Uang Bantuan UMKM dari Pemerintah Apakah Boleh Diambil?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang uang bantuan UMKM dari pemerintah apakah boleh diambil?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Alloh selalu jaga ustadz dan keluarga serta kaum muslimin dimanapun berada, aamiin.

Ustadz kami ada usaha kecil kecilan di rumah. Selama pandemi ini ada bantuan UMKM sebesar 2.4 juta tetapi harus membuat proposal, tetapi kami ragu ragu karena pencairannya di Bank konvensional dan sumber dananya tidak tahu apakah dari bank konvensional tersebut atau Bank tersebut hanya mitra kerja saja dari sumber dana pemerintah itu.
mohon nasehatnya Ustadz karena kami TAKUT RIBA.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Jika dana tersebut merupakan murni bantuan dari pemerintah, maka tidak masalah anda menerimanya, dan tidak ada keharusan bagi anda untuk mencari sumber dana tersebut.
Walaupun dana tersebut merupakan dana riba, jika anda membutuhkan, maka anda berhak menerimanya.

BACA JUGA

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin pernah berfatwa ketika ditanya apakah boleh menerima nafkah dari ayah yang bekerja di bank ribawi:

خذوا النفقة من أبيكم، لكم الهناء وعليه العناء لأنكم تأخذون المال من أبيكم بحق؛ إذ هو عنده مال وليس عندكم مال، فأنتم تأخذونه بحق، وإن كان عناؤه وغرمه وإثمه على أبيكم فلا يهمكم، فها هو النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- قبل الهدية من اليهود، وأكل طعام اليهود، واشترى من اليهود، مع أن اليهود معروفون بالربا وأكل السحت، لكن الرسول -عليه الصلاة والسلام- يأكل بطريق مباح، فإذا ملك بطريق مباح فلا بأس

“Ambilah nafkah dari ayah kalian, nikmatnya untuk kalian, dosa dia yang nanggung, karena kalian mendapatkan harta tersebut dengan cara yang dibenarkan. Karena harta tersebut berasal darinya bukan dari kalian.
Kalian mendapatkannya dengan cara yang dihalalkan, walaupun dosa, dan kerugiannya ditanggung olehnya, maka tidak hubungannya dengan kalian. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu menerima hadiah, makan dan membeli dagangan orang yahudi, padahal orang yahudi terkenal dengan muamalah riba. Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakannya dengan jalur yang dibenarkan, jika barang tersebut dimiliki dengan cara yang mubah, maka tidak mengapa”
(Sumber : fatwa Syaikh Muhammad Bin Sholeh Al Utsaimin).

Wallahu a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Selasa, 17 Rabiul Awwal 1442 H / 03 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Wabah Corona, Tasawuf dan Tawakal

Akhir-akhir ini banyak ujaran bahwa kita umat Islam kurang tawakal jika tidak ke masjid hanya karena Corona. Katanya, mana sisi tasawuf dan takawal jika meninggalkan masjid dengan alasan demikian? Lalu benarkah kalau sepinya tanah suci akibat wabah corona juga tanda-tanda kiamat seperti yang dikatakan sebagian orang? Katanya di mana sisi syariatnya, sebab ini seolah-olah takut pada sesuatu yang diciptakan Allah.

Baik, mari kira uraikan satu persatu agar jelas. Jika corana bukan thaun yang dimaksud dalam hadis, maka keputusan pemerintah Saudi yang menutup Masjid Nabawi Syarif sudah benar secara fiqih. Karena khusus pada Madinah ada keistimewaan tentang thaun. Paling tidak secara zahir hadis, jika saya membaca secara khusus bab ini, kalau ada ulama yang mu’tamad (selain muashirin) menafsirkan lain maka saya akan ikut ulama itu, karena keluar dari khilaf lebih utama. Dan itu khusus untuk Madinah.

Adapun daerah lain, sudah tepat melakukan pelarangan shalat jamaah di masjid, itu bukan anjuran, tapi larangan, memaksa melakukannya itu haram hukumnya. Lah shalat jamaah di masjid kok haram? Siapa bilang shalat jamaah di masjid haram? Jangan memotong fatwa ulama, “shalat jamaah di masjid ketika masa wabah” yang diharamkan, karena bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain, bukan shalat jamaah di masjid yang haram tapi ada tambahan “ketika wabah”. Itulah bayan hukum syariat. Tentu jika fatwa ulama sudah keluar.

Jadi walau memaksa diri shalat jamaah di masjid saat keadaan wabah, di situlah manusia dicoba, apa dia shalat jamaah di masjid karena keinginannya atau karena perintah Allah? Apa karena sayang kepada tempat atau karena Tuhan yang memerintahkannya untuk memuliakan dan mencintai tempat tersebut, jika cinta masjid karena Allah swt bukan karena kepuasan pribadi, maka saat Tuhan memerintahkan untuk meninggalkan masjid kita harus meninggalkannya, karena kita tidak menyembah masjid yang sangat kita cintai, tapi kita menyembah Allah yang memerintahkan kita untuk mencintai masjid.

Ibarat orang wudhu, kadang kita harus meninggalkan wudhu karena perintah Allah, saat ada luka yang membuat kita celaka jika bersikeras wudhu misalnya. Maka ibadah kita adalah meninggalkan wudhu sambil menangis menginginkannya. Tak apa tetap mencintai wudhu, tapi kita harus lebih mencintai Dzat yang memerintahkan wudhu sampai kita mencintainya. Begitu juga dengan shalat jamaah.

