Hukum Menunda Pemakaman Jenazah

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum menunda pengurusan jenazah, (menunda) memandikan, memberi kain kafan, dan menshalatinya, atau menunda memakamkannya sampai kerabat si mayit tersebut datang? Apakah kaidah dalam masalah ini?

Jawaban:

Menunda pengurusan jenazah itu perbuatan yang menyelisihi sunnah. Bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

“Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944)

Sehingga tidak selayaknya ditunda-tunda, kecuali jangka waktu yang sebentar saja. Sebagaimana jika ditunggu satu atau dua jam, atau sejenis itu. Adapun menundanya sampai jangka waktu yang lama, maka ini perbuatan yang dzalim terhadap si mayit. Karena jika jenazah tersebut adalah jenazah orang shalih, ketika para pengantar jenazah membawanya, dia akan berkata,

قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي

“Segeralah kalian, segeralah kalian (membawa aku).” (HR. Bukhari no. 1380) [1]

Maka jenazah (orang shalih) meminta untuk disegerakan, karena dia telah dijanjikan mendapatkan kebaikan dan pahala yang besar. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55113-hukum-menunda-pemakaman-jenazah.html

Fikih Jenazah (3) : Hal-Hal Yang Disyari’atkan Terhadap Orang Yang Baru Meninggal Dunia

Tatkala seseorang telah benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang hadir di sisinya, yaitu:

1. Memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sedangkan kedua matanya terbelalak maka Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam memejamkan kedua mata Abu Salamah dan berkata:

إن الروح إذا قبض تبعه البصر

‘’Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya1.

Imam ash Shan’aniy berkata: “Di dalam perbuatan Nabi ini (memejamkan Abu Salamah) terdapat dalil atas disunnahkannya perbuatan ini dan seluruh ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal ini”2 .

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalamnya terdapat penjelasan disyari’atkan memejam kan mata orang yang telah meninggal dunia.Imam an Nawawiy mengatakan: Ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal tersebut.Mereka mengatakan bahwa hikmaknya adalah agar tidak jelek pemandangan wajahnya” 3.

Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih. Adapun yang diriwayatkan oleh imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf dan imam Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubra tentang dzikir ketika memejamkan mata jenazah dari Bakr bin Abdillah rahimahullah bahwasanya beliau berkata:

“Jika engkau memejamkan mata jenazah maka katakanlah:

بسم الله و على ملة رسول الله

Dengan menyebut nama Allah dan di atas agama Rasulullah

Adalah semata-mata pendapat beliau tanpa didasari oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam masalah ini 4.

2. Mendo’akan kebaikan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah berdo’a:

اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه

Ya Allah ampunilah Abu Salamah,angkatlah derajatnya di tengah orang-orang yang mendapatkan petunujuk dan gantilah dalam anak keturunannya yang ada setelahnya dan ampunilah kami dan dia wahai Tuhan semesta alam dan luaskanlah kuburnya5.

3. Mengikat dagunya

Dalil masalah ini adalah dalil nzhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah, yaitu agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain”6.

Adapun tata caranya adalah mengikatnya dengan kain yang lebar dan panjang lagi mencakup seluruh dagunya dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya agar mulutnya tidak terbuka.

4. Melemaskan persendian

Dalil masalah ini adalah nazhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah dan orang yang mengurusnya.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: di dalamnya terdapat kemaslahatan. Dan hendaknya dilakukan dengan lemah lembut”7 .

Proses pelemasan ini dilakukan ketika jenazah baru meninggal dunia ketika tubuhnya masih dalam keadaan hangat adapun jika sudah lama atau tubuhnya sudah dingin maka tidak perlu dilemaskan karena tubuhnya sudah kaku.Apabila kita lemaskan dalam kondisi jenazah sudah kaku maka akan menyakiti jenazah dan hal ini tidak diperbolehkan karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup” 8.

Berkata penulis kitab Aunul Ma’bud ketika mengomentari hadits ini: “Berkata Ath Thibiy: Di dalamnya terdapat isyarat bahwasanya orang yang meninggal dunia tidak boleh dihinakan sebagaimana ketika masih hidup.Berkata Ibnu Malik: Dan bahwasanya orang yang meninggal dunia merasa tersakiti .Berkata Ibnu Hajar: Kelazimannya menunjukkan bahwa ia merasakan kelezatan sebagaimana orang yang masih hidup.Dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan atsar dari Ibnu Mas’ud ia berkata:

أَذَى الْمُؤْمِن فِي مَوْته كَأَذَاهُ فِي حَيَاته

Menyakiti seorang mukmin ketika telah meninggal dunia seperti menyakitinya ketika di masa hidupnya9 .

Adapun caranya adalah sebagai berikut:

  • Dilipat lengannya ke pangkal lengannya kemudian dijulurkan lagi
  • Dilipat betisnya ke pahanya dan pahanya ke perutnya kemudian dikembalikan lagi
  • Jari-jemarinya dilemaskan juga dengan ditekuk dengan lembut10 .

5. Melepas pakaian yang melekat di badannya

Seluruh pakaian yang melekat pada jasad jenazah hendaknya dilepas sehingga tidak ada satu helai kainpun yang melekat pada jasadnya kemudian diganti dengan kain yang menutupi selurut jasadnya.

Dalil amalan ini adalah :

A. Para sahabat mengatakan ketika akan memandikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

لَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ثِيَابه كَمَا تجرد مَوْتَانَا

Kami tidak tahu, apakah kami melepas pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana kami melepas pakaian orang yang meninggal dunia di antara kami ataukah tidak “11.

Hadits ini menunujukkan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika akan memandikan jenazah melepas pakaian yang melekat pada jasadnya

B. Agar badannya tidak cepat rusak karena pakaian yang melekat padanya akan memanaskan tubuhnya.

Jenazah apabila terkena hawa panas maka akan cepat rusak. Kadang-kadang keluar kotoran yang akan mengotorinya sehingga akan tampak menjijikkan dan menimbulkan bau yang tidak sedap.

6. Menutup seluruh jasad jenazah dengan kain

Setelah seluruh pakaian yang melekat pada badannya ketika meninggal dunia dilepas lalu ditutupi dengan kain yang menutupi seluruh jasadnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman”12.

Para ulama’ menjelaskan bahwa hikmah dari ditutupnya seluruh jasad jenazah adalah agar tidak tersingkap tubuh dan auratnya yang telah berubah setelah meninggal dunia.

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arafah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu hewan tunggangannya menginjak lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara lalu kafanilah dengan dua potong kain – dan dalam riwayat yang lain: “ dua potong kainnya “- dan jangan diberi wewangian. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah.”13

7. Menyegerakan pemakaman

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ, فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا عَلَيْهِ, وَإِنْ تكُنْ غَيْرَذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكمْ

Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika ia termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah menyajikan kebaikan kepadanya. Dan jika ia bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah melepaskan kejelekan dari pundak-pundak kalian.” 14

Berkata pengarang kitab Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib: “Perintah menyegerakan di sini menurut jumhur ulama’ salaf dan mutaakhirin adalah sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan: Tidak ada perselisihan di antara imam-imam ahli ilmu dalam masalah kesunnahannya” 15

Syaikh Utsaimin mengatakan: “Berdasarkan penjelasan ini maka kita mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka mengakhirkan pemakaman jenazah sehingga datang kerabatnya… Mereka menunggu selama satu atau sehari semalam agar kerabatnya datang. Pada hakekatnya apa yang mereka lakukan ini adalah merupakan tindakan kejahatan terhadap jenazah karena jenazah apabila termasuk orang yang baik ia menginginkan untuk segera dikuburkan karena ia mendapatkan berita gembira tentang surga ketika meninggal dunia. Dan apabila dikeluarkan dari rumahnya maka jiwanya akan mengatakan:

قدموني

Percepatlah untukku

Yakni mendorong para pengusungnya agar mempercepat sampainya ke kuburnya”16 .

8. Segera melunasi hutang-hutangnya

Yakni hutang yang berkaitan dengan hak Allah seperti: zakat, kafarah, nazar dan lain-lainnya ataupun hutang yang berkaitan dengan hak anak turun bani Adam semisal hutang dari proses pinjam meminjam, jual beli, upah pekerja dan lain-lainnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ

Jiwa seorang mukmin bergantung dengan utangnya sehingga ditunaikan “17

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk menunaikan hutang orang yang meninggal dunia dan pemberitaan bahwa jiwanya bergantung dengan hutangnya sehingga ditunaikan.Dan ini terbatasi dengan orang yang memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk menunaikan hutangnya.Adapun orang yang tidak memiliki harta untuk menunaikan hutangnya maka sungguh telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Allah akan menunaikan hutangnya bahkan ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa apabila seseorang memiliki kecintaan untuk membayar hutangnya ketika meninggal dunia maka Allah akan menanggung penunaian hutangnya walaupun ia memiliki ahli waris yang tidak mau menunaikan hutangnya” 18

Orang yang tidak mau menunaikan hutangnya akan disiksa di kuburnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari jalur sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata:

توفي رجل فغسلناه وحنطناه ، ثم أتينا رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] ليصلي عليه ، فخطا خطى . ثم قال : ‘ هل عليه دين ؟ ‘ قلنا : نعم ( ديناران ) قال : ‘ صلوا على صاحبكم ‘ فقال أبو قتادة : يا رسول الله ! ديناران علي . فقال رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] : ‘ هما عليك حق الغريم وبرىء الميت ‘ قال : نعم فصلى عليه ثم لقيه من الغد فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ قال : فقال : يا رسول الله ! إنما مات أمس . ثم لقيه من الغد ، فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ فقال : يا رسول الله ! قد قضيتهما . فقال : ‘ الآن بردت عليه جلده ‘

Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikan, mengkafani, dan memberinya wewangian, kemudian kami mendatangi Rasulullah agar menshalatinya . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangkah mendekatinya lalu bersabda, ‘Barangkali Sahabat kalian ini masih mempunyai hutang?’ Orang-orang yang hadir menjawab, ‘Ya ada, sebanyak dua dinar.’Maka Beliau bersabda: “shalatilah saudara kalian. Abu Qatadah berkata, ‘Ya Rasululla shalallahu ‘alaihi wa salam , hutangnya menjadi tanggunganku.’Maka beliau bersabda, ‘Dua dinar hutangnya menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan mayit ini terbebas dari hutang itu?’Abu Qatadah berkata, ‘Ya, benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian menshalatinya.Pada esok harinya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bertemu dengan abu Qatadah bertanya : “ apa yang dilakukan oleh dua dinar ? Abu Qatadah mengatakan: Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dia baru meninggal kemarin.Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pada esok harinya kembali bertemu dengannya dan mengatakan , apa yang diperbuat oleh dua dinar ?’ Akhirnya ia menjawab, ‘Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.’ Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Sekarang barulah kulitnya merasa dingin19.

9. Segera menunaikan wasiatnya

Syaikh al Utsaimin dalam Asy Syarh Al Mumti’ mengatakan, para ahli ilmu berkata: “seyogyanya wasiat ditunaikan sebelum jenazah dikuburkan….”.

Lalu beliau mengatakan: “Wasiat dengan sesuatu yang wajib hukumnya wajib segera ditunaikan dan sesuatu yang sunnah hukumnya sunnah tetapi mempercepat penunaiannya sebelum dishalati dan dikubur adalah sesuatu yang dituntut baik yang wajib maupun yang sunnah “20

***
Catatan kaki

[1] H.R. Muslim: 920, Sunan Abi Dawud: 3102

[2] Subulus Salam:1/467 Cet:Dar Ibnu Jauziy

[3] Nailul Authar:4/29 Cet:Dar al Wafa’

[4] Lihat Jami’ul adillah:84.

[5] H.R.Muslim dan Al Baihaqiy.

[6] Syarh Mumti’:5/253, Cet: Dar Ibnu Jauziy

[7] Syarh Mumti’:5/253, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[8] H.R.Ibnu Majah:1616

[9] Lihat Aunul Ma’bud syarh sunan Abu Dawud:7/195, Syamsyul Abadiy, Cet: Dar al Hadits

[10] Lihat Syarh Mumti’:5/254, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[11] H.R.Ahmad:6/267 dan Abu Dawud:3141

[12] HR. Bukhari : 1241dan Muslim:942

[13] H.R.Bukhari :1265 dan Muslim:1206

[14] H.R.Bukhari:1315

[15] Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib :3/289 At Tabriziy, maktabah syamilah

[16] Syarh Mumti’:5/259, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[17] Dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam Misykatul Mashabih:2915, maktabah syamilah

[18] Nailul Authar:4/30, cet:Dar al Wafa’

[19] Dishahihkan oleh syaikh AlBaniy dalam Ahkamul Janaiz:16, maktabah syamilah

[20] Syarh Mumti’:5/261, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

Penulis: Ust. Zaenuddin Abu Qushaiy

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25051-fikih-jenazah-3-hal-hal-yang-disyariatkan-terhadap-orang-yang-baru-meninggal-dunia.html

Fikih Jenazah (2) : Mendoakan Kebaikan Pada Orang Yang Akan Meninggal

Selain mentalqinkan kalimat laa ilaaha illa Allah ada hal lain yang dianjurkan untuk dilakukan oleh orang yang menghadiri saudaranya yang akan meninggal dunia, yaitu:

1. Mendo’akan kebaikan kepadanya dan tidaklah mengucapkan sesuatu di sisinya melainkan kebaikan

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

Jika kalian menghadiri orang sakit atau akan meninggal dunia maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sebab sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan1 .

Imam An Nawawiy mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengucapkan ucapan yang baik seperti do’a , istighfar,meminta kelembutan dan rahmat Allah untuknya dan yang semisalnya”2.

Pengarang kitab al Mufhim Lima Asykala ‘alaihi min Shahihi Muslim mengatakan:

ومن هذا استحب علماؤنا أن يحضر الميت الصالحون وأهلُ الخير حالة موته ليذكِّروه ، ويدعوا له ولمن يخلفه ، ويقولوا خيرًا ؛ فيجتمع دعاؤهم وتأمين الملائكة ، فينتفع بذلك الْمَيّت ومن يُصاب به ، ومن يخلفه

“Dari sini para ulama’ mensunahkan agar orang-orang shalih dan orang yang baik untuk menghadiri orang yang akan meninggal dunia dalam rangka mengingatkan serta mendo’akan kebaikan terhadap orang yang akan meninggal dan orang yang ditinggalkan sehingga terkumpul di dalamnya do’a mereka (orang yang shalih dan berbuat baik) dan ucapan aminnya malaikat sehingga dengannya orang yang akan meninggal dunia dan yang terkena musibah serta yang ditinggalkan akan mendapatkan manfaat 3“ .

Disebutkan dalam Mausu’ah al Fiqhi: “Disunnahkan bagi orang shalih yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia untuk menyebut nama Allah dan memperbanyak do’a agar urusan orang yang akan meninggal dunia dimudahkan oleh Allah.Dan juga mendo’akan kebaikan kepada orang-orang yang hadir disekitarnya karena ia merupakan tempat yang mustajab [dikabulkannya do’a]. Malaikat akan mengamin kan ucapan mereka sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

Jika kalian menghadiri orang sakit atau akan meninggal dunia, maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sebab sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan4

2. Memberikan rasa tenang kepada orang yang akan meninggal dunia

Yaitu mengabarkan tentang dekatnya rahmat Allah serta menganjurkannya untuk husnuzhan (berbaik sangka) terhadap Tuhannya dengan menyebutkan dalil-dalil tentang pengharapan rahmat Allah serta memotivasi orang yang akan meninggal dunia untuk mendapatkannya. Imam An Nawawiy mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلْحَاضِرِ عِنْدَ الْمُحْتَضَرِ أَنْ يُطْمِعَهُ فِي رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَيَحُثَّهُ عَلَى تَحْسِينِ ظَنِّهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَأَنْ يَذْكُرَ لَهُ الْآيَاتِ وَالْأَحَادِيثَ فِي الرَّجَاءِ وَيُنَشِّطَهُ لِذَلِكَ وَدَلَائِلُ مَا ذَكَرْته كَثِيرَةٌ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَقَدْ ذَكَرْت مِنْهَا جُمْلَةً فِي كِتَابِ الْجَنَائِزِ مِنْ كِتَابِ الْأَذْكَارِ وَفَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عِنْدَ احْتِضَارِهِ وَبِعَائِشَةَ أَيْضًا وَفَعَلَهُ ابْنُ عَمْرِو بْنِ العاص بابيه وكله في الصحيح

“Disunnahkan bagi yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia untuk memberikan motivasi agar sangat mengharapkan rahmat Allah serta menganjur kannya untuk berbaik sangka terhadap Tuhannya. Dan juga menyebut kan dalil-dalil tentang pengharapan rahmat Allah serta memotivasi orang yang akan meninggal dunia untuk mendapatkannya.

Dalil-dalil dari As Sunnah terhadap apa yang saya sebutkan ini sangatlah banyak dan saya telah sebutkan sebagian besarnya dalam kitab al janaiz dan al adzkar.Perbuatan ini telah dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin al Khathab ketika menjelang kematiannya5 dan terhadap ‘Aisyah6 dan juga dilakukan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash terhadap bapaknya7 dan semuanya di sebutkan dalam riwayat yang shahih”8.

Wallahu a’lam bis shawab

***

Catatan kaki

1. HR. Muslim:919
2. Syarh Muslim:6/222
3. Al Mufhim:8/48, Maktabah Syamilah
4. Lihat Mausu’ah al Fiqhi Min Wizaratul Auqaf fi al Kuwait:2/79, Maktabah syamilah
5. Dari Miswar bin Makhramah bahwasanya tatkala Umar ditusuk (oleh Abu Lu’lu’ al Majusiy) Beliau menampakkan rasa sakitnya dengan merintih dan berkeluh kesah.Melihat hal itu maka Ibnu Abbas berkata kepada beliau (dan seolah-olah Ibnu Abbas menisbatkan adanya keluh kesah dari Umar bin al Khathab dan ia berusaha menghibur Umar bin al Khathab dan memotivasinya untuk mendapatkan rahmat Allah dengan menyebutkan beberapa keutamaanya) : “Wahai amirul mukminin janganlah engkau terlalu berkeluh kesah, sungguh engkau telah menjadi sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan membagusi persahabatanmu dengan Beliau dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam meninggalkanmu sedangkan Beliau ridha terhadapmu dan engkau menjadi sahabat Abu Bakar dan engkau membagusi persahabatanmu dengannya dan Abu Bakar meninggalkanmu sedangkan Beliau ridha terhadapmu.Kemudian engkau memimpin kaum muslimin dan membaguskan kepemimpinanmu terhadap mereka (dengan menampakkan keadilan dan menata urusan mereka dengan baik) dan jikalau engkau meninggalkan mereka sungguh mereka ridha terhadapmu” (HR. Bukhari: 2963).
6. Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya dari jalur Ibnu Mulaikah, “bahwasanya Ibnu Abbas meminta izin untuk masuk menemui Aisyah sebelum meninggal dunia sedangkan ia dalam keadaan menjelang kematian. Aisyah mengatakan: Saya takut bahwa ia akan menyanjungku.Dikatakan kepadanya bahwa yang meminta izin untuk menemui beliau adalah Ibnu Abbas, anak paman Rasulullah dan di antara orang yang mulia dari kaum muslimin. Aisyah mengatakan: Izinkanlah untuk masuk menemuiku.Lalu Ibnu Abbas mengatakan: Bagaimana keadaan anda ? Aisyah menjawab: Dalam kebaikan jika aku bertaqwa kepada Allah. Ibnu Abbas menimpali: Anda dalam kebaikan insya Allah.Anda adalah istri Rasulullah yang tidak pernah Beliau menikah dengan seorang gadis kecuali dengan anda dan dan telah turun udzur tentang anda dari langit” (HR. Bukhari:3574)
7. Telah meriwayatkan imam Muslim dalam shahihnya dari jalur Ibnu Syumasyah ia mengatakan, “kami hadir di sisi ‘Amr bin al Ash ketika menjelang kematiannya. Amr bin al Ash menangis dengan tangisan yang lama dan membalikkan wajahnya ke tembok.Lalu putranya [ Abdullah bin Amr bin al Ash] mengatakan kepadanya: Bukankah Rasulullah telah memberikan kabar gembira demikian kepada anda ? Bukankah Rasulullah telah memberikan kabar gembira yang demikian kepada anda ?” (H.R. Muslim:173).
8. Al Majmu’ Syarh al Muhadzab: 5/109, Imam an Nawawiy – Maktabah syamilah

Penulis: Ust. Zaenuddin Abu Qushoiy

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24880-fikih-jenazah-2-mendoakan-kebaikan-pada-orang-yang-akan-meninggal.html

Fikih Jenazah (1) : Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal

Mentalqin adalah menuntun seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat syahadat Laa Ilaaha Illa Allah. Mentalqin seseorang yang akan meninggal dunia disunnahkan bagi orang yang ada di sisi orang yang akan meninggal dunia, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

لقنوا موتا كم لا إله إلا الله

Tuntunlah seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat: ‘Laa ilaaha illa Allah’” 1

Dalam riwayat yang lain:

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah “Laa ilaaha illa Allah” maka akan masuk surga2

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam masalah mentalqin diantaranya:

Apakah Faedah Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal Dunia ?

Imam Al Qurthubiy berkata: “Para ulama’ kami mengatakan bahwasanya mentalqin orang yang akan meninggal dunia adalah merupakan sunnah dari para pendahulu ummat ini, yang kemudian diamalkan oleh kaum muslimin hingga saat ini. Tujuannya adalah agar akhir ucapan yang keluar dari orang yang akan meninggal dunia adalah “Laa ilaaha illa Allah”. Sehingga dia menjadi orang yang berbahagia karena termasuk dalam golongan orang yang dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam :

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah “Laa ilaaha illa Allah” maka akan masuk surga3

Selain itu untuk mengingatkan orang yang akan meninggal dunia terhadap sesuatu yang dapat menolak gangguan setan karena setan akan mendatangi orang yang akan meninggal dunia dalam rangka untuk merusak akidahnya”4.

Batasan Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal Dunia

Mentalqin orang yang akan meninggal dunia cukup sekali saja, tidak perlu diulang-ulang kecuali apabila setelah di-talqin dia mengucapkan kalimat yang lain maka hendaknya diulang sekali lagi agar akhir ucapannya adalah kalimat syahadat.

Imam Al Qurthubiy berkata: “Apabila seorang yang akan meninggal dunia telah membaca ‘Laa Iaaha Illa Allah’ satu kali maka tidak perlu diulang lagi”.

Ibnu Al Mubarak berkata: ”Talqinlah orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ dan jika telah mengucapakannya maka jangan diulangi lagi”5.

Mengapa Tidak Disyari’atkan Mengulang-ulang Talqin?

Imam al Qurthubiy berkata: “ Telah mengatakan Abu Muhammad Abdul al Haq, hal tersebut adalah dikarenakan jika orang yang akan meninggal dunia di-talqin secara berulang-ulang ditakutkan ia merasa terusik dan bosan sehingga setan akan membuatnya berat mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illa Allah‘ dan kemudian akan menjadi sebab jeleknya akhir hayatnya”.

Al Hasan bin Isa mengatakan: “Ibnu al Mubarak telah berkata kepadaku: Talqinlah dengan kalimat syahadat dan janganlah kamu mengulangnya kecuali jika ia mengucapkan kalimat yang lain.Tujuan talqin adalah agar seseorang meninggal dunia sedangkan di hatinya tidaklah ada kecuali Allah,karena pusara hal ini adalah hati. Amalan hati yang akan dilihat dan amalan hati yang merupakan sebab keselamatan. Adapun amalan lisan yang bukan merupakan terjemah apa yang ada di dalam hati maka tidaklah berfaedah”.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Syubrumah ia mengatakan, “Aku bersama Amir bin asy Sya’biy mendatangi seorang laki-laki yang sakit dan kami menjumpainya akan meninggal dunia dan seorang laki-laki mentalqinkan kalimat syahadat kepadanya. Laki-laki yang mentalqin tadi mengatakan, ucapkanlah ‘laa ilaaha illa Allah‘ dan terus-menerus mengulanginya.Melihat hal itu maka asy Sya’biy mengatakan: “Bersikap lembutlah kepada saudaramu”. Orang yang sakit tadi lantas berbicara: ‘Baik engkau mentalqinkanku atau tidak, aku tidaklah akan meninggalkannya’. Lalu ia membaca firman Allah ta’ala:

وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا

Dan Allah mewajibkan mereka kalimat taqwa dan mereka berhak terhadap kalimat tersebut dan patut memilikinya”6.

Asy Sya’biy mengatakan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan sahabat kami ini’“7 .

Kekeliruan Dalam Mentalqin

Bukanlah yang dinamakan mentalqin dengan menyebut-nyebut kalimat syahadat di depan orang orang akan meninggal dunia dan memperdengarkannya, akan tetapi dengan memerintahkan seseorang yang akan meninggal dunia agar mengucapkannya. Dalilnya adalah Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk salah seorang sahabat dari kalangan Anshar lalu mengatakan:

يا خال! قل: لا إله إلا الله، فقال: أخال أم عم؟ فقال: بل خال، فقال: فخير لي أن أقول: لا إله إلا الله؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم

Wahai paman, ucapkanlah: “Laa ilaaha illa Allah.” Beliau bertanya: “Apakah paman dari pihak ibu atau bapak? Jawabnya: “Dari pihak ibu”. Maka ia berkata: “Apakah lebih baik bagi diriku untuk mengucapkan: “Laa ilaaha illa Allah?” . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya8.

Mentalqin dengan mengingatkan hadits tentang talqin

Imam al Qurthubiy mengatakan: “Dan kadang kala talqin dilakukan dengan menyebutkan hadits tentang talqin di sisi seorang yang alim sebagaimana disebutkan oleh Abu Nu’aim bahwasanya Abu Zur’ah sedang dalam keadaan akan meninggal dunia dan di sisinya ada Abu Hatim, Muhammad bin Salamah, Mundzir bin Syaadzaan dan sekelompok ulama’ yang lainnya. Lalu mereka menyebutkan hadits talqin namun merasa malu terhadap Abu Zur’ah. Lantas mereka mengatakan, wahai sahabat- sahabat kami marilah kita mengingat-ingat kembali hadits tentang talqin. Abu Maslamah berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami Adh Dhahak bin Makhlad,telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi Gharib…. dan Abu Masalamah tidak melanjutkan sementara yang lain diam. Berkata Abu Zur’ah sedangkan beliau dalam keadaan akan meninggal dunia: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi Gharib dari Katsir bin Murrah al Hadhramiy dari Mu’ad bin Jabal berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka akan masuk surga”.

Dan dalam riwayat lain:

حرمه الله على النار

Allah mengharamkannya dari api neraka

Dan akhirnya beliau rahimahullah meninggal dunia” 9.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

***

Catatan kaki

1 H.R.Muslim:9162 HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil, no. 679, Maktabah Syamilah.3 HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil, no. 679, Maktabah Syamilah.4Tadzkirah fi ahwalil mautaa wa umuril akhirah: 30, Imam Al Qurthubiy, cet:Daarul ‘Aqidah5Tadzkirah fi ahwalil mautaa wa umuril akhirah: 30,imam Al Qurthubiy, cet:Daarul ‘Aqidah6 Q.S. Al Fath: 26.7 Lihat At Tadzkirah: 30-31, Imam Al Qurthubiy, cet: Darul Aqidah8 HR. Ahmad, Syaikh Al-Albaniy mengatakan: “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim”, Ahkamul Janaiz, hal. 20 sebagaimana disebutkan dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah al Muyasarah:4/38, Cet: Dar Ibnu Hazm9 Lihat At Tadzkirah: 31, Imam Al Qurthubiy, cet: Darul Aqidah—Penulis: Ustadz Abu Qushaiy Zaenuddin

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24706-fikih-jenazah-1-mentalqin-orang-yang-akan-meninggal.html

Keteladanan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW memang suri teladan yang baik


“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).


Rasulullah SAW memang suri teladan yang baik. Indikator keteladanan beliau itu berbuat sebelum berucap (bersabda).

Sebagai contoh, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang karena agamanya niscaya akan beruntunglah kamu di dunia akhirat.” (HR Bukhari, dari Abu Hurairah).

Jauh sebelum mengatakan hadis tunkahu al-Mar’ah tersebut, lalu menekankan pada agama, beliau sudah mengamalkan hadis itu terlebih dahulu. Misalnya, pernikahan beliau dengan Khadijah yang didasari hanya pada akhlak. Khadijah tertarik pada sosok Rasulullah yang mulia itu. Khadijah mendengar perangai pemuda Muhammad yang al-Amin itu dari Maisaroh, pembantunya yang diutus berdagang ke Syam bersama Muhammad. Kejujuran dan akhlak Muhammad yang akhirnya memantapkan hati Khadijah.

Muhammad pun menerima Khadijah bukan karena hartanya (limaaliha), melainkan semata-mata karena pertimbangan akhlak. Ketinggian akhlak Khadijah ini terbukti selama dia menjadi istri Rasulullah. Meskipun dari sisi finansial Khadijah lebih tinggi kedudukannya dari Rasulullah, keponakan Waraqah bin Naufal itu tetap menjadi istri secara utuh, yakni menghormati dan memuliakan Muhammad sebagai suaminya.

Maka itu, dikatakan oleh sirah nabawiyah, pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah pernikahan yang paling indah dalam sejarah umat manusia. Sebab, pernikahan keduanya didasari pada akhlak (agama), bukan kekayaan, kecantikan, maupun keturunan.

Pantaslah apabila beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Rasul SAW mengatakan hal itu, yaitu menekankan agama atau akhlak sebagai dasar cinta dan pernikahan, karena beliau sudah melakukan atau berbuat seperti yang beliau katakan. Beliau sudah membuktikan kata-katanya itu terlebih dahulu.

Inilah kunci utama dari keteladanan (uswah) Rasulullah SAW, yaitu memberi contoh (berbuat) sebelum menyuruh (mengatakan). Ini pulalah ‘hakikat keteladanan’ yang harus melekat pada diri setiap umatnya.

Sebagai kepala keluarga, misalnya, kita harus berbuat dahulu sebelum menyuruh anggota keluarga kita agar mereka mau menjalankannya. Sang ayah harus memberi contoh untuk tidak menonton sinetron terlebih dahulu, umpamanya, sebelum menyuruh anaknya. Insya Allah, sang anak akan meniru tidak menonton sinetron yang telah dicontohkan ayahnya.

Pemimpin negara demikian pula. Seorang presiden harus memberi contoh hidup sederhana terlebih dahulu sebelum menyerukannya kepada seluruh rakyat.

Marilah kita masing-masing mengaktualisasikan ‘batasan keteladanan’ ini agar kita benar-benar menjadi ‘teladan sejati’ seperti halnya Rasulullah SAW. Wallahualam.

Oleh: Achmad Sjamsudin

KHAZANAH REPUBLIKA

Mencegah Virus, Bakteri, dan Kotoran dengan Wudhu

Wudhu merupakan perintah Allah dan sekaligus menjadi sayarat sahnya shalat. Secara bahasa wudhu berasal dari kata:  

وَضُؤَ – وُضُوْءًا – وَوَضَاءَةً

Artinya bersih, membersihkan, mencuci (Kamus al-Bishri, hlm 780). Wudhu juga dapat diartikan mengguanakan air yang suci untuk membasuh anggota-anggota tertentu. Ada juga yang menambahkan suatu perbuatan yang didahului dengan niat (Muhammad asy-Syarbini, Al-Iqna’, Semarang: Alawiyah, juz I, hal. 30).   Perintah wudhu ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 6:   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (٦)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al-Maidah[5]: 6).  

Ayat tersebut menjelaskan pelaksanaan wudhu sebagai berikut: membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Namun demikian ulama fiqih merumuskan fardhunya wudhu terdiri dari 6 hal, berniat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki hingga mata kaki, dan berurutan (Asy-Syarbini, Al-Iqna’, juz I: 31-38).  

Kesunnahan-kesunnahan yang sebaiknya dikerjakan dalam wudhu di antaranya adalah berkumur dan menghirup air ke hidung.

Kesempurnaan berkumur sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Iqna’ adalah membersihkan mulut termasuk langit-langit, gigi, gusi, dan memutar air dalam mulut kemudian dibuang. Adapun kesempurnaan menghirup air ke hidung adalah hingga ke khasyum (Jawa: janur irung; rongga hidung terdalam). Hal ini diperuntukkan orang yang tidak dalam keadaan puasa.  

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuktikan kebenaran bahwa Islam rahmat bagi seluruh alam. Setiap perintah mengandung unsur positif. Setiap larangan mengandung unsur yang berbahaya bagi manusia. Ini artinya tujuan syariat Islam benar-benar untuk kebaikan umat itu sendiri.   Ilmu medis salah satu bidang ilmu yang telah berhasil mengungkap rahasia kesehatan di balik perintah beribadah. Jamal Elzaky dalam Mukjizat Kesehatan Ibadah (2015) mengungkapkan sejumlah penemuan para ahli sebagai berikut:  

Pertama, laporan yang disampaikan Reuters (kantor berita yang bermarkas di London, Inggris) tahun 2007, menuturkan bahwa mencuci tangan secara rutin dapat melindungi tubuh dari penyebaran virus yang melalui sistem pernapasan. Umat Islam dalam sehari semalam minimal membasuh tangan hingga siku sebanyak lima kali. Yang demikian ini tentu sangat efektif mencegah tubuh dari segala virus dan kuman penyakit lainnya.  

Kedua, uji coba yang dilakukan oleh beberapa dokter di Universitas Iskandaria berkaitan dengan istinsyaq dan istintsar (menghirup air ke dalam hidung dan melepasnya) ditemukan bahwa kelompok orang yang terbiasa melakukan istinsyaq dan istintsar memiliki sistem pernapasan yang lebih sehat dan lebih terjaga dari serangan virus maupun bakteri. Sebaliknya orang yang tidak pernah melakukan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (menyemburkannya kembali), bagian langit-langit hidungnya akan terlihat kotor dan dipenuhi selaput kelabu yang mengandung debu dan kuman. Jika dilihat menggunakan mikroskop elektrik ditemukan bahwa hidung orang yang tidak pernah berwudhu menjadi sarang bagi pertumbuhan macam-macam bakteri, kuman, dan virus yang membahayakan tubuh manusia.  

Ketiga, penelitian oleh para dokter di Universitas Iskandaria terhadap lima ribu penderita diabetes. Mereka menemukan bakteri dan jamur pada hidung pasien yang jarang atau bahkan tidak suka berwudhu (hal. 97-104).   Secara gamblang para ahli medis menjelaskan betapa besar manfaat dari melaksanakan wudhu secara rutin. Dan masih banyak lagi manfaat lain dari wudhu, seperti kesehatan kulit, kelancaran peredaran darah, kesehatan telinga, mata, dan sebagainya.  

Profesor dr. A. Saboe (1996) dalam bukunya Hikmah Kesehatan dalam Shalat juga menuliskan hasil-hasil penelitian para ahli terkait manfaat kesehatan di balik ibadah wudhu. Salah satu ungkapannya yang menakjubkan adalah bahwa anggota-anggota badan yang menjadi anggota wudhu adalah sarana yang vital sekali dalam kehidupan sehari-hari. Sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari anggota-anggota tersebut dibasuh dengan air. Dengan demikian akan terbebas dari segala kotoran yang menjadi pemicu datangnya penyakit.  

Sebagaimana dijelaskan di atas termasuk sunnahnya wudhu adalah berkumur. Profesor dr. Plinius, seorang bateriolog menyatakan bahwa di setiap bekas air cuci mulut terdapat tidak kurang dari 40 miliar bibit penyakit, demikian dikutip oleh Profesor dr. A.Saboe (hal. 58). Pendapat senada diungkapkan profesor dr. Jamieson (1947):  

“Mencuci badan dan mandi berharga sekali. Bukan saja untuk membersihkan namun juga menguatkan kulit, menyegarkan badan, serta merangsang alat-alat pencernaan dalam pertukaran-pertukaran zat. Menguatkan kulit adalah kebutuhan yang penting, sebab dapat menghindarkan dari berbagai penyakit seperti selesma atau pilek, radang kerongkongan, batuk, radang, paru-paru, TBC, dan sebagainya” (A. Saboe, 1996: 62).  

Salah satu cara menguatkan kulit adalah membasahi dan membersihkan setiap hari. Rangsangan kulit akan mempengaruhi urat-urat darah dan otot kulit. Sebagai contoh dengan membasahi kuit dada maka akan merasngsang pusat pernapasan di otak, mempercepat pengaliran darah, serta memanaskan anggota-anggota badan seperti paru-paru, buah pinggang, hati, usus, dan sebagainya. (A. Saboe, 1996: 62).  

Demikianlah Islam melindungi umatnya, tiada kewajiban dan larangan yang disyariatkan kecuali mengandung unsur kebaikan bagi para penganutnya. Mahabenar Allah Yang Mahaagung.  

Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/116479/mencegah-virus–bakteri–dan-kotoran-dengan-wudhu

Mengapa Mereka Berbuat Syirik?

Bismillah …

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menerangkan alasan orang-orang musyrik berbuat syirik. Ada dua alasan mereka :

Pertama, untuk mendekatkan diri kepada Allah

Kedua, untuk berharap syafa’at (penolong di hadapan Allah), dari Tuhan yang mereka sembah.

Dalil bahwa mereka menyembah selain Allah untuk alasan mendekatkan diri kepada Allah adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Dalil bahwa alasan mereka berbuat syirik karena mencari syafa’at adalah firman Allah Ta’ala,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) (mendatangkan) manfaat.” (QS. Yunus: 18)

(Dikutip dari Qawaidul Arba’, kaidah kedua)

Alasan mereka di atas, menunjukkan dua hal:

Pertama, tidak percaya diri berterus-terang telah melakukan syirik.

Lihatlah sikap mereka yang tidak percaya diri dan tidak mau berterus terang untuk menyebut diri mereka telah melakukan syirik atau musyrik. Sehingga mereka pun mencari berbagai macam dalih karena tidak ingin disebut dengan orang musyrik. Begitupula dengan orang kafir.

Contoh:

Sempat viral di tanah air kita, adanya orang non-muslim yang tidak suka disebut dengan “kafir”. Padahal kenyataannya, status mereka memang demikian. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa Islam adalah agama fitrah, buktinya mereka tidak suka dikatakan seperti itu. Dan hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak yakin dengan keyakinan mereka sendiri dan fitrah mereka mengingkari hal tersebut.

Kedua, kelirunya beragama hanya berdasar pada anggapan baik.

Mereka menganalogikan kekafiran yang mereka lakukan itu, seperti meminta sesuatu kepada makhluk. Kalau kita mau meminta kepada presiden, maka harus terlebih dahulu melalui perantara orang di bawahnya (sekretaris negara, misalnya) dan yang semisalnya.

Hal ini dibantah oleh firman Allah Ta’ala,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Berdoalah kepada-Ku (langsung), niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)

Kesesatan ini muncul, karena beragama hanya berpijak pada anggapan baik. Sehingga setiap orang yang beragama hanya berdalil dengan anggapan baik, bukan ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka mereka telah menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang ini.

Contohnya disebutkan oleh sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma,

كل بدعة ضلالة ؛ وإن رآها الناس حسنة

“Semua perkara baru dalam agama (bid’ah) itu sesat. Walau dipandang baik oleh orang-orang.” (Syarhul I’tiqod Ahlis Sunnah, 3: 92)

Ketiga, tidak mensyukuri nikmat akal.

Mereka menyembah sesuatu yang sama sekali tak mampu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya untuk mereka. Coba kita renungkan, orang yang menyembah patung. Patung tersebut tidak mampu melakukan apapun. Dicubit, ditendang, dia tidak dapat membalas. Bahkan ketika dihinggapi lalat, sekedar mengusir dengan satu sapuan tangan pun, dia diam tidak mampu. Contoh lainnya, ada yang menyembah binatang. Padahal dirinya sendiri jika disebut binatang, marah. Padahal binatang adalah tuhannya. Ada yang menyembah sapi. Padahal kita tahu, rendang sapi itu nikmat sekali. Masak tuhan bisa direndang dan tidak membalas?

Karena memang tidak akan sah kesyirikan seseorang, sampai ia mengorbankan akal sehatnya.

Oleh karenanya, sering kali ketika Allah Ta’ala menawarkan tauhid, selalu Allah kaitkan dengan akal sehat.

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Tidakkah kalian berfikir?” (QS. Ali ‘Imran 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, dll)

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ

“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an?!” (QS. An-Nisa: 82)

أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّام ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ إِذۡنِهِۦۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)

Allah sampai ajak kita berfikir, untuk menyadari sesatnya kesyirikan dengan analogi yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَل فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخۡلُقُواْ ذُبَابا وَلَوِ ٱجۡتَمَعُواْ لَهُۥۖ وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡـٔا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلۡمَطۡلُوبُ

“Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.” (QS. Al-Haj: 73)

Wallahu a’lam bis showab.

Penulis: Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55093-mengapa-mereka-berbuat-syirik.html

Sayang, Adab di Saat Magrib Sunah yang Terabaikan

BERIKUT ini beberapa adab yang dianjurkan untuk dilakukan di waktu Magrib. Semoga kita diberi hidayah untuk mengamalkannya.

Pertama: termasuk sunah, memasukkan anak-anak ke dalam rumah saat masuknya waktu magrib. Kedua: termasuk sunah, menutup pintu-pintu di awal waktu magrib sambil menyebut nama Allah taala.

Mengerjakan dua adab ini merupakan salah satu upaya menjaga diri dari setan dan jin. Menahan anak-anak di rumah ketika awal waktu magrib merupakan bentuk upaya menjaga anak-anak dari setan yang berkeliaran di waktu tersebut, demikian pula menutup pintu rumah sambil menyebut nama Allah pada saat tersebut.

Dan betapa banyak anak-anak dan rumah-rumah yang dihinggapi setan pada waktu magrib, sedangkan orangtua si anak dan si empunya rumah tidak menyadarinya. Betapa besarnya penjagaan Islam untuk anak-anak dan rumah-rumah kita.

Dalil perbuatan ini adalah hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu ketika beliau menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Jika masuk awal malam atau beliau mengatakan: jika kalian memasuki waktu sore- maka tahanlah anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran pada saat itu. Jika sudah lewat sesaat dari awal malam, bolehlah kalian lepaskan anak-anak kalian. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah karena setan tidak bisa membuka pintu yang tertutup” (HR. Al-Bukhari no. 3304 dan Muslim no. 2012).

Kata (awal malam) maksudnya adalah awal malam setelah terbenamnya matahari. Dalam riwayat Muslim terdapat hadis:

“Jangan lepaskan hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian ketika matahari terbenam sampai berlalunya awal isya karena para setan berkeliaran antara waktu terbenamnya matahari sampai berlalunya awal isya.” (HR. Muslim no. 2013).

Imam Nawawi mengatakan, “Maksud tahanlah anak-anak kalian adalah larang mereka agar tidak keluar pada waktu itu.”

Sabda Rasulullah “karena sesungguhnya setan sedang berkeliaran” maksudnya adalah bangsa setan dan maknanya: ditakutkan terjadinya gangguan setan pada anak-anak pada waktu tersebut karena banyaknya mereka pada waktu itu, wallahu alam.

Mengenai sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi: “Jangan lepaskan hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian ketika matahari terbenam sampai berlalunya awal isya karena para setan berkeliaran antara waktu terbenamnya matahari sampai berlalunya awal isya.” (HR. Muslim no. 2013).

Para ahli bahasa mengatakan, (hewan ternak) adalah semua bentuk harta yang dapat menyebar, seperti onta, kambing, semua hewan ternak, dan sebagainya. Kata adalah bentuk jama dari , dinamakan demikian karena ia menyebar di muka bumi.

Kata maknanya adalah saat gelap gulitanya isya. Sebagian ulama menafsirkan kata ini dalam konteks hadis ini sebagai datangnya waktu malam dan awal gelapnya. Demikian yang disebutkan oleh penulis Nihayatul Gharib, beliau mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa kegelapan antara salat magrib dan isya disebut fahmah () dan yang antara isya dan subuh disebut asasah ()” (Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi, hadits no. 2012, bab al-Amru bi Taghthiyati al-Inaa wa Ikaa-I as-Saqaa).

Setelah berlalu beberapa saat dari waktu masuknya awal malam, tidak mengapa jika melepaskan anak keluar rumah karena waktu berkeliarannya setan telah lewat. Dapat juga dipahami dari sini, wallahu alam, bahwa para setan telah mendapat tempat menginap untuk diri mereka.

Hikmah berkeliarannya setan pada waktu ini dan bukan pada waktu siang, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, adalah karena pergerakan di malam hari lebih memungkinkan mereka daripada di siang hari, hal ini karena kegelapan lebih mengumpulkan kekuatan setan daripada yang lain, begitu pula setiap warna hitam. (Fathul Bari hadits no. 3280, bab Shifatu Iblis wa Junudihi).

Imam ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat perintah untuk menutup pintu-pintu rumah pada waktu malam hari, dan hal ini merupakan suatu sunah yang diperintahkan sebagai bentuk kebaikan bagi manusia dalam melawan setan dari jenis jin dan manusia. Adapun sabda beliau, Karena setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup dan mengurai ikatan tali merupakan sebuah pemberitahuan dan pemberitaan dari beliau akan nikmat Allah azza wa jalla untuk hamba-hambaNya dari golongan manusia dengan tidak diberikannya bangsa jin kemampuan membuka pintu, mengurai ikatan, dan menyingkap tutup bejana, hal-hal ini telah diharamkan bagi mereka. Di sisi lain, bangsa jin diberi kemampuan lebih dibanding manusia berupa kemampuan tidak terlihat oleh manusia dan kemampuan untuk merasuki manusia, sedangkan manusia tidak dapat merasuki.” (Al-Istidzkar, 8/363).

Al-Khatib Asy-Syarbaini Asy-Syafii rahimahullah mengatakan, “Jika malam telah datang, disunahkan menutup bejana walau dengan meletakkan batang kayu di atasnya. Mengikat kantong air, menutup pintu sambil menyebut nama Allah, memasukkan anak-anak dan memasukkan hewan ternak pada awal malam, serta mematikan lampu ketika hendak tidur.” (Mughnil Muhtaj, 1/31).

Menahan anak-anak supaya tidak keluar rumah dan menutup pintu di awal waktu maghrib merupakan perkara mustahab. (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/317).

Ketiga: salat dua rakaat sebelum salat Magrib

Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau mengatakan: “Salatlah sebelum salat Maghrib” tiga kali dan pada yang ketiga, beliau katakan, “bagi yang mau” karena tidak suka kalau umatnya menjadikan hal itu sebagai suatu kebiasaan.

Juga berdasarkan hadis Anas radhiyallahu anhu bahwa beliau mengatakan, “Sungguh aku melihat para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang senior saling berlomba mengejar tiang-tiang (untuk dijadikan tempat salat) ketika masuk waktu magrib.” (HR. Al-Bukhari no. 503).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau mengatakan

“Kami pernah tinggal di Madinah. Saat muadzin berazan untuk salat Magrib, mereka (para sahabat senior) saling berlomba mencari tiang-tiang lalu mereka salat dua rakaat dua rakaat sampai ada orang asing yang masuk masjid untuk salat mengira bahwa salat Magrib sudah ditunaikan karena saking banyaknya yang melaksanakan salat sunah sebelum Magrib.” (HR. Muslim no. 837).

Maksud kata adalah , yaitu saling berlomba menuju tiang untuk menjadikannya sebagai pembatas salat, dalam hal ini terdapat penjelasan akan kegigihan para sahabat untuk mencari sutrah salat.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Di dalam Shahihain terdapat hadis dari Abdullah Al-Muzani dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengatakan, Salatlah sebelum Magrib! Salatlah sebelum Magrib! dan beliau katakan di ketiga kalinya, Bagi yang mau karena tidak ingin dijadikan kebiasaan oleh umatnya. Inilah yang benar, yakni bahwasannya salat ini hanya salat sunah biasa, bukan termasuk salat sunah rawatib seperti salat sunah rawatib yang lain.” (Zadul Maad, 1/312).

Juga memang disunahkan salat dua rakaat di antara setiap azan dan iqamah, baik shalat dua rakaat ini merupakan shalat rawatib seperti Subuh dan Zuhur sehingga dengan mengerjakan dua rakaat rawatib ini telah teranggap melaksanakan sunah melaksanakan salat dua rakaat antara azan dan iqamah, atau pun seperti ada orang yang sedang duduk di masjid lalu muazin mengumandangkan azan Asar atau Isya maka sunah bagi dirinya untuk bangkit berdiri dan salat dua rakaat.

Dalilnya adalah hadis Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Di antara setiap dua azan (adzan dan iqamah pent.) ada salat.” Beliau katakan tiga kali dan pada kali ketiga, beliau mengatakan, “Bagi yang mau.” (HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838).

Syaikh ibn Baz rahimahullah menjelaskan, “Disyariatkan untuk setiap muslim agar melaksanakan salat dua rakaat antara dua azan, baik itu dua rakaat salat rawatib maupun bukan rawatib, sesuai sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Di antara setiap dua azan terdapat salat, di antara setiap dua azan terdapat salat Dan pada kali ketiga beliau mengatakan, Bagi yang mau, sahih hadisnya disepakati Bukhari dan Muslim. Ini mencakup semua salat dan maksud dua azan adalah azan dan iqamah. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang semakna dengannya menunjukkan bahwa salat sunah dua rakaat di antara dua azan itu memang dituntunkan oleh syariat. Dan jika memang dua rakaat tersebut merupakan rawatib seperti salat sunah sebelum Subuh dan Zuhur maka telah mencukupi.” (Majmu Fatawa Syaikh ibn Baz, 11/383).

Dua rakaat sebelum Maghrib atau dua rakaat di antara setiap dua azan bukanlah sunah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan sebagaimana ditekankannya melaksanakan salat sunah rawatib, akan tetapi terkadang boleh ditinggalkan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada sabda beliau yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang mau” karena tidak suka kalau dianggap umatnya sebagai sunah yang dikuatkan.

Keempat: Makruh tidur sebelum Isya

Berdasarkan hadis Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,

“Bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka untuk mengakhirkan waktu Isya, membenci tidur sebelumnya, dan membenci bincang-bincang setelah Isya.” (HR. Al-Bukhari no. 599 dan Muslim no. 647)

Alasan dibencinya tidur sewaktu Magrib, yaitu sebelum Isya, adalah karena tidur pada saat itu dapat menyebabkan luputnya melaksanakan shalat Isya. []

Sumber: kitab Al-Minah Al-Aliyyah fii Bayani As Sunan Al-Yaumiyyah, Syaikh Abdullah bin Hamud Al Furaih, dinukil dari http://www.alukah.net/sharia/0/91347

INILAH MOZAIK

Keutamaan Mengamalkan Isi Kandungan Alquran

Orang yang mengamalkan Alquran bisa memberi syafaat untuk keluarganya.

Nabi Muhammad SAW menyebutkan keutamaan membaca Alquran. Termasuk, keutamaan orang yang mengamalkan Alquran.

Dalam sebuah hadits disebutkan:


عَن عَلِيٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ وَ كَرٌمَ اللٌهُ وَجهَة قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌيُ اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ مَن قَرأ القُرانَ فَاستَظهَرَه فَحَلٌ حَلآلَه وَحَرٌمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ اللٌهُ الجَنٌةَ وَشَفٌعَه فيِ عَشَرةَ مِن اَهلِ بَيِته كُلٌهٌم قَد وَجبت لَهُ النٌارُ.(رواه أحمد والترمذي وقال هذا حديث غريب وحفص بن سليمان الراوي ليس هو بالتقوى يضعف في الحديث ورواه أبن ماجه والدارمي).

Dari Ali karramallaahu wajhah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca Alquran dan menghafalnya, lalu menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka Allah SWT akan memasukannya ke dalam Surga dan allah menjaminnya untuk memberi syafaat kepada sepuluh orang keluarganya yang kesemuanya telah diwajibkan masuk neraka.” (Hr Ahmad dan Tirmidzi)

Menurut Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi, dalam kitabnya yang berjudul Fadhilah AMal dijelaskan, setiap mu’min insya Allah akan masuk surga, meskipun ada yang harus dibersihkan dulu denga azab disebabkan dosa-dosanya. Namun bagi hafizh Alquran, ia memiliki keutamaan masuk Surga pertama kali. Bahkan seorang hafizh Alquran dapat member syafaat kepada sepuluh orang yang fasik dan banyak berbuat dosa besar, tetapi orang kafir tidak akan memperoleh syafaat itu. Allah berfirman:


{إنهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عليهِ الجنَّةَ وَمَآواهُ النَّارُ وَمَا للظَّالِميْنَ مَنْ أنْصَارٍ}

“Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah (dengan sesuatu), maka telah Allah haramkan baginya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (al Maidah [5] : 72)
Firman-Nya yang lain:

{مَا كانَ لِلنَّبِيِ وَالذِيْنَ أمنُوآ أنْ يَّسْتَغْفِرُوا للِمُشْركِيْنَ}

“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (Qs. At Taubah [9] :113)

Menurut Maulana Zakariyya, dalil-dalil di atas dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ampunan bagi kaum musyrikin, sehingga syafaat seorang hafizh hanya terbatas bagi kaum muslimin yang harus masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Oleh sebab itu, barangsiapa ingin selamat dari api neraka, sedangkan ia bukan seorang hafizh dan tidak mampu menjadi seorang hafizh, maka sekurang-kurangnya hendaklah ia berusaha menjadikan salah seorang diantara keluarganya atau kerabatnya hafizh al Qur’an. Di samping itu, ia sendiri harus selalu berusaha menjauhi segala dosa sehingga terhindar dari azab.

KHAZANAH REPUBLIKA


Apakah Dibalik Ujian Ada Keuntungan?

Allah swt berfirman :

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Baqarah:155)

Dunia adalah ruang ujian, setiap sisi dalam hidup ini adalah ujian. Terkadang manusia di uji dengan kesusahan dan tak jarang yang di uji dengan kesenangan.

Dunia adalah alam yang terbatas. Dalam arti kita tidak mampu meraih sesuatu kecuali dengan mengorbankan sesuatu yang lain.

Orang yang ingin sampai pada derajat keilmuan tertentu dan meraih titel yang tinggi harus mengorbankan waktu, tenaga dan menekan berbagai keinginan yang ada dalam dirinya.

Orang yang ingin mendapatkan harta harus mengorbankan tenaga, pikiran dan waktunya bahkan tak jarang yang harus mengorbankan diri untuk tidak bertemu keluarga dalam waktu yang cukup lama.

Apapun yang ingin kita raih di dunia pasti disertai dengan sesuatu yang harus dikorbankan.

Namun ada dua pertanyaan yang perlu kita cari jawabannya.

1. Apakah ujian ini hanya untuk kaum mukminin saja atau untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali?

Kita akan temukan jawaban dalam Firman-Nya :

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS.Al-Mulk:2)

Maka ujian itu diperuntukkan untuk semua manusia, bukan untuk kaum mukminin saja.

2. Apakah dibalik ujian ini ada keuntungannya?

Setiap ujian pasti ada hasilnya. Setiap perlombaan pasti ada hadiahnya. Lalu apa keuntungan ujian ini bagi seorang mukmin?

a. Ujian bagi seorang mukmin akan mengokohkan keimanannya dan membuatnya semakin yakin dan pasrah bahwa semua yang terjadi adalah atas Kehendak dan Ketentuan Allah swt. Tugas manusia hanyalah berusaha sesuai dengan kemampuannya.

b. Ujian mendorong manusia untuk lebih bersemangat meraih sesuatu yang ia harapkan. Tantangan membuat seseorang semakin mengasah potensinya untuk menghadapi semua rintangan hidup. Karenanya setiap kali seseorang mampu menghadapi satu ujian maka ia akan menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Jika kita bertanya apakah dibalik ujian ada keuntungan? Bagi seorang mukmin pasti ada ! Karena setidaknya bila ia bersabar pasti ia akan mendapatkan pahala dari kesabarannya itu.

Karena itu di akhir ayat diatas disebutkan :

وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar..”

Kesabaran membawa kita pada dua hadiah yang menanti. Hadiah berupa pahala dari Allah dan hadiah berupa kesuksesan atas kesabaran kita di dunia. Karena tiada kesuksesan tanpa kesabaran.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN