik secara teknologi, sosial-budaya, maupun tata kehidupan ekonomi dan politik. Namun, satu hal yang penting diperhatikan mustami‘ (penyimak khutbah Jumat): tetap di garis ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Komitmen inilah yang kita kenal dengan “istiqamah”.

Berikut contoh teks khutbah Jumat tentang “Zaman Berubah, Tetaplah Istiqamah!”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)   Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: ٣٠)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Dari atas mimbar khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan.

Kaum Muslimin rahimakumullah, Istiqamah adalah luzum tha’atillah: konsisten dalam ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ta’ala. Orang yang istiqamah adalah orang yang senantiasa konsisten taat kepada Allah, melaksanakan segenap kewajiban dan meninggalkan berbagai perkara haram. Orang yang berhasil istiqamah dalam kataatan kepada Allah, maka surga-lah tempatnya di akhirat. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: ٣٠)

Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’,”  (QS Fushshilat: 30).

Firman Allah “Kemudian mereka istiqamah” dalam ayat tersebut, menurut Sahabat Abu Bakar bermakna, “Mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.” Menurut Ibnu ‘Abbas, “Mereka konsisten dalam melaksanakan kewajiban.” Sementara kata Qatadah, “Istiqamah dalam ketaatan kepada Allah.”

Allah juga memerintahkan Nabi-Nya untuk Istiqamah:

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ  (الشورى: ١٥)

Maknanya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan istiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka”   (QS asy-Syura: 15)

Salah seorang sahabat pernah berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam sebuah perkataan sehingga aku tidak perlu bertanya lagi kepada siapa pun setelahnya.” Rasulullah menjawab:

قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ (رواه مسلم)

Maknanya: “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah” (HR Muslim)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Istiqamah adalah salah satu tonggak yang sangat penting bagi sebuah bangsa atau umat agar bisa berjaya, menempati posisi yang mulia dan memimpin lajunya peradaban dunia. Suatu umat atau sebuah bangsa yang kehilangan permata istiqamah ini akan kehilangan arah dan mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.

Karena dengan hilangnya istiqamah, moral akan rusak, perbuatan keji dan hina akan menyebar, kerusakan akan merajalela, kekacauan akan merata dan umat akan dihantui oleh rasa hasud, dengki dan permusuhan. Sebaliknya istiqamah akan memberikan buah yang manis di tengah-tengah umat yang berpegang teguh dengannya. Seorang warga atau individu yang istiqamah akan hidup tenang, damai, taat dan tunduk kepada Allah, tidak menyakiti orang lain, bersabar ketika disakiti orang lain, selalu berperan serta dalam melakukan perbaikan-perbaikan di tengah masyarakat dan membimbing orang yang tersesat ke jalan yang benar. 

Jamaah Shalat Jum’at yang berbahagia,

Jadi istiqamah adalah suatu keniscayaan bagi setiap individu dari sebuah umat atau bangsa, lebih-lebih para pemimpin. Pemimpin dalam skala besar ataupun kecil. Pemimpin dalam lingkup yang luas ataupun unit yang paling kecil. Mulai dari pemimpin suatu negara, pemimpin daerah, pemimpin perusahaan, sampai kepala rumah tangga.    

Imam Rifa’i pernah menyatakan:

اِسْتَقِمْ بِنَفْسِكَ يَسْتَقِمْ بِهَا غَيْرُكَ، كَيْفَ يَكُوْنُ الظِّلُّ مُسْتَقِيْمًا وَالْعُوْدُ أَعْوَجُ

“Istiqamahkan dirimu maka orang lain akan menjadi istiqamah karenamu, bagaimana mungkin bayangan sebuah benda akan lurus jika bendanya bengkok?”

Oleh karenanya sebuah komunitas, perkumpulan atau institusi apa pun yang berharap baik dan merindukan kesuksesan dan kejayaan haruslah dimulai dari istiqamah pemimpinnya. Jika pemimpin dan yang dipimpin istiqamah, guru dan murid istiqamah, suami dan istri istiqamah, direktur dan karyawan istiqamah, pejabat dan rakyat istiqamah dan seluruh lapisan masyarakat di semua bidang dan lini senantiasa istiqamah, maka kebaikan dan kesalehan akan merata di tengah masyarakat kita.

Saudara-saudaraku seiman rahimakumullah,

Marilah kita selalu istiqamah di jalan Allah meski zaman berubah, walaupun tahun telah berganti. Kita manfaatkan masa-masa hidup yang sementara ini untuk taat kepada Allah. Kehidupan kita di dunia ini adalah nikmat yang harus disyukuri dengan berupaya meraih kebaikan dunia dan akhirat. Kita diberi amanah berupa nikmat waktu, agar kita beramal tanpa ditunda-tunda lagi, tanpa kebingungan dan kehilangan arah. Hari-hari kita hidup di dunia, itulah umur kita. Orang yang tidak memanfaatkan umurnya maka umur itu yang akan melindasnya tanpa ia bisa meraih apa pun dari kehidupan yang fana ini. Al-Hasan al-Bashri pernah mengatakan:

ابْنَ آدَمَ، إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ، ذَهَبَ بَعْضُكَ

“Wahai manusia, engkau tidak lain adalah hari-hari yang terus berjalan, setiap lewat suatu hari maka sebagian dari dirimu telah hilang dan lenyap.”

Bahkan al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi sangat menyayangkan waktu yang berlalu begitu saja hanya untuk makan. Ia mengatakan:  

“Waktu yang sangat aku sayangkan pergi begitu saja adalah saat aku makan.”

Kita mungkin tidak bisa mencapai tingkatan beliau. Tapi setidaknya apa yang beliau sampaikan menjadi cambuk bagi kita untuk selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Marilah kita terus istiqamah. Kita rawat dan jaga keimanan kita dari hal-hal yang merusak dan memutuskannya. Kita konsisten dalam taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah adalah cahaya di alam kubur, penyelamat di atas jembatan shirath di hari kemudian dan keberuntungan di hari kebangkitan. 

Marilah kita berdoa di hari yang penuh barakah ini. Mudah-mudahan kita dianugerahi kemampuan oleh Allah untuk istiqamah, melakukan semua jenis kebaikan dan menjauhi segenap dosa dan kemaksiatan di sepanjang kehidupan. Sehingga kita menjadi insan-insan yang saleh dan layak menjadi pilar-pilar masyarakat madani yang kita cita-citakan. Marilah kita berdoa dengan doa Imam al-Hasan al-Bashri:

اللهم أَنْتَ رَبُّنَا فَارْزُقْنَا الْاسْتِقَامَةَ  

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, maka karuniakanlah kepada kami istiqamah di jalan-Mu.” Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.      أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Bidang Peribadatan & Hukum, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto.

NUorid

Memberhalakan Orang Shalih

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahuwata’ala, salah satu cara agar kita bisa memahami dan mengamalkan tauhid adalah dengan mengetahui lawannya, yaitu kesyirikan. Seperti yang telah kita ketahui, syirik adalah menyejajarkan segala sesuatu selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, yaitu dalam hal Rububiyyah (Perbuatan-perbuatan Allah), ‘Uluhiyyah (Perbuatan hamba dalam rangka beribadah kepada-Nya) dan Asma wa sifat (Nama dan Sifat Allah). Kesyirikan memiliki bentuk yang beraneka macam, dari yang nampak jelas sampai yang tersembunyi. Bahkan seseorang dapat tidak mengenali suatu kesyirikan karena kesamarannya. Untuk itu wajib bagi setiap muslim mempelajari ilmu tauhid secara mendalam sehingga dapat membedakan perkara tauhid dan syirik. Salah satu kesyirikan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah sebagai akibat berlebihan terhadap orang shalih.

Definisi Orang Shalih

Seseorang dikatakan memiliki sifat shalih jika telah menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama dengan baik. Yaitu orang yang menjauhi perbuatan kerusakan dan dosa serta menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersegera dalam kebaikan[1]. Dan manusia yang paling shalih adalah dari kalangan Rasul dan para Nabi. Secara umum manusia memiliki tiga sikap terhadap orang shalih[2]:

Pertama, orang yang besikap sesuai dengan batasan syari’at yaitu meneladaninya, mencintainya, menghormatinya, loyal kepadanya, membelanya, dan sikap lainnya yang diizinkan oleh syari’at. Dan secara khusus jika orang shalih tersebut adalah seorang Rasul, maka dengan mengambil syari’atnya dan mengikuti jejaknya.

Kedua, bersikap belebihan yaitu menyanjungnya dengan sanjungan yang melampaui batas, membangun dan memberi penerangan terhadap kuburnya, beribadah kepada Allah di sisi kuburnya, tabarruk (mencari berkah) dengan jasad dan peninggalannya, dan lain-lain.

Ketiga, bersikap merendahkan yaitu dengan tidak menunaikan hak-hak orang shalih seperti yang telah disebutkan pada poin pertama.

Dari kedua sikap tersebut, hanya sikap yang pertama yang diizinkan oleh syari’at, dua sikap yang lainnya merupakan sikap yang terlarang. Khususnya sikap berlebihan terhadap orang shalih. Karena hal tersebut dapat mengantarkan seseorang kepada jurang kesyirikan.

Awal Kesyirikan, Akibat dari Sikap Berlebihan Terhadap Orang Shalih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka (Kaum Nabi Nuh) berkata, “Jangan kamu sekali-kali meninggalkan sesembahan-sesembahan kamu dan (terutama) janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’quq, maupun Nasr” (QS. Nuh: 23). Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada kaum mereka, ‘Dirikanlah patung-patung mereka pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan syaitan tersebut tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah”.[3]

Dari riwayat Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu di atas, telah jelas bahwa pada awalnya kaum Nabi Nuh tidak bermaksud untuk menyembah patung yang meraka buat, melainkan hanya untuk mengenang orang-orang shalih tersebut. Namun pada akhirnya patung tersebut pun disembah. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan berlebihan terhadap orang shalih, yaitu membangun patung untuk mengenang mereka. Karena perbuatan berlebihan terhadap orang shalih tersebut dapat menjadi jalan terwujudnya kesyirikan. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian adalah karena berlebihan dalam agama.[4]

Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya,“Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian. Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki kekasih (khalil) di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil). Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah memperlakukan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagaimana masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu[5]

Takut Pada Syirik

Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin di sekitar kita, masih banyak di antara mereka yang kurang perhatian terhadap ilmu tauhid, bahkan meremehkannya dengan mengatakan “Buat apa kita belajar tauhid terus, kaum muslimin saat ini sudah bertauhid. Mereka lebih membutuhkan ilmu politik islam dan akhlak.” Padahal kekasih Allah, Nabi Ibrahim, masih berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari kesyirikan. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya) “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”( QS. Ibrahim 35). Maka bagaimanakah lagi dengan kita, apakah kita mau mengatakan tauhid kita lebih baik dari Nabi Ibrahim?!

Banyak kaum muslimin menyembah orang-orang yang mereka anggap shalih, yaitu dengan menyembah kuburannya, patungnya, berdo’a disisinya, mencari barokah di sisi kuburnya dan bentuk ibadah yang lainnya. Padahal ibadah merupakan perkara yang hanya boleh ditujukkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau hal ini diajarkan syari’at, tentu para sahabat akan lebih dahulu melakukannya, yaitu kepada makhluk yang paling shalih, Rasulullah shollahllahu ‘alaihi wasallam. Namun kenyataannya tidak ditemukan satu pun riwayat yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Lantas siapakah yang akan kita ikuti, jika kaum yang diridhai oleh Allah saja (yaitu para sahabat) tidak melakukannya?

Di Manakah Akal Sehat?

Jika kita masih menggunakan akal sehat kita, maka kita akan menyadari bahwa mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, telah melakukan perbuatan yang ditolak oleh akalnya sendiri. Allah subhanahuwata’ala berfirman (yang artinya) “Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah makhluk yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.[6] Pada ayat yang mulia ini, Allah subhanahuwata’ala menunjukkan kelemahan-kelemahan sesembahan yang disembah selain Allah. Pertama, sesembahan tersebut tidak mampu mencipta sebagaimana Allah subhanahuwata’ala mencipta. Maka seandainya ada sesuatu yang dapat mencipta sebagaimana Allah mencipta maka niscaya sesuatu tersebut layak untuk disembah. Namun pada kenyataannya hal tersebut mustahil ada. Karena hanya Allah yang maha Pencipta dan tidak ada yang semisal dengan-Nya. Kedua, sesembahan tersebut merupakan makhluk yang diciptakan. Akal tentu menetapkan bahwa yang mencipta pasti lebih layak disembah daripada yang diciptakan, karena yang mencipta pasti lebih kuasa dari yang dicipta. Dan hanya Allah yang bersifat Maha Pencipta segala sesuatu. Ketiga, sesembahan tersebut tidak mampu menolong orang yang menyembahnya. Dan yang keempat, bahkan sesembahan tersebut tidak mampu untuk menolong diri mereka sendiri. Maka untuk apa kita menyembah sesuatu yang lemah dan tidak kuasa untuk menghilangkan kemudharatan sedikit pun bahkan untuk dirinya sendiri.

Kita berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari perbuatan-perbuatan kesyirikan dan memberikan kita taufiq untuk dapat mempelajari tauhid dan mengamalkannya.

Penulis: Abu Kabsyah Ndaru

Artikel www.muslim.or.id

Bersaing dalam Kebaikan!

Salah satu tanda seorang mukmin adalah tidak gampang puas dengan apa yang sudah ia raih. Ia selalu ingin lebih baik dan terus lebih baik.

Hal ini sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah Swt dalam Al-Qur’an bahwa hendaknya setiap mukmin menyelesaikan segala urusannya dengan maksimal, baik itu urusan dunia ataupun urusan akhiratnya.

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS.Al-Mulk:2)

Seorang mukmin selalu merasa dalam medan perlombaan. Karenanya ia selalu dalam keadaan siap dan mengambil semua kesempatan yang ada agar ia menjadi pemenang.

Begitulah Islam mendidik setiap pengikutnya agar selalu merasa berlomba khususnya dalam urusan akhiratnya. Ambil semua kesempatan yang ada, jangan sampai terlewatkan sia-sia.

Sedangkan untuk urusan dunia, Al-Qur’an selalu mendorong kita untuk berjalan mengarungi bumi. Jemputlah rezeki Allah karena rezeki itu telah dibagi. Dan dalam urusan dunia kita dilarang untuk menjadi tamak dan rakus, karena jika kita tamak pasti ada hak orang lain yang kita rampas.

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS.Al-Mulk:15)

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS.Al-Jumu’ah:10)

Adapun ketika berbicara tentang akhirat, kita didorong untuk berlomba, bersaing dan tidak pernah puas.

۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:133)

فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah:148)

Dan setelah mensifati kenikmatan Surga, Allah Swt mengakhirinya dengan :

خِتَٰمُهُۥ مِسۡكٞۚ وَفِي ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ

“laknya dari kasturi. Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS.Al-Muthaffifin:26)

Ayat-ayat di atas bukan berarti mengajak kita untuk malas dalam urusan dunia atau setengah-setengah dalam mencarinya. Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda :

“Sesungguhnya Allah Swt menyukai bila seorang dari kalian mengerjakan sesuatu, kemudian mengerjakannya dengan sempurna.”

Maka kita dituntut untuk mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal, baik itu urusan dunia ataupun akhirat. Namun jadikan perhatian terbesar kita adalah akhirat  karena hanya akhirat yang kekal dan dunia akan segera sirna.

KHAZANAH ALQURAN

Benarkah Penggunaan Kalender Masehi Dalam Keadaan Tertentu Dibolehkan?

Bismillahirrahmanirrahim wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Sebelum kami menjelaskan jawaban dari pertanyaan di atas, ada baiknya kita merunut permasalahannya dari hukum asal penggunaan kalender masehi. Berikut penjelasannya.

Hukum Asal Penggunaan Kalender Masehi

Hukum asal penggunaan kalender masehi adalah haram dengan alasan:

  1. Karena itu adalah bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dalam hal yang menjadi ciri khas mereka yang membedakan mereka dengan kaum mukminin (orang-orang beriman).
  2. Karena kalender masehi adalah simbol dan syi’ar agama nashara (hal ini nampak dari sebagian besar nama-nama bulan di dalamnya adalah nama berhala atau nama-nama kaisar/pembesar orang-orang kafir [romawi]). Jadi, berkalender dengannya berarti ikut mensyi’arkan simbol dan syia’ar tersebut (baca: 5 Rahasia dibalik kalender masehi).

Berikut fatwa tentang hal ini:

Fatwa Lajnah Da’imah Kerajaan Arab Saudi no. 20722

Pertanyaan: “Apa hukum berinteraksi dengan kalender masehi dengan orang-orang yang tidak mengetahui kalender Hijriyyah, seperti kaum muslimin non Arab atau orang-orang kafir mitra kerja?”

Jawab: Tidak boleh bagi kaum muslimin menggunakan kalender Masehi karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang nashara (nasrani) dan termasuk syi’ar agama mereka. Sebenarnya kaum Muslimin, walhamdulillah, telah memiliki kalender yang telah mencukupi diri mereka yang mengaitkan mereka dengan Nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekaligus ini merupakan kemuliaan yang besar. Namun apabila ada suatu kebutuhan yang sangat mendesak maka boleh menggabung kedua kalender tersebut. Wabillahit taufiq”.

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyah Wal Ifta`

Anggota: Bakr Abu Zaid, Shalih Al-Fauzan, ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Azîz Alusy Syaikh
Ketua: ‘Abdul Azîz Bin ‘Abdillah bin Baz

(http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspxBookID=3&View=Page&PageNo=6&PageID=10455).

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penetapan kalender masehi sebagai simbol bagi suatu negara dan menggunakan perhitungan tanggal dengannya dalam berbagai hal, baik aktivitas kenegaraan maupun individu (dalam hal surat-menyurat, perdagangan, dan kegiatan yang lainnya) adalah bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang nasrani, serta ikut menyemarakkan syi’ar agama mereka, padahal nash syariat menunjukkan haramnya hal tersebut. Inilah hukum asalnya.

Hukum Penggunaan Kalender Masehi Ketika Ada Kebutuhan

Alhamdulillah, dalam Islam, jumlah perkara yang diharamkan jauh lebih sedikit daripada perkara yang dihalalkan, padahal dalam perkara yang diharamkan pun, ketika dalam keadaan darurat atau hajat setingkat hukum darurat, maka ada kemudahan dan keringanan, di antara kaidah-kaidah tersebut adalah:

Kaidah darurat

الضرورات تبيح المحضورات

“Keadaan darurat membolehkan larangan (yang haram)”

الحاجة العامة تنزل منزلة الضرورة

“Kebutuhan hajiyyah (sekunder) yang sifatnya umum kedudukannya disamakan seperti kebutuhan darurat”

الضرورات تقدر بقدرها

“(Pemenuhan) kebutuhan darurat diukur sesuai dengan ukurannya (secukupnya)”

ارتكاب أخف الضررين

“Mengambil kemudharatan (bahaya) yang paling ringan di antara dua mudharat (bahaya)”

Berdasarkan kaidah-kaidah di atas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:

Pada asalnya haram menggunakan kalender masehi dan wajib menggunakan kalender Hijriyyah. Hukum ini mencakup seluruh idividu dan negeri-negeri Islam. Akan tetapi jika dihadapkan kepada keadaan terpaksa menggunakan kalender masehi, maka ada rincian hukumnya:

  1. Berkaitan dengan orang yang tinggal di negara dengan kalender masehi, apabila peraturan di sana membolehkan untuk menggunakan kalender Hijriyah bersamaan dengan kalender masehi, maka wajib bagi setiap individu untuk menggunakan kalender Hijriyah di surat-menyurat dan kegiatan-kegiatan mereka semampu mereka karena hal itu adalah bentuk pelestarian terhadap kalender Hijriyah sebagai simbol bagi umat Islam, dan meminimalisir mafsadat (kerusakan) yang terjadi yang disebabkan penggunaan kalender masehi. Jadi, tidak mengapa untuk memanfaatkan kalender masehi, akan tetapi hanya sebagai pembantu kalender Hijriyah yang dia (kalender masehi) disebutkan di belakang kalender masehi ketika dibutuhkan atau ketika ada maslahat (kebaikan) yang kuat. Contohnya kita katakan,sekarang tanggal 29 Shafar 1436 H bertepatan dengan 22 Desember 2010“.Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kita katakan jika kita dihadapkan pada musibah yang seperti ini, sehingga kita harus menyebutkan kalender masehi juga, maka hendaknya yang disebutkan terlebih dahulu adalah kalender Hijriyyah Arab yang Syar’i kemudian baru kita katakan bahwa tanggal sekian hijriyyah bertepatan dengan tanggal sekian Masehi” (Liqaul Babil  Maftuhhttp://sh.rewayat2.com/fkh3ame/Web/7687/006.htm).
  2. Jika seseorang tinggal di negara yang peraturannya wajib menggunakan kalender masehi dan dilarang menggunakan kalender Hijriyyah, maka dia berkewajiban mengingkari semampunya dengan mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mudharat (bahaya) dengam bimbingan ulama.Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata, “Adapun kalau peraturan resmi sebuah negara melarang mengisyaratkan kepada penanggalan Hijriyah selamanya, dan mereka memeranginya, maka wajib bagi setiap individu dalam kondisi seperti ini untuk mengerahkan kemampuannya dalam mengingkari dan memberikan nasihat dan juga memperhatikan perkara ini dan mempertimbangkan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang kemungkinan terjadi dan berusaha menghilangkan sebab-sebab mafsadat (kerusakan) yang terjadi dan berusaha meminimalisir dampak yang ditimbulkannya, apabila tidak mungkin menghilangkannya. Dan masuk dalam pembahasan ini adalah berinteraksi dengan negara dan perusahaan dunia yang berpatokan dengan kalender masehi, maka boleh menggunakan kalender masehi ketika ada kebutuhan” (Istikhdamut Tarikhil Miladi, http://www.dorar.net/art/223).

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menjaga kita dari kehinaan dan menjadikan kita sebagai umat pemimpin dunia, merasa mulia dengan Islam dan syi’arnya. Amin.

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,

1. Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).

Sisi pendalilan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa  berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له

Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).

Sisi pendalilan

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,

Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).

2. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat

Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,

Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?

عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة

“Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).

Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.

3. Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah

Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).

4. Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,

خالفوا المشركين

“Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi)  (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).

5. Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam

Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

6. Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka

Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.

Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.

Penulis: Ust. Sa’id Abu ‘Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id