Lalu dimanakah tawakalnya? Itulah bentuk tawakal yang sebenarnya, tawakal bukan menuruti keinginan hati, tapi menuruti keinginan Tuhan dan perintahnya, saat Tuhan memerintahkan a kita ikut, diperintahkan untuk meninggalkan juga ikut, diperintahkan untuk melakukan b ikut juga, seperti itulah kita bertawakal dan berserah diri pada Tuhan, kita hanya ikut pada perintahnya, walau itu berat. Tidak hanya fisik tapi juga berat hati. Perintah dan larangan Tuhan itulah yang dinamakan syariat.

Tasawuf kita itu adalah tasawuf yang diarahkan oleh syariat, tidak ada tasawuf tanpa syariat. Dalam ahlussunnah yang melihat konsep tasawuf yang terpisah dari syariat itu hanya dilakukan zindiq dan orang yang hilang akal atau minimal jahil.

Lalu masalah pengkhususan wabah thaun di Madinah, mungkin konsep tawakal bisa dipakai karena ada nash yang mengistimewakan Madinah, tapi tentu saja itu bagi orang yang punya keyakinan tinggi, adapun di luar itu kita tetap mengambil rukhsah, karena tidak semua orang tingkat keimanannya tinggi. Tapi lagi-lagi itu karena ada nash syariat. Yang tidak ada nash? Ya tidak boleh, sebab konsep tawakal harus sejalan dengan syariat.

Jadi ketika berbicara tentang salah satu konsep tasawuf yaitu tawakal, maka itu juga harus dengan syariat, karena bagaimana kita tawakal kalau kita tidak ikut perintah Dzat yang menjadi tempat kita bertawakal.

Kita bukan jabariyah. Mati memang takdir Allah, tapi menghindarinya pada waktu tertentu adalah perintah Allah, seperti kata Umar radhiyallahu anhu ketika wabah penyakit menyerang “kita hindari takdir Allah, menuju takdir Allah yang lain”. Itulah tawakal yang dipraktekan Sahabat Nabi saw.

Lalu kenapa mall dan cafe tidak ditutup? Ya di tempat itu tidak semua orang peduli dengan syariat Tuhan, masa yang di masjid harus ikut melanggar syariat tuhan sih? Jika ada orang lain melakukan yang haram, masa anda yang sering jamaah juga melakukan hal yang sama.

Jadi jika anda ingin ibadah saat ini, maka beribadahlah dengan cara yang lain, yaitu tetap di rumah. Karena itu perintah Tuhan untuk waktu ini, bukan shalat jamaah di masjid, ini yang dinamakan dalam fiqih dengan “ibadatul waqt” yaitu ibadah yang sesuai waktu. Sehingga pahala berdiam rumah saat ini lebih besar daripada shalat jamaah di masjid. Sebagaimana shalat sunat habis subuh dilarang, bahkan jika kita pengen banget shalat sunnah tetap tidak boleh. Karena pahala terbesar saat itu bukan shalat sunat tapi yang diperintahkan saat itu adalah zikir sampai syuruq (terbit mentari) lalu shalat dhuha 2 rakaat.

Syariat yang mirip dengan itulah yang kita praktekkan sekarang. Menyepelekan asbab itu sama dengan menyepelekan syariat, karena syariatlah yang mengatur sebab. Jadi jangan pisahkan antara tawakal dengan syariat. Karena dengan ikut syariatlah kira benar-benar bertawakal. Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH



26ribu Jemaah Umrah Tertunda, Penuhi Syarat Usia

Jakarta (Kemenag) — Pemerintah Arab Saudi berencana mulai menerima kedatangan jemaah umrah dari luar negaranya mulai 1 November 2020. Kebijakan ini kembali diambil setelah sejak 27 Februari, kedatangan jemaah umrah dari luar Saudi ditutup. Namun, Arab Saudi memberlakukan kriteria usia, 18 – 50 tahun. 

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim mengatakan, total ada 59.757 jemaah umrah Indonesia yang sudah mendapatkan nomor registrasi, namun terdampak oleh kebijakan Saudi karena pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) sehingga tertunda keberangkatannya. Mereka sudah mendaftar di Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan sudah diinput dalam Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (SISKOPATUH).

Dari jumlah itu, sebanyak 2.601 (4%) berusia di bawah 18 tahun, dan 30.828 (52%) jemaah berusia di atas 50 tahun. “Ada 26.328 jemaah atau 44% dari mereka yang sudah mendapat nomor registrasi, berusia 18 sampai 50 tahun. Mereka masuk dalam kriteria yang dipersyaratkan Saudi untuk berangkat umrah di masa pandemi ini,” terang Arfi di Jakarta, Kamis (29/10).

Untuk jemaah yang memenuhi kriteria usia tersebut, kata Arfi, sebanyak 21.418 orang sudah mendapatkan nomor porsi. Mereka adalah Jemaah yang sudah melakukan pembayaran. “Dari 21.418 jemaah, sebanyak 9.509 orang bahkan sudah lunas, sudah mendapat visa dan tiket keberangkatan saat terbitnya kebijakan penutupan oleh Saudi pada 27 Februari 2020,” lanjutnya.

Arfi mengatakan, jemaah yang tertunda keberangkatan dan memenuhi kriteria persyaratan akan diutamakan untuk berangkat jika Saudi memberi izin kepada Indonesia. Selain usia, ada sejumlah persyaratan lainnya yang juga harus dipenuhi, termasuk di antaranya adalah penerapan protokol kesehatan dan lainnya.

“Kami tengah memfinalkan rancangan Keputusan Menteri Agama atau KMA Penyelenggaraan Umrah di Masa Pandemi. Di situ mengatur juga persyaratan jemaah umrah. Tentu kami memperhatikan ketentuan Arab Saudi, termasuk juga ketentuan yang ditetapkan Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenhub, dan Satgas Covid-19 RI,” jelasnya.

“Bagi jemaah yang sudah mendaftar namun belum memenuhi syarat keberangkatan, dimohon bersabar, menunda keberangkatannya hingga pandemi berakhir,” harapnya.

(Humas)

KEMENAG RI

Kecintaan Surat Al-Ikhlas yang Antarkan Sahabat ke Surga

Sahabat Nabi Muhammad dari kalangan Anshar mencintai surat Al-Ikhlas

Dahulu ada seorang sahabat yang kerap membaca surat Al Ikhlas dalam sholatnya. Kecintaannya terhadap surat Al-Ikhlas itulah yang menyebabkan sahabat tersebut masuk surga.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam al-Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, dari Anas bin Malik RA:

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ : بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا ، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ ، فَقَالُوا : إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى ، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا ، وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ : مَا أَنَا بِتَارِكِهَا ، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ ، وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الخَبَرَ ، فَقَالَ : يَا فُلاَنُ ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ ، وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ : إِنِّي أُحِبُّهَا ، فَقَالَ : حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ  

Pernah Seorang sahabat Anshar menjadi imam di Masjid Quba. Setiap kali hendak membaca surat untuk mereka ia mengawalinya dengan membaca surat “qul huwallaahu Ahad” hingga selesai, kemudian baru ia membaca surat yang lain. la melakukan hal ini pada setiap rakaat. 

Sahabat-sahabatnya berkata kepadanya: “Sesungguhnya Engkau selalu mengawali dengan surat al-lkhlash, dan Engkau tidak merasa cukup dengannya tanpa membaca surat yang lain setelahnya. Sekarang silakan pilih, engkau membaca surat al-lkhlash saja, atau engkau meninggalkannya dan membaca surat yang lain saja”. 

Ia menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan surat itu. Jika kalian suka aku mengimami kalian seperti itu, maka aku akan melakukannya. Jika kalian tidak suka, aku akan meninggalkan kalian.” 

Sedang mereka menganggap ia adalah orang yang terbaik di antara mereka, dan mereka tidak suka orang lain yang mengimami mereka sholat. 

Ketika Nabi ﷺ datang mengunjungi mereka, mereka menceritakannya kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Wahai fulan! Mengapa kamu menolak apa yang diperintahkan teman-temanmu kepadamu? Apa yang membuatmu selalu membaca surat itu setiap rakaat?” la menjawab: “Saya menyukai surat itu”.

Beliau bersabda: حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ “Kecintaanmu pada surat itu akan memasukkanmu ke dalam surga.” 

KHAZANAH REPUBLIKA


 

Hakekat Wara

Sikap wara’dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus dalam perbuatan tercela dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi kebutuhan hidup.

Apa hakekat Wara’

Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, diantaranya:

a. Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.

b. Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang.

Sedangkan syeikhul islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini dengan ungkapan: “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya yaitu yang jelas pengharaman dan yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada mafsadat yang lebih besar dari mengerjakannya”.
(majmu’ Fatawa 10/511)

Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dengan ungkapan: Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akheratnya.
(al-Fawaaid hlm 118).

Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharoman dan meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akheratnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah :

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ

Perkara halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkanNya.
(Muttafaqun ‘Alaihi).

Jenis dan tingkatan Wara’

Imam ar-Raaghib al-Ashfahani membagi sikap wara’ dalam tiga tingkatan:

1.Wajib yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.

2.Sunnah yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan

3.Fadhilah (keutamaan) yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untuk sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin.
(lihat kitab adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hlm 323).

Faedah dan manfaat sikap wara’

Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:

  1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsan.

2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.

3. Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.

4. Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.

5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.

Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini.
Mari berusaha menanamkannya dalam diri kita agar kita menjadi hambaNya yang beruntung!

Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
Jum’at, 13 Rabiul Awwal 1442 H/ 30 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Buktikan Cintamu dengan Belajar Sunnah dan Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, salah satu cara terbaik untuk mencintai dan mewujudkan rasa cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mempelajari sunahnya, mengamalkannya, dan mempelajari sirah sejarah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lahir sampai dengan wafat.

Sungguh perlu kita renungkan, bisa jadi kita pernah membaca komik cerita tokoh tertentu sampai tamat, atau menonton serial Korea sampai selesai bahkan diulang-ulang. Lalu, pernahkah kita membaca atau mengikuti kajian sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dengan tamat?

Begitu banyak lagu dan bait puisi yang kita hafal, sudahkah kita menghafal dan mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Apabila ditanya nama-nama pemain bola dan artis tertentu, bisa jadi kita hafal. Akan tetapi, ketika ditanya nama anak-anak dan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah kita menghafalkannya dan mengenal mereka?

Apabila kita mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu klaim itu butuh pembuktian, karena cinta itu butuh pembuktian. Apabila sekedar pengakuan cinta, maka semua orang bisa mengaku-ngaku, sebagaimana syair Arab yang terkenal,

وكل يدَّعي وصلاً بليلى …. وليلى لا تقر لهم بذاكا

“Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila … Namun Laila tak pernah mengiyakan hal itu.”

Salah satu cara membuktikan cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mempelajari sirah perjalanan hidup beliau. Dalam sirah beliau terdapat pelajaran yang berharga, teladan dalam sabar, akhlak mulia, dan kokoh beragama. Para sahabat sangat memahami hal ini, sehingga mereka mengajarkan anak-anak mereka sirah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an.

‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib (dikenal dengan nama Zainul ‘Abidin) berkata,

كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن

“Dahulu, kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an diajarkan kepada kami.” (Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi, 2: 195)

Cara membuktikan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga dengan cara mempelajari sunnah dan hadits beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang mempelajari hadits beliau, menghafalnya, dan menyampaikan kepada manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

“Semoga Allah memberikan nudhrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku, lalu ia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa fikih kepada orang yang lebih fakih darinya. Ada tiga perkara yang tidak akan dengki hati seorang muslim dengannya: mengikhlaskan amal karena Allah, menasihati pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jamaah mereka karena doa mereka meliputi dari belakang mereka.” (HR. Tirmidzi)

Cinta kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sekali lagi bukanlah sekedar pengakuan saja, tetapi pembuktian dengan sikap nyata. Semoga kita bisa mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melebihi cinta kita kepada diri kita sendiri. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR. Muslim)

Demikian, semoga bermanfaat.

@ Lombok, Pulau Seribu Masjid

* * *

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Jeda (Pemisah) antara Shalat Wajib dengan Shalat Sunnah

Haruskah Ada Jeda (Pemisah) ?

Petunjuk syariat menuntunkan bahwa hendaknya terdapat jeda antara shalat wajib dengan shalat sunnah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyah. Jeda ini bisa berupa melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan setelah shalat wajib, atau berbicara (bercakap-cakap) dengan orang lain, atau berpindah dari tempat pelaksanaan shalat wajib ke tempat (sudut) lain untuk mendirikan shalat sunnah. Adanya jeda ini disyariatkan untuk siapa saja, baik dia statusnya imam, makmum, atau baik dia itu laki-laki atau perempuan. Karena dalil dalam masalah ini bersifat umum. 

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Atha’ bahwa Nafi’ bin Jubair mengutusnya kepada Sa’ib, yaitu putra dari saudara perempuan Namir, untuk menanyakan sesuatu yang pernah dilihat oleh Mu’awiyah dalam shalat. Sa’ib berkata, “Benar, aku pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah di dalam maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam, aku berdiri di tempatku kemudian menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku. Utusan itu mengatakan, 

لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ، فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ، أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu kepada kita yaitu, “Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari masjid.”” (HR. Muslim no. 883)

Ketika menjelaskan hadits ini, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثر مواضع سجوده ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة وقوله حتى نتكلم دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضا ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم

“Dalam hadits ini terdapat dalil pendapat ulama madzhab Syafi’i bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya itu dianjurkan dengan berpindah tempat dari tempat mendirikan shalat wajib ke tempat yang lainnya. Yang lebih afdhal adalah berpindah ke rumahnya. Jika tidak memungkinkan, dia berpindah ke sudut lain di masjid atau yang lainnya. Hal ini agar dia memperbanyak tempat untuk sujud, dan memisahkan antara shalat wajib dengan shalat sunnah. 

Adapun perkataan Nabi, “setelah mengucapkan kata-kata” terdapat dalil bahwa jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu juga bisa dengan ucapan. Akan tetapi, jeda berupa berpindah (ke tempat lain) itu yang lebih utama, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 420)

Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ashar, lalu ada seseorang yang langsung berdiri untuk shalat. ‘Umar melihatnya, lalu mengatakan, 

اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ

“Duduklah, karena sesungguhnya kebinasaan ahlu kitab adalah karena tidak ada jeda antara shalat-shalat mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ

“Sungguh baik (benar) apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaththab (‘Umar).” (HR. Ahmad no. 23121, dan sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَنَ صَلَّى الْمَكْتُوبَةَ، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَتَطَوَّعَ فَلْيَتَكَلَّمْ، أَوْ فَلْيَمْشِ، وَلْيُصَلِّ أَمَامَ ذَلِكَ ؛ قَالَ: وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنِّي لَأَقُولُ لِلْجَارِيَةِ: انْظُرِي كَمْ ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ؟ مَا بِي إِلَّا أَنْ أَفْصِلَ بَيْنَهُمَا

“Siapa saja yang mendirikan shalat wajib, kemudian ingin mendirikan shalat sunnah, hendaklah dia berkata-kata (mengucapkan suatu kalimat), atau berjalan, lalu shalatlah setelahnya.” Perawi berkata, “Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berkata kepada budak perempuan itu, “Lihatlah, berapa banyak malam yang telah berlalu? Tidak ada maksud aku mengucapkan kalimat itu, kecuali karena ingin memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah.” (HR. ‘Abdur Razaq dalam Mushannaf no. 3914 dengan sanad shahih)

Kesimpulan dan Penjelasan Dalil

Terdapat dua kesimpulan yang didapatkan dari dalil-dalil di atas:

Kesimpulan Pertama

Jeda (pemisah) antara shalat wajib dan shalat sunnah itu bisa jadi dengan waktu/zaman (meskipun tetap shalat di tempat yang sama), atau bisa jadi dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (baik maju atau mundur), atau bisa jadi dengan ucapan (bercakap-cakap dengan orang lain).

Yang paling afdhal adalah membuat jeda dengan berpindah melaksanakan shalat sunnah (rawatib) di rumah. Berdasarkan hadits dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ

“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

“Dirikanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian. Dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti pemakaman.” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim 777) [1]

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ، فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا

“Jika salah seorang dari kalian telah menunaikan shalat di masjid, hendaknya dia menyisakan sebagian shalatnya untuk (dikerjakan) di rumah. Karena dari shalatnya itu, Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya.” (HR. Muslim no. 778)

Dan di antara kebaikan yang ditimbulkan dari melaksanakan shalat sunnah di rumah adalah memakmurkan rumah dengan dzikir kepada Allah Ta’ala; taat kepada-Nya; juga doa dan permohonan ampunan dari para malaikat; dan juga pahala dan keberkahan bagi pemilik (penghuni) rumah. Kebaikan lainnya adalah mendidik anak dan istri agar mereka mencintai dan memperhatikan shalat dan juga mendirikan shalat dalam sebaik-baik keadaan.

Kesimpulan Kedua

Dari dalil-dalil terdapat isyarat bahwa hikmah dari perintah membuat jeda antara shalat wajib dan shalat sunnah adalah untuk memisahkan dan membedakan antara ibadah wajib dan ibadah sunnah. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Disunnahkan untuk memisahkan antara shalat wajib dan shalat sunnah, baik shalat Jum’at atau (shalat wajib) lainnya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang dari perbuatan menyambung antara shalat satu (shalat wajib) dengan shalat lainnya (shalat sunnah), sampai keduanya dipisahkan dengan berdiri atau ucapan. Maka janganlah melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas manusia yang langsung menyambung antara salam (dari shalat wajib) dengan dua raka’at shalat sunnah. Karena hal ini berarti dia terjatuh dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam syariat ini terdapat hikmah berupa membedakan antara ibadah wajib dan ibadah non-wajib, sebagaimana dibedakan antara ibadah dan non-ibadah. Oleh karena itu, disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, juga sebagaimana disunnahkan untuk makan di hari raya ‘Idul Fithri sebelum shalat ‘id, dan larangan untuk menyambut Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya.

Hal ini semuanya untuk memisahkan antara perkara yang diperintahkan (puasa) dengan yang tidak diperintahkan, atau memisahkan antara ibadah dan selain ibadah. Demikian pula memisahkan antara shalat Jum’at yang Allah Ta’ala wajibkan dengan ibadah lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 24: 202-203)

Para ulama juga menyebutkan hikmah lainnya dari disyariatkannya berpindah tempat, yaitu untuk memperbanyak tempat ibadah. Hal ini karena tempat pelaksanaan ibadah akan memberikan persaksian bagi seorang hamba di hari kiamat, sebagaimana cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ

“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka, dan mereka pun tidak diberi tangguh. (QS. Ad-Dukhkhan [44]: 29)

Maksudnya, sesungguhnya bumi itu akan menangis untuk para hamba yang berbuat keta’atan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 239)

Demikian pula firman Allah Ta’ala,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 4)

Maksudnya, bumi akan bersaksi atas hamba sesuai dengan apa yang mereka perbuatan di atasnya, baik berupa amal baik atau amal buruk. Hal ini karena bumi termasuk dalam saksi yang akan memberikan persaksian untuk manusia pada hari kiamat. (Taisiir Karimir Rahmaan, 5: 445)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Terlambat Bekerja karena Shalat?

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah

Soal:

Saya adalah seorang kepala sekolah menengah pertama di suatu daerah di Aljazair. Salah satu pengajar di sekolah kami selalu datang terlambat beberapa menit ketika mengajar di sesi siang. Ketika saya menanyakan alasan keterlambatan, beliau mengatakan bahwa alasan terlambatnya adalah karena beliau mengerjakan salat Zuhur di masjid secara berjamaah. Apakah keterlambatan tersebut diizinkan oleh syariat? Apakah saya berhak untuk  memotong gajinya? Atau apakah yang seharusnya saya lakukan? Mohon penjelasannya.

Jazaakumullahu khayran.

Jawab:

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan saudarnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Kaidah yang ditetapkan dalam masalah profesi yang diganjar dengan upah adalah kaidah dalam bab al-ijarah al-khashah al-muqaddarah bi zaman (sewa jasa untuk pekerjaan khusus yang dibatasi oleh waktu). Dan ajir khas adalah pekerja yang upahnya ditentukan berdasarkan waktu kerja. Pekerjaan semisal ini adalah termasuk amanah yang diberikan kepada seorang mukallaf (baca: pegawai). Dan dia diperintahkan untuk menunaikan amanah tersebut kepada orang yang memberinya amanah.

Ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأمُرُكُم أَن تُؤَدُّواْ ٱلأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهلِهَا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)

Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan tafsir terhadap ayat ini,

“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada orang-orang yang memberinya amanah. Dan amanah di sini bersifat umum, mencakup semua jenis amanah yang menjadi kewajiban setiap manusia, baik itu hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla atas hambanya berupa salat, zakat, kafarah, nadzar, puasa dan kewajiban-kewajiban lain yang diemban oleh para hamba-Nya tanpa adanya pengawasan dari hamba-Nya yang lain, maupun hak-hak antar sesama hamba seperti titipan maupun amanah-amanah lain. Meskipun tidak ada yang mengawasi penunaiannya, Allah memerintahkan kita untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia, maka akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Jika demikian, jam kerja yang dihargai tersebut adalah milik majikan, bukan milik karyawan. Bahkan, jam kerja tersebut adalah amanah yang ditanggung di pundaknya, yang wajib dia ditunaikan kepada orang yang memberi amanah. Dan wajib ditunaikan secara sempurna tanpa mencederai hak-hak lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ ـ عَزَّ وَجَلَّ ـ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menyukai jika salah seorang kalian mengerjakan sesuatu, dia mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh.” (HR. Abu Ya’la dalam kitab Al-Musnad, At-Thabarani dalam Mu’jam Al-Awsath dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dinilai hasan oleh Al-Albani)

Seorang karyawan tidak boleh berbuat curang dengan mencuri waktu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan di luar pekerjaannya, kecuali dengan alasan yang syar’i  yang memberikan keringanan akan hal itu atau karena uzur yang telah dibenarkan oleh aturan kerja.

Demikianlah, tiada keraguan lagi bahwa menunda salat hingga keluar dari waktunya adalah tidak dibolehkan oleh syariat. Karena salat memiliki batasan waktu yang tidak boleh dilampaui, kecuali jika ada udzur. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا

“Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)

Terdapat pula ancaman yang keras bagi orang-orang yang melalaikan salat, dan menundanya hingga keluar dari batas waktunya, serta tidak mengerjakannya sebagaimana tuntunan yang diperintahkan. Ancaman tersebut Allah sebutkan dalam firman-Nya,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِ‌ۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا

“Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk bersemangat dalam menegakkan ibadah salat pada waktunya dan mengerjakannya di masjid (menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat para ulama), serta tidak bersengaja menundanya kecuali jika ada uzur. Ini jika dilihat dari satu sisi.

Adapun di sisi lain, mengenai masalah kewajiban kerja. Tidak terdapat keringanan menjamak salat bagi karyawan tersebut, karena tidak adanya kesulitan atau udzur yang membolehkannya untuk menjamak salat. Bahkan kita sudah ketahui bersama, menjamak salat tanpa adanya kesulitan dan tanpa adanya uzur merupakan bentuk mempermainkan syariat. Pelakunya diganjar dosa dan ancaman yang keras. Perilaku tersebut masih tercakup dalam makna dari “mengabaikan salat” yang disebutkan dalam ayat diatas.

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa rentang waktu thaharah dan rentang waktu salat adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya. Sehingga rentang waktu tersebut dikecualikan dari rentang waktu jam kerja yang telah disepakati dalam ijarah (dalam hal ini adalah akad kerja antara pegawai dan majikan, pent.). Sehingga menegakkan salat (pada jam kerja) dengan sesuai tuntunan syariat, bukanlah kecurangan dalam akad ijarah yang telah disepakati. Demikian juga, karyawan tidak perlu membayar denda atas pemakaian waktu tersebut (menurut pendapat yang lebih rajih dari dua pendapat ulama) dan tidak boleh dikurangi gajinya. Berlaku demikian juga, jika sang karyawan ketika akad ijarah tidak menyebutkan syarat harus dibolehkan salat di masjid.

Di antara pernyataan ulama dalam permasalahan ini adalah perkataan Ibnu Muflih rahimahullah,

ولا ضمانَ على الأجير الخاصِّ” نصَّ عليه، “وهو الذي يُسلِّم نَفْسَه إلى المُستأجِر” أي: يقع عليه العقدُ مُدَّةً معلومةً يَستحِقُّ المُستأجِرُ نَفْعَها في جمعها، سوى فعلِ الصَّلوات الخمسِ في أوقاتها بسُنَنِها، وصلاةِ جمعةٍ وعِيدٍ، ولا يَستنيب؛ وسُمِّيَ خاصًّا لاختصاص المُستأجِرِ بنفعه تلك المُدَّةَ».

“[Tidak ada denda bagi al-ajir al-khash] beliau (penulis kitab Al-Muqni’) menegaskan hal ini. [dia adalah orang yang menyerahkan jasanya kepada al-musta’jir (majikan)], maksudnya: telah terjadi akad ijarah untuk jangka waktu tertentu, yang pada rentang waktu ini al-musta’jir berhak mengambil manfaat dari al-ajir al-khas. Kecuali waktu yang digunakan untuk salat lima waktu pada waktunya, disertai dengan sunnah-sunnahnya, salat Jumat, dan salat ‘Id tanpa perlu mengganti jam kerja. Al-ajir (karyawan) tersebut dilabeli dengan istilah “khash” karena ia mengkhususkan rentang waktu kerjanya tersebut untuk memberikan manfaat kepada al musta’jir (majikan).” (Al-Mubdi’ Syarah Al Muqni’, 5: 108)

Demikian juga, Zakariyya Al-Anshari rahimahullahu mengatakan,

زمن الطَّهارة و”الصَّلاة “المكتوبة ولو جمعةً، والرَّاتبة مُستثنًى في الإجارة” لِعملِ مُدَّةٍ، فلا تنقص مِنَ الأجرة شيء

“[Rentang waktu untuk melakukan thaharah dan] salat [yang wajib, termasuk salat Jum’at, serta salat rawatib dikecualikan rentang waktu yang menjadi hak majikan] dalam akad pekerjaan yang ada batasan waktunya. Sehingga pekerja tersebut tidak dikurangi gajinya sedikit pun.” (Asnal Mathalib, 12: 289)

Oleh karena itu, apabila majikan mengizinkan pekerja untuk salat di masjid, dan tidak menimbulkan bahaya (pada pekerjaannya), inilah solusi yang terbaik. Dan pekerja tidak perlu meminta izin untuk salat, meskipun tidak ada klausul perjanjian tentang hal ini ketika akad kerja.

Namun, apabila terdapat bahaya jika dia meninggalkan tempat kerja sehingga majikan tidak mengizinkan salat di masjid, maka hendaknya dia salat di kantor secara berjamaah, selama masih memungkinkan. Kebolehan salat jamaah di tempat kerja ini, lebih ditekankan lagi pada salat Zuhur. Hal ini karena sebuah hadis dari Fadhalah radhiyallahu ‘anhu,

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ فِيمَا عَلَّمَنِي: وَحَافِظْ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، قَالَ: قُلْتُ: إِنَّ هَذِهِ سَاعَاتٌ لِي فِيهَا أَشْغَالٌ؛ فَمُرْنِي بِأَمْرٍ جَامِعٍ، إِذَا أَنَا فَعَلْتُهُ أَجْزَأَ عَنِّي، فَقَالَ: حَافِظْ عَلَى الْعَصْرَيْنِ، وَمَا كَانَتْ مِنْ لُغَتِنَا، فَقُلْتُ: وَمَا الْعَصْرَانِ؟، فَقَالَ: صَلَاةٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَصَلَاةٌ قَبْلَ غُرُوبِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajariku ilmu. Di antara ilmu yang beliau ajarkan adalah beliau bersabda, “rutinlah mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.”

Kusampaikan kepada Nabi, “Sesungguhnya pada waktu-waktu tersebut aku memiliki pekerjaan yang menyibukkan. Oleh karena itu, maka perintahkanlah aku beberapa salat jamaah yang sudah bisa mencukupiku.”

Nabi bersabda, Rutinkan untuk mengerjakan salat ‘ashraini dengan berjamaah.”

Istilah ‘ashraini tidak diketahui dalam bahasa kami, maka aku pun bertanya, “Apa itu ‘ashraini?”

Beliau menjawab, “Shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu salat Subuh) dan salat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu salat Ashar).”  (HR. Abu Daud no. 428, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadis di atas menunjukkan bahwa seseorang yang sedang sibuk, maka boleh baginya untuk mengerjakan salat di tempat kerja, kecuali salat Subuh dan Ashar. Dan untuk kondisi di atas (terdapat bahaya jika dia meninggalkan tempat kerja), untuk melaksanakan salat Zuhur, karyawan tersebut tidak boleh pergi ke Masjid tanpa izin dari majikan atau terdapat perjanjian dalam akad kerja (tentang bolehnya pergi ke masjid di jam kerja).

Wal ‘ilmu ’indallahi Ta’ala, wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa ikhwaanihi ilaa yaumiddiin. Wasallama tasliman.

Sumber : https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1230

***

Diterjemahkan oleh: M Said Hairul Insan

Artikel Muslim.or.id

Inilah 5 Keutamaan Surat Al-Ikhlash

QS. Al-Ikhlash ayat 1-4.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ۝ اللَّهُ الصَّمَدُ ۝ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ۝ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ۝

1. Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Pernah membaca atau mendengar surat di atas? Penulis yakin tidak ada diantara pembaca yang tidak mengetahui, minimal sudah mendengar surat tersebut. Karena memang surat yang tergolong ke dalam kelompok surat makkiyyah ini telah menjadi surat favorit terlebih bagi masyarakat Indonesia, karena saking pendeknya surat yang terdiri dari 4 ayat ini, sehingga mudah untuk dihafalkan.
Namun, walaupun pendek, surat ini memiliki keutamaan yang sangat agung. Ingin tahu apa saja keutamaannya, mari simak tulisan berikut ini.

Keutamaan Surat Al ikhlas

1. Surat al–ikhlas adalah surat tauhid.

4 ayat dalam surat al-ikhlas khusus membahas tentang keesaan Allah, tidak ada pembahasan hukum atau yang berkaitan dengan makhluknya seperti surat–surat yang lain. Ayat–ayat tersebut menceritakan tentang tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat yang melazimkan ketauhidan dalam ibadah seorang hamba.

2. Surat al–ikhlas setara dengan sepertiga al–quran.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabat :

أيعجز أحدكم أن يقرأ في ليلة ثلث القرآن ؟

“Apakah kalian tidak sanggup membaca 1/3 quran dalam semalam?”

Para sahabat bertanya:

وكيف يقرأ ثلث القرآن ؟

“Bagaimana caranya membaca 1/3 al–quran?”

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

قل هو الله أحد يعدل ثلث القرآن

(“قل هو الله أحد”) setara dengan 1/3 alquran.”
(HR. Muslim : 259).

Para ulama menjelaskan maksud dari hadits surat al-ikhlas setara dengan 1/3 alquran adalah bahwasanya alquran terdiri dari 3 pembahasan : tauhid, hukum–hukum dan kisah. Dan surat ini secara khusus membahas tauhid.

3. Menjadi sebab masuk surga.

Dikisahkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam sunan Tirmidzi, bahwasanya suatu hari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bersama rasulullah ﷺ, lalu beliau ﷺ mendengar seseorang membaca (قل هو الله أحد ۝ الله الصمد ۝) dan bersabda:

وجبت

“Wajib untuknya”

Abu Hurairah pun berkata: apa yang wajib ya rasulullah?

Beliau ﷺ pun bersabda: “wajib untuknya surga”.
(HR. Tirmidzi : 2897).

4. Mendatangkan kecintaan Allah ﷻ.

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwasanya rasulullah ﷺ dahulu pernah mengutus sebuah utusan, tatkala pemimpin pasukan tersebut mengimami sholat para pasukan, beliau selalu menutup bacaan suratnya dengan membaca surat al-ikhlas. Sekembalinya pasukan ke Madinah, mereka pun langsung mengadukan perihal pemimpin tersebut kepada rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ pun menyuruh mereka bertanya, apa yang membuatnya melakukan hal tersebut, maka sahabat itupun menjawab:

لأنها صفة الرحمن فأنا أحب أن أقرأ بها

“Karena surat tersebut menceritakan tentang sifat Ar–Rahman, sehingga aku pun suka membacanya”.

Mendengar jawaban tersebut, rasulullah ﷺ pun bersabda:

أخبروه أن الله يحبه

“Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya”
(HR. Muslim : 263).

5. Dibangunkan istana di surga bagi yang membacanya 10 kali.

Rasulullah ﷺ bersabda:

من قرأ قل هو الله أحد حتى يختمها عشر مرات، بنى الله له قصرا في الجنة

“Siapa yang membaca (قل هو الله أحد) sampai selesai sebanyak 10 kali, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah istana di surga.”
(HR. 15610).

Itulah diantara keutamaan membaca surat al–ikhlas, semoga tulisan ini bisa memotivasi kita untuk lebih bersemangat lagi untuk mengulang-ulang surat yang agung ini, dan tentunya lebih berusaha lagi untuk memahami dan mengamalkan isi kandungan dari surat al–ikhlas dan surat–surat lainnya.

Wallahu a’lam.

Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Selasa, 11 Rabiul Awwal 1442 H / 27 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Wahai Dunia Inilah Sayyidil Wujud Muhammad! (Bag 3 )

Salah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia adalah diutusnya Nabi Muhammad Saw di muka bumi ini. Beliau adalah manusia termulia yang membawa pesan penting tentang hak-hak antar manusia. Karena Allah Swt ingin mengembalikan manusia kepada sisi kemanusiaannya, mengembalikan kehidupan kepada keindahannya dan mengembalikan dunia pada cahayanya.

Allah Swt Berfirman :

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS.At-Taubah:128)

Maka sikap Nabi Muhammad Saw, perilakunya, tutur katanya dan semua gerak-geriknya adalah tauladan terindah dalam kemanusiaan. Bukankah beliau langsung di didik oleh Allah Swt ?

Rasulullah Saw bersabda :

أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحسَنَ تَأدِيبي

“Allah yang mendidikku dan itulah sebaik-baik didikan.”

Karenanya seluruh kehidupan Nabi Saw selalu bersama kebenaran dan keadilan. Selalu memberikan hak kepada yang layak menerimanya. Membela orang yang lemah hingga ia memiliki kekuatan untuk mengambil haknya. Dan melawan orang yang dzalim hingga ia lemah dan memberikan hak yang ia rampas, kepada pemiliknya.

Kali ini kita akan melihat sisi-sisi kemanusiaan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam kehidupan beliau.

(1). Sisi kemanusiaan ketika Nabi Muhammad Saw selalu mengajak untuk melakukan kebaikan.

Sayyidah Khodijah adalah saksi mata ketika engkau wahai Nabi :

Menyambung silaturahmimu..

Jujur dalam tutur katamu..

Membantu menghibur kesedihan dan meringankan kesulitan orang sekitarmu..

Menghormati dan melayani tamu dengan pelayanan yang sangat baik..

(2). Sisi kemanusiaan beliau kepada pelayan (pembantunya).

Anas bin Malik pernah berkata :

Selama 9 tahun aku menjadi pelayan Rasulullah Saw. Dan selama itu aku tidak pernah mendengar beliau berkata kepadaku, “Kenapa kau lakukan ini ? Kenapa kau lakukan itu ?”

Dan beliau tidak pernah memarahi atau mencaciku.”

(3). Sisi kemanusiaan beliau dalam membela dan menolong orang yang tertindas.

Rasulullah Saw selalu terdepan dalam membela orang yang tertindas. Siapapun dia, muslim atau non muslim. Selagi dia adalah seorang manusia yang teraniaya dan terampas haknya, maka Rasulullah Saw akan membelanya.

Karena Risalah yang di bawa oleh Rasulullah Saw tidak akan pernah membiarkan orang untuk berbuat dzalim dan membiarkan orang yang lemah menjadi terdzalimi.

Allah Swt Berfirman :

لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ

“Kamu tidak berbuat zhalim (merugikan) dan tidak dizhalimi (dirugikan).” (QS.Al-Baqarah:279)

Bahkan pernah suatu kali seorang dari luar Mekah pergi ke Mekah untuk mengambil haknya di tangan Abu Jahal. Orang-orang Musyrikin menyarankannya untuk meminta tolong kepada Muhammad Saw, karena mereka tau bahwa Muhammad adalah musuh Abu Jahal dan pasti akan mendapat cacian dan hinaan darinya.

Ketika orang asing ini mendatangi Nabi Muhammad Saw dan menceritakan masalahnya, spontan beliau bangkit dan mengantarkannya ke tempat Abu Jahal. Tak disangka, ternyata Abu Jahal merasa takut kepada Nabi Muhammad Saw dan mengembalikan hak orang asing tersebut.

Simak kelanjutnya pada bagian selanjutnya di esok hari, Insya Allah.

KHAZANAH ALQURAN