Estafeta Dakwah Nabi ﷺ

Rabiul Awwal adalah bulan istimewa dalam perjalanan sejarah Islam dan manusia. Di bulan tersebut lahir seorang manusia penuh cinta dan kasih sayang. Seorang nabi pilihan di akhir zaman, pempurna ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Kelahirannya dinanti oleh semua makhluk dan  para ahlul kitab yang faham akan kehadirannya. Lahir di kota suci, tempat baitullah dan Nabi Ismail berada. Dan, hadir di saat manusia diliputi kejahiliyahan.

Tumbuh berkembang di antara orang-orang penuh cinta dan perjuangan. Disusui wanita dari lingkungan Bani Sa’ad yaitu Halimah as-Sa’diyah. Sempat diasuh ibundanya, Aminah, yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan, wafatnya ibunda Aminah melengkapi perjuangan Nabi Muhammad muda, hingga sang kakek pun Abdul Mutholib turut mengasuh.

Bersama Abdul Mutholib Nabi Muhammad belajar kedermawanan, menjadi pelayan para tamu Allah di Masjidil Haram. Setelah sang kakek meninggal, pengasuhan beralih kepada Abu Thalib, paman yang sangat mencintainya. Beliau yang paling lama dan banyak memberikan pengaruh kepada Nabi Muhammad terkait kepemimpinan, kemandirian, dan perniagaan.

Nabi ﷺ sangat dikenal oleh penduduk Makkah, sebelum dan setelah mengemban tugas kenabian. Sebelum menjadi Nabi, beliau terlibat banyak peristiwa penting di Makkah. Dua diantaranya perihal Hilful Fudhul (perjanjian kebaikan) dan peristiwa peletakan Hajar Aswad.

Perjanjian Hilful Fudhul, saat seorang pedagang yang merasa dirugikan akibat barang dagangannya yang tidak dibayar oleh sang pembeli. Inilah yang menggerakkan Nabi ﷺ untuk mengajak para pemuka Quraisy menuntut sang pembeli agar mau membayar barang dagangan yang telah diambil. Kemudian dibuat perjanjian kebaikan agar setiap kewajiban ditunaikan dan hak diberikan, yang kemudian dikenal dengan Hilful Fudhul.

Peristiwa berikutnya terjadi ketika Ka’bah mengalami renovasi. Para pemuka dari setiap kabilah di Quraisy merasa berhak untuk meletakkan kembali hajar Aswad ke tempatnya semula. Hal ini menimbulkan keributan dan hampir terjadi perang di antara sesama suku Quraisy.

Hingga akhirnya seorang di antara mereka mengusulkan agar keputusan diberikan kepada siapapun yang masuk ke Masjidil Haram di saat para pemuka berada di dalam.  Dan, yang hadir adalah sosok yang tepat, pemuda yang jujur, berakhlak mulia dan bukan salah satu di antara kabilah yang sedang berebut, yaitu Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad memutuskan dengan meletakkan dan melebarkan kain sorbannya. Lalu, Hajar Aswad diletakkan di atas kain. Setelah itu, beliau meminta para pemuka Quraisy mengangkat Hajar Aswad secara bersama.

Setelah dekat, Nabi meletakkannya di tempatnya. Keputusan ini diterima para pemuka Quraisy yang tadinya bersitegang. Pasca Bi’tsah Nubuwah (penetapan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul), tugas beliau semakin berat dan besar. Nabi ﷺ berusaha menggerakkan orang-orang terdekat untuk terlibat dalam proses dakwah Islam. Seperti Khadijah istri Nabi, Ali bin Abi Thalib sepupunya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya, dan Abu Bakar sahabat terdekat. Mereka dikenal as-sabiqunal awwalun yang membantu pergerakan dan penyebaran dakwah Islam. Hingga pada puncaknya dakwah dikekang, dan akhirnya diperintahkan untuk hijrah ke Madinah.

Rabiul Awwal kembali menjadi penting, karena di bulan ini Rasul dan Abu Bakar sampai di Kota Madinah untuk hijrah. Setelah melewati perjuangan dan pengejaran kafir Quraisy, Nabi pun mengawali perjuangan dakwah di Madinah. Peristiwa hijrah ini merupakan tonggak awal sejarah berdirinya kekuatan dan pemerintahan Islam pertama.

Dari Madinah penyebaran wilayah Islam meluas khususnya wilayah Jazirah Arab. Di masa Khulafaurrasyidin dan pemerintahan Daulah Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Utsmani melanjutkan penyebaran Islam hingga dua pertiga adalah kekuasaan Islam.

Tugas Mabi ﷺ berakhir di bulan Rabiul Awwal tahun sebelas Hijriyah, beliau wafat diusia 63 tahun. Bulan yang menjadi kesedihan mendalam bagi para sahabat, sekaligus sebagai babak baru pemerintahan Islam. Di mana Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi sosok pemimpin pelanjut pemerintahan Islam.

Perjalanan dan pertumbuhan Islam tidak pernah jauh dari da’i dan penggerak awal yaitu Nabi ﷺ. Beliau adalah sosok saleh yang dapat menggerakan orang lain menjadi saleh dan bertugas mensalehkan orang lain. Dilanjutkan, tidak terputus para penggerak kebaikan ini, dan terus melanjutkan estafeta dakwah Islam sampai akhir zaman. Mereka para da’i, ulama, dan guru yang terus mengajarkan dan menjadi teladan yang menggerakan umat untuk beramal shaleh, mengajak pada jalan yang benar dan mencegah kemungkaran.

Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimin agar menjadi bagian dari orang-orang yang melanjutkan estafeta dakwah Nabi ﷺ. Amin.*/ Firdauspengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Segerakan Tobat, Agar Lebih Terhormat!

“Hidupku sudah bergelimang dosa dan maksiat, lebih baik aku jalani saja apa adanya, “
demikian sering kita dengar dari sebagian para pelaku maksiat.

Banyak para pelaku maksiat merasakan hidup seperti memakan buah simalakama. Dimakan kena gak dimakan tetap juga kena. Akhirnya, mereka tetap berkatifitas dan melakukan kemaksiatan dan keburukan. Contoh seperti ini sesungguhnya sebuah gambaran orang-orang yang putus harapan. Seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi.

Tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lanjut bergaya bak anak muda. Umur sudah mendekati ajal, namun gaya tak ketulungan. Meski sudah keriput, maksiat tetap tak surut. Rambut dikuncir, telinga pakai anting, dan semua tangannya pakai tato. Tua-tua keladi, ujar pepatah. Makin tua makin menjadi-jadi. Bukan insyaf tapi malah terus bermaksiat.

Sebaliknya, jika yang tua makin menjadi-jadi, yang muda justru tak memiliki hati. Mereka tahu apa yang dilakukan itu kurang baik dan merugikan, tetap saja menutup mata dan hatinya hanya untuk terus memperkokoh dahaga nafsunya. “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati masuk Surga, “. Slogan ini awalnya hanya gurauan yang ditempel di stiker-stiker bahkan digunakan jadi T-Sirt. Namun, sesungguhnya saat ini banyak dijadikan modal dan spirit kaum muda.

Dengan memasuki masa remaja, mereka seolah punya tiket untuk bisa bersenang-senang dan berbuat apasaja. Dan seringkali pula para orangtua memberikan legitimasi. “Mumpung masih muda, berbuatlah sesukamu,” begitu katanya.
Bagaimana mungkin, hanya dengan foya-foya, tanpa amalan sholeh orang bisa masuk surga? sungguh sangatlah mustahil.

Banyak orang mengaku sulit untuk melakukan kebaikan. Karenanya ia merasa akan terus berbuat keburukan dan bermaksiat. “Ya, saya sudah tahu ini keliru, tapi masih belum siap melakukannya, “ bagitu jawabnya.

Padahal, memulai kebaikan tidak perlu menunggu waktu dan tidak perlu menunggu orang banyak. Cukup mulailah dari hati dan niatkan. Jika masih malu dilihat orang, bersembunyilah untuk melakukan kebaikan sampai suatu saat siap waktunya. Sebab, tanpa memulai rasanya mustahil. Seharusnya, para pelaku kebaikan memegang prinstip, “Kalau bisa dimulai saat ini, kenapa harus menunggu sampai nanti?. Sebab, belum tentu esok hari umur kita masih ada.”

Rasulullah sangat berhati-hati dalam masalah ini. Beliau mengingatkan arti penting memanfaatkan waktu yang dimiliki tiap manusia, bahkan di saat manusia menginjak usia belia.

Dalam haditsnya, Rasulullah mengatakan, “Wahai remaja, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan menjaga kamu, peliharalah (hukum-hukam) Allah niscaya Allah akan bersama kamu, jika kamu memohon sesuatu maka mohonlah kepada Allah”. [Hadis Hasan Sahih riwayat Imam Tarmizi]

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Rasulullah juga bersabda, “ Sekali-kali tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba (manusia) pada Hari Kiamat nanti sehingga kepadanya ditanya tentang empat perkara: Pertama, kemana umurnya dia habiskan. Kedua, ke mana masa mudanya dia pergunakan. Ketiga, ke mana harta-bendanya ia belanjakan. Keempat, ke mana ilmunya diamalkan.” [al-hadits]

Bertaubatlah

Kini, mumpung masih ada waktu, marilah di setiap kita bertanya pada diri sendiri. Akan ke mana setelah ini? Dan apa amal kita yang akan kita bawa nanti saat menghadap kepada Allah SWT?

Islam tak pernah menganggap taubat sebagai langkah terlambat. Kapanpun kesadaran itu muncul, Allah tetap menerimanya, selama nafas masih menempel di badan. Hisab (perhitungan) akan amal-amal buruk kita di mata Allah akan segera terhapus dengan taubat kita yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha).

Kata Nabi, “Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.” (H.R. Muslim)

Hanya saja dalam Islam, menyangkut taubat ada kaidah dan adab-adabnya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: Pertama, meninggalkan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, bertekad tidak akan melakukannya kembali.

Taubat adalah sebuah kata yang sangat sederhana, akan tetapi tindakan ke arahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak orang yang menginginkan segera mengakhiri segala tindak dosanya, akan tetapi akibat balutan nodanya demikian pekat, selalu saja mengalami kegagalan untuk bertaubat. Hanya mereka yang punya tekad kuat dan yang dapat petunjuk dari Allah yang segera melangkahkan kaki menuju taubat.

Setiap manusia, pada dasarnya tidak akan terlepas dari perbuatan dosa. Sayangnya terkadang –di antara tumpukan dosa itu—seseorang merasa bahwa semuanya sudah terlambat untuk dibersihkan atau dihilangkan.

Perasaan seperti ini jelas keliru. Hal itu termasuk Al Khabair, yakni satu di antara puluhan dosa besar, yakni berputus asa dari rahmat Allah SWT.

Jangan sampai hal seperti ini dibiarkan terus.Syetan akan memanfaatkan kondisi setengah putus asa hingga bener-benar putus asa seperti ini, untuk terus mendorong kita semakin terjerumus dalam bujuk rayunya.

Allah SWt berfirman,” …dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al Baqarah: 168). Lebih lanjut Allah menjelaskan: “Barangsiapa yang mengikuti langkah-lanngkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan yang keji dan yang munkar.” (QS.24: 21)

Sebagai akibat dari sikap mengikuti syetan ini, kemudian melahirkan sikap lain, yaitu: “ semuanya sudah terlanjur atau nasi sudah menjadi bubur” dan perasaan lain seolah semua dosanya itu tidak akan ada lagi ampunan. Orang yang membiarkan dirinya ada dalam suasana seperti ini akan terus tercampakkan dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan yang semakin jauh dan dalam. Tentu sikap seperti ini berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan.

Dengan disyari’atkannya prinsip taubat, maka dapat dijelaskan bahwa syariat taubat merupakan bentuk rahmat Allah yang tak terhingga untuk ummat manusia. Al-Qur’an menjelaskan keutamaan taubat ini. Agar jiwa manusia kembali kepada jalan kesucian.

Dengan sadar dirinya sedang berburu dengan waktu dan usia, maka orang yang bertaubat secara benar dan sadar (taubatan nashuha), akan mengisi hidupnya dari kebaikan ke kebaikan. Ketika jalan itu sudah dipilih kemudian tergelincir (kembali) dalam perbuatan dosa, maka dia juga segera kembali jalan Allah.

Karenanya, tak ada alasan lagi untuk kembali ke hadapan Nya dengan penuh permohonan ampun. Sebab, ampunan Allah maha luas, tak peduli seberapa besar dan beratnya dosa yang dimiliki manusia.

Ibaratnya, jika seseorang telah melakukan kemaksiatan seluas lautan, maka ampunan Allah melebih luas langit dan bumi.

“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan Surga yang luasnya seluas langit danbumi, disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran:133)

Semoga kita termasuk orang-orang mampu menyesali masa lalu yang buruk dan menjadi ahli taubat. Amin ya Robbal ‘alamiin.[atw/cha/hidayatullah.com]

HIDAYATULLAH

Adab dan Metode Menyampaikan Nasihat (Bagian 1)

Menyampaikan nasihat adalah bagian dari kerja dakwah. Dalam berdakwah, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan.

Semua kebenaran harus disampaikan, meski mungkin akan berdampak buruk bagi yang menyampaikan.

Semua pekerjaan harus dikerjakan dengan cara yang terbaik, sama halnya dalam pelaksanaan dakwah.

Memberikan nasihat kepada orang lain mesti memperhatikan banyak aspek. Hal paling utama yang mesti diperhatikan adalah objek dakwah yakni orang yang akan diberi nasihat.

Orang yang akan dinasihati adalah manusia yang memiliki beragam adat, budaya, kecenderungan, pengetahuan, dan latar belakang sosial lainnya.

Semua hal yang melekat membuat manusia menjadi makhluk unik yang mesti didekati dengan cara yang berbeda-beda pula.

Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan hasil dakwah dan meminimalisasi dampak buruknya, perlu diperhatikan adab berikut ini:

Pertama, nasihat disampaikan dengan cara santun dan lemah lembut.

Dalam banyak ayat di Al-Qur’an, Allah Swt. mengajarkan hambaNya bagaimana menyampaikan dakwah atau nasihat kepada orang lain dengan cara santun dan lemah lembut, di antaranya dalam ayat berikut:

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali Imran (3):159)

Ayat di atas menunjukan bahwa dalam memberikan nasihat, seorang Muslim tidak perlu berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling benar, apalagi memojokkan.

Sebab, mereka pasti tidak akan bersimpati kepada kita bahkan tidak mau lagi menggubris nasihat kita.

Terkait strategi dakwah, ada ayat yang menjelaskannya.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl (16): 125).

Dalam ayat di atas terdapat beberapa adab bertausiyah atau berdakwah yakni disampaikan dengan hikmah (bijak); jika berbentuk nasihat lisan, hendaknya disampaikan dengan cara yang baik; jika harus bertukar argumen (debat, diskusi, atau dialog), dan hendaknya dilakukan dengan cara terbaik.

Kedua, menghargai perbedaan.

Saat kita bertukar argumen dengan orang yang kita nasihati, kemudian tidak terjadi titik temu, hargai pendapat mereka, dan tidak semestinya kita memaksa mereka untuk tunduk kepada pendapat dan ajakan kita.

Dakwah adalah mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, karena Rasulullah pun dilarang memaksa, seperti yang tercermin dalam ayat berikut:

“Kamu bukanlah seorang pemaksa bagi mereka” (Q.S. alGhasyiyah/88:22).

Ketiga, memperhatikan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan dan kemampuan berpikir objek dakwah harus menjadi pertimbangan dalam menyampaikan dakwah billisan, Rasulullah bersabda:

“Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar akal (daya pikir) mereka”(H.R. Dailami).

Keempat, menggunakan bahasa yang sesuai.

Bahasa yang digunakan hendaknya bahasa yang dapat dipahami dan sesuai dengan tingkat intelektual objek dakwah.

Ketika berbicara di hadapan kalangan masyarakat awam, gunakan bahasa yang berbeda dengan yang digunakan untuk berceramah di hadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya.

Kelima, memperhatikan budaya.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah itu diperlukan dalam dunia dakwah.

Seorang dai yang tidak menghargai budaya setempat, bukan saja sulit mendapat simpati, tetapi bisa jadi tidak punya kesempatan berdakwah lagi ketika masyarakat tersinggung dan merasa tidak dihargai budayanya.

Menghargai budaya bukan berarti melebur ke dalam kesesatan yang ada dalam sebuah masyarakat, akan tetapi berdakwah dengan cerdas dan cermat dalam memilih pendekatan dan cara.

Mengubah budaya yang mengandung kemungkaran harus tetap dilakukan, tetapi lagi-lagi adalah “cara” yang digunakan harus dipertimbangkan masak-masak.

Di sinilah para dai dituntut untuk memiliki wawasan seluas-luasnya supaya mampu menyikapi setiap permasalahan dengan santun dan bijak.

Keenam, memperhatikan tingkat sosial-ekonomi.

Kondisi ekonomi masyarakat kita berdakwah adalah hal yang harus diperhatikan oleh para dai.

Jika secara ekonomi masuk kategori mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena miskin, maka konten dakwah yang diberikan jangan didominasi materi tentang kewajiban zakat.

Konten dakwah yang mesti muncul adalah motivasi bagaimana agar zakat yang diterima dapat produktif dan selanjutnya tidak lagi menjadi mustahiq, tapi menjadi muzakki, orang yang mengeluarkan zakat sudah mandiri secara ekonomi.[]

BINCANG SYARIAH

Kemiripan Bekal Berhaji dengan Persiapan Menuju Kematian

Persiapkanlah semua keperluan yang ahsan (baik halal) harta ketika akan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Begitupun persiapkanlah bekal berupa amal saleh agar mudah menuju perjalanan ke kampung akhirat. 

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, dalam kitabnya Fadilah Haji mengatakan, banyak sekali orang kaya yang diberi Allah SWT harta yang melimpah ruah yang sampai ke tanah Hijaz dengan cepat.

Setelah semua perbekalan siap orang itu calon jamaah haji diberikan paspornya tanpa pemeriksaan ketat. “Begitulah keadaannya jenazah yang mempunyai simpanan amal yang melimpah ruah,” katanya.

Jenazah itu tidak takut akan seluruh keadaan di dalam kubur. Karena dia tinggal di dalamnya dengan tenang seperti seorang pengantin sehingga massa yang panjang sampai hari kiamat akan berlalu untuknya dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam saja. 

“Dia akan tidur di dalam kubur seperti sepasang pengantin yang tidur di atas ranjang dengan berselimut kain sutra dan selimut yang sangat halus pada malam pertama,” katanya. 

Jamaah haji harus mengingat ketika melihat dua helai kain ihram yang putih dibalutkan pada tubuh. Selalu bayangkan bahwa kain ihram ini merupakan kain kafan yang akan kita gunakan pergi ke alam kubur. 

“Lihatlah dengan pandangan ‘ibrah’ maka selama dia memakai pakaian ihram hendaknya ia ingat bahwa tubuhnya dibungkus dengan kain kafan putih dan ucapkanlah ‘Labbaik‘ (saya hadir). Pada saat ihram mengingat berlarian yang semua orang ketika mendengar suara orang malaikat yang menyeru pada hari kiamat,” katanya. 

Keadaan ini kata Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi, sesuai dengan surat Toha ayat 108 Allah SWT berfirman: 

يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ ۖ وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَٰنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا “Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Mahapemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”

Dan bayangkan ketika masuk ke Makkah seakan-akan kita masuk ke alam kubur. Di Makkah, ada harapan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT karena Makkah adalah Darul Aman, akan tetapi, karena amal buruknya, orang hendaknya selalu merasa takut kalau-kalau di tempat yang aman pun ia tidak mendapatkan keamanan. “Jamaah haji yang tinggal di Makkah selalu memperbarui ingatan tentang harapan itu,” katanya.

Adanya Makkah sebagai tempat yang aman selalu mengingatkan kita kepada rahmat Allah. Ampunan karunia-Nya, dan pemberian-Nya. Dengan mengingat seluruh amal buruknya yang telah dia kerjakan semasa hidupnya maka dia akan teringat satu bait syair yang berbunyi. “Jika setelah mati tidak hidup tenang maka mau lari kemana.”

Dan ketika memandang Baitullah mengingatkan kita ketika melihat rumah al-Malik pada hari kiama. Dan karena Baitullah adalah tempat munculnya kehebatan, keagungan dan kebesaran Allah SWT hendaknya kita datang ke Baitullah dengan penuh adab sebagaimana menerapkan adab pada waktu hadir di istana raja. 

Tawaf di Baitullah mengingatkan tawafnya para malaikat di Arsy Mualla di mana mereka selalu mengerjakan tawaf di sana. Menangis dengan selimut kelambu Kabah dan menangis di Multazam adalah seperti perbuatan seorang yang bersalah kepada seorang tuan yang baik telah memenuhi segala keperluannya. 

“Dia menangis dengan memegang ujung bajunya supaya dimaafkan, dan menangis sambil memegang dinding Baitullah karena inilah satu-satunya jalan agar dosanya dimaafkan,” katanya. 

Dan ini juga merupakan gambaran menangis pada hari kiamat karena teringat akan dosa. Kemudian antara Safa dan Marwah mengingatkan ketika kita berlari kesana dan kemari pada hari Mahsyar. Allah SWT dalam Alquran surat Al-Qamar ayat 7:  

خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ

“Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.”  

IHRAM

Saudi Cabut Larangan Perjalanan

Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi pada Ahad (3/1) pagi mengatakan telah mencabut larangan perjalanan sementara yang diberlakukan pada Desember lalu sebagai tindakan pencegahan karena adanya deteksi jenis Covid-19 baru di sejumlah negara. Pihak kementerian juga menyebut perjalanan yang memasuki Arab Saudi melalui udara, darat, dan laut akan dilanjutkan pada Ahad pukul 11.00 waktu setempat dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh Saudi Press Agency (SPA).

Beberapa pembatasan dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk meminta orang non-Saudi yang datang dari Inggris, Afrika Selatan, dan negara lain tempat varian baru Covid-19 terdeteksi agar tinggal setidaknya 14 hari dari negara-negara tersebut sebelum memasuki Saudi. Sementara warga negara Saudi yang diizinkan masuk dan berasal dari negara-negara tempat penyebaran varian Covid-19 baru, diharuskan tetap di rumah mereka selama 14 hari untuk observasi.

Kasus varian baru yang pertama kali terdeteksi di Inggris telah dilaporkan di negara-negara Eropa, termasuk Prancis, Swedia dan Spanyol. Selain di negara Eropa, varian itu juga telah terdeteksi di Afrika Selatan, Yordania, Kanada, dan Jepang. Arab Saudi telah mulai meluncurkan vaksin Covid-19, dimulai untuk mereka yang berisiko tinggi.

Dikutip Arab News, Ahad (3/1), Saudi mengalami penurunan yang stabil dalam jumlah kasus baru dan kematian akibat pandemi. Kementerian Kesehatan Arab Saudi pada Sabtu mencatat 101 kasus baru. Ini menjadi jumlah terendah dalam sembilan bulan dengan dua wilayah melaporkan tidak ada kasus.

Sebanyak 362.488 orang telah terjangkit Covid-19 sejak virus itu pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina pada Desember 2019 lalu. Dari total kasus tersebut, 2.772 kasus masih aktif dan 401 dalam kondisi kritis dan jumlah total kematian per 1 Januari adalah 6.230.

IHRAM

Keistimewaan para Rasul (Bag. 1)

Sesungguhnya para Rasul itu diberikan beberapa keistimewaan dari Allah Ta’ala sehingga membedakannya dari manusia yang lain. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain:

Pertama, wahyu.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang salih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Yang dimaksud dengan wahyu secara syar’i adalah informasi atau kabar berkaitan dengan syari’at. (Fathul Baari, 1: 12)

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia ini untuk mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia semisal dengan kalian.” Maksudnya, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat atau bukan jenis manusia. Bahkan, aku ini manusia semisal kalian. Maksudnya, sama-sama berasal dari jenis manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan aku kelebihan dan keistimewaan dengan memberikan wahyu kepadaku berupa tauhid dan syariat.” (Adhwaa’ul Bayaan, 3: 355)

Kedua, al-‘ishmah.

Yang dimaksud dengan al-‘ishmah (ke-ma’shum-an) adalah terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan perkara agama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136)

Allah Ta’ala mewajibkan iman kepada ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Seandainya mereka tidak ma’shum, niscaya Allah Ta’ala tidak akan mewajibkan hal tersebut. Tidak ada satu pun kaum muslimin yang memperdebatkan tentang kema’shuman para Rasul dalam menyampaikan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Para Nabi -semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka- itu ma’shum dalam perkara yang mereka beritakan dari Allah Ta’ala, juga dalam menyampaikan risalahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 289)

Ketiga, matanya tertidur, namun hatinya tetap terjaga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 1147)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita tentang perjalanan malam isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ وَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

“Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidil Haram. Malaikat pertama berkata, “Siapa orang ini di antara kaumnya?” Malaikat yang di tengah berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka.” Lalu malaikat yang ketiga berkata, “Ambillah yang terbaik dari mereka.” Dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang di malam yang lain berdasarkan penglihatan hati beliau. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam matanya tertidur, namun hatinya tidaklah tidur. Demikian pula para nabi (yang lain), mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 3570)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Para Nabi ‘alaihis salaam itu mata mereka tidur, namun hati mereka tidaklah tidur. Oleh karena itu, mimpi para Nabi termasuk wahyu.” (Al-Istidzkaar, 1: 75)

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Oleh karena itu, wallahu a’lam, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa mimpi para Nabi itu wahyu. Karena para Nabi itu terbedakan dari manusia lain yang hati mereka tidur, dan sama dengan manusia yang lain dalam hal mata yang tertidur. Seandainya tidur itu menguasai hati para Nabi, sebagaimana manusia yang lain, maka mimpi para Nabi akan sama statusnya dengan mimpi manusia yang lain. Allah Ta’ala memberikan kekhususan dengan keutamaan dari-Nya berupa keistimewaan (apa saja) yang Allah Ta’ala kehendaki.” (Al-Istidzkaar, 2: 101)

Keempat, para Nabi itu dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, para sahabat berselisih pendapat di mana akan memakamkan beliau. Abu Bakar berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak aku lupakan, yaitu beliau bersabda, “Allah tidak mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang mana dia suka untuk dikubur pada tempat itu. Kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.” (HR. Tirmidzi no. 1018, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para Nabi yang lain. Oleh karena itu, para shahabat tidaklah memakamkan orang meninggal di antara mereka di rumahnya, akan tetapi mereka makamkan di pemakaman Baqi’. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memakamkan satu orang pun di rumahnya. Hal ini merupakan dalil bahwa memakamkan di rumah itu tidak diperbolehkan.

Kelima, Nabi diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Tidaklah seorang nabi sakit kecuali akan diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari no. 4586)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Jangan Sibuk dengan Aib Manusia!

Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas dirinya masing-masing. Allah Swt Berfirman :

كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَة

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.” (QS.Al-Muddatstsir:38)

مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا

“Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS.Al-Isra’:15)

وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ

“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.” (QS.Al-An’am:164)

Bila seseorang selalu memperhatikan aib pada dirinya maka ia tidak akan sibuk dengan aib orang lain. Ia akan lebih dicintai oleh orang-orang sekitarnya karena tidak pernah mengurusi aib-aib mereka. Bahkan Allah pun senang melihat hamba yang sibuk dengan aibnya sendiri dan menjaga lisannya dari membicarakan aib orang lain.

Selain dicintai orang lain, orang yang tidak suka membicarakan aib orang lain juga akan lebih aman dari mulut-mulut manusia. Sementara orang yabg suka mencari tau aib orang akan dipantau aib-aibnya oleh orang lain.

Sibuk mengurusi aib orang akan membawa pada permusuhan dan dendam. Orang yang suka mengumbar aib orang lain pasti suatu saat aib-aibnya akan terbuka oleh Allah Swt, walaupun ia bersembunyi di rumahnya.

Maka berhati-hatilah, karena biasanya manusia sangat mudah melihat aib orang lain walaupun kecil dan sulit melihat aib dalam dirinya walaupun jelas dan besar.

Rasulullah Saw bersabda :

“Tampak bagi kalian kotoran kecil di mata saudaranya dan lupa terhadap sebuah batang di matanya sendiri.”

Semoga bermanfaat.

KHAZANAHALQURAN

Amalan yang Ringankan Siksa Kubur Orang Tua

Hal penting yang harus dilakukan anak yakni jangan lupa selalu mendoakan orang tua

Salah satu amalan yang harus dilakukan  anak adalah mendoakan orang tuanya. Terlebih, jika orang tuanya telah meninggal. Ulama fikih, Imam Abdullah al-Hadad mengatakan dalam bukunya, Sabilul Iddikar, salah satu hal penting yang harus diperhatikan seorang anak adalah jangan lupa selalu mendoakan orang tua, baik orang tua yang masih hidup maupun meninggal.

“Ada yang dinukil riwayat dari Sayyidina Ali. Ada seorang anak muda yang hidupnya ibarat rezekinya seret, tidak lancar, dia lapor ke Ali, ”Ya Amiral Mu’minin, saya ini kok hidupnya rezekinya seret?,” kata KH Arja Imroni, Katib PWNU Jawa Tengah dalam video bertajuk Amalan agar Meringankan Siksa Kubur Orang Tua yang Sudah Meninggal di kanal Youtube NU Online.

Lalu Ali bertanya dalam riwayat itu, “Apakah kamu suka mendoakan orang tuamu?”. Anak muda itu menjawab, “sama sekali tidak.” Kemudian Ali menjawab, “Itu penyebab rezekimu tidak lancar, tidak pernah mendoakan orang tua.”

“Penting diingat, bagi anak-anak muda, kalau mau hidup baik, doakan orang tua, paling tidak singkatnya rabbighfirli liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shagiiraa. Apalagi kalau orang tuanya sudah wafat,” ujar dia.

Arja menjelaskan, ada sebuah nasihat dari Sayid Abdullah al-Hadad. Dia pernah mengatakan, “Jika Anda tidak sempat membaca Alquran utuh, tidak sempat membaca ayat-ayat panjang, kalau bisa membaca surat al-Ikhlas 11 kali setiap hari. Kalau tidak bisa setiap hari, sepekan sekali setiap malam Jumat. Jika masih tidak bisa juga, sebulan sekali agar pahalanya dikirimkan ke orang tua.

Paling tidak, ini yang bisa dilakukan oleh seroang anak dengan membaca surat al-Ikhlas 11 kali tidak memakan waktu banyak. Selain itu, amalan tersebut juga terbukti dalam mukasyafah atau penyingkapan hal ghaib al-Hadad sangat menyenangkan bagi ahli kubur.

“Ilmu, insya Allah bermanfaat, hidup insya Allah dilapangkan rezekinya. Amalan sederhana tapi manfaatnya banyak untuk kita atau orang yang sudah wafat,” ucap dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apakah Waroqoh bin Naufal, Muslim?

assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh

ustadz afwan ana mau bertanya, waraqah ibn naufal pamannya ibunda Khadijah radiallahuanha apakah seorang muslim, karena dia membenarkan bahwa Rasulullah didatangi oleh Namus ( malaikat jibril ‘alaihissalam) seperti nabi Musa’ alaihissalam

jazakumullah khairan ustadzy wa barakallahu fiikum

Akbar, di Malang.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash sholaatu was salaamu ala rasulillah wa ba’du.

Sebelumnya mohon maaf kami sedikit meluruskan bahwa Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushoi Al-Qurosyi Al-Asadi bukan paman Ibunda Khadijah, sebagaimana ini yang populer di masyarakat. Namun yang tepat beliau adalah anak pamannya Ibunda Khadijah atau disebut sepupu.

Kemudian tentang status Waroqoh bin Naufal apakah muslim maka beliau adalah seorang muslim. Dalil yang kesimpulan ini adalah hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dari Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan,

لا تسبوا ورقة فإني رأيت له الجنة ، أو جنتين

“Jangan kalian mencela Waroqoh, karena sungguh saya melihat beliau mendapat satu atau dua surga.” (HR. Al-Hakim, dinilai Shahih oleh beliau, Imam Dzahabi dan Al-Albani. Islamqa.info)

Nabi mengabarkan surga untuk Waroqoh bin Naufal menunjukkan bahwa beliau adalah muslim.

Bahkan ada ulama yang menilai beliau sebagai orang yang pertama memeluk Islam dari kalangan laki-laki. Sebagaimana keterangan Syaikh Sholih Al Utsaimin rahimahullah,

ولهذا نقول: أول من آمن به من النساء خديجة ، ومن الرجال ورقة بن نوفل

“Oleh karenanya kita katakan bahwa orang yang pertama memeluk Islam dari kalangan perempuan adalah Khadijah. Dan dari kalangan laki-laki adalah Waroqoh bin Naufal.” (Lihat: Majmu’ Fatawa Wa Rosa-il Ibni ‘Utsaimin 8/613)

Meskipun yang tepat beliau tidak termasuk sahabat. Karena beliau meninggal di masa fatroh (masa antara dua Nabi), sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul. Sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir rahimahullah,

وتقدم الكلام على إيمان ورقة بن نوفل بما وجد من الوحي ، ومات في الفترة رضي الله عنه

“Penjelasan tentang berimannya Waroqoh bin Naufal kepada wahyu telah disinggung sebelumnya. Beliau meninggal di masa fatroh, semoga Allah meridhoi beliau.” (Al-Bidayah wan Nihayah 2/19)

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

KONSULTASI SYARIAH

Ini Alasan Keharaman Jual Beli Poin Fiktif dan Transaksi Fiktif

Setelah kita mengkaji mengenai kedudukan harta POIN Telkomsel yang kedudukannya adalah sah sebagai harta, disebabkan adanya pola penukaran yang disampaikan oleh Telkomsel, maka sekarang, mari kita mengkaji mengenai adanya kemungkinan poin fiktif.

Kita sebelumnya sudah memetakan bahwa POIN yang sah sebagai harta, adalah POIN yang memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Bisa ditukar dengan barang, yang mana barang daya tukarnya dijamin keberadaannya oleh perusahaan itu sendiri, yaitu Telkomsel. Untuk Telkomsel, sebenarnya hanya menghargai 1 POIN Telkomsel sebagai 100 rupiah. Harta POIN yang semacam ini lahir dari buah relasi akad dlaman.
  2. Bisa dijadikan bukti transaksi oleh pihak lain (Mitra Telkomsel) untuk menagih kepada Telkomsel bahwa telah terjadi penukaran POIN oleh konsumen kepada diri Mitra. Harta POIN semacam ini adalah lahir dari akad bai’ ma fi al–dzimmah bi ma fi al-dzimmah, atau bai’ al-dain bi al-dain, yaitu seolah utangnya Telkomsel dibeli oleh Mitra sehingga penagihan utang konsumen kepada Telkomsel beralih menjadi penagihan Mitra kepada Tekomsel. Akad semacam ini merupakan buah dari relasi akad hiwalah.

Syarat sah terjadinya akad hiwalah, adalah apabila besaran utang Telkomsel kepada Konsumen adalah sama besar dengan utangnya Konsumen kepada Mitra Telkomsel. Alhasil, akad hiwalah terjadi karena pengalihan tanggungan penagihan terhadap utang tersebut.

Bagaimana dengan POIN Fiktif?

Berbekal rincin analisis di atas, maka yang dimaksud dengan poin fiktif, adalah:

  1. POIN yang diterbitkan itu tidak memiliki jaminan nilai tukar terhadap barang. Pihak penerbit POIN tidak mencantumkan skema penukarannya sama sekali. Alhasil, keberadaannya tidak memenuhi relasi akad dlaman (penjaminan).
  2. POIN yang diterbitkan tidak memenuhi unsur sebagai bukti penagihan utang disebabkan karena suatu pekerjaan atau jasa yang dijanjikan.
  3. Maksud dari bukti penagihan utang adalah bukti karena pihak konsumen telah melakukan pekerjaan tertentu sehingga ia berhak atas ujrah (upah) yang dijanjikan oleh perusahaan penerbit POIN. Misalnya, karena saya sudah membeli pulsa, maka saya berhak atas 2 POIN. 1 POIN bisa digunakan untuk membeli pulsa dengan dskon 2.500 rupiah ke Aplikasi Hotel Murah (Mitra Telkomsel). Alhasil, dengan skema ini, saya berhak menagih uang sebesar 2.500 rupiah tersebut ke Telkomsel, yang mana saluran penagihannya bisa dilakukan lewat Mitra. Sementara itu, karena pihak Mitra sudah menalangi utangnya Telkomsel ke pemilik POIN, maka Mitra berhak menagih ke Telkomsel. Jadilah kemudian POIN adalah bukti transaksi yang meniscayakan Mitra menagih Telkomsel.
  4. Karena tidak menyatakan bukti penagihan / pekerjaan apapun, maka POIN tidak bisa disebut memiliki nilai (qimah). Sebagaimana kasus di atas, apabila pihak Telkomsel tidak menjalin akad kemitraan dengan Mitra Telkomsel, maka bagaimana pihak Mitra mahu menagih ke Telkomsel? Sudah pasti tidak bisa dilakukan.

Akad sebagaimana tergambar dalam ilustrasi di atas, merupakan  contoh gambaran sederhana dari keberadaan POIN fiktif. Oleh karenanya, pengalihan tanggungan penagihannya kepada pihak Mitra, adalah seolah-olah berlaku akad bai’ al-dain bi al-ma’dum, yaitu jual beli utang dengan sesuatu yang fiktif.

Bagaimana hukum menjualbelikan POIN tak berjamin utang atau bukti penagihan seperti ini? Sudah pasti jawabannya adalah hukumnya haram, sebab sama saja dengan telah melakukan praktik jual beli barang tidak ada (fiktif). Dalam istilah modern, transaksi seperti ini dikenal sebagai transaksi mondial (transaksi fiktif).

Di mana Praktik Transaksi POIN Fiktif ini kita temukan?

Dunia online merupakan dunia yang serba kompleks. Transaksi jual beli secara online, masuk rumpun transaksi syaiin mauhuf fi al-dzimmah, yaitu transaksi jual beli sesuatu yang bisa disifati dan bisa dijamin pengadaannya.

Karena obyeknya yang hanya terdiri dari sesuatu yang bisa disifati ini, maka seringkali terjadi penyalahgunaan oleh para developer Platform. Beberapa aplikasi seperti Alimama ApkVtube, Memiles, Share4Pay, Goins, Cashzine, adalah contoh-contoh dari aplikasi yang menjanjikan adanya POIN, namun tidak memiliki underlying asset (aset penjamin).

Dalam ranah cryptocurrency, ada PT Rechain Vidycoin Indonesia yang juga menerbitkan produk yang kurang lebih serupa. Mereka menawarkan harta dengan berbekal menonton Video iklan, atau menshare iklan, lalu memberikan poin kepada membernya berbekal menonton itu, namun POIN itu tidak memiliki nilai penukar atau bukti penagihan kepada perusahaan sama sekali.

Nah, POIN-POIN yang didapatkan dari mereka inilah, yang memenuhi syarat sebagai POIN Fiktif. Alhasil, mentraksasikannya adalah haram karena sama saja dengan jual beli barang ma’dum (barang tidak ada) namun dianggap ada sehingga seolah layak untuk dijualbelikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

BINCANG SYARIAH