Meraih Surga dan Menjauh dari Neraka dengan Ilmu Syar’i

Majelis ilmu syar’i adalah surga di dunia

Kami yakin bahwa kita semua menginginkan agar termasuk dalam penghuni surga-Nya. Bahkan mungkin itulah cita-cita dan harapan kita yang tertinggi di antara cita-cita dan harapan yang lain. Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan bagaimanakah jika cita-cita itu berhasil kita raih ketika hidup di dunia ini? Bukankah kita seharusnya akan sangat berbahagia?

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا

”Jika Engkau melewati taman-taman surga maka singgahlah!”

Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah! Apakah taman-taman surga itu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

حلق الذكر فإن لله سيارات من الملائكة يطلبون حلق الذكر فاذا اتوا عليهم صفوا بهم

”Majelis dzikir. Allah memiliki sekelompok malaikat yang mencari majelis-majelis dzikir. Jika mereka mendatanginya, malaikat-malaikat tersebut akan mengelilinginya.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Ali Hasan dalam Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 132)

Atho’ rahimahullah berkata, ”Majelis dzikir adalah majelis yang membahas tentang halal dan haram, bagaimana cara menjual, membeli (baca: fiqh jual beli), shalat, sedekah, nikah, thalaq, dan haji.” (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhuhal. 132)

Itulah taman-taman surga yang bisa kita dapatkan di dunia ini. Taman-taman surga itu tidak lain adalah majelis ilmu, yang dibacakan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah di dalamnya. Kita juga dapat berbahagia karena jalan menuntut ilmu ini juga akan memudahkan kita untuk berjalan menuju surga-Nya di akhirat kelak. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

”Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028)

Sehingga dengan ilmu syar’i, seharusnya kita berbahagia karena berhasil mendapatkan dua surga sekaligus, yaitu surga di dunia maupun surga di akhirat kelak.

Kebodohan: sifat penghuni neraka

Sebaliknya, kami yakin bahwa kita semua tidaklah menghendaki termasuk dalam penghuni neraka di akhirat kelak. Dan kami pun yakin bahwa inilah sesuatu yang paling kita takutkan jika kelak benar-benar menimpa diri kita Melebihi ketakutan jika kita jatuh miskin atau sakit parah di dunia ini.

Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan, bagaimanakah sifat-sifat penghuni neraka itu supaya kita semua tidak termasuk ke dalamnya?

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mensifati penduduk neraka dengan kebodohan dan mengabarkan bahwa Dia menutup jalan-jalan ilmu untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman menceritakan keadaan mereka,

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ

”Dan mereka berkata, ’Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal, niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.’ Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk [67]: 10-11)

Mereka mengabarkan bahwasannya mereka adalah orang-orang yang tidak mau mendengar dan tidak mau menggunakan akal.

Pendengaran dan akal, keduanya adalah pokok ilmu dan alat untuk meraih ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: 179)

Maka Allah Ta’ala mengabarkan bahwasannya mereka itu tidak dapat meraih ilmu dari tiga arah untuk mendapatkan ilmu, yaitu dari akal, pendengaran, dan penglihatan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di ayat lain,

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ

”Mereka itu tuli, bisu dan buta.” (QS. Al-Baqarah [2]: 18)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا إِنْ مَكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

”Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati. Tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-oloknya.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 26)

Allah Ta’ala telah mensifati para penduduk neraka sebagaimana yang telah kita lihat bersama, yaitu dengan tidak adanya ilmu, kemudian Allah menyerupakan mereka dengan binatang ternak. Dan terkadang Allah menggambarkan mereka seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (namun tidak memahaminya, pent.). Di bagian lain Allah juga menggambarkan bahwa mereka itu lebih sesat dari binatang ternak.

Terkadang Allah menyatakan bahwa mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi-Nya, terkadang Allah menyatakan bahwa mereka itu sebagai mayat-mayat, bukan sebagai orang hidup. Terkadang Allah mengabarkan bahwa mereka itu berada dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan. Terkadang Allah mengabarkan bahwa dalam hatinya terdapat penghalang, dalam telinganya terdapat sumbat, dan pada matanya terdapat penutup.

Ini semua menunjukkan menjijikkannya kebodohan, tercelanya orang yang memilikinya dan menunjukkan kebencian Allah kepada mereka. Sebagaimana Allah mencintai ahli ilmu, memuji, dan menyanjung mereka. (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhuhal. 48-49)

Bagaimana agar kita tidak termasuk dalam penghuni neraka?

Setelah kita mengetahui bagaimanakah sifat-sifat penghuni neraka itu, lalu bagaimana agar kita tidak termasuk ke dalam penghuninya? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah orang-orang yang bodoh sebagaimana firman-Nya,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)

Tidak ada cara lain untuk mengangkat kebodohan ini dari dalam diri kita kecuali dengan bersungguh-sungguh menuntut (mempelajari) ilmu agama. Karena ilmu tidak akan pernah mendatangi kita, namun kita-lah yang harus mencari dan mendatanginya. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Hendaklah Engkau berniat untuk mengangkat kebodohan dari dalam hatimu. Jika Engkau belajar dan menjadi seorang ahli ilmu maka hilanglah kebodohan dari dirimu. Demikian pula, berniatlah untuk mengangkat kebodohan dari umat ini dengan mengajarkan ilmu itu menggunakan sarana apapun agar manusia dapat mengambil manfaat dari ilmumu.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 28)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Tidak ada suatu amal pun yang sebanding dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya”.

Orang-orang pun bertanya, ”Bagaimana niat yang benar itu?”

Imam Ahmad rahimahullah menjawab, ”Seseorang berniat untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan dari selainnya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata mengomentari perkataan Imam Ahmad di atas,

”Karena mereka itu pada dasarnya bodoh, sebagaimana juga dirimu. Jika Engkau belajar dengan tujuan mengangkat kebodohan dari umat ini maka Engkau termasuk ke dalam golongan orang yang berjihad di jalan Allah yang menyebarkan agama Allah.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 29)

Ibnu Mas’ud rahimahullah berkata, ”Bersungguh-sungguhlah kalian menuntut ilmu sebelum ilmu itu dicabut. Ilmu itu dicabut dengan dimatikannya para ulama. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh-sungguh orang yang terbunuh sebagai syuhada’ di jalan Allah itu menginginkan untuk dibangkitkan sebagai seorang ulama karena mengetahui kemuliaan mereka. Dan seseorang tidaklah dilahirkan sebagai orang yang berilmu, akan tetapi ilmu didapat dengan belajar.” (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhuhal. 141-142)

Oleh karena itu, kuatkanlah tekad kita untuk mengangkat kebodohan ini supaya tidak termasuk ke dalam penduduk neraka di akhirat kelak.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Wanita Dunia Penghuni Surga Lebih Cantik dari Bidadari Surga

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan untuk memotivasi para wanita “agar bidadari cemburu padamu”. Maksud ungkapan tersebut adalah wanita dunia yang masuk surga akan lebih cantik dan lebih baik keadaannya dibandingkan bidadari surga. Ungkapan ini benar. Hanya saja, di surga tidak ada rasa cemburu dan hasad lagi.

Sering kali wanita di dunia tidak “terlalu suka” dengan penjelasan bidadari surga dan kecantikan mereka. Padahal dengan membahas hal tersebut, mereka akan tahu bahwa mereka lebih baik keadaannya daripada bidadari surga.

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,

هل الأوصاف التي ذكرت للحور العين في القرآن تشمل نساء الدنيا يا فضيلة الشيخ؟

“Apakah sifat-sifat (kecantikan) bidadari dalam Al-Qur’an juga mencakup sifat para wanita dunia (yang masuk surga), wahai syaikh?

Beliau menjawab,

الذي يظهر لي أن نساء الدنيا يكنّ خيراً من من الحور العين حتى في الصفات الظاهرة، والله أعلم.

“Pendapat terkuat menurutku bahwa wanita dunia lebih baik daripada bidadari, termasuk sifat dan karakteristik lahiriahnya (penampilan dan kecantikan), wallahu a’lam.” (Fatwa Nur ‘Alad Dard, kaset 283)

Di kesempatan lain, beliau menjelaskan bahwa para suami mereka (wanita dunia) lebih tertarik pada wanita dunia (istri mereka di dunia) dibandingkan bidadari. Beliau rahimahullah berkata,

المرأة الصالحة في الدنيا- يعني: الزوجة- تكون خيراً من الحور العين في الآخرة ، وأطيب وأرغب لزوجها

“Wanita shalihah di dunia, yaitu para istri, lebih baik daripada bidadari di akhirat, lebih cantik dan lebih menarik bagi suaminya.” (Fatwa Nur ‘Alad Dard 2: 4, Syamilah)

Ahli Tafsir Al-Qurthubi rahimahullah, menjelaskan bahwa wanita dunia lebih baik dan lebih cantik dari bidadari karena amal baik mereka di dunia, berbeda dengan bidadari yang langsung Allah Ta’ala ciptakan di dalam surga. Wanita dunia juga akan menjadi ratu dan tuan putri di surga. Beliau rahimahullah berkata,

حال المرأة المؤمنة في الجنة أفضل من حال الحور العين وأعلى درجة وأكثر جمالا ؛ فالمرأة الصالحة من أهل الدنيا إذا دخلت الجنة فإنما تدخلها جزاءً على العمل الصالح وكرامة من الله لها لدينها وصلاحها ، أما الحور التي هي من نعيم الجنة فإنما خُلقت في الجنة من أجل غيرها وجُعلت جزاء للمؤمن على العمل الصالح ….؛ فالأولى ملكة سيدة آمرة ، والثانية – على عظم قدرها وجمالها – إلا أنها ـ فيما يتعارفه الناس ـ دون الملكة ، وهي مأمورة من سيدها المؤمن الذي خلقها الله تعالى جزاءً له

“Keadaan wanita beriman di surga lebih utama dari bidadari dan lebih tinggi derajat dan kecantikannya. Wanita shalihah dari penduduk dunia masuk surga sebagai balasan atas amal saleh mereka. Hal ini adalah kemuliaan dari Allah untuk mereka karena bagusnya agama dan kebaikan mereka. Adapun bidadari adalah bagian dari kenikmatan surga. Mereka diciptakan di dalam surga sebagai kenikmatan bagi makhluk selainnya, sebagai balasan bagi orang beriman atas amal salihnya.

Jenis yang pertama, (yaitu wanita dunia) adalah sebagai ratu, tuan putri, dan yang memerintah. Adapun jenis kedua, (bidadari surga) dengan keagungan kedudukan dan kecantikannya – sebagaimana yang diketahui oleh manusia – maka kedudukan bidadari di bawah ratu. Dia menjadi pelayan bagi tuannya yang beriman yang Allah ciptakan sebagai balasan bagi orang beriman.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 154)

Berbahagialah wahai para wanita dunia, dengan beramal salih dan berdoa kepada Allah Ta’ala agar dimasukkan surga Allah yang tertinggi. Kenikmatan surga tidak dapat dibayangkan sedikit pun, kecantikan para wanita surga kelak tidak bisa dibayangkan sedikit pun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menukil firman Allah Ta’ala dalam hadis qudsi,

يَقُوْلُ اللهُ : أَعْدَدَتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، وَاقْرَأُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Allah telah berfirman, ‘Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang salih (di surga) kenikmatan-kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik dalam benak manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (Bag. Akhir)

Allah Swt berfirman :

أَفَمَن وَعَدۡنَٰهُ وَعۡدًا حَسَنٗا فَهُوَ لَٰقِيهِ كَمَن مَّتَّعۡنَٰهُ مَتَٰعَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا ثُمَّ هُوَ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مِنَ ٱلۡمُحۡضَرِينَ

“Maka apakah sama orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi; kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS.Al-Qashash:61)

Melanjutkan bagian-bagian sebelumnya, kali ini Al-Qur’an memberikan kepada kita gambaran yang detail tentang dua macam tipe manusia di dunia ini.

1. Contoh pertama adalah mereka yang beramal sholeh, sehingga Allah janjikan kepada mereka Kerelaan dan Surga-Nya. Maka ketika sampai di hari kiamat, beginilah kondisi mereka :

وَتَتَلَقَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ هَٰذَا يَوۡمُكُمُ ٱلَّذِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

“Dan para malaikat akan menyambut mereka (dengan ucapan), “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Al-Anbiya’:103)

نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِيٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ – نُزُلٗا مِّنۡ غَفُورٖ رَّحِيمٖ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.Fushilat:31-32)

Saat itulah Allah memberikan janjinya kepada orang-orang yang beriman dan tiada satu pun janji Allah yang tidak terpenuhi.

2. Contoh kedua adalah mereka yang tidak ada pikirannya kecuali keinginan duniawi.

كَمَن مَّتَّعۡنَٰهُ مَتَٰعَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا

“dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi.”

Dia tidak mendapatkan apa-apa di dunia ini kecuali harta, kenikmatan dan kelezatan duniawi. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan bekal amal sholeh untuk kehidupan akhiratnya nanti.

ثُمَّ هُوَ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مِنَ ٱلۡمُحۡضَرِينَ

“Kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS.Al-Qashash:61)

Di hari itu mereka akan di cegat di tengah perjalanan karena mereka akan di tanya tentang apa yang mereka lakukan di dunia.

وَقِفُوهُمۡۖ إِنَّهُم مَّسۡؤولُونَ

“Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS.Ash-Shaffat:24)

Mereka akan ditanya tentang segala sesuatu sementara di tangan mereka tidak membawa bekal apapun !

Al-Qur’an dalam ayat di atas menggunakan metode “pertanyaan” untuk penenakanan bahwa kedua tipe ini benar-benar jauh berbeda. Tentunya Al-Qur’am tidak benar-benar sedang bertanya. Karena mana mungkin bisa disamakan antara mereka yang tenggelam dalam kelalaian dunia dengan mereka yang bertakwa kepada Allah Swt ?

Dan metode ini banyak digunakan dalam Al-Qur’an, seringkali Allah ingin memberikan perbandingan antara yang baik dengan yang buruk dengan cara memberi pertanyaan “apakah sama ?”

أَفَمَن كَانَ مُؤۡمِنٗا كَمَن كَانَ فَاسِقٗاۚ لَّا يَسۡتَوُۥنَ

“Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik (kafir)? (Sungguh) Mereka tidak sama.” (QS.As-Sajdah:18)

Semoga Allah memggabungkan kita bersama mereka yang membawa bekal kelak di hari pembalasan.

أَفَمَن وَعَدۡنَٰهُ وَعۡدًا حَسَنٗا فَهُوَ لَٰقِيهِ كَمَن مَّتَّعۡنَٰهُ مَتَٰعَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا ثُمَّ هُوَ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مِنَ ٱلۡمُحۡضَرِينَ

“Maka apakah sama orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi; kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS.Al-Qashash:61)

Melanjutkan bagian-bagian sebelumnya, kali ini Al-Qur’an memberikan kepada kita gambaran yang detail tentang dua macam tipe manusia di dunia ini.

1. Contoh pertama adalah mereka yang beramal sholeh, sehingga Allah janjikan kepada mereka Kerelaan dan Surga-Nya. Maka ketika sampai di hari kiamat, beginilah kondisi mereka :

وَتَتَلَقَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ هَٰذَا يَوۡمُكُمُ ٱلَّذِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

“Dan para malaikat akan menyambut mereka (dengan ucapan), “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Al-Anbiya’:103)

نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِيٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ – نُزُلٗا مِّنۡ غَفُورٖ رَّحِيمٖ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.Fushilat:31-32)

Saat itulah Allah memberikan janjinya kepada orang-orang yang beriman dan tiada satu pun janji Allah yang tidak terpenuhi.

2. Contoh kedua adalah mereka yang tidak ada pikirannya kecuali keinginan duniawi.

كَمَن مَّتَّعۡنَٰهُ مَتَٰعَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا

“dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi.”

Dia tidak mendapatkan apa-apa di dunia ini kecuali harta, kenikmatan dan kelezatan duniawi. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan bekal amal sholeh untuk kehidupan akhiratnya nanti.

ثُمَّ هُوَ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مِنَ ٱلۡمُحۡضَرِينَ

“Kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS.Al-Qashash:61)

Di hari itu mereka akan di cegat di tengah perjalanan karena mereka akan di tanya tentang apa yang mereka lakukan di dunia.

وَقِفُوهُمۡۖ إِنَّهُم مَّسۡؤولُونَ

“Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS.Ash-Shaffat:24)

Mereka akan ditanya tentang segala sesuatu sementara di tangan mereka tidak membawa bekal apapun !

Al-Qur’an dalam ayat di atas menggunakan metode “pertanyaan” untuk penenakanan bahwa kedua tipe ini benar-benar jauh berbeda. Tentunya Al-Qur’am tidak benar-benar sedang bertanya. Karena mana mungkin bisa disamakan antara mereka yang tenggelam dalam kelalaian dunia dengan mereka yang bertakwa kepada Allah Swt ?

Dan metode ini banyak digunakan dalam Al-Qur’an, seringkali Allah ingin memberikan perbandingan antara yang baik dengan yang buruk dengan cara memberi pertanyaan “apakah sama ?”

أَفَمَن كَانَ مُؤۡمِنٗا كَمَن كَانَ فَاسِقٗاۚ لَّا يَسۡتَوُۥنَ

“Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik (kafir)? (Sungguh) Mereka tidak sama.” (QS.As-Sajdah:18)

Semoga Allah memggabungkan kita bersama mereka yang membawa bekal kelak di hari pembalasan.

KHAZANAH ALQURAN

Tanda Cinta Seorang Hamba kepada Allah Sang Pemilik Cinta

Bagaimana mungkin seorang hamba mampu menjalani ketaatan dan mampu meninggalkan kemaksiatan, apabila Allah tak memberikan kemampuan itu kepadanya? Bagaimana bisa seorang hamba mendapatkan karunia ketaatan, tatkala dalam hatinya tiada rasa cinta kepada Dzat yang menganugerahi cinta kepadanya? Kemudian, bagaimana cara seorang hamba bisa mencintai Tuhannya, jikalau berupaya untuk mengenal-Nya saja tidak? (Baca: Tiga Cara Menanam Rasa Cinta Kepada Allah)

Oleh karenanya, para ahli ilmu–termasuk di antaranya adalah Gus Mus–kerap kali menyampaikan bahwa, kewajiban pertama bagi manusia ialah mengenal Allah Swt. (Awwalu wajib ‘alal insan ma’rifatullah). Setelah menjalani tahapan pertama, yakni mengenal Allah, baru kemudian seorang hamba bisa merasakan mahabbah kepada Allah, yang mana salah satu buah dari mahabbah itu ialah ketaatan kepada Allah Swt.

Baik mengenal Allah, mencintai-Nya, maupun taat kepada-Nya memanglah sama-sama penting bagi seorang hamba. Tetapi dengan mencermati ketiga fase yang telah disebutkan, dapat dimengerti bahwa terdapat tali yang menghubungkan antara perkenalan dengan ketaatan, yaitu mahabbah kepada Allah Swt. Pertanyaannya, lantas bagaimana bisa mengetahui bahwa seorang hamba telah menempuh jalan mahabbah menuju Allah?

Melalui kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan beberapa tanda cinta seorang hamba kepada Allah yang di dalam dirinya. Di antara tanda-tanda yang dimaksud ialah, merindukan perjumpaan dengan Dzat yang memberi rasa cinta kepada hamba-Nya, yaitu Allah Swt.

Sebagaimana umumnya yang biasa dirasakan, tatkala seseorang merindukan orang lain, maka tiada jalan lain baginya untuk menebus kerinduan itu selain dengan perjumpaan. Ketika kita merindukan orang lain, maka kita akan mengupayakan berbagai cara supaya bisa berjumpa. Andai pun diminta berjumpa, maka kita tak akan menolak ajakan itu.

Begitu juga ketika seorang hamba merindukan Tuhannya, maka yang paling ia nantikan ialah berjumpa dengan-Nya. Karena seorang hamba sejati tak akan pernah menolak panggilan untuk berjumpa dengan Tuhannya. Sikap demikian juga yang dicontohkan oleh Khalilurrahman: Nabi Ibrahim a.s.

Ketika Malaikat Maut datang menghadap Nabi Ibrahim a.s., atas perintah Allah untuk mencabut ruh, Nabi Ibrahim pun segera melayangkan sanggahan terhadap tujuan kedatangan Malaikat Maut. Nabi Ibrahim berkata, “Hal ra’aita khalilan yumitu khalilahu? (Apakah engkau pernah melihat, seorang kekasih membunuh orang yang dikasihi?)”. Sebagaimana kita tahu, Nabi Ibrahim merupakan orang yang diberi julukan Al-Khalil (kekasih) atau Khalilurrahman (sang kekasih dari Dzat Yang Mahapengasih). Sehingga pantas saja apabila Nabi Ibrahim menyanggah tujuan kedatangan Malaikat Maut dengan ucapan tersebut.

Tidak lama setelah Nabi Ibrahim berkata demikian, kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim. Tanpa perlu Malaikat Maut menjawab pertanyaan tersebut, dengan sendirinya dapat terjawab oleh wahyu Allah yang tidak lain ialah sebuah pertanyaan kebalikan atas sanggahan Nabi Ibrahim. Allah berfirman, “Hal ra’aita muhibban yakrahu liqa’a habibahu? (Adakah engkau menjumpai orang yang mengaku mencintai, tetapi enggan bertemu kekasihnya?)”

Mendapat pertanyaan demikian, Nabi Ibrahim kemudian menyapa kembali Malaikat Maut, seraya berkata, “Wahai Malaikat Maut, cabutlah ruhku sekarang juga!” Karena kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah, maka tak sedikit pun hatinya berpaling dari jalan menuju perjumpaan itu.

Kejadian sebagaimana yang disebutkan di atas tentu tidak dapat kita jumpai, kecuali dari seorang hamba yang benar-benar memiliki rasa cinta kepada Tuhannya, dengan sepenuh hati. Tatkala mengetahui bahwa kematian merupakan sebab dari adanya perjumpaan, maka seketika hatinya bergetar dan tak sedikit pun ada perasaan untuk beralih menuju kekasih yang lain, atau berpaling dari kesempatan berjumpa.

Mungkin saja selama ini kita masih mengira bahwa kematian merupakan saat di mana cinta yang kita rasa itu berhenti. Tetapi nyatanya tidak demikian. Karena tidak bisa dipungkiri bahwasanya kematian merupakan pintu pembuka menuju perjumpaan kepada kekasih yang sesungguhnya. Yang tidak lain adalah realisasi dari rasa cinta kepada Dzat Yang Mahacinta. Walahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

4 Langkah Setan: Banyak Memandang, Makan, Bicara, dan Bergaul

Empat langkah inilah yang menjadi langkah setan dalam menyesatkan manusia menurut Ibnul Qayyim rahimahullah.

Dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:816), Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

إِمْسَاكُ فُضُوْلِ النَّظَرِ وَالكَلاَمِ وَالطَّعَامِ وَمُخَالَطَةِ النَّاسِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِنَّمَا يَتَسَلَّطُ عَلَى اِبْنِ آدَمَوَيَنَالُ مِنْهُ غَرَضَهُ مِنْ هَذِهِ الأَبْوَابِ الأَرْبَعَةِ فَإِنَّ فُضُوْلَ النَّظَرِ يَدْعُو إِلَى الإِسْتِحْسَانِ وَوُقُوْعِ صُوْرَةِالمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ فِي القَلْبِ وَالإِشْتِغَالِ بِهِ وَالفِكْرَةِ فِي الظَفْرِ بِهِ

“Hendaknya menahan diri dari pandangan yang tak bisa terjaga, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul. Hal-hal ini merupakan empat pintu setan dalam menguasai manusia dan jalan setan mencapai tujuannya. Enggan menundukkan pandangan akan mengantarkan pada menganggap baik (istihsan), yang dilihat akan menancap dalam hati, pikiran pun akan sibuk membayangkannya, hingga berpikiran agar tercapai tujuan.”

Empat hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam poin kesepuluh setelah menyebutkan sembilan kaidah bermanfaat untuk melindungi hamba dari setan dan menyelamatkan dari gangguannya. Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid, 2:809-816.

Pertama: Banyak memandang

Contohnya adalah memandang lawan jenis.

Dalam surah An-Nuur sendiri diperintahkan untuk menundukkan pandangan,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُم

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30)

Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31)

Dalam hadits disebutkan,

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ

“Zina kedua mata adalah dengan melihat.” (HR. Muslim, no. 6925)

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)

Kedua: Banyak bicara

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik, ataukah diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi, no. 2616 dan Ibnu Majah, no. 3973. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadits ini hasan).

Ketiga: Banyak makan

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya).

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)

Keempat: Banyak bergaul

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih)

Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim dalam Badaai’ Al-Fawaid:

  1. Bergaul seperti orang yang membutuhkan makanan, terus dibutuhkan setiap waktu, contohnya adalah bergaul dengan para ulama.
  2. Bergaul seperti orang yang membutuhkan obat, dibutuhkan ketika sakit saja, contohnya adalah bentuk muamalat, kerja sama, berdiskusi, atau berobat saat sakit.
  3. Bergaul yang malah mendapatkan penyakit, misalnya ada penyakit yang tidak dapat diobati, ada yang kena penyakit bentuk lapar, ada yang kena penyakit panas sehingga tak bisa berbicara.
  4. Bergaul yang malah mendapatkan racun, contohnya adalah bergaul dengan ahli bid’ah dan orang sesat, serta orang yang menyesatkan yang lain dari jalan Allah yang menjadikan sunnah itu bid’ah atau bid’ah itu menjadi sunnah, menjadikan perbuatan baik sebagai kemungkaran dan sebaliknya.

Ibnul Qayyim menjelaskan dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:824-825), “Siapa yang tersadarkan dengan menjaga diri dari empat hal yang merusak yaitu tidak menjaga pandangan, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul, padahal empat hal ini adalah yang merusak alam, lalu ia menempuh sembilan langkah untuk menjaga diri dari godaan setan tersebut, maka ia berarti telah mendapatkan taufik, mencegah dirinya dari pintu Jahannam, dan membuka pintu rahmat.”

Semoga Allah menyelematkan kita dari gangguan setan.

Referensi

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Badaa-i’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.

Disusun di Darush Sholihin, Selasa, 1 Rabiuts Tsani 1442 H (17 November 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Mahar Rasulullah Saat Menikahi Sayidah Aisyah

Sayidah Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah Saw yang masih perawan. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw menikahi Sayidah Aisyah berdasarkan petunjuk dan perintah dari Allah. Ini sebagaimana dikisahkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أريتك قبل أن أتزوجك مرتين، رأيت الملك يحملك في سرقة من حرير، فقلت له: اكشف، فكشف فإذا هي أنت، فقلت: إن يكن هذا من عند الله يمضه، ثم رأيتك يحملك في سرقة من حرير فقلت: اكشف، فكشف، فإذا هي أنت، فقلت: إن يك هذا من عند الله يمضه

Rasulullah Saw berkata; Aku melihatmu dalam mimpi sebelum aku mengawinimu sebanyak dua kali. Aku melihat malaikat membawamu dengan pakaian sutra putih. Aku berkata kepada malaikat; Bukalah, dan kemudian malaikat membukanya, dan ternyata itu adalah kamu. Aku berkata; Jika ini dari Allah, maka Dia akan menjadikannya nyata. Kemudian aku melihat malaikat membawamu dengan pakaian sutra putih. Aku berkata kepada malaikat; Bukalah, dan kemudian malaikat membukanya, dan ternyata itu adalah kamu. Aku berkata; Jika ini dari Allah, maka Dia akan menjadikannya nyata.

Adapun mengenai mahar Rasulullah saat menikahi Sayidah Aisyah, setidaknya terdapat dua pendapat dalam masalah ini. Menurut Ibnu Ishaq, mahar Rasulullah saat menikahi Sayidah Aisyah adalah empat ratus dirham. Ini sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Al-Nadwi dalam kitab Sirah Al-Sayyidah Aisyah Ummu Al-Mukminin berikut;

وجاء في رواية ابن إسحاق أن المهر كان أربعمئة درهم

Disebutkan dalam riwayat Ibnu Ishaq bahwa mahar (Sayidah Aisyah) adalah empat ratus dirham.

Sementara menurut Ibnu Sa’d, mahar Rasulullah Saw saat menikahi Sayidah Aisyah adalah lima ratus dirham. Sulaiman Al-Nadwi dalam kitab Sirah Al-Sayyidah Aisyah Ummu Al-Mukminin menyebutkan sebagai berikut;

وهناك رواية أخرى عند ابن سعد نفسه عن عائشة تقول كان صداق رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنتي عشرة أوقية ونشا، فذلك خمسمئة درهم قالت عائشة: الأوقية أربعون، والنش عشرون

Terdapat satu riwayat menurut Ibnu Sa’d dari Sayidah Aisyah, dia berkata; Mahar Rasulullah Saw adalah dua belas uqiyah dan satu nasya, dan itu setara lima ratus dirham. Sayidah Aisyah berkata; Satu uqiyah sama dengan empat puluh dirham, dan satu nasya sama dengan dua puluh dirham.

BINCANG SYARIAH

Mahar Rasulullah Saat Menikahi Sayyidah Khadijah

Sayyidah Khadijah binti Khuwailid bin Asad merupakan istri pertama Nabi Saw. Menurut kebanyakan para ulama, Nabi Saw menikah dengan Sayidah Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun, dan usia Sayidah Khadijah empat puluh tahun.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdatu al-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

قال الزبير: كانت خديجة تدعى في الجاهلية الطاهرة امها فاطمة بنت زائدة بن الاصم والاصم اسمه جندب بن هرم بن رواحة بن حجر بن عبد معيص بن عامر بن لؤي تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم في خمس وعشرين سنة من مولده في قول الجمهور زقال ابو عمر وكانت اذ تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم بنت اربعين سنة

Al-Zubair berkata; Siti Khadijah di masa jahiliyah disebut dengan thahirah atau perempuan suci. Ibunya adalah Fathimah binti Za-idah bin Al-Asham, dan Al-Asham namanya adalah Jundub bin Haram bin Rawahah bin Hajar bin Abd Mu’ish bin ‘Amir bin Luay. Rasulullah Saw menikahi Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun menurut pendapat kebanyakan para ulama. Abu Umar berkata; Sementara Siti Khadijah ketika dinikahi Rasulullah Saw berusia empat puluh tahun.

Adapun mengenai mahar Rasulullah Saw saat beliau menikahi Sayidah Khadijah, sebagaimana disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta berkualitas, sepuluh perhiasan dan dua puluh delapan budak. Husain Al-Nuri berkata sebagai berikut;

وَ هُوَ قَدْ خَطَبَهَا مِنْ أَبِيهَا خُوَيْلِدٍ عَلَى مَا تُحِبُّ مِنَ الْمَالِ ثُمَّ نَهَضَ وَرَقَةُ ، وَ كَانَ إِلَى جَانِبِ أَخِيهِ خُوَيْلِدٍ وَ قَالَ : يَزِيدُ مَهْرُهَا الْمُعَجَّلُ دُونَ الْمُؤَجَّلِ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِينَارٍ ذَهَباً ، وَ مِائَةَ نَاقَةٍ سُودِ الْحَدَقِ حُمْرِ الْوَبَرِ ، وَ عَشْرَ حُلَلٍ ، وَ ثَمَانِيَةً وَ عِشْرِينَ عَبْداً وَ أَمَةً ، وَ لَيْسَ ذَلِكَ بِكَثِيرٍ عَلَيْكُمْ . قَالَ لَهُ أَبُو طَالِبٍ : رَضِينَا بِذَلِكَ . فَقَالَ خُوَيْلِدٌ : قَدْ رَضِيتُ ، وَ زَوَّجْتُ خَدِيجَةَ بِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه و آله فَقَبِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و آله عَقْدَ النِّكَاحِ

Abu Thalib melamar Sayidah Khadijah kepada bapaknya, Khuwailid, berdasarkan mahar yang dikehendaki oleh Sayidah Khadijah. Kemudian waraqah berdiri di samping saudaranya, Khuwailid, sambil berkata; Mahar Khadijah yang disegerakan, bukan ditunda, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta yang matanya hitam dan bulunya merah, sepuluh perhiasan, dan dua puluh delapan budak, dan itu tidak banyak bagi kalian. Abu Thalib berkata kepada Waraqah; Kami ridha dengan mahar itu. Khuwailid kemudian berkata; Aku ridha dan aku menikahkan Khadijah dengan Muhammad Saw, dan beliau menerima akad nikah tersebut.

Sementara dalam satu riwayat yang bersumber dari Ibn Hammad disebutkan bahwa mahar Rasulullah Saw saat menikahi Sayidah Khadijah adalah dua belas uqiyah emas. Riwayat ini juga disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail berikut;

وَ عَن ابن حماد أنه قال : بلغني أن رسول الله صلى الله عليه و آله تزوج خديجة على اثنتي عشرة أوقية ذهباً

Dari Ibnu Hammad, dia berkata; Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw menikahi Sayidah Khadijah dengan mahar dua belas uqiyah emas.

BINCANG SYARIAH

Allah di Atas ‘Arsy Ataukah Dekat Bersama Kita?

Kita mengetahui Allah ta’ala menetapkan bahwa Ia istiwa’ di atas ‘Arsy. Dan ini adalah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan merupakan ijma salaf dan imam Ahlussunnah. Tidak ada khilaf di antara mereka.

Dalam tujuh surah, yaitu Al-A’raf ayat 54, surah Yunus ayat 3, surah Ar-Ra’d ayat 2, surah Al-Furqan ayat 59, surah As-Sajdah ayat 4 dan surah Al-Hadid ayat 4, Allah ta’ala berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy.”

Di sisi lain, Allah ta’ala juga berfirman bahwa Ia dekat bersama hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian ketahui.” (QS. Al Hadid: 4).

Allah juga berfirman,

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf : 16).

Ayat-ayat ini disebut juga ayat-ayat ma’iyyahMa’iyyah artinya kebersamaan. Karena ayat-ayat ini menetapkan bahwa Allah dekat bersama hamba-Nya.

Lalu bagaimana memahami hal ini? Allah di atas ‘Arsy ataukah dekat bersama kita?

Simak penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berikut ini. Beliau mengatakan,

“Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana kita mengkompromi antara sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) dengan al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya)?’ Maka kita jawab dari tiga sisi.

Jawaban pertama

Allah ta’ala telah menyifati diri-Nya dengan kedua sifat tersebut, yaitu bahwa Ia Maha Tinggi dan bersama hamba-Nya. Dan tidak mungkin Allah menggabungkan dua hal yang bertentangan pada diri-Nya. Sehingga ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut pada diri-Nya, ini menunjukkan bahwa hal tersebut adalah hal yang bisa dikumpulkan pada diri Allah. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.

Sedangkan Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat yang pertama dan kedua. Allah berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy.”

Untuk sifat yang kedua, Ia berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada.”

Ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut para diri-Nya, ini menunjukkan bahwa dua sifat tersebut tidak bertentangan. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.

Jawaban kedua

Sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) tidak menafikan sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya). Oleh karena itu, di antara gaya bahasa yang biasa diucapkan oleh orang Arab adalah,

مازلنا نسير و القمر معنا

“Selama kami berjalan, sang rembulan senantiasa bersama kami.”

Atau mereka mengatakan,

مازلنا نسير و النجم الفلاني معنا

“Selama kami berjalan, bintang itu senantiasa bersama kami.”

Bulan itu tinggi, namun disifati “bersama kita” dalam bahasa Arab. Ini sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al Aqidah al Wasithiyyah. Demikian juga beliau sebutkan hal ini dalam kitab al Fatawa al Hamawiyyah dan kitab-kitab beliau yang lain.

Jawaban ketiga

Jika kita asumsikan bahwa dua sifat di atas itu bertentangan dan mustahil jika diterapkan pada makhluk, maka tidak berarti berlaku hal yang sama pada diri al Khaliq (Allah). Karena Allah itu tidak ada yang semisal dengan-Nya.

Maka tidak boleh meng-qiyas-kan Allah dengan makhluk-Nya. Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak berarti itu mustahil juga bagi Allah. Dan sesuatu yang mustahil bagi Allah,  tidak berarti itu mustahil juga bagi makhluk. Bukankah Allah itu tidak tidur dan tidak mengantuk? Sedangkan makhluk tidur dan mengantuk?

Demikian juga, manusia tidak layak disifati dengan At-Takabbur (Maha Agung), sedangkan Allah disifati dengan sifat tersebut dan itu merupakan kesempurnaan bagi Allah.” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 200 – 201).

Beliau juga menjelaskan,

“Tidak layak bagi Allah jika kita memahami bahwa sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya) itu artinya Allah bercampur dengan hamba dan menyatu tempatnya dengan hamba, sebagaimana perkataan Jahmiyah.

Oleh karena itu, ketika akidah yang bidah dan sesat ini mulai menyebar, para salaf gencar menjelaskan bahwa,

هو معنا بعلمه

“Allah itu bersama kita dengan ilmu-Nya.”

Mereka menafsirkan al Ma’iyyah dengan kelazimannya, yaitu ilmu. Walaupun kelaziman dari ma’iyyah tidak hanya ilmu saja.

Sebagaimana ini ditegaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Ibnu Katsir, juga ditegaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, yaitu bahwa Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan-Nya, rububiyah-Nya dan sifat-sifat rububiyah lainnya. Namun para salaf menafsirkan al Ma’iyyah dengan ilmu dalam rangka membantah Jahmiyyah yang mengatakan bahwa dzat Allah bersatu bersama kita.” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 201 – 202).

Kesimpulannya, Allah ta’ala Maha Tinggi ber-istiwa’ di atas ‘Arsy, namun juga Ia senantiasa dekat bersama kita dengan ilmu-Nya, yaitu Ia selalu mengetahui apa yang kita lakukan. Ayat-ayat ma’iyyah tidak menunjukkan bahwa dzat Allah ada bersama kita di mana-mana sebagaimana dipahami oleh Jahmiyah. Namun yang dekat bersama kita adalah ilmu Allah. Artinya, Allah  selalu mengetahui apa yang kita lakukan dimana pun dan kapan pun kita berada.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59465-allah-di-atas-arsy-ataukah-dekat-bersama-kita.html

Mendengar Tapi Tuli, Melihat Tapi Buta

Allah Swt Berfirman :

‎أَفَأَنتَ تُسْمِعُ ٱلصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يَعْقِلُونَ

“Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.” (QS.Yunus:42)

Banyak manusia hidup tanpa memiliki kesadaran. Dia mendengar tapi sebenarnya tuli. Itu semua karena hatinya buta dan akalnya lalai, sehingga semua yang ia dengar tidak pernah membuat hatinya tergerak dan akalnya tersadarkan.

Karena pendengaran itu memerlukan dua hal :

1. Sampainya kalimat ke alat pendengaran kita dengan jelas.

2. Apa yang kita dengar harus pula sampai dengan jelas ke akal kita.

Semua teriakan dan seruan kebenaran di dunia tidak akan mempengaruhi orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Karena memahami kebenaran tidak cukup dengan mendengarnya dengan telinga tapi harus siap membuka hati dan menerimanya.

Maka kita dapat memahami dari ayat di atas bahwa banyak manusia yang dianggap bisa mendengar tapi sebenarnya ia tuli. Karena inti dari “mendengar” adalah memahaminya dengan sadar dan dapat diserap oleh akal kita sehingga menghasilkan sesuatu. Apabila mendengar itu hanya suara lewat tanpa kesadaran maka sebenarnya ia tidak sedang mendengar.

‎أَفَأَنتَ تُسْمِعُ ٱلصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يَعْقِلُونَ

“Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.” (QS.Yunus:42)

Mereka tidak mendengarkan kebenaran yang disampaikan Nabi Saw dengan penuh kesadaran, tapi mereka mendengarnya dengan bergurau dan meremehkan. Maka semua yang mereka dengar tidak bernilai dan tidak dapat berpengaruh dalam jiwa mereka.

Selain pendengaran, begitupula nilai dari pandangan mata adalah ketika apa yang kita pandang mampu memberikan sesuatu ke akal dan kesadaran kita. Sementara orang yang melihat sesuatu hanya dari gambaran luarnya tanpa merenungkannya dalam hati, maka apa bedanya ia dengan orang buta.

وَمِنْهُم مَّن يَنظُرُ إِلَيْكَ ۚ أَفَأَنتَ تَهْدِى ٱلْعُمْىَ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يُبْصِرُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:43)

Dia sedang hidup dalam kondisi kehilangan akal dan kesadaran. Maka walaupun matanya memandang segala sesuatu, tapi sebenarnya ia buta.

‎أَفَأَنتَ تَهْدِى ٱلْعُمْىَ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يُبْصِرُونَ

“apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:43)

Bagaimana kita menuntut seorang buta untuk melihat sesuatu ? Persis seperti itulah apabila kita meminta seseorang yang buta hatinya untuk memahami dan merenungkan sesuatu.

Karena manusia disebut buta hatinya ketika ia tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang ia lihat.

‎فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS.Al-Haj:46)

Karena itu banyak manusia yang mendengar tapi sebenarnya ia tuli, melihat tapi sebenarnya ia buta.

Semoga kita diselamatkan dari kebutaan hati dan tulinya pendengaran kita dari kebenaran.

KHAZANAH ALQURAN

Salat Anda Terburu-buru? Ini Enam Dampaknya

NABI Muhammad saw memerintahkan kepada seseorang yang melakukan salat secara terburu-terburu agar mengulangi salatnya secara tumakninah, tidak tergesa-gesa, termasuk ketika rukuk, iktidal, dan sujud. Diriwayatkan bahwa Nabi saw, memasuki masjid dan seorang laki-laki lain juga memasuki masjid kemudian mendirikan salat.


Usai salat, laki-laki itu menemui Nabi saw, dan mengucapkan salam. Nabi pun menjawab salamnya, lalu berkata, “Ulangilah salatmu karena kau belum melaksanakannya.” Laki-laki itu pun kembali mengulang salatnya, sampai tiga kali, karena Rasulullah tetap menyuruhnya kembali mengulang salatnya.

Ternyata itu cara Nabi untuk menegur laki-laki itu, karena mendirikan salat dengan tergesa-gesa dan Nabi menganggapnya belum mendirikan salat. Tahukah kita ternyata tumakninah memiliki faedah, khususnya dari kajian medis.

Salat yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa tumakninah bisa membahayakan tubuh karena :

1. Gerakan yang dilakukan secara tiba dan tergesa-gesa akan mengagetkan (shock) jaringan otot.

2. Gerakan yang tiba-tiba dan cepat akan mempercepat peredaran darah dari dan menuju otak serta jantung. Keadaan itu akan membuat aliran darah tersendat, khususnya bagi penderita penyakit jantung atau hipertensi.

3. Sujud dan rukuk yang dilakukan secara tergesa-gesa mungkin dapat menimbulkan rasa sakit karena persendian terkilir. Selain itu, kepala yang ditundukkan dengan cepat bisa menimbulkan kekagetan pada otak.

4. Mengakhirkan salat dan melakukannya setelah makan, terlebih lagi jika dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa, akan merusak sistem pencernaan. Karena makanan yang baru masu tidak dapat diproses oleh sistem percernaan dengan baik.

5. Rukuk dan sujud yang dilakukan secara cepat dan tergesa-gesa bisa menyebabkan nyeri tulang pungggung atau tulang panggul.

6. Salat yang dilakukan secara tergesa-gesa dapat menyobek atau melukai jaringan otot pada leher atau punggung atau bisa melukai pembuluh darah.

Salatlah seakan itu salat terakhir kita, jangan tergesa-gesa walaupun kita tidak bisa benar-benar khusyuk, setidaknya kita menikmati gerakan demi gerakan dari salat. Dan salat merupakan waktu untuk kita menyampaikan semua keluh kesah pada-Nya, bagaimana Allah akan mendengarkan kita dalam doa-doa yang kita panjatkan, kalau waktu bertemu dengan-Nya saja kita begitu terburu-buru mengakhirinya.[Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK