Dalam Islam, Bekerja Bisa Menjadi Sarana Ibadah

Manusia ditekankan untuk menjadi hamba Allah yang terus mengabdi. Pengabdian seorang hamba dapat diukur dari amalan yang ia lakukan semasa hidup. Bekerja bisa menjadi sarana ibadah dalam kerangka syariat Islam.

Bagaimana bisa?

Islam bukan hanya agama yang menekankan umatnya untuk melakukan ibadah yang sifatnya individual. Lebih dari itu, umat Islam bahkan ditekankan untuk melakukan amal usaha sebagai eksistensi diri dalam upaya menggenjot kebaikan di muka bumi.

Pimpinan Ponpes Mahasiswa Al-Hikam KH Muhammad Yusron Shidqi menjelaskan, bekerja dalam tujuan untuk mencari mata pencaharian sangat dianjurkan dan diprioritaskan dalam Islam. Sebab, umat Islam, kata beliau, sangat dianjurkan untuk bergerak dan berbuat dalam kebaikan.

“Bahkan, Rasulullah berpesan bahwa Muslim yang kuat (baik secara fisik, intelektual, dan ekonomi) lebih disukai Allah,” kata Gus Yusron belum lama ini.

Menurut dia, seseorang perlu untuk memenuhi kebutuhan diri. Sebab, kefakiran dapat memicu kekufuran dan terlebih kefakiran itu sendiri dapat memicu dampak-dampak sosial yang muncul dalam masyarakat. Pihaknya menekankan bahwa Rasulullah sendiri sangat menyukai umat Islam yang mandiri dan ber dikari atau bekerja.

Pernah suatu ketika saat Nabi mengisi sebuah majelis, seorang sahabat meninggalkan majelis tersebut. Sahabat lainnya pun mengadu kepada Rasulullah perihal tersebut, dan Rasulullah berkata, “Jika dia pergi dari majelisku untuk bekerja, dia fisabilillah.”

Di sisi lain, Gus Yusron menjabarkan tentang manfaat bekerja. Menurut dia, bekerja dapat menghadirkan banyak manfaat, seperti mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjadi pribadi yang lebih terhormat, dan dapat menjadi pribadi yang lebih sehat dan bahagia secara psikologis.

Adapun esensi bekerja, baik pada masa Rasulullah SAW maupun era sekarang, dinilai sama. Adapun formatnya berbeda-beda akibat hadirnya perubahan-perubahan zaman pada masing-masing era.

“Untuk itu, di era sekarang, umat Islam harus bisa bekerja yang mengandalkan fisik, efektivitas, dan juga kecepatan,” katanya.

IHRAM

Larangan Menganggur dan Janji Allah SWT untuk Mereka yang Berusaha

Allah SWT perintahkan hamba-Nya bekerja dengan sungguh-sungguh

Memasuki 2022 ini, para ulama banyak yang memberikan nasihat dan pesat kepada umat Islam agar terus berkarya untuk kebaikan. Hal ini sejalan dengan apa yang difirman Allah ﷻ dalam Alquran, kitab yang menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam.

Pendiri Pusat Dakwah Alquran al-Fahmu Institute Jakarta, Ustadz Fahmi Salim, menjelaskan, salah satu prinsip yang Allah tekankan dalam Alqur’an dan terkadang diabaikan adalah prinsip untuk senantiasa melakukan amal pekerjaaan, tidak boleh kosong atau menganggur.

“Jangan ada kevakuman. Karena, kevakuman itu hanya akan memberikan celah bagi setan untuk masuk, sehingga kita justru disibukkan dengan hal -hal yang sia-sia,” kata Ustadz Fahmi dikutip dari bukunya yang berjudul “Tadabbur Qur’an di Akhir Zaman”, Sabtu (1/1).

Lulusan Al Azhar Kairo ini menjelaskan, tidak boleh ada kata menganggur bagi seorang Muslim, tapi harus terus disibukkan dengan melakukan amal-amal kebaikan. Menurut dia, inilah prinsip lugas yang disampaikan dalam ayat Alquran, tepatnya dalam surat Al Insyirah. Allah ﷻ berfirman: 

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿ ١﴾ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ﴿ ٢﴾ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ ﴿ ٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿ ٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿ ٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿ ٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ﴿ ٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿ ٨﴾

Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? dan Kami pun telah menghilangkan bebanmu darimu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu bagimu. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS Al Insyirah [94]: 1-8).

Lebih lanjut, Ustadz Fahmi Salim menjelaskan, ayat tersebut merupakan motivasi bahwa seorang Muslim adalah sosok pekerja keras, bukan pemalas. Menurut dia, seornag Muslim adalah pekerja keras yang berharap hanya kepada Allah ﷻ.

“Surat Al Insyirah ini berisi motivasi bagi para pejuang, penyemangat bagi para petarung, dan pekerja amal-amal kebaikan,” jelas Ustadz Fahmi.

Dia menambahkan, Allah ﷻ memberikan jaminan bahwa setelah umat Islam bersusah payah, bekerja keras dalam hidup, maka ketahuilah setelahnya Allah akan membukakan jalan-jalan kemudahan. “Menariknya, di akhir surat ini, meskipun Nabi Muhammad 

 ﷺ menghadapi urusan yang berat, tetapi Allah  ﷻ justru memerintahkannya untuk terus berjuang, bekerja, dan melakukan amal-amal dakwah. Jangan berpangku tangan, jangan bermalas-malasan, dan jangan mengabaikan waktu yang terus berjalan,” ucap dia. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Terlambat Bekerja karena Shalat?

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah

Soal:

Saya adalah seorang kepala sekolah menengah pertama di suatu daerah di Aljazair. Salah satu pengajar di sekolah kami selalu datang terlambat beberapa menit ketika mengajar di sesi siang. Ketika saya menanyakan alasan keterlambatan, beliau mengatakan bahwa alasan terlambatnya adalah karena beliau mengerjakan salat Zuhur di masjid secara berjamaah. Apakah keterlambatan tersebut diizinkan oleh syariat? Apakah saya berhak untuk  memotong gajinya? Atau apakah yang seharusnya saya lakukan? Mohon penjelasannya.

Jazaakumullahu khayran.

Jawab:

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan saudarnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Kaidah yang ditetapkan dalam masalah profesi yang diganjar dengan upah adalah kaidah dalam bab al-ijarah al-khashah al-muqaddarah bi zaman (sewa jasa untuk pekerjaan khusus yang dibatasi oleh waktu). Dan ajir khas adalah pekerja yang upahnya ditentukan berdasarkan waktu kerja. Pekerjaan semisal ini adalah termasuk amanah yang diberikan kepada seorang mukallaf (baca: pegawai). Dan dia diperintahkan untuk menunaikan amanah tersebut kepada orang yang memberinya amanah.

Ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأمُرُكُم أَن تُؤَدُّواْ ٱلأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهلِهَا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)

Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan tafsir terhadap ayat ini,

“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada orang-orang yang memberinya amanah. Dan amanah di sini bersifat umum, mencakup semua jenis amanah yang menjadi kewajiban setiap manusia, baik itu hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla atas hambanya berupa salat, zakat, kafarah, nadzar, puasa dan kewajiban-kewajiban lain yang diemban oleh para hamba-Nya tanpa adanya pengawasan dari hamba-Nya yang lain, maupun hak-hak antar sesama hamba seperti titipan maupun amanah-amanah lain. Meskipun tidak ada yang mengawasi penunaiannya, Allah memerintahkan kita untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia, maka akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Jika demikian, jam kerja yang dihargai tersebut adalah milik majikan, bukan milik karyawan. Bahkan, jam kerja tersebut adalah amanah yang ditanggung di pundaknya, yang wajib dia ditunaikan kepada orang yang memberi amanah. Dan wajib ditunaikan secara sempurna tanpa mencederai hak-hak lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ ـ عَزَّ وَجَلَّ ـ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menyukai jika salah seorang kalian mengerjakan sesuatu, dia mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh.” (HR. Abu Ya’la dalam kitab Al-Musnad, At-Thabarani dalam Mu’jam Al-Awsath dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dinilai hasan oleh Al-Albani)

Seorang karyawan tidak boleh berbuat curang dengan mencuri waktu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan di luar pekerjaannya, kecuali dengan alasan yang syar’i  yang memberikan keringanan akan hal itu atau karena uzur yang telah dibenarkan oleh aturan kerja.

Demikianlah, tiada keraguan lagi bahwa menunda salat hingga keluar dari waktunya adalah tidak dibolehkan oleh syariat. Karena salat memiliki batasan waktu yang tidak boleh dilampaui, kecuali jika ada udzur. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا

“Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)

Terdapat pula ancaman yang keras bagi orang-orang yang melalaikan salat, dan menundanya hingga keluar dari batas waktunya, serta tidak mengerjakannya sebagaimana tuntunan yang diperintahkan. Ancaman tersebut Allah sebutkan dalam firman-Nya,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِ‌ۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا

“Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk bersemangat dalam menegakkan ibadah salat pada waktunya dan mengerjakannya di masjid (menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat para ulama), serta tidak bersengaja menundanya kecuali jika ada uzur. Ini jika dilihat dari satu sisi.

Adapun di sisi lain, mengenai masalah kewajiban kerja. Tidak terdapat keringanan menjamak salat bagi karyawan tersebut, karena tidak adanya kesulitan atau udzur yang membolehkannya untuk menjamak salat. Bahkan kita sudah ketahui bersama, menjamak salat tanpa adanya kesulitan dan tanpa adanya uzur merupakan bentuk mempermainkan syariat. Pelakunya diganjar dosa dan ancaman yang keras. Perilaku tersebut masih tercakup dalam makna dari “mengabaikan salat” yang disebutkan dalam ayat diatas.

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa rentang waktu thaharah dan rentang waktu salat adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba-Nya. Sehingga rentang waktu tersebut dikecualikan dari rentang waktu jam kerja yang telah disepakati dalam ijarah (dalam hal ini adalah akad kerja antara pegawai dan majikan, pent.). Sehingga menegakkan salat (pada jam kerja) dengan sesuai tuntunan syariat, bukanlah kecurangan dalam akad ijarah yang telah disepakati. Demikian juga, karyawan tidak perlu membayar denda atas pemakaian waktu tersebut (menurut pendapat yang lebih rajih dari dua pendapat ulama) dan tidak boleh dikurangi gajinya. Berlaku demikian juga, jika sang karyawan ketika akad ijarah tidak menyebutkan syarat harus dibolehkan salat di masjid.

Di antara pernyataan ulama dalam permasalahan ini adalah perkataan Ibnu Muflih rahimahullah,

ولا ضمانَ على الأجير الخاصِّ” نصَّ عليه، “وهو الذي يُسلِّم نَفْسَه إلى المُستأجِر” أي: يقع عليه العقدُ مُدَّةً معلومةً يَستحِقُّ المُستأجِرُ نَفْعَها في جمعها، سوى فعلِ الصَّلوات الخمسِ في أوقاتها بسُنَنِها، وصلاةِ جمعةٍ وعِيدٍ، ولا يَستنيب؛ وسُمِّيَ خاصًّا لاختصاص المُستأجِرِ بنفعه تلك المُدَّةَ».

“[Tidak ada denda bagi al-ajir al-khash] beliau (penulis kitab Al-Muqni’) menegaskan hal ini. [dia adalah orang yang menyerahkan jasanya kepada al-musta’jir (majikan)], maksudnya: telah terjadi akad ijarah untuk jangka waktu tertentu, yang pada rentang waktu ini al-musta’jir berhak mengambil manfaat dari al-ajir al-khas. Kecuali waktu yang digunakan untuk salat lima waktu pada waktunya, disertai dengan sunnah-sunnahnya, salat Jumat, dan salat ‘Id tanpa perlu mengganti jam kerja. Al-ajir (karyawan) tersebut dilabeli dengan istilah “khash” karena ia mengkhususkan rentang waktu kerjanya tersebut untuk memberikan manfaat kepada al musta’jir (majikan).” (Al-Mubdi’ Syarah Al Muqni’, 5: 108)

Demikian juga, Zakariyya Al-Anshari rahimahullahu mengatakan,

زمن الطَّهارة و”الصَّلاة “المكتوبة ولو جمعةً، والرَّاتبة مُستثنًى في الإجارة” لِعملِ مُدَّةٍ، فلا تنقص مِنَ الأجرة شيء

“[Rentang waktu untuk melakukan thaharah dan] salat [yang wajib, termasuk salat Jum’at, serta salat rawatib dikecualikan rentang waktu yang menjadi hak majikan] dalam akad pekerjaan yang ada batasan waktunya. Sehingga pekerja tersebut tidak dikurangi gajinya sedikit pun.” (Asnal Mathalib, 12: 289)

Oleh karena itu, apabila majikan mengizinkan pekerja untuk salat di masjid, dan tidak menimbulkan bahaya (pada pekerjaannya), inilah solusi yang terbaik. Dan pekerja tidak perlu meminta izin untuk salat, meskipun tidak ada klausul perjanjian tentang hal ini ketika akad kerja.

Namun, apabila terdapat bahaya jika dia meninggalkan tempat kerja sehingga majikan tidak mengizinkan salat di masjid, maka hendaknya dia salat di kantor secara berjamaah, selama masih memungkinkan. Kebolehan salat jamaah di tempat kerja ini, lebih ditekankan lagi pada salat Zuhur. Hal ini karena sebuah hadis dari Fadhalah radhiyallahu ‘anhu,

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ فِيمَا عَلَّمَنِي: وَحَافِظْ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، قَالَ: قُلْتُ: إِنَّ هَذِهِ سَاعَاتٌ لِي فِيهَا أَشْغَالٌ؛ فَمُرْنِي بِأَمْرٍ جَامِعٍ، إِذَا أَنَا فَعَلْتُهُ أَجْزَأَ عَنِّي، فَقَالَ: حَافِظْ عَلَى الْعَصْرَيْنِ، وَمَا كَانَتْ مِنْ لُغَتِنَا، فَقُلْتُ: وَمَا الْعَصْرَانِ؟، فَقَالَ: صَلَاةٌ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَصَلَاةٌ قَبْلَ غُرُوبِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajariku ilmu. Di antara ilmu yang beliau ajarkan adalah beliau bersabda, “rutinlah mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.”

Kusampaikan kepada Nabi, “Sesungguhnya pada waktu-waktu tersebut aku memiliki pekerjaan yang menyibukkan. Oleh karena itu, maka perintahkanlah aku beberapa salat jamaah yang sudah bisa mencukupiku.”

Nabi bersabda, Rutinkan untuk mengerjakan salat ‘ashraini dengan berjamaah.”

Istilah ‘ashraini tidak diketahui dalam bahasa kami, maka aku pun bertanya, “Apa itu ‘ashraini?”

Beliau menjawab, “Shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu salat Subuh) dan salat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu salat Ashar).”  (HR. Abu Daud no. 428, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadis di atas menunjukkan bahwa seseorang yang sedang sibuk, maka boleh baginya untuk mengerjakan salat di tempat kerja, kecuali salat Subuh dan Ashar. Dan untuk kondisi di atas (terdapat bahaya jika dia meninggalkan tempat kerja), untuk melaksanakan salat Zuhur, karyawan tersebut tidak boleh pergi ke Masjid tanpa izin dari majikan atau terdapat perjanjian dalam akad kerja (tentang bolehnya pergi ke masjid di jam kerja).

Wal ‘ilmu ’indallahi Ta’ala, wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa ikhwaanihi ilaa yaumiddiin. Wasallama tasliman.

Sumber : https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1230

***

Diterjemahkan oleh: M Said Hairul Insan

Artikel Muslim.or.id

Untukmu yang Harus Keluar Rumah

Untukmu yang harus keluar rumah, untuk mencari nafkah, jangan sampai lupa:

  1. Membaca zikir keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله

BISMILLAAHI TAWAKKALTU ‘ALALLAAH LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAAH

Artinya:

“Dengan nama Allah (aku keluar), aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa membaca zikir ini saat keluar rumah, maka dia akan diberikan petunjuk, dicukupi kebutuhannya, dan akan dilindungi (dari bahaya apapun).” (HR. Abu Dawud)

  1. Membaca doa singgah di suatu tempat

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقْ

A-’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT TAAM-MAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ

Artinya:

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari keburukan mahluk.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, dan dia baca zikir ini, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa membahayakannya, sampai dia meninggalkan tempat itu.” (HR. Muslim)

  1. Membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas setiap pagi dan petang sebanyak 3 kali

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: “Bacalah Al-Ikhlas dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq & An-Nas), saat pagi dan sore, sebanyak 3 kali, itu akan melindungimu dari segala sesuatu.” (HR. Abu Dawud)

  1. Membaca zikir saat melihat orang terkena musibah

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا

ALHAMDULILLAAHIL-LADZII ‘AAFAANII MIMMAB TALAAKِِِِِِA BIHI WA FADH-DHOLANII ‘ALAA KATSIIRIN MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILAA

“Segala puji bagi Allah yang telah menghindarkanku dari musibah yang menimpamu, serta memberikan kelebihan kepadaku atas sekian banyak ciptaan-Nya.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa melihat orang yang terkena musibah, kemudian membaca zikir ini, maka dia akan diselamatkan dari musibah itu.” (HR. At-Tirmidzi)

  1. Bersedekah semampunya walaupun hanya sedikit

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bahwa sedekah bisa menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi)

Jangan khawatir hartamu berkurang, justru dengan sedekah itu Allah akan menjadikan rezeki dan hartamu semakin lapang.

  1. Melakukan upaya kauni yang bisa menyelamatkan diri dari musibah

Melakukan usaha lahir (sebab kauni) yang bisa menjaga dan menyelamatkan diri dari bala’ dan musibah. Sebagaimana arahan ahli kesehatan ketika wabah Corona Covid-19 ini, yaitu memakai masker, cuci tangan, menjaga jarak fisik 1 – 2 meter, makan yang bergizi, istirahat yang cukup, berjemur di bawah sinar matahari pagi, dan lain-lain.

  1. Bertawakkal kepada Allah

Bertawakkal kepada Allah setelah melakukan semua usaha di atas. Serahkan semuanya kepada Allah. Allah lah sebaik-baik penjaga dan penyelamat kita. Allah lah yang paling menyayangi para hamba-Nya yang patuh dan taat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Bertawakkallah kalian hanya kepada Allah, jika kalian benar beriman.” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Semoga Allah menjaga dan menyelamatkan kita semua, dari bala’ dan musibah yang ada. Aamiin..

Penulis: Ustadz Dr. Musyaffa Addariny

KONSULTASI SYARIAH

Agar Bekerja Jadi Ibadah

SAUDARAKU, Islam adalah agama sempurna. Petunjuk yang mengarahkan pada keselamatan sejati bagi siapa saja yang menggenggamnya sekuat tenaga. Petunjuk menuju kebahagiaan hakiki bagi siapa pun yang menjalankannya secara istiqamah.

Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada salat, zakat, saum, dan haji semata, melainkan setiap aspek hidup bisa menjadi ibadah. Dengan catatan, dilaksanakan secara ikhlas hanya mengharap rida Allah Taala, dan berada dalam koridor sunah Rasulullah saw.

Allah Swt berfirman, Dan, katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS at-Taubah [9]: 105)

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah berfirman, Apabila telah ditunaikan salat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumuah [62]: 10)

Nabi Muhammad adalah manusia paling mulia, suri teladan bagi kita semua. Namun, meski beliau memiliki kedudukan sedemikian mulia di tengah manusia dan di hadapan Allah, namun Nabi tetap bekerja. Bahkan kita bisa membaca dari lembar demi lembar sejarah, beliau adalah sosok mandiri sedari belia.

Nabi pernah bekerja sebagai penggembala yang menggembalakan ternak milik orang lain. Beliau juga pernah bekerja sebagai pedagang yang mendagangkan barang-barang milik orang lain. Gelar al-Amiin, orang yang tepercaya pun beliau diberikan masyarakat di Kota Mekkah, salah satunya adalah karena interaksi dalam urusan perniagaan.

Rasulullah saw berfirman, Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan kambing. Para sahabat bertanya: Termasuk engkau juga? Maka Beliau menjawab: Ya, aku pun menggembalakannya dengan upah beberapa Qirath untuk penduduk Makkah. (HR. Bukhari)

Demikian pula dengan para nabi dan rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang mulia yang tidak berpangku tangan dalam menjemput rezeki Allah Swt. Para nabi dan rasul pun memiliki pekerjaannya masing-masing sebagai lahan ibadah mereka kepada Allah.

Nabi Adam misalnya, beliau adalah seorang petani. Nabi Nuh sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim berkebun. Nabi Yusuf merupakan pegawai negara. Nabi Daud sebagai pandai besi. Masya Allah, para nabi nan mulia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Lantas pekerjaan apa yang paling utama? Apakah yang paling besar pendapatannya, yang paling besar omzetnya, yang paling rapi penampilannya? Saat ini tidak sedikit manusia yang keliru memahami pekerjaan yang paling baik. Biasanya materi, uang menjadi patokannya. Semakin besar uang yang didapat dari suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebutlah yang paling baik. Padahal tidak demikian.

Rasulullah pernah ditanya, Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik? Beliau bersabda, Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi). (HR. Ahmad)

Dalam hadits ini sangat terang bahwa suatu pekerjaan yang utama hendaknya tidak diukur dengan besar-kecilnya materi yang didapat. Karena dalam hadis ini pertanyaannya menggunakan kata thayyib atau baik, berkah. Semakin berkah suatu pekerjaan, maka semakin utama pekerjaan tersebut. Maka, kita pun bisa memahami bahwa dalam bekerja itu yang kita kejar adalah berkahnya, bukan sedikit atau banyaknya.

Rasulullah juga bersabda, Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya. (HR. Bukhari)

Berbahagialah bagi siapa pun yang diberi kesempatan untuk bekerja. Kesempatan dalam arti potensi yang dimiliki oleh diri kita, sehingga kita bisa mengerjakan sesuatu sebagai ikhtiar menjemput rezeki Allah. Dan, bekerja yang bisa bernilai ibadah adalah dambaan kita semua agar tidak hanya kebutuhan duniawi yang bisa kita raih, melainkan juga kebahagiaan di akhirat pun diraih. Insya Allah! [*]

INILAH MOZAIK

Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rezeki

SALAH satu adab mencari rezeki adalah berangkat pagi-pagi. Dalam beberapa kitab fadhail amal atau at targhib wa at tarhib, anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki dicantumkan dalam bab tersendiri.

Mengapa harus berangkat pagi-pagi untuk mencari rezeki? Berikut ini sabda Rasulullah dan bukti di balik anjuran itu. Dari Shakhr bin Wadaah al Ghamidi ash Shahabi radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Hibban; shahih lighairihi)

Shakhr menambahkan, apabila beliau mengirim pasukan atau tentara perang, beliau memberangkatkan mereka pagi-pagi.

Anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki berdasarkan kebiasaan Rasulullah (hadits fili) sekaligus doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut (hadits qauli). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendoakan keberkahan waktu pagi bagi umatnya. Sehingga dalam mencari rezeki, kita dianjurkan untuk memulainya pagi-pagi. Ketika menjelaskan hadis tersebut, sebagian ulama juga mengingatkan bahwa tidur di waktu pagi setelah Subuh hukumnya makruh.

Keberkahan waktu pagi itulah yang kemudian dikejar oleh banyak umat Islam sejak generasi sahabat. Rasulullah sendiri mencontohkan, beliau biasa memberangkatkan pasukan di pagi hari.

Shakhr yang meriwayatkan hadis ini juga telah membuktikan bahwa berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki membuahkan keberkahan yang luar biasa. Shakhr adalah seorang pebisnis. Dia selalu memberangkatkan barang-barangnya dimulai sejak dini hari sehingga ia menjadi kaya raya dan hartanya barakah.

Secara ilmiah, memulai atau berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki memiliki sejumlah dampak yang positif.Pertama, bangun pagi membuat tubuh lebih segar karena bisa menikmati udara pagi yang relatif bersih dari polusi, oksigen yang didapat lebih banyak. Tidak mungkin seseorang bisa berpagi-pagi dalam mencari rezeki tanpa bangun lebih pagi.

Kedua, kinerja otak menjadi optimal ketika seseorang memulai aktivitas sejak pagi. Di waktu pagi otak menjadi lebih segar karena telah beristirahat. Karenanya beberapa buku seperti Be Student Idol menganjurkan waktu belajar di pagi hari. Melatih otak. Dan sesungguhnya, aktivitas mencari rezeki juga merupakan bagian dari proses belajar. Sebab tidak ada satu pun pekerjaan melainkan membutuhkan kemampuan otak dan kreatifitas.

Ketiga, menurut ahli saraf dari Rockefeller University, Ilia Karatsoreos PhD, rentang waktu antara jam 7 9 pagi merupakan waktu paling optimal untuk menciptakan atau menguatkan hubungan dengan orang-orang terpenting. Jika kita pebisnis, marketing atau bekerja di manapun yang berinteraksi dengan orang lain, jam 7 9 adalah saat yang tepat untuk memperbanyak pelanggan, customer, klien dan sebagainya. Wallahu alam bish shawab. 

INILAH MOZAIK

Kerja Dong, Jangan Jadi Pengangguran

Yang Mampu Kerja, Wajib Mencari Nafkah

Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7).

Adapun urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat lainnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ

Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu, yang ada di kanan dan kirimu.” (HR. Muslim, no. 997)

Berdosa Jika Enggan Mencari Nafkah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Seseorang cukup dikatakn berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud, no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ingat, Mencari Nafkah itu Berpahala

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen.).” (HR. Muslim no. 995).

Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka.” Dalam Syarh Muslim (7:82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdal dari sedekah yang hukumnya sunnah”.

 Menganggur Juga Akan Ditanya

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi, no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Pasrah (Tawakkal) Bukan Berarti Malas Kerja

Allah memang yang memberi rezeki sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6). Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan, “Namun hal ini bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha dan bersandar pada apa yang diperoleh makhluk lainnya. Meninggalkan usaha sangat bertentangan dengan tawakkal itu sendiri.” (Fath Al-Bari, 11: 305)

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي

Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”(HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”  Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rezeki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).” (Fath Al-Bari, 11:305)

Tips Mencari Kerja

1- Pahamilah, Setiap Jiwa Tidak Akan Mati Sampai Rezekinya Sempurna

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah, 8:129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).

2- Cari Pekerjaan yang Halal, Jauhi yang Haram

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?” (HR. Muslim no. 1015)

3- Cari Berkah dalam Pekerjaan, Bukan Besarnya Gaji

Ada sahabat yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad, 4:141, hasan lighoirihi)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَالقَلِيْلُ مِنَ الحَلاَلِ يُبَارَكُ فِيْهِ وَالحَرَامُ الكَثِيْرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللهُ تَعَالَى

“Rezeki halal walau sedikit, itu lebih berkah daripada rezeki haram yang banyak. Rezeki haram itu akan cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)

4- Jauhkan Diri dari Pekerjaan Meminta-Minta

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040)

Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)

Patut dipahami bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah seperti yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah berikut, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari, no. 1476). Orang miskin berarti bukan pengemis. Orang miskin adalah yang sudah bekerja, namun tetap belum mencukupi kebutuhan pokoknya.

5- Cari Pekerjaan yang Tidak Menyengsarakan Orang Lain

Ada salah satu pekerjaan yang terlarang yaitu menimbun barang sehingga mematikan stok barang di pasaran, terutama untuk barang kebutuhan pokok yang diperlukan masyarakat banyak. Dalam hadits disebutkan,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim no. 1605).

Apa hikmah terlarangnya menimbun barang?

Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudarat bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 43).

6- Banyak Doa Supaya dapat Rezeki yang Halal

Cobalah terus meminta pada Allah untuk mendapatkan pekerjaan yang halal sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan berikut ini,

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“ALLAHUMAK-FINII BI HALAALIKA ‘AN HAROOMIK, WA AGH-NINIY BI FADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK” (artinya: Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu). (HR. Tirmidzi, no. 3563, hasanmenurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al-Albani).

Kalau Sudah Jadi Pegawai

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (QS. An-Nisaa’: 58).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Tunaikanlah amanat pada orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535;  Tirmidzi, no. 1264; dan Ahmad 3:414, shahih).

Kalau Jadi Bendahara, Juga Amanat

Dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda,

الْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الأَمِينُ الَّذِى يُنْفِذُ – وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِى – مَا أُمِرَ بِهِ كَامِلاً مُوَفَّرًا طَيِّبٌ بِهِ نَفْسُهُ ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِى أُمِرَ لَهُ بِهِ ، أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ

Bendahara muslim yang diberi amanat ketika memberi sesuai yang diperintahkan untuknya secara sempurna dan berniat baik, lalu ia menyerahkan harta tersebut pada orang yang ia ditunjuk menyerahkannya, maka keduanya (pemilik harta dan bendahara yang amanat tadi) termasuk dalam orang yang bersedekah.” (HR. Bukhari, no. 1438 dan Muslim, no. 1023).

Jadi Al-Qawiy Al-Amin

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashshash: 26).

Kata Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hlm. 191:

1- Al-qowiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal-hal yang mendukung sehingga pekerjaan bisa sempurna.

2- Al-amiin, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang yang diserahi amanat.

Semoga Allah mudahkan kita dalam rezeki yang halal.

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/19982-kerja-dong-jangan-jadi-pengangguran.html

Antara Pragmatis dan Idealis dalam Mencari Nafkah di Zaman Now

Suatu hari saya pesan ojol untuk mengantar kita sekeluarga ke kantor travel, kita mau mudik.

Beberapa menit datanglah mobil, dan kita masuk..

Sayapun ambil duduk di dekat sopir.. maklum kita mau basa-basi menghilangkan kebisuan didalam perjalanan. Dan obrolan ini tentu sudah jama’ bagi pengguna ojol, dan tentu saja driver udah kesekian kali menjawab pertanyaan yg sama dari para penumpang.

Saya rangkumkan obrolan kita kali ini:

Saya: “Sudah berapa tahun nyopir ginian?”

Sopir: “Yah udah setahunan…”

Saya: “Ini sampingan atau utama?”

Sopir: “Dulu sampingan, sekarang utama.”

Saya: “Loh..emang dulu kerja apa mas?”

Sopir: “Saya itu dulu sebenarnya programer, kuliah jurusan komputer.. ya kita bikin script-script atau program apalah..fleelancer gitu.”

Saya: “Loh kenapa g diterusin..”

Sopir: “Makin hari ke hari..setelah punya anak saya baru paham bagaimana memperjuangkan kebutuhan mereka…dulu saya sempat idealis kuliah komputer dah lama, dan terjun lama juga di dunia IT, tapi kok gitu-gitu aja. Sementara saya lihat teman-teman yang nggak punya ijazah, asal bisa nyopir aja penghasilannya sudah berlipat-li[at daripada profesi saya..

Saya sudah tinggalkan itu dunia IT, saya menikmati seperti ini.. nyantai dan yang penting kebutuhan keluarga terpenuhi.”

Saya: “Tapi itu apa tidak eman-eman skillnya mas.. diganti aja skill IT nya buat sampingan, driver jadi pekerjaan utama?”

Sopi: “Kalau sudah berkaitan dengan ekonomi keluarga tentu kita harus realistis mas..apalagi sekarang saingan udah banyak, anak-anak SMK aja udah jago-jago..
Saya hanya memikirkan bagaimana anak-anak saya bisa mendapat pendidikan yang layak..dan dapur bisa mengepul.”

Saya: “Ehhm begitu…sekarang menikmati pekerjaan ini?

Sopir: “Bener.. idealis itu perlu, tapi pragmatis itu juga solusi ketika menghadapi masa sulit.. selama halalwhy not?

Dari obrolan ini kita bisa menyimpulkan bahwanya ada banyak jalan kita mencari rejeki. Dan tentu saja Anda bisa lihat pada akhir dialog, dimana ada kata yang yang saya bold yaitu Halal. Disinilah kita akan bermain untuk mencari rejeki demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Oleh: Abu Najmah Minanurrohman

Read more https://pengusahamuslim.com/6739-antara-pragmatis-dan-idealis-dalam-mencari-nafkah-di-zaman-now.html

Bekerja Hidupi Keluarga itu Jihad di Jalan Allah

DIRIWAYATKAN pada saat itu Rasulullah baru tiba dari Tabuk, peperangan dengan bangsa Romawi yang kerap menebar ancaman pada kaum muslimin. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan ada uzur.

Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

Sang manusia Agung itupun bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?”

Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”

Rasulullah adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena mencari nafkah yang halal, Rasul pun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,

“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.

Rasulullah tidak pernah mencium tangan para Pemimpin Quraisy, tangan para Pemimpin Khabilah, Raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya putrinya Fatimah Az Zahra dan tukang batu itulah yang pernah dicium oleh Rasulullah. Padahal tangan tukang batu yang dicium oleh Rasulullah justru tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, kapalan, karena membelah batu dan karena kerja keras.

Suatu ketika seorang laki-laki melintas di hadapan Rasulullah. Orang itu di kenal sebagai pekerja yang giat dan tangkas. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, andai bekerja seperti dilakukan orang itu dapat digolongkan jihad di jalan Allah (Fi sabilillah), maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab,

“Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah.” (HR Thabrani)

Orang-orang yang pasif dan malas bekerja, sesungguhnya tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan sebagian dari harga dirinya, yang lebih jauh mengakibatkan kehidupannya menjadi mundur. Rasulullah amat prihatin terhadap para pemalas.

“Maka apabila telah dilaksanakan salat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumuah: 10)

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini”. (QS Nuh: 19-20)

“Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

“Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)

“Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud, selalu makan dan hasil usahanya”. (HR. Bukhari)

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan salat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR. Bukhari)

“Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, maka sama dengan pejuang dijaIan Allah Azza Wa Jalla”. (HR. Ahmad)

Demikian lah sebagian kecil tentang kisah teladan islami agar kita semakin tahu dan semakin giat dalam mencari rizki allah yang halal dan berkah. [duniaislam]

 

INILAH MOZAIK

Allah Menyukai Mukmin Bekerja untuk Keluarga

ALLAH berfirman “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm : 39). Andaikata Sunnatullah tersebut tidak berlaku, betapa akan sangat membingungkannya kehidupan ini karena tidak ada yang bisa dijadikan pedoman lagi.

Dan kita tidak dapat menduga-duga apa yang akan kita peroleh dengan melihat sudah seberapa serius dan keras kita dalam mengusahakan sesuatu.

Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam Al-Kabir, Rasulullah bersabda, “Allah mencintai setiap mukmin yang bekerja untuk keluarganya dan tidak menyukai mukmin pengangguran”. Haram hukumnya apabila seseorang yang mampu bekerja hanya berdiam diri. Yusuf Qardhawi dakam fatwa-fatwanya menyatakan bahwa setiap Muslim diharamkan malas bekerja dengan dalih sibuk beribadah atau tawakal kepada Allah, sebab langit tidak akan mencurahkan hujan emas dan perak. “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”.

Nabi sudah lama mengingatkan, “Apabila kamu telah selesai salat subuh, maka janganlah kamu tidur”. Hadis ini memerintahkan kita agar manusia dengan segera bekerja sejak pagi-pagi sekali, supaya ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendoakan orang yang bekerja sejak pagi sekali. “Ya, Allah, berkahilah umatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.

Dalam kaitan ini, menaik untuk mengutip ungkapan Jimmy Carter, “Saya bisa saja bangun jam sembilan pagi dan menjadi petani kacang, atau bangun jam enam pagi dan menjadi presiden”. Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdoa kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari sifat lemah dan malas”. Alquran mengemukakan kepada Nabi SAW, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu): bekerjalah !”.

Bekerja keras untuk mencari rezeki yang halal akan mengundang rahmat dan cinta Allah, Rasul, dan juga orang-orang yang beriman. Dalam Alquran berkali-kali disebut, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaannya itu”.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya beribadah tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri. Islam sangat menjungjung tinggi kerja dan produktivitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan. []

Sumber: Islampost dari “Tangan-Tangan yang Dicium Rasul/Syahyuti/Pustaka Hira/Depok/Oktober 2011