Amalan Sehabis Shalat dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Berikut ini, adalah amalan sehabis shalat yang baik dan penting untuk dibaca. Amalan ini disusun oleh ulama besar Mekkah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dalam kitabnya Syawariq al-Anwar. Kitab ini merupakan kumpulan zikir yang dikompilaskan oleh beliau. Berikut apa saja amalan sehabis shalat yang baik untuk dibaca,

Pertama, kalimat tahlil

لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحي ويميت وهو على كلّ شيء قدير. اللهم لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منكَ الجدُّ

Laa Ilaaha Illa Allah Wahdahu Laa Syariika Lah, Lahu al-Mulku wa Lahu al-Hamdu Yuhyii wa Yumiitu wa Huwa ‘ala Kulli Syai’in Qadiir 

Tiada Tuhan Selain Allah, Tiada Sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kekuasaan. Dan milik-Nya segala pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan. Dia yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau sudah berikan, Tiada yang bisa memberi

Kedua, ayat kursi, surah al-Baqarah [2]: 255,

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ  أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Ketiga, surah at-Taubah [9]: 128-129

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ – 128 – فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ – 129

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (128) Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung” (129)

Keempat, Tasbih, Tahmid, Takbir (masing-masing 33 kali) dan ditutup dengan Tahlil

سبحان الله – ٣٣ مرّة

الحمد لله – ٣٣ مرّة

الله أكبر – ٣٣ مرّة

لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحي ويميت وهو على كلّ شيء قدير

Kelima, membaca Hasbunallahi wa Ni’ma al-Wakiil (surah Ali ‘Imran [3]: 172) (20 – 100 kali),

حسبنا الله ونعم الوكيل

“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.

Keenam, membaca istighfar (20 – 100 kali)

أستغفر الله العظيْمَ

Aku memohon ampun kepada Allah, Yang Maha Agung

Ketujuh, membaca Laa Ilaaha Illa Allah al-Maliku al-Haqqu al-Mubiin (20-100 kali)

لا إله إلله الملك الحق المبين

Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Berkuasa, Yang Haq, lagi Maha Nyata (Kekuasaannya)

Kedelapan, membaca shalawat

Kesembilan, membaca istighfar “Astaghfirullah al-‘Azhiim Alladzii Laa Ilaaha Illa Huwa al-Hayyu al-Qayyum wa Atuubu Ilaih” (membaca 3 kali)

أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحيّ القيّوم وأتوب إليه

Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, Tiada Tuhan Selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berkuasa dan Aku bertaubat kepada-Nya. 

Diolah dari kitab Syawariq al-Anwar karya Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Hasani

BINCANG SYARIAH


Ceramah Maulid Nabi: Cinta Rasulullah kepada Umatnya

12 Rabiul Awal adalah tanggal kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maulid Nabi. Menyambut momentum istimewa ini, berikut ceramah maulid Nabi dengan tema Cinta Rasulullah kepada Umatnya.

Rabiul Awal, Bulan Maulid Nabi

Rabiul Awal adalah bulan maulid Nabi. Bulan lahirnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menurut jumhur ulama. Tepatnya pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah sebagaimana Ibnu Katsir rahimahullah sebutkan dalam Sirah Nabawiyah.

Ada beberapa riwayat yang mengisahkan terjadinya sejumlah keajaiban ketika Nabi Muhammad dilahirkan. Pertama, jatuhnya empat belas balkon dari istana Kisra. Kedua, padamnya api yang disembah oleh orang Majusi. Ketiga, hancurnya gereja-gereja di sekitar Danau Sawah setelah sebelumnya danau itu surut.

Namun, menurut Syaikh Mahmud Al Mishri dalam Sirah Rasulullah, tiga peristiwa itu tidak berdasar dan tidak ada riwayat shahih yang membenarkannya.

Keajaiban saat kelahiran Nabi Muhammad yang bersumber dari hadits shahih, kata Syaikh Mahmud Al Mishri adalah ibunda Nabi melihat cahaya keluar darinya dan menyinari istana-istana Romawi di negeri Syam saat Rasulullah dilahirkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Aku adalah doa ayahku Nabi Ibrahim, kabar gembira Nabi Isa dan ibuku melihat cahaya keluar darinya menerangi istana-istana di Syam.” (HR. Ahmad dan Hakim)

رَأَتْ أُمِّي حِي‍نَ وَضَعَتْنِ‍ي سَطَعَ مِنْهَا نُورٌ فَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ بُصْرَى

“Ibuku melihat cahaya terang yang dapat menerangi istana-istana di Basrah (Syam) ketika melahirkanku.” (HR. Ibnu Sa‘ad)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan terkait hadits ini, “Keluarnya cahaya saat lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebuah indikasi atas apa yang akan datang bersamanya. Yakni cahaya yang dijadikan petunjuk oleh penduduk bumi dan hilangnya syirik dari muka bumi.”

Dan sungguh benar. Hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus menjadi Rasul, cahaya tauhid tersebar ke seluruh jazirah Arab. Dan hari ini, kita mendapati lebih dari 1,8 miliar penduduk dunia adalah muslim.

Maulid Nabi adalah Rahmat

Kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rahmat agung bagi manusia, bahkan bagi alam semesta. Sebab beliau adalah rahmatan lil ‘alamin.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al Anbiya: 107)

Sejak bayi, rahmat Rasulullah sudah dirasakan oleh keluarga Halimah di Bani Sa’ad. Ketika itu, sebagaimana tradisi Makkah, Rasulullah yang masih bayi dititipkan ke Bani Sa’ad untuk mendapatkan ASI yang bagus, udara segar dan belajar bahasa Arab yang fasih (fusha).

Halimah tidak merasa berat menggendong bayi Rasulullah. Seketika itu pula, ASI-nya yang semula tidak lancar menjadi lancar. Keledai yang dinaikinya berubah menjadi perkasa. Unta tua pengangkut barang yang dibawanya juga menjadi kuat dan mengeluarkan susu hingga dia dan suami kenyang meminumnya.

Tiba di Bani Sa’ad, tanah keluarga Halimah menjadi subur. Domba-dombanya pulang dengan kenyang dan air susunya penuh. Sampai-sampai warga Bani Sa’ad mengatakan, “Tirulah Halimah dengan melepaskan domba agar mencari rumput sendiri.” Namun domba mereka pulang dalam kondisi lapar, tidak seperti domba Halimah.

Dua tahun menyusui Muhammad, keluarga Halimah dipenuhi keberkahan. Saat waktunya mengembalikan ke pangkuan ibu, Halimah minta diperpanjang.

Kelahiran Rasulullah juga rahmat bagi semesta. Allah tidak akan menurunkan azab yang menghancurkan seluruh umat manusia, selagi Nabi Muhammad ada di tengah-tengah mereka. Meskipun saat itu kejahiliyahan kafir Quraisy sudah sangat keterlaluan.

Apalagi ketika beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Rahmat bagi semesta alam sangat terasa. Bukan hanya untuk sahabat nabi dan umatnya. Dengan ajaran Islam yang dibawanya. Manusia yang beriman selamat dari neraka. Manusia yang semula jahiliyah kemudian berubah menjadi peradaban mulia. Bahkan yang tidak beriman pun, azabnya tidak disegerakan di dunia.

Cinta Rasulullah kepada Umatnya

Maulid Nabi adalah rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah memikirkan tentang umat manusia. Mengapa mereka tersesat, mengapa mereka saling menindas. Dan mengapa tatanan kehidupan masyarakat demikian jahiliyah dan tersesat.

Setelah diangkat menjadi Rasul, beliau senantiasa berjuang untuk menyelamatkan umatnya dari kejahiliyahan dan kesesatan yang bisa menjebloskan mereka masuk neraka. Allah menggambarkan kecintaan dan kasih Rasulullah kepada umat dalam firman-Nya:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Begitu berat terasa oleh beliau penderitaan umat sehingga beliau bersedia menebus dan meringankan penderitaan itu. Misalnya sakaratul maut yang demikian berat. Saat menjelang wafat, putri beliau Fatimah radhiyallahu ‘anha bertanya, “apakah sakaratul maut sakit ya Rasulullah.” Rasulullah justru meminta kepada Allah agar sakitnya sakaratul maut umat ditanggung beliau.

Andaikan beliau tidak menanggung sebagian sakaratul maut umatnya, tentu sakaratul maut yang dirasakan umat ini sangat berat. Berlipat-lipat dari sakitnya sakaratul maut sekarang. Namun, demi meringankan penderitaan umatnya, Rasulullah menanggung itu semua.

Beliau sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat. Maka beliau siang malam berdakwah. Siang malam berdoa. Bahkan, ketika disakiti oleh kaumnya, hal itu tidak menghentikan dakwah beliau.

Peristiwa yang paling menyakitkan beliau terjadi di Thaif. Saat itu, dalam kondisi sedih karena ditinggal wafat istri tercinta Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib paman sang pembela serta permusuhan sengit kafir Quraisy sepeninggal keduanya, Rasulullah berdakwah ke Thaif.

Bukannya diterima dengan baik, penduduk Thaif malah mengusir beliau dan melemparinya dengan batu. Dalam kondisi demikian, malaikat Jibril dan malaikat penjaga gunung datang.

“Wahai Rasulullah, Allah telah mengetahui perlakuan penduduk Thaif kepadamu. Jika engkau mau, aku timpakan dua gunung ini kepada mereka,” kata malaikat penjaga gunung.

Apa jawaban Rasulullah? “Tidak. Justru aku berharap keturunan mereka akan menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.”

Masya Allah… inilah akhlak agung Rasulullah yang senantiasa mengharap keselamatan untuk umatnya. Beliau tidak mau umatnya diazab. Beliau maunya umat mendapat hidayah dan masuk surga bersama-sama.

Rasulullah sangat penyayang kepada orang-orang mukmin. Karenanya beliau menyimpan doa pamungkas sebagai syafaat di akhirat kelak. Ketika orang-orang kepanasan, kehausan dan ketakutan di padang mahsyar, Rasulullah akan memanggil umatnya untuk diberi minum di telaga kautsar beliau. Orang yang telah minum dari telaga itu takkan kehausan lagi selama-lamanya.

Dan di saat semua manusia bingung berharap pertolongan, mereka mendatangi sejumlah Nabi mulai Adam, Musa, hingga Isa, semuanya tak ada yang bisa memberikan syafaat. Akhirnya mereka semua datang kepada Nabi Muhammad dan beliau pun memberikan syafaat kepada umatnya.

Cinta Kita kepada Rasulullah

Jika demikian besar cinta Rasulullah kepada kita, bagaimana cinta kita kepada beliau? Pada momentum peringatan maulid Nabi ini, marilah kita merenung dan bermuhasabah.

Sudahkah kita memperbanyak membaca sholawat nabi kepada beliau? Sebab di antara tanda cinta adalah banyak menyebut nama kekasihnya. Dan sebaik-baik menyebut nama Rasulullah adalah dengan bershalawat kepada beliau. Satu shalawat akan diganjar dengan sepuluh kebaikan, dihapuskan sepuluh dosa dan diangkat sepuluh derajat. Siapa yang paling banyak shalawatnya, dialah yang paling berhak mendapat syafaat Rasulullah di akhirat kelak.

أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً

“Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi)

Selanjutnya, sudahkah kita berusaha untuk meneladani beliau? Sebab bukti cinta paling konkrit kepada Rasulullah adalah dengan meneladani beliau.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Meneladani beliau, artinya juga otomatis kita mengamalkan sunnah-sunnah beliau. Apa yang Rasulullah perintahkan, kita laksanakan. Apa yang Rasulullah larang, kita tinggalkan.

Bukti cinta itu juga membela kekasihnya. Maka ketika kita mengaku cinta Rasulullah, kita pun membela beliau. Ketika ada yang berusaha menghina beliau, kita melawan sebagai bentuk pembelaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Termasuk akhir-akhir ini, ketika Presiden Prancis menghina beliau dengan mendukung penerbitan kartun Nabi Muhammad. Sebagai muslim yang mencintai Rasulullah, buktinya adalah membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH



Hadits Tentang Sholat 5 Waktu – Pentingnya Ilmu Sebelum Amal

HADITS ABU HUROIROH

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Dari Abu Huroiroh, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk masjid, lalu seorang laki-laki masuk masjid kemudian dia melakukan sholat. Lalu dia datang, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya, kemudian bersabda: “Kembalilah, lalu sholatlah, sesungguhnya engkau belum sholat!”.

Maka dia kembali melakukan sholat sebagaimana dia telah melakukan sholat, kemudian dia datang mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya, kemudian bersabda: “Kembalilah, lalu sholatlah, sesungguhnya engkau belum sholat!”. Sampai 3 kali.

Maka dia berkata: “Demi Alloh yang telah mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan sholat lebih baik dari ini. Maka ajarilah aku!”
Maka beliau bersabda: “Jika engkau berdiri sholat maka takbirlah, lalu (setelah al-fatihah-pen) bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an yang engkau hafal, lalu ruku’lah sehingga engkau tuma’ninah (tenang) melakukan ruku’. Lalu bangkitlah sehingga engkau beridiri dengan lurus, lalu sujudlah sehingga engkau tuma’ninah (tenang) melakukan sujud. Lalu bangkitlah sehingga engkau duduk dengan tuma’ninah (tenang). Dan lakukan itu di dalam semua sholatmu”.
(HR. Bukhori, no: 757; Muslim, no: 397; dan lain-lain)

FAWAID HADITS:

Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini, antara lain:

1- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat kepada sahabatnya dengan sarana-sarana atau kejadian-kejadian yang beliau temui.

2- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasehati ummat, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan hikmah.

3- Islam telah mengajarkan tata cara sholat dengan sempurna. Maka janganlah kita meremehkan untuk belajar tata cara sholat dengan sebaik-baiknya.

4- Anjuran mengucapkan salam ketika bertemu orang muslim, dan ucapan salam diulangi lagi ketika bertemu lagi setelah berpisah.

5- Orang yang sholat dengan meninggalkan syarat atau rukunnya, maka sholatnya tidak sah, dan harus mengulangi.

6- Tumakninah (ketenangan) di sholat adalah rukun. Yaitu tumakninah di dalam ruku’, i’tidal, sujud, dan lainnya.

7- Keutamaan ilmu dan bahaya kebodohan di dalam masalah agama.
8- Sesungguhnya ibadah sholat itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Alloh.

Inilah sedikit penjelasan tentang hadits yang agung ini. Semoga Alloh selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju sorga-Nya yang penuh kebaikan.

Wallahu a’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Rabu, 2 Shafar 1442 H/ 14 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Tak Pernah Tinggalkan Sholat Dhuha, Ini yang Dialami Abu Hurairah

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mendapat wasiat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengerjakan sholat dhuha setiap hari. Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits ini mengatakan:

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

“Kekasihku –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga hal padaku: berpuasa tiga hari setiap bulannya, mengerjakan sholat dhuha dua raka’at dan sholat witir sebelum tidur.” (Muttafaq ‘alaih)

Sejak saat itu, Abu Hurairah tak pernah meninggalkan sholat dhuha. Apa yang kemudian terjadi pada Abu Hurairah?

1. Rezeki Ilmu, Tak Pernah Lupa Hadits

Jika keutamaan sholat dhuha banyak dihubungkan dengan rezeki, ketahuilah bahwa rezeki itu bukan hanya harta. Ilmu juga rezeki. Ketaatan juga rezeki.

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sahabat yang memiliki nama Abdurrahman bin Shakhr ini meriwayatkan 5.374 hadits.

Mengapa Abu Hurairah paling banyak meriwayatkan hadits padahal hanya empat tahun bertemu Rasulullah? Pertama, Abu Hurairah selalu menghadiri majelis Rasulullah di Masjid Nabawi dan selalu mengikuti ke mana pun beliau pergi (mulazamah)Kedua, Abu Hurairah tak pernah lupa hadits yang didengarnya.

Abu Hurairah tak pernah lupa hadits sejak didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini merupakan rezeki istimewa baginya.

2. Rezeki Harta dan Jabatan

Semasa mulazamah, Abu Hurairah meninggalkan seluruh kenikmatan duniawi. Bahkan tidak bekerja demi mengikuti Rasulullah dan belajar langsung dari beliau. Abu Hurairah tak punya rumah, tinggal di emperan masjid sebagai ahlus suffah. Sering kelaparan, bahkan pernah hampir pingsan karena lapar.

Sepeninggal Rasulullah, masa mulazamah Abu Hurairah berakhir. Ia pun bekerja. Dan Allah mengkaruniakan banyak rezeki harta kepadanya. Abu Hurairah berkeluarga, punya rumah, bahkan potensi kekayaannya melimpah.

Abu Hurairah kemudian juga menjadi amir wilayah. Bahkan diamanahi menjadi Gubernur Madinah. Dari jabatan-jabatan ini saja, sangat mudah bagi Abu Hurairah untuk hidup mewah. Namun itu tak dilakukannya.

3. Rezeki Zuhud dan Ketaqwaan

Abu Hurairah adalah seorang amir wilayah. Ia pernah menjadi Gubernur Bahrain, pernah menjadi Gubernur Madinah. Ini jabatan tinggi yang sangat mudah untuk mendapatkan banyak kekayaan dan menikmati kekuasaan. Namun Abu Hurairah tak melakukannya.

Abu Hurairah tetap zuhud sebagaimana dulu bersama Rasulullah. Makan sederhana, pakaian sederhana, harta yang didapat lebih banyak diinfakkannya. Bahkan untuk menafkahi keluarganya, Abu Hurairah menggunakan uang dari hasil kerjanya, bukan dari jabatannya. Bahkan putrinya pernah diejek teman, mengapa anak pejabat tidak pakai perhiasan sama sekali.

Ia tak pernah menyia-nyiakan waktunya. Selalu dimanfaatkan untuk ibadah dan hal-hal yang bermanfaat. Ia senantiasa berpuasa ayyamul bidh dan sholat dhuha sebagaimana Rasulullah wasiatkan. Di sepertiga malam terakhir, ia bangunkan seluruh keluarganya agar bisa menunaikan sholat tahajud. Abu Hurairah senantiasa berusaha mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkannya. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH


Menjaga Salat Subuh Secara Berjamaah

Nasihat berharga dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakr bin Sulaiman bin Abi Hatsmah, beliau menceritakan,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَدَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ. وَأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ غَدَا إِلَى السُّوقِ. وَمَسْكَنُ سُلَيْمَانَ بَيْنَ الْمَسْجِدِ وَالسُّوقِ. فَمَرَّ عَلَى الشِّفَاءِ ، أُمِّ سُلَيْمَانَ.

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu tidak menjumpai Sulaiman bin Abi Hatsmah dalam salat Subuh. Dan ‘Umar di waktu pagi berangkat ke pasar (setelah salat Subuh). Sedangkan rumah Sulaiman itu ada di antara pasar dan masjid nabawi. ‘Umar berpapasan dengan Asy-Syifa’ binti ‘Abdullah, ibu dari Sulaiman.

Kemudian ‘Umar berkata kepadanya,

لَمْ أَرَ سُلَيْمَانَ فِي الصُّبْحِ.

“Aku tidak melihat Sulaiman salat Subuh?”

Asy-Syifa’ menjawab,

إِنَّهُ بَاتَ يُصَلِّي، فَغَلَبَتْهَ عَيْنَاهُ.

“Dia salat semalaman, dia pun mengantuk berat.” (Maksudnya, Sulaiman terlambat salat Subuh karena dia salat malam, kemudian dia pun mengantuk dan tertidur, sehingga terlambat salat Subuh.)

‘Umar bin Khaththab kemudian berkata,

لأَنْ أَشْهَدَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فِي الْجَمَاعَةِ ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَقُومَ لَيْلَةً.

“Aku menghadiri salat Subuh secara berjamaah itu lebih aku sukai daripada salat malam semalam suntuk.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 432, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykaat, 1: 338)

Renungkanlah bagaimana perkataan dan nasihat ‘Umar bin Al-Khaththab ini yang mengandung banyak nasihat yang agung.

Shalat Subuh, salat berjamaah yang berat dilakukan oleh orang-orang munafik

Perhatian ‘Umar bin Khaththab terhadap sahabatnya yang tidak salat Subuh berjamaah tersebut mengandung nasihat, sekaligus peringatan. Teladan dalam masalah ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung.

Dari sahabat Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat Subuh bersama kami. Kemudian beliau berkata,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?”

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah bertanya lagi,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَيْتُمُوهُمَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ

“Sesungguhnya dua salat ini (salat isya’ dan salat Subuh) adalah salat yang paling berat dikerjakan bagi orang-orang munafik. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada dalam keduanya -berupa pahala yang besar- niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud no. 554, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 563)

Dari sisi fiqh, perkataan ‘Umar tersebut juga menunjukkan kedudukan salat wajib tersebut yang agung dan mulia, dibandingkan salat sunnah. Senada dengan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

“Siapa saja yang salat isya’ secara berjamaah, seakan-akan dia salat malam selama setengah malam. Dan siapa saja yang salat Subuh berjamaah, seakan-akan dia salat malam selama semalam suntuk.” (HR. Muslim no. 656)

‘Umar bin Al-Khaththab tetap salat Subuh berjamaah meskipun sedang terluka setelah ditikam

Lihatlah, bagaimana salat Subuh berjamaah ini memiliki kedudukan yang agung di dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Al-Miswar bin Makhramah berkata,

“Aku masuk menemui ‘Umar pada malam dia ditikam, aku membangunkannya untuk salat Subuh berjamaah. ‘Umar kemudian berkata,

وَلاَ حَظَّ فِي الْإِسْلاَمِ لِمِنَ تَرَكَ الصَّلاَةَ.

“Iya, tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang yang meninggalkan salat.”

Al-Miswar berkata,

فَصَلَّى عُمَرُ، وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَماً

“Kemudian ‘Umar pun berdiri dan salat Subuh, dalam kondisi luka yang meneteskan darah.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 51, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 209)

Allahu Akbar! Betapa besar kedudukan salat Subuh berjamaah dalam hati sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Sehingga beliau pun sungguh-sungguh menjaganya. Beliau menjaganya dalam kondisi dan waktu apapun, baik itu ketika sedang menghadapi musuh, dalam barisan jihad, dan meskipun beliau dalam kondisi terluka dan masih meneteskan darah.

Lalu, bagaimana dengan diri kita? Menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga ibadah yang wajib ini. Siapa saja yang meremehkannnya, maka dia akan lebih meremehkan lagi kewajiban-kewajiban dalam Islam yang lainnya.

Hal-hal yang bisa menjadi sebab melalaikan salat Subuh berjamaah di jaman ini sangatlah banyak dan beragam. ‘Umar bin Khaththab mencela sahabatnya yang tertinggal salat Subuh berjamaah, padahal sebabnya adalah karena begadang salat malam. Lalu, apa yang akan dikatakan ‘Umar bin Khaththab kepada kita yang begadang karena sibuk dengan perkara haram dan -minimal- perkara yang sia-sia?

Shalat Subuh, pembuka aktivitas di pagi hari

Shalat Subuh adalah pembuka aktivitas di pagi hari. Sehingga menjaga salat Subuh berjamaah adalah tanda keberuntungan dan kebahagiaan seseorang di seluruh hari tersebut. Dan menyia-nyiakan salat Subuh tersebut berarti menyia-nyiakan seluruh hari tersebut dan terluput dari mendapatkan keberkahannya.

Renungkanlah sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلَاثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ، بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلًا طَوِيلًا، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ، فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتِ الْعُقَدُ، فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

“Setan akan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga ikatan. Dengan setiap ikatan, dia akan membisikkan padamu bahwa malam masih panjang. Jika dia terbangun lalu berzikir kepada Allah, lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu, maka lepaslah dua ikatan. Jika dia melanjutkan dengan salat, maka lepaslah seluruh ikatan itu. Sehingga pada pagi harinya, dia mulai dengan penuh semangat dan jiwanya pun sehat. Namun jika tidak, dia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang sakit dan penuh dengan kemalasan.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Lihatlah kondisi orang-orang yang meninggalkan salat Subuh, jiwanya rusak (sakit), hari-harinya dipenuhi dengan rasa malas. Berbeda halnya dengan kondisi orang-orang yang menjaga salat Subuh berjamaah dan menunaikan salat Subuh sesuai dengan waktunya bersama-sama dengan jamaah kaum muslimin. Karena hal itu adalah tanda keberuntungan, kebaikan, kebahagiaan, dan keberkahan pada hari tersebut.

Renungkan pula hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ نَامَ لَيْلَةً حَتَّى أَصْبَحَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan cerita bahwa ada laki-laki yang tidur hingga pagi.”

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنَيْهِ ، أَوْ قَالَ: فِي أُذُنِهِ

“Itulah laki-laki  yang telah dikencingi kedua telinganya oleh setan.” Atau beliau mengatakan, “Di telinganya.” (HR. Bukhari no. 3270 dan Muslim no. 774)

Para ulama menjelaskan bahwa setan itu kencing di kedua telinganya dengan makna yang hakiki (bukan kiasan). Jadi, bagaimana keadaan seseorang yang telinganya dipenuhi dengan air kencing setan yang kotor? Inilah kondisi orang-orang yang meninggalkan salat Subuh karena mementingkan tidurnya.

Hukuman bagi yang meninggalkan salat Subuh karena memilih tidur

Diceritakan oleh sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, berkaitan dengan mimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ceritakan kepada para sahabat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi dua orang dalam mimpi tersebut, kemudian mengajak pergi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ، فَيَتَدَهْدَهُ الحَجَرُ هَا هُنَا، فَيَتْبَعُ الحَجَرَ فَيَأْخُذُهُ، فَلاَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يَصِحَّ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ المَرَّةَ الأُولَى

“Kami mendatangi seseorang yang berbaring dan yang lain berdiri di sampingnya dengan membawa batu besar, lalu dia menjatuhkan batu tersebut di kepalanya sehingga kepalanya pecah dan batu menggelinding di sini. Orang tadi terus mengikuti batu dan mengambilnya, namun ketika dia belum kembali kepada yang dijatuhi, tetapi kepalanya telah kembali seperti sedia kala. Lantas orang tadi kembali menemuinya dan mengerjakan sebagaimana semula.”

Kemudian di akhir hadits disebutkan,

أَمَّا الرَّجُلُ الأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ القُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ وَيَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ

“Adapun laki-laki pertama yang kamu datangi sedang kepalanya pecah dengan batu, itu adalah seseorang yang mempelajari Al-Qur’an namun ia menolaknya, dan ia tidur sampai meninggalkan salat wajib.” (HR. Bukhari no. 7047)

Para ulama menjelaskan bahwa kepala adalah tempatnya tidur, sehingga hukuman pun diarahkan ke kepala pada hari kiamat, setimpal dengan perbuatannya di dunia.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik sehingga bisa senantiasa mendirikan salat Subuh secara berjamaah.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 59-62, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

5 Kehebatan Alquran yang tak Ditemukan dalam Kitab Suci Lain

Alquran mempunyai banyak kehebatan dibanding kitab suci agama lain

Alquran merupakan kitab umat Islam yang mana kehebatannya tidak ada yang menandingi. Alquran juga menjadi pegangan hidup dan menjadi rujukan dalam segala hal, ini membuktikan bahwa Alquran adalah firman Allah SWT.  

“Alquran itu hebat luar biasa, kalau kita ingin menjadi generasi yang hebat, siapapun dirikita ketika ingin organisasinya hebat, lembaganya hebat, pemerintahannya hebat, tidak ada yang lain selain Alquran yang dijadikan rujukan,” kata motivator spiritual, Prof Kana Suryadilaga, dalam webinar pada Sabtu (7/11).  

Alquran sendiri merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Selain menjadi mukjizat, berikut ini ada lima kehebatan Alquran menurut Prof Kana.

Pertama, mampu mengalahkan keindahan syair-syair Arab Bangsa Arab memiliki tradisi membuat syair hingga dilombakan. Syair-syair indah akan digantungkan di Ka’bah. 

Pada saat Alquran diturunkan, ayat-ayat dalam Alquran mampu mengalahkan syair-syair tersebut. Begitu indahnya Alquran hingga mampu melembutkan dan meluluhkan hati yang keras. 

“Keindahan Alquran ini hingga tidak ada orang yang bosan membaca dan mendengarkannya, kecuali orang yang hatinya sudah ditutup Allah,” ucap Prof Kana.

Sahabat Umar bin Khattab adalah orang yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Bahkan Umar hendak membunuh Nabi Muhammad  namun di tengah perjalanan dia bertemu dengan Nuaim bin Abdullah. 

Nuaim mengatakan bahwa adik Umar, Fatimah binti Khattab telah menyatakan masuk Islam. Umar semakin marah dan segera ke rumah adiknya.  

Sesampainya di rumah Fatimah, Umar mendengarkan Fatimah sedang membaca surat Thaha ayat 1-8. Umar mulai bergetar hatinya hingga akhirnya meluluhkan kerasnya hati itu dan membuat Umar memeluk Islam. 

Kedua, kehebatan Alquran mampu mengalahkan sihir. Iblis dan setan senantiasa ingin menggelincirkan umat manusia, agar menjadi pengikutnya. Ketika setan sudah bersemayam dalam diri manusia, maka perilakunya dapat melebihi setan. 

Iblis walaupun hafal Alquran, tetapi dia sombong sehingga diusur dari surga. Sihir-sihir yang dibuat setan mampu dikalahkan kehebatan Alquran. Sihir-sihir itu, Rasulullah mengusirnya dengan cara ruqyah. 

Ketiga, Alquran hebat karena mampu mengalahkan bahasa ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama kali yang diajarkan ibu kita sendiri. Dalam sebuah penelitian, anak hingga usia 3 tahun mampu menangkap 1.250 kosa kata dan terus bertambah sebanyak 50 kosa kata setiap bulan. Di usia 8 tahun anak-anak sudah mampu menangkap 3.650 kosa kata. 

Sedangkan jumlah kata dalam Alquran ada 77.439 kata. Dan penakluk konstatinopel, Muhammad Sultan Alfatih mampu mengahafal seluruh Alquran diusianya yang masih 8 tahun. “Inilah kehebatan Alquran, yang mampu mengalahkan bahasa manapun,” kata Prof Kana. 

“Ingin menjadi generasi hebat, maka hafalkan Alquran. Karena orang yang menghafalkan Alquran biasanya akan mudah menghafalkan yang lainnya,” tambah Prof Kana.   

Keempat, Alquran mampu mengalahkan peradaban kehidupan yang lain. Masyarakat jahiliyah jauh dari peradaban maju seperti saat ini. Tetapi setelah Nabi Muhammad datang, dengan berpegang pada Alquran, Nabi Muhammad mengubah zaman jahiliyah tersebut. 

Kelima, mampu mengalahkan kejeniusan manusia. Menurut Prof Kana, IQ manusia paling tinggi mencapai 200-250 dan dianggap sangat jenius. Begitu juga dengan teknologi tapi Alquran melebihi itu semua. Sebagaimana dikisahkan dalam Alquran Al-Anbiya ayat 30. 

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.”

KHAZANAH REPUBLIKA 

Seruan Nabi Soal Iman dan Cinta

Rasulullah pun kerap menyerukan pentingnya soal iman dan rasa cinta.

Seorang Muslim atas dasar imannya kepada Allah, maka dia tidak mencintai sesuatu kecuali karena Allah semata. Rasulullah pun kerap menyerukan pentingnya soal iman dan rasa cinta.

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri dalam kitabnya Minhajul Muslim menjelaskan, sesungguhnya seorang Muslim tidak mencintai, kecuali apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Tidak pula membenci kecuali apa yang dibenci Nabi dan Allah SWT.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Daud berbunyi: “Man ahabba lillahi wa abghadha lillahi wa a’tha lillahi wa mana’a lillahi faqadi-stakmala al-imanu,”. Yang artinya: “Barangsiapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan iman,”.

Berdasarkan dalil ini, menurut Syekh Abu Bakar, inilah seruan kepada seluruh hamba Allah, yang shalih untuk dicintai dan dibela oleh seorang Muslim lainnya. Dan berdasarkan dalil ini pula seluruh orang fasik, kaum pembangkang, serta tindakan-tindakan terlarang merupakan hal yang dibenci Allah dan Rasul-Nya menjadi ‘musuh’ pula bagi umat Muslim.

IHRAM

Jumlah Mualaf di Prancis Naik Dua Kali Lipat

Jumlah mualaf di Prancis terus mengalami pertumbuhan. Terdapat beberapa laporan yang memberikan perincian informasi terkait jumlah orang yang masuk Islam.

Dilansir di About Islam, Ahad (1/10), Bangunan masjid Sahaba di jantung pinggiran kota kelas menengah Creteil di Paris, dikenal sebagai masjid para mualaf. Sekitar 150 acara pengucapan syahadat dilakukan setiap tahun di masjid Sahaba.

Masjid ini dibangun pada 2008. Masjid ini merupakan simbol pertumbuhan Islam di Prancis.

Menurut video Muslim Converts Stories, jumlah orang Prancis yang masuk Islam setiap tahun meningkat secara signifikan. Sementara itu para ahli menyebutkan, meski jumlah mualaf tetap relatif kecil di Prancis, jumlah mualaf tahunan ke Islam meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir.

Laporan lain oleh harian La Croix pada 25 Agustus, mengutip survei yang dilakukan oleh Pierre Schmidt tentang mualaf di Prancis, menyatakan selalu ada warga yang memeluk Islam. Kepala Biro Agama di Kementerian Dalam Negeri, Didier Leschi, mengatakan apa yang baru hari ini adalah jenis gerakan yang dituju oleh para mualaf muda.

“Menurut informasi yang kami terima dari Muslim yang bertanggung jawab atas asosiasi, dia menjelaskan, mungkin ada sekitar 10 mualaf setiap hari”, ujarnya.

Itu berarti ada sekitar 3.600 orang mualaf setiap tahun. Banyak ahli mencatat pengaruh para mualaf, terutama dari pemain sepak bola. Adalah Nicolas Anelka, yang bermain untuk tim nasional Prancis dan orang tuanya berasal dari Martinik, mengubah namanya menjadi Abdul-Salam Bilal Anelka ketika dia masuk Islam pada 2004.

IHRAM


Haruskah Aku Bermazhab?

Di antara permasalahan yang banyak diperdebatkan oleh kalangan penuntut ilmu dan kaum muslimin secara umum adalah mengenai hukum bermazhab. Haruskah aku bermazhab? Apakah bermazhab itu adalah sesuatu yang terpuji atau bahkan tercela? Dan bukankah bermazhab itu akan mengarah pada fanatisme buta yang itu tercela?

Dua kategori manusia

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, harus kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi manusia menjadi dua kategori pada firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua kategori manusia beserta kewajibannya masing-masing. Kategori pertama adalah mujtahid, di mana Allah menyifatinya sebagai orang yang berilmu dan Allah perintahkan dia untuk mengarahkan umat kepada al-haq dan menjawab berbagai pertanyaan mereka dengan menyampaikan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dan kategori kedua dari manusia yang disebutkan pada ayat di atas adalah muqallid, di mana Allah menyifatinya dengan ketiadaan ilmu dan Allah perintahkan dia untuk bertanya kepada ahli ilmu jika dia tidak mengetahui.

Mujtahid adalah seseorang yang mampu dan boleh untuk melakukan ijtihad, di mana ijtihad adalah

استفراغ الفقيه وسعه لدرك حكم شرعي.

“Pengerahan segenap upaya oleh seorang faqih untuk mengetahui sebuah hukum syar’i.”

Seseorang baru boleh berijtihad jika terpenuhi beberapa syarat berikut:

1. Mengetahui dalil-dalil syar’i tentang suatu masalah dari segi sahih dan dhaif-nya.

2. Mengetahui bahasa Arab sehingga dia mampu untuk memahami makna ayat dan hadis.

3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fikih dan dapat menerapkannya, seperti mengetahui tentang dalalatul-alfazh.

4. Mengetahui asbabun-nuzul dari ayat dan juga asbabul-wurud dari hadis.

5. Megetahui masalah-masalah yang telah ada ijma’ para ulama di dalamnya.

6. Mengetahui mana dalil yang nasikh dan mansukh.

Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat di atas maka dia sudah mampu untuk berijtihad, bahkan wajib baginya untuk berijtihad ketika ada sebuah permasalahan yang butuh untuk diketahui hukum syar’i yang berkaitan dengannya. Tidak boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain tanpa dia sendiri melakukan proses ijtihad tersebut, kecuali jika waktunya sudah sedemikian sempit sehingga pada kondisi ini baru boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain.

Adapun muqallid, maka dia adalah seseorang yang melakukan taqlid, di mana taqlid adalah

أخذ مذهب الغير بلا معرفة دليله.

“Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”

Oleh karena itu, seseorang itu berada di antara dua kondisi: antara dia adalah seorang mujtahid atau muqallid. Jika dia tidak memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, maka dia adalah muqallid, baik apakah dia melakukan taqlid kepada imam mazhab tertentu atau kepada ulama kontemporer. Selama dia bukan termasuk orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, maka dia termasuk dalam barisan para muqallidin.

Taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela

Sebagian orang berpikir bahwa taqlid itu adalah hal yang tercela. Dan mereka berpikir bahwa taqlid itu terjadi ketika dia mengikuti suatu mazhab tertentu, sementara ketika dia mengikuti fatwa seorang ulama kontemporer tertentu maka itu bukan taqlid. Ini adalah pemahaman yang salah. Kita katakan: Taqlid itu ada dua jenis: taqlid yang tercela dan taqlid yang terpuji. Taqlid yang tercela adalah taqlid yang disertai dengan sikap fanatik buta pada ulama yang dia ikuti, sehingga dia melandaskan al-wala’ wal-bara’ dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah yang seharusnya ruang untuk berbeda pendapat dalam masalah itu terbuka lapang.

Adapun taqlid yang terpuji adalah taqlid yang tidak disertai dengan sikap fanatik buta, yang dilakukan seseorang karena memang itulah yang hanya bisa dia lakukan. Dia tidak mampu untuk berijtihad, karena dia tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri dari dalil-dalil syar’i yang ada. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah dengan bertanya kepada para mujtahid mengenai permasalahan yang dia hadapi. Jika dia melakukan hal ini, maka itu berarti dia telah melakukan perintah Allah kepadanya, yaitu, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” Itu mengapa hal ini adalah taqlid yang terpuji, karena memang itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Di sini penting bagi kita untuk mengetahui bahwa walaupun seseorang ketika bertanya kepada seorang ulama kontemporer kemudian ulama tersebut menyebutkan dalil-dalil dalam fatwanya sehingga penanya tadi mengetahui dalil-dalil yang ada pada masalah tersebut, maka itu tidak berarti bahwa seorang tadi sudah naik tingkat dari muqallid menjadi mujtahid. Itu karena dia hanya mengetahui lafaz dan mana zahir dari dalil yang disebutkan oleh sang ulama’ Dia tidak mengetahui bagaimana metode pendalilan yang dipakai untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Dia belum mengetahui apa itu lafazh nashzhahir‘aamkhashmujmalmubayyanmuthlaqmuqayyadhaqiqahmajaz, dll. Dia tidak mengetahui mengapa dalil tersebut yang dipakai, mengapa bukan dalil yang lain? Dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat yang ada dalam fatwa mujtahid tersebut, karena sesungguhnya mujtahid tersebut memfatwakan hukum itu kepadanya karena mujtahid itu melihat bahwa kondisi penanya telah memenuhi syarat-syarat diberlakukannya hukum tersebut. Jika yang bertanya adalah orang lain dengan kondisi yang berbeda, maka bisa jadi fatwanya akan menjadi berbeda.

Dari sini kita ketahui bahwa hanya mujtahid yang boleh untuk berfatwa. Seorang muqallid hanya boleh untuk menukil fatwa, misalnya dengan berkata bahwa ini adalah fatwa Syaikh Fulan, dan tidak boleh baginya untuk berkata bahwa hukum Allah dalam masalah ini adalah demikian dan demikian. Bahkan para ulama juga memberikan peringatan kepada muqallid agar tidak sembarangan dalam menukil fatwa walaupun itu sekadar menukil, karena dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat berlakunya fatwa tersebut, dan apakah kondisi riil yang terjadi di lapangan telah memenuhi syarat-syarat itu atau tidak. Bahkan ketika seorang mujtahid itu dibolehkan untuk tidak berijtihad dan boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain karena waktunya sudah sedemikian sempit, maka para ulama berkata bahwa fatwa mujtahid lain tersebut hanya untuk dia amalkan saja, tidak boleh baginya untuk kemudian ikut berfatwa dengan fatwa tersebut kepada masyarakat tanpa melakukan proses ijtihad itu sendiri, karena dia pada asalnya adalah seorang mujtahid yang wajib untuk berijtihad. Syariat membolehkan dia untuk melakukan taqlid kepada mujtahid lain dalam kondisi ini tidak lain karena kondisinya yang terdesak tidak cukup waktu untuk melakukan ijtihad sementara sudah harus melakukan amalan. Jika hal ini berlaku untuk seseorang yang sudah mampu untuk berijtihad dan telah mencapai derajat mujtahid, maka apalagi untuk orang yang masih berada dalam derajat muqallid.

Haruskah aku bermazhab?

Setelah kita mengetahui dua kategori manusia ini, yaitu mujtahid dan muqallid, maka kita dapat masuk pada pembahasan utama kita, yaitu haruskah aku bermazhab? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Wajib untuk melazimi mazhab tertentu, yaitu dengan mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Ini adalah pendapat di mazhab Syafi’i. Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah berkata,

وأنه يجب التزام مذهب معيَّن يعتقده أرجح أو مساويا.

“Wajib untuk melazimi mazhab tertentu yang dia yakini lebih kuat atau setara.”

Pendapat kedua: Tidak wajib untuk melazimi mazhab tertentu. Ini adalah pendapat di mazhab Hanbali. ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah berkata,

ولا يلزم التمذهب بمذهب.

“Tidak wajib bagi seseorang untuk bermazhab dengan mazhab tertentu.”

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.

“Barangsiapa yang melazimi mazhab tertentu kemudian mengambil pendapat lainnya bukan karena taqlid kepada ulama lain yang memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dengan dalil yang membuat dia mengambil pendapat lain tersebut, dan tanpa ‘udzur syar’i yang membolehkan dia untuk melakukan hal tersebut, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram tanpa adanya ‘udzur syar’i, maka ini adalah kemungkaran.”

Kemudian beliau rahimahullah berkata,

وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.

“Adapun jika tampak jelas baginya bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dengan pendalilan yang terperinci jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tersebut, atau karena dia melihat ulama lain yang memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tersebut daripada selainnya, dan ulama tersebut lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yang beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tersebut karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”

Dari kalangan Syafi’iyyah yang memilih pendapat ini adalah Imam an-Nawawi rahimahullah, di mana beliau berkata,

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi mazhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kami lebih condong kepadanya. Perhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’uzhan kepada para ulama yang memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah di atas, “Para ulama yang melarang hal ini (yakni, melarang untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki -penj.) bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Yang dimaksud dengan perbuatan mencari-cari keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tersebut dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih sehingga bisa memahami mana pendalilan yang lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama mujtahid yang dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa. Selalu mencari-cari pendapat yang paling ringan itu haram, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan fatwa shopping, di mana kita memilih-milih fatwa para ulama yang paling sesuai selera kita sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih-pilih mana makanan yang sesuai selera kita. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.

Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa tidak wajib bagi kita untuk melazimi mazhab tertentu, di mana kita harus mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Akan tetapi, boleh bagi kita untuk bertanya kepada para ulama mujtahid yang Allah mudahkan bagi kita untuk bertanya kepada mereka mengenai berbagai permasalahan kita. Jika kita mengetahui ada dua pendapat atau lebih dari berbagai para ulama mujtahid dalam satu permasalahan yang sama, maka jika kita mampu memahami dan mencerna alur pendalilan dari masing-masing pendapat tersebut, kita harus memilih pendapat yang paling kuat. Jika kita tidak bisa melakukan hal ini, maka kita pilih pendapat dari ulama mujtahid yang lebih berilmu dan lebih bertakwa.

Akan tetapi, bagi para penuntut ilmu yang ingin belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dengan menggunakan kurikulum mazhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yang ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yang lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yang lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan. Jika dia mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga ilmu, sebab dia akan menjadi kokoh dengan satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu sebelum dia masuk ke ranah khilaf yang ada di kalangan para ulama. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yang digunakan oleh para ulama pun tidak bisa dipahami dengan cepat — kecuali oleh orang yang dirahmati oleh Allah. Dengan mempelajari fikih menggunakan satu sudut pandang terlebih dahulu, yaitu sudut pandang mazhab yang sedang dia pelajari tersebut, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yang kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yang ada di kalangan para fuqaha’. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yang luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuan kita terlebih dahulu dengan cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum mazhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya.

Itu mengapa kami tuliskan judul artikel ini sebagai, “Haruskah Aku Bermazhab?” dan bukan, “Haruskah Kita Bermazhab?” untuk mengingatkan bahwa hukum untuk setiap orang dalam masalah ini berbeda, apakah dia seorang awam kaum muslimin yang tidak ingin mendalami ilmu fikih, atau apakah dia adalah seorang penuntut ilmu yang ingin menaiki tangga ilmu fikih dengan mudah dan selamat dari rapuhnya pondasi ilmu dan berbagai kontradiksi ketika berfatwa, bi-idznillah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu menuntut ilmu syar’i demi meraih rida-Nya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

sumber: Muslim.or.id

Tanda dan Keutamaan Qolbun Salim

Kali ini kita akan menyebutkan apa saja tanda dan keutamaan القَلبُ السَّلِيم hati yang bersih (hati yang selamat) ?

1. Hati yang memiliki ketentraman.

هُوَ ٱلَّذِیۤ أَنزَلَ ٱلسَّكِینَةَ فِی قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ لِیَزۡدَادُوۤا۟ إِیمَـٰنࣰا مَّعَ إِیمَـٰنِهِمۡۗ

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).” (QS.Al-Fath:4)

2. Hati yang tenang dengan mengingat Allah.

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Ra’d:28)

3. Hati yang khusyuk di saat mengingat Allah.

أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah.” (QS.Al-Hadid:16)

Itulah beberapa ayat yang menceritakan tentang keutamaan Qolbun Salim.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